Setelah
mengenal dasar-dasar ilmu sosiologi –sebagaimana telah saya paparkan di atas-
beserta pemahaman dasar tentang masyarakat, interaksi sosial, proses sosial,
sekarang mari kita tingkatkan pemahaman sosiologi kita dengan mengenali
paradigma utama ilmu sosial (terutama disiplin ilmu sosiologi) yang sering
digunakan untuk mempelajari dan menganalisis masyarakat. Perlu diingat: tidak ada paradigma tunggal dalam ilmu sosial
(sosiologi). Para pakar mencatat bahwa sosiologi menggunakan paradigma
ganda. Artinya kita bisa menggunakan beberapa paradigma ilmu social (sosiologi)
untuk mempelajari, menjelaskan dan memahami suatu fakta social di antara sekian
banyak paradigma yang diajarkan para pakar sosiologi. Dalam artikel ini kita coba
pelajari 3 paradigma sosiologi yang
lazim digunakan untuk menganalisa persoalan sosial/ masyarakat, untuk membantu
penjelasan pembahasan mata kuliah Sosiologi
Masyarakat Kota dan Desa (nanti akan
kita lanjutkan pembahasannya di Bagian II dan III sekuel artikel saya ini).
- Paradigma
Organik – Struktural Fungsional
Paradigma
organic, melihat masyarakat sebagai bagian sistem dari hubungan fungsional, mengibaratkan sebagai sebuah organisme hidup
(organic) dengan meminjam teori hukum alam. Seperti dijelaskan oleh Emile Durkheim dan Ferdinand Tonnies, yang berpendapat bahwa masyarakat adalah organisme yang tidak berdiri sendiri, tetapi
bergabung dengan kelompoknya dalam sistem pembagian tugas (ingat konsepsi
Durkheim tentang pembagian tugas, di atas ya…), yang dalam kenyataannya berkaitan dengan jenis-jenis norma/ peraturan
sosial yang mengikat individu pada keadaan sosialnya.
Durkheim
mengonseptualisasikan masyarakat dalam hal norma-norma atau jenis-jenis
integrasi sosial yakni cara individu secara sosiologis berhubungan dengan
struktur sosial melalui fakta-fakta sosial (social
facts). Salah satu kajian utamanya adalah sifat-sifat solidaritas sosial dari suatu masyarakat. Durkheim menekankan
kajiannya terutama dalam hal memahami gejala sosial (norma-norma sosial) dan
pengaruhnya dala masalah-masalah sosial yang berlawanan dengan
penjelasan-penjelasan yang bersifat psikologis. Dia memandang sosiologi sebagai
kajian yang memfokuskan gejala psikis
kolektif dan kewajiban-kewajiban
moral terutama dalam hal memasukkan perilaku
individu dalam konteks kelompok.
Dalam
mengonseptualisasikan kajiannya tersebut, Durkheim
menggunakan asumsi-asumsi:
-
Masyarakat sebagai
kesadaran kolektif, mempunyai keberadaan yang independen à
suatu kesatuan yang utuh, terkondisikan melaksanakan dan mempengaruhi struktur
normatifnya.
-
Fakta-fakta sosial
(norma-norma kolektif) adalah kenyataan, sebagai bukti keberadaan kekuatan
norma-norma dan struktur-struktur lembaga yang saling berhubungan.
-
Kekuatan sosial
didasarkan pada pandangan kolektif, yaitu berbagai bentuk kekuasaan yang
bersandar pada struktur normatif dari kelompok tertentu selama kontrol itu
diterapkan pada anggota kelompok melalui norma-norma tersebut.
-
Evolusi fakta atau
norma sosial didasarkan pada kebutuhan yang ada dalam masyarakat. Dalam hal
ini, gejala sosial menggambarkan kebutuhan sosial sebuah korelasi dari teori Durkheim yang mendorong para sosiolog
untuk mengkaji secara lebih mendalam à
struktural fungsional.
-
Integrasi sosial
ditemukan dalam pembagian kerja dalam masyarakat à
semakin sama pembagian kerja dalam masyarakat, maka semakin tinggi tingkat
integrasi sosialnya. Memperluas asumsi ini, Durkheim menghubungkan ukuran populasi dengan kepadatan
penduduknya, pembagian kerja dan integritas sosial à
semakin tinggi ukuran populasi, semakin besar tingkat kepadatan penduduknya,
maka berakibat peningkatan dalam hal pembagian kerja dan penurunan dalam hal
solidaritas sosial.
-
Solidaritas sosial, Durkheim membaginya menjadi 2: solidaritas mekanis dan solidaritas organis (tengok lagi di
bagian depan ya…). Pada masyarakat dengan pembagian kerja yang rendah, budaya
tradisional yang homogen, dan bekerjanya norma-norma secara represif (mengikat)
para anggotanya, memiliki kesatuan sosial dalam tingkat yang tinggi, bekerjalah
solidaritas mekanis. Sedangkan solidaritas organis (bersifat lebih
maju) bekerja pada masyarakat dengan pembagian kerja yang kompleks (tidak sama),
meningkatnya hubungan kontrak (diikat dengan perjanjian) dan memiliki tingkat
integrasi sosial yang lebih rendah. Dalam hal ini, upaya kontrol individu
menjadi lemah menuju suatu keadaan berkurangnya norma-norma (normless) yang lebih tinggi dalam
masyarakat. Pada tahapan inilah penyimpangan-penyimpangan sosial tingkat tinggi
kerap terjadi, seperti bunuh diri, terjadi karena renggangnya atau melemahnya
ikatan-ikatan / perekat antar individu dan struktur sosial.
-
Kejahatan dan bentuk
penyimpangan lain mempunyai fungsi mendorong perubahan dan perkembangan
norma-norma dalam masyarakat.
Pendekatan
organik yang kemudian berkembang menjadi struktural-fungsional,
berfokus pada cara yang diberikan oleh sistem sosial dengan menekankan pada
masalah-masalah fungsi/ sistem. Pendekatan organic-struktural fungsional ini
menjelaskan konsep masyarakat sebagai
satu kesatuan. Selanjutnya, paradigma structural-fungsionalisme sebagai
landasan teori kontemporer, menggambarkan penerapan lanjutan paradigma organik,
memandang masyarakat sebagai bentuk yang
sistemik saling berhubungan, saling bergantung, berubah, menggambarkan
kebutuhan-kebutuhan sistem atau fungsi yang mendasarinya à
pijakan pengembangan teori umum yang didasarkan pada asumsi bahwa masyarakat
itu eksis dan memiliki realitas
independen atau memiliki eksistensi sebagai sistem sosial dengan sifat serupa
dengan sistem-sistem lain di alam ini (sistem alam/ sistem biologi/ fisika).
Struktural
fungsionalisme bergerak merespons kebutuhan-kebutuhan, politik, ekonomi dan
sosial.
Structural
fungsionalisme dipopulerkan oleh Talcott
Parsons, dengan menggunakan analogi organik (organ biologis) dalam
memandang masyarakat. Menurutnya, teori fungsional organisasi masyarakat
berdasarkan pada manusia sebagai actor pembuat keputusan (fungsionalisme) yang dibatasi oleh factor normatif dan situasional
(strukturalisme), dan factor-faktor
situasiona inilah yang memperkenalkan kebutuhan-kebutuhan atau fungsi sistem ke
dalam pemahaman perilaku sosial. Karenanya, menurut paham ini, masyarakat
memiliki karakteristik universal, yang memungkinkan dikembangkannya teori yang
bisa diterapkan pada semua masyarakat.
Parsons menggunakan
asumsi-asumsi:
-
Sistem sosial
diasumsikan untuk memunculkan sui
generis, yaitu
masyarakat memiliki suatu realitas independen untuk melintasi eksistensi
individu sebagai suatu sistem interaksi.
-
Struktur sosial atau
sub sistem masyarakat menggambarkan sejumlah fungsi utama yang mendasarinya (struktur
mewakili fungsi). Fungsi-fungsi ini terdiri atas integrasi (sistem sosial didasarkan pada norma-norma yang mengikat
individu dengan masyarakatnya melalui integrasi normatif), pola pertahanan (sistem budaya, nilai-nilai), pencapaian tujuan (sistem kepribadian, basis pembedaan), dan adaptasi (organisasi perilaku, basis
peran dan sistem ekonomi).
-
Sistem sosial,
baiknya terdiri atas 4 sub-sistem, yaitu komunitas
masyarakat (norma-norma integratif),
pola pertahanan (nilai-nilai
integratif), bentuk atau proses
pemerintahan (diterapkan untuk perolehan tujuan), dan ekonomi (diterapkan untuk adaptif).
-
Lebih jauh, terkait
dengan analogi biologi, Parsons
berasumsi bahwa focus atau landasan sentral masyarakat adalah kecenderungan
terhadap equilibrium dan homeostatic (keadaan stabil, setimbang).
Proses-proses sentral dalam kecenderungan ini adalah antar hubungan dari ke-4
sub-sistem aksi: interpenetrasi, internalisasi masyarakat, fenomena
budaya ke dalam kepribadian, dan institusionalisasi
komponen-komponen normatif sebagai struktur konstitutif. Sistem sosial ini
kemudian dipandang sebagai sistem yang berorientasi integrasi dan equilibrium
yang kuat.
-
Sistem ini tidak
dipandang statis à
kapasitas yang dimilikinya untuk evolusi
yang adaptif. Proses sentral perubahan evolusi mengandung pembedaan (differentiation) dan pembagian lebih jauh/ spesialisasi struktur
fungsional.
- Paradigma
Konflik – Radikal
Paradigma
konflik radikal, lebih memandang konflik (bukan integrasi) sebagai poros sistem
sosial. Mengapa demikian? Argumentasinya adalah, bahwa masyarakat terdiri atas individu-individu (ingat?) yang secara alamiah berjuang untuk
mendapatkan kebutuhan mereka. Artinya, terdapat gerak dinamis dari sistem masyarakat ini seperti gerak/ proses evolusi dan pertentangan secara
terus-menerus. Proses pertentangan secara terus-menerus (bergerak, dinamis)
inilah yang “membesarkan” suatu masyarakat, mengikuti hukum dialektika materialisme sebagaimana
diperkenalkan oleh Karl Marx. Kemudian,
untuk menjelaskan masyarakat industry modern, pendekatan Marxisme ini
melahirkan Teori Konflik Modern. Di sini kita mengenal teori pertentangan kelompok dan teori
konflik elit milik Ralph Dahrendorf.
Teori konflik Karl
Marx tersebut, setidaknya memiliki peluang untuk merevisi apa yang
dikemukakan Emile Durkheim dalam Teori Struktural Fungsional-nya (tengok
Durkheim di atas ya...). Marx, untuk
telaah makroskopik memandang bahwa masyarakat
cenderung membutuhkan pertentangan agar tercipta harmoni baru. Berbeda
dengan Durkheim yang lebih melihat
masyarakat sebagai media terciptanya
keseimbangan, pendekatan konflik dapat dibagi dua, pertama,
sebagaimana dikemukakan Karl Marx,
bahwa masyarakat terbelah menjadi dua
kelas dilihat dari kepemilikan alat
produksi (property), yakni kelas kapitalis/ pemilik modal dan
kelas buruh/ pekerja. Menurut Marx, masyarakat kemudian terintegrasi
lantaran adanya struktur kelas yang dominan yang menggunakan Negara dan hukum
sebagai alatnya. Sementara itu, yang kedua, sebagaimana yang dikemukakan
Ralf Dahrendorf, yang melihat
masyarakat terdiri atas dua kelas berdasarkan kepemilikan wewenang (authority) ialah kelas penguasa
(dominasi) dan kelas yang dikuasai (subjeksi). Bagi Dahrendorf,
masyarakat terintegrasi karena adanya kelompok kepentingan dominan yang menguasai
masyarakat. Menyusul atas
apa yang telah dipahami sepeninggal Marx, banyak teori turunan konflik yang
berupaya untuk mengembangkannya dalam arti memberikan tambahan penjelasan atas
fenomena konflik. Salah satu tokohnya adalah Randall Collins, yang mencoba lebih integratif di antara pendekatan
makro dan mikro. Lebih detail, Collins menegaskan bahwa teori konflik mengindikasikan adanya pengorganisasian kelompok masyarakat (society), perilaku
orang-orang dan kelompoknya. Collins menawarkan pemahaman betapa konflik
sangat mungkin didekati pada level interaksionisme
simbolik mikro dan etnometodologi.
Tidaklah mengherankan kemudian muncul tokoh lain seperti Goffman, Garfinkel,
Sacks dan Scelgloff. Bagi mereka, atas sumbangan Collins, konflik tidak harus menjadi ideologis, bukan masalah baik buruk, tetapi konflik dipandang sebagai pusat dari
kehidupan sosial. Pendekatan Collins
terkait konflik lebih difokuskan pada individu, salah satunya karena akar kajian Collins adalah fenomenologi dan etnometodologi. Teori konflik, lebih jauh menurutnya, tidak akan
bekerja tanpa analisis sosial. Dalam term ini, teori konflik harus
menerima penemuan riset empiris. Intinya, teori konflik Collins dekat pada
stratifikasi sosial, yang dalam telaahnya hendak memadukan gagasan Marxian
dengan teori struktural fungsional.
Ringkasnya,
paradigma konflik radikal ini melihat bahwa masyarakat merupakan sistem
kompetisi kekuatan yang menyusun perjuangan individu-individu dalam memenuhi
kebutuhan fisiknya, yaitu dengan menggunakan pandangan alamiah sebagai
penjelasan sistemnya. Pendekatan ini sama dengan structural-fungsional dalam
hal konsep kemasyarakatannya sebagai
sistem makro, namun menekankan pada konflik
sebagai titik tekan proses sosial.
- Paradigma
Perilaku dan Psikologi Sosial
Paradigma
ini melihat masyarakat sebagai “surat perintah” yang besar secara individual
daripada sebuah sistem yang menggarisbawahi problem-problem fungsional. Tradisi
perilaku sosial juga mencakup penjelasan secara alamiah dan sosial. Max Weber dan George Herbert Mead, contohnya, mempelajari individu sebagai produk
sosial yang menitikberatkan pengertian dan proses perialku sosial dan interaksi
sosial. Di sisi lain, Georg Simmel
dan William Sumner menggunakan
asumsi insting atau harapan untuk menjelaskan kumpulan evolusi dan struktur
sosial.
Perbedaannya
dengan teori psikologi sosial modern, adalah bahwa paradigma perilaku ini
memfokuskan lingkungan sosial dan hubungan antara individu dan lingkungannya
melalui sosialisasi ekspresi perannya, saling berinteraksi dan ungkapan
realitas pribadinya.
Untuk
lebih jelasnya, mari kita lihat perbandingan ketiga model/ paradigma tersebut
pada tabel di bawah ini:
Paradigma
|
Organik –
Struktural-Fungsional
|
Konflik - Radikal
|
Perilaku dan
Psikologi Sosial
|
Tujuan
|
Mengembangkan
teori umum tentang masyarakat menggunakan pendekatan sistemik
|
Mengembangkan
teori umum tentang masyarakat menggunakan pendekatan sistemik
|
Memahami individu
adalah hasil dari masyarakat.
|
Pandangan
|
1.
Masyarakat
adalah sebuah sistem fungsional yang bagian-bagiannya selalu berhubungan.
2.
Perlunya
aturan sosial.
3.
Perlunya
pembagian kerja.
4.
Perlunya
dasar-dasar masalah sosial.
|
1. Masyarakat adalah
bagian dari sistem persaingan & pertentangan.
2. Perlunya
aturan-aturan sosial.
3. Perlunya
industrialiasi & birokratisasi.
4. Perlunya dasar
kebutuhan fisik.
|
1. Masyarakat adalah
sebuah “surat perintah” individu yang besar.
2. Perlunya nilai dan
harapan.
3. Individu adalah
produk sosial.
4. Perlunya
sosialisasi sebagai proses dasar.
|
Pendekatan
|
1.
Menerapkan
hukum-hukum alamiah pada masyarakat.
2.
Menerapkan
pembagian kerja pada masyarakat.
3.
Menerapkan
masalah-masalah sosial pada masyarakat.
4.
Menggunakan
alasan alamiah/ sistemik sebagai pembuktian.
|
1. Menerapkan
pertentangan alami dalam masyarakat.
2. Menerapkan
industrialiasi & birokratisasi dalam masyarakat.
3. Menerapkan kebutuhan-kebutuhan
fisik pada masyarakat.
4. Menggunakan alasan
alamiah maupun sistemik dalam pembuktian.
|
1. Menerapkan naluri
& harapam dalam masyarakat.
2. Menerapkan manusia
sosial yang alami dalam masyarakat.
3. Menerapkan proses
sosialiasi pada masyarakat.
4. Menggunakan alasan
alamiah maupun sistemik dalam pembuktian.
|
Walaupun
terdapat perbedaan pada ketiga paradigma tersebut, setidaknya ada 2 point
penting yang umum: konseptualisasi
tatanan dan perubahan sosial; dan mencakup jenis
penjelasan secara naturalistik dan sistemik.
Untuk
pendalaman sosiologi kita masih bisa mempelajari lebih lanjut paradigma ilmu
sosial ini dengan mengikuti klasifikasi sistemik paradigma ilmu sosial yang
diramu dari para teoretisi ilmu sosial. Ketiga pendekatan/ paradigma di atas
sebenarnya dipertajam pada perspektif teoritis/ paradigma positivis/ post-positivist, konstruksionisme
(interpretative) dan critical theory.
Tetapi untuk keperluan mata kuliah ini, kita gunakan structural-fungsional atau
konflik radikal atau perilaku pada klasifikasi di atas. Klasifikasi dan
penjelasan paradigma positivis/
post-positivist, konstruksionisme
(interpretative) dan critical theory lazim
dipergunakan pada jenjang yang lebih tinggi.
Bahan Bacaan
1. Beilharz, Peter,
2003, Teori Teori Sosial, Pustaka Pelajar Yogyakarta.
2. Coser, Lewis A.,
1982, Sociological Theory: A Book of Readings, MacMillan Publishing, Co., Inc.,
USA.
3. Daldjoeni, N., 1997,
Seluk Beluk Masyarakat Kota, Alumni Bandung.
4. Fatchan, A., 2004,
Teori-teori Perubahan Sosial, Yayasan Kampusina Surabaya.
5. Giddens, Anthony,
2004, Sociology: Introductory Readings, Polity, UK.
6. Haralambos, Michael
dan Martin Holborn, 2000, Sociology, Themes and Perspectives, Fifth Edition,
Collins Educational, London.
7. Kaldor, Mary, 2004,
Global Society, Polity, UK.
8. Kinloch, Graham C.,
2005, Perkembangan dan Paradigma Utama Teori Sosiologi, Pustaka Setia Bandung.
9. Leibo, Jefta, 1995,
Sosiologi Pedesaan, Andi Offset Yogyakarta.
10. Ritzer, George,
1996, Modern Sociological Theory, The McGraw-Hill Companies, Inc.
11. Sanderson, Stephen
K., 1993, Sosiologi Makro, Rajawali Press Jakarta.
12. Sukmana, Oman, 2005,
Sosiologi dan Politik Ekonomi, UMM Press Malang.
13. Sztompka, Piötr,
2005, Sosiologi Perubahan Sosial, Prenada Jakarta.
Zaltman,
Gerald, 1972, Processes and Phenomena of Social Change, John Willey & Sons,
Inc., New York.
Salam Kenal ya Mas
BalasHapusAGEN POKER ONLINE TERPERCAYA DAN TERBESAR DI INDONESIA,BONUS JACPOTNYA TERBESAR
Domino Online
Judi Domino
Agen Judi Terpercaya
Domino Online Indonesia
Agen Poker Online