Dari catatan
sejarah klasik terdapat dua perkataan yang berkaitan erat dengan pengertian
kita sekarang tentang konstitusi, yaitu dalam perkataan Yunani kuno ‘politeia’ dan
perkataan bahasa Latin ‘constitutio’ yang juga berkaitan dengan
kata ‘jus’. Dalam kedua percatan ‘politeia’ dan ‘constitutio’
itulah awal mula gagasan konstitusionalisme diekspresikan oleh umat manusia
beserta hubungan di antara kedua istilah tersebut dalam sejarah. Jika kedua
istilah tersebut dibandingkan, dapat dikatakan bahwa yang paling tua usianya
adalah kata ‘politeia’ yang berasal dari kebudayaan Yunani. Pengertian
konstitusi di zaman yunani kuno masih bersifat materiil, dalam arti belum berbentuk
seperti yang dimengerti zaman modern sekarang ini. Namun perbedaan antara
konstitusi dengan hukum biasa sudah tergambar dalam pembedaan yang dilakukan
oleh aristoteles terhadap pengertian politea dan nomoi.
Politea dapat disepadankan dengan pengertian konstitusi, sedangkan nomoi adalah
undang-undang biasa. Politea mengandung kekuasaan yang lebih tinggi dari nomoi
, karena politea mempunyai kekuasaan membentuk sedang nomoi tidak ada, karena
ia hanya merupakan materi yang harus dibentuk agar tidak berceri-berai.
(Asshidiqie,.2005:1).
Dalam
kebudayaan Yunani istilah konstitusi berhubungan erat dengan sebutan
”respublica constituere” yang melahirkan semboyan “prinsep legibus
solutus est, salus publica suprema lex”, (rajalah yang berhak menentukan
struktur organisasi negara, karena dialah satu-satunya pembuat undang-undang).
Konstitusi dalam kepustakaan belanda dipergunakan istilah “grondwet” (wet=
undang-undang, grond = dasar), yaitu berarti suatu undang-undang yang menjadi
dasar (grond) dari segala hukum. Indonesia menggunakan istilah Grondwet
menjadi Undang-Undang Dasar. (Nasution,.2004:2).
UUD “45 dirancang
sejak 29 mei 1945 oleh Badan Penyelidikan Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI )
yang diketuai oleh Radjiman Wedyodiningrat.[1]
Tugas utamanya adalah menyusun rancangan Undang-Undang sebagai salah satu
persiapan Untuk membentuk negara yang merdeka, namun anggota lembaga ini sibuk
mengusung ideologinya masing-masing ketika membicarakan masalah Ideologi negara
Akibatnya, pembahasan tentang rancangan UUD menjadi terbengkalai. Maka BPUPKI
dalam sidang pertamanya membentuki panitia kecil untuk merumuskan UUD yang
diberinama Panitia Sembilan. Dan pada tanggal 22 juni 1945 Panitia Sembilan ini
berhasil mencapai kompromi untuk menyetujui sebuah naskah mukhodimah UUD yang
kemudian diterima dalam sidang ke-2 BPUPKI tanggal 11 Julu 1945. Setelah itu
Ir. Soekarno membentuk panitia kecil pada tanggal 16 juli 1945 yang diketuai
oleh Soepomo dengan tugas menyusun rancangan UUD dan membentuk panitia
persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang beranggotakan 21 orang. Sehingga
UUD atau konstitusi Negara Indonesia ditetapkan oleh PPKI pada hari sabtu
tanggal 18 Agustus 1945, Pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bersidang pada tanggal 29 Agustus 1945. .
Dengan demikian sejak itu Indonesia telah menjadi suatu Negara modern karena
telah memiliki suatu system ketatanegaraan yaitu dalam UUD 1945
Setelah
Perang Dunia Kedua berakhir dengan kemenangan di pihak Tentara Sekutu dan
kekalahan di pihak Jepang, maka kepergian Pemerintah Balatentara Jepang dari
tanah air Indonesia dimanfaatkan oleh Pemerintah Belanda untuk kembali menjajah
Indonesia. Namun, usaha Pemerintah Belanda untuk kembali menanamkan pengaruhnya
tidak mudah karena mendapat perlawanan yang sengit dari para pejuang
kemerdekaan Indonesia. Karena itu, Pemerintah Belanda menerapkan politik adu
domba dengan cara mendirikan dan mensponsori berdirinya beberapa negara kecil
di berbagai wilayah nusantara, seperti Negara Sumatera, Negara Indonesia Timur,
Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, dan sebagainya. Dengan kekuasaan
negara-negara yang terpecah-pecah itu diharapkan pengaruh kekuasaan Republik
Indonesia di bawah kendali pemerintah hasil perjuangan kemerdekaan dapat
dieliminir oleh Pemerintah Belanda.
Sejalan
dengan hal itu, Tentara Belanda melakukan Agresi I pada tahun 1947 dan Agresi
II pada tahun1948 untuk maksud kembali menjajah Indonesia. Dalam keadaan
terdesak, maka atas pengaruh Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada tanggal 23
Agustus 1949 sampai dengan tanggal 2 November 1949 diadakan Konperensi Meja
Bundar (Round Table Conference) di Den Haag. Konperensi ini
dihadiri oleh wakil-wakil dari Republik Indonesia dan ‘Bijeenkomst voor
Federal Overleg’ (B.F.O.) serta wakil Nederland dan Komisi
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia.
Konperensi
Meja Bundar tersebut berhasil menyepakati tiga hal, yaitu:
1. Mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat.
2. Penyerahan kedaulatan kepada RIS
yang berisi 3 hal, yaitu (a) piagam penyerahan
kedaulatan dari Kerajaan Belanda lepada Pemerintah RIS; (b) status uni; dan (c)
persetujuan perpindahan.
3.
Mendirikan uni antara Republik Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda
Naskah
konstitusi Republik Indonesia Serikat disusun bersama oleh delegasi Republik
Indonesia dan delegasi BFO ke Konperensi Meja Bundar itu. Dalam delegasi
Republik Indonesia yang dipimpin oleh Mr. Mohammad Roem, terdapat Prof. Dr.
Soepomo yang terlibat dalam mempersiapkan naskah Undang-Undang Dasar tersebut.
Rancangan UUD itu disepakati bersama oleh kedua belah pihak untuk diberlakukan
sebagai Undang-Undang Dasar RIS. Naskah Undang- Undang Dasar yang kemudian
dikenal dengan sebutan Konstitusi RIS itu disampaikan kepada Komite Nasional
Pusat sebagai lembaga perwakilan rakyat di Republik Indonesia dan kemudian
resma mendapat persetujuan Komite Nasional Pusat tersebut pada tanggal 14
Desember 1949. Selanjutnya, Konstitusi RIS dinyatakan berlaku mulai tanggal 27
Desember 1949.
Dengan
berdirinya negara Republik Indonesia Serikat berdasarkan Konstitusi RIS Tahun
1949 itu, wilayah Republik Indonesia sendiri masih tetap ada di samping negara
federal Republik Indonesia Serikat. Karena, sesuai ketentuan Pasal 2 Konstitusi
RIS, Republik Indonesia diakui sebagai salah satu negara bagian dalam wilayah
Republik Indonesia Serikat, yaitu mencakup wilayah yang disebut dalam
persetujuan Renville. Dalam wilayah federal, berlaku Konstitusi RIS 1949,
tetapi dalam wilayah Republik Indonesia sebagai salah satu negara bagian tetap
berlaku UUD 1945. Dengan demikian, berlakunya UUD 1945 dalam sejarah awal
ketatanegaraan Indonesia, baru berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa
berlakunya Konstitusi RIS, yaitu tanggal 27 Agustus 1950, ketika UUDS 1950
resmi diberlakukan.
Konstitusi
RIS yang disusun dalam rangka Konperensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun
1949 itu, pada pokoknya juga dimaksudkan sebagai UUD yang bersifat sementara.
Disadari bahwa lembaga yang membuat dan menetapkan UUD itu tidaklah
representatif. Karena itu, dalam Pasal 186 Konstitusi RIS ini ditegaskan
ketentuan bahwa Konstituante bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya
menetapkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Dari ketentuan Pasal 186 ini,
jelas sekali artinya bahwa Konstitusi RIS 1949 yang ditetapkan di Den Haag itu
hanyalah bersifat sementara saja.
Bentuk
negara federal nampaknya memang mengandung banyak sekali nuansa politis,
berkenaan dengan kepentingan penjajahan Belanda. Karena itu, meskipun gagasan
bentuk negara federal mungkin saja memiliki relevansi sosiologis yang cukup
kuat untuk diterapkan di Indonesia, tetapi karena terkait dengan kepentingan
penjajahan Belanda itu maka ide feodalisme menjadi tidak populer. Apalagi,
sebagai negara yang baru terbentuk, pemerintahan Indonesia memang membutuhkan
tahap-tahap konsolidasi kekuasaan yang efektif sedemikian rupa sehingga bentuk
negara kesatuan dinilai jauh lebih cocok untuk diterapkan daripada bentuk
negara federal.
Karena itu,
bentuk negara federal RIS ini tidak bertahan lama. Dalam rangka konsolidasi
kekuasaan itu, mula-mula tiga wilayah negara bagian, yaitu Negara Republilk
Indonesia, Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur menggabungkan diri
menjadi satu wilayah Republik Indonesia. Sejak itu wibawa Pemerintah Republik
Indonesia Serikat menjadi berkurang, sehingga akhirnya dicapailah kata sepakat
antara Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan Pemerintah Republik Indonesia
untuk kembali bersatu mendirikan negara kesatuan Republik Indonesia.
Kesepakatan itu dituangkan dalam satu naskah persetujuan bersama pada tanggal
19 Mei 1950, yang pada intinya menyepakati dibentuknya kembali NKRI sebagai
kelanjutan dari negara kesatuan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus
1945.
Dalam rangka
persiapan ke arah itu, maka untuk keperluan menyiapkan satu naskah Undang-Undang
Dasar, dibentuklah statu Panitia bersama yang akan menyusun rancangannya.
Setelah selesai, rancangan naskah Undang-Undang Dasar itu kemudian disahkan
oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat pada tanggal 12 Agustus 1950, dan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat Republik Indonesia Serikat pada tanggal 14
Agustus 1950. Selanjutnya, naskah UUD baru ini diberlakukan secara resmi mulai
tanggal 17 Agustus, 1950, yaitu dengan ditetapkannya UU No.7 Tahun 1950. UUDS
1950 ini bersifat mengganti sehingga isinya tidak hanyamencerminkan perubahan
terhadap Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949, tetapi menggantikan
naskah Konstitusi RIS itu dengan naskah baru sama sekali dengan nama
Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.
Seperti
halnya Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950 ini juga bersifat sementara. Hal ini
terlihat jelas dalam rumusan Pasal 134 yang mengharuskan Konstituante
bersama-sama dengan Pemerintah segera menyusun Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 itu.
Akan tetapi, berbeda dari Konstitusi RIS yang tidak sempat membentuk
Konstituante sebagaimana diamanatkan di dalamnya, amanat UUDS 1950 telah
dilaksanakan sedemikian rupa, sehingga pemilihan umum berhasil diselenggarakan
pada bulan Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante. Pemilihan Umum ini
diadakan berdasarkan ketentuan UU No. 7 Tahun 1953. Undang-Undang ini berisi
dua pasal. Pertama berisi ketentuan perubahan Konstitusi RIS
menjadi UUDS 1950; Kedua berisi ketentuan mengenai tanggal
mulai berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 itu menggantikan
Konstitusi RIS, yaitu tanggal 17 Agustus 1950. Atas dasar UU inilah diadakan
Pemilu tahun 1955, yang menghasilkan terbentuknya Konstituante yang diresmikan
di kota Bandung pada tanggal 10 November 1956.
Majelis
Konstituante ini tidak atau belum sampai berhasil menyelesaikan tugasnya untuk
menyusun Undang-Undang Dasar baru ketika Presiden Soekarno berkesimpulan bahwa
Konstituante telah gagal, dan atas dasar itu ia mengeluarkan Dekrit tanggal 5
Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai UUD negara Republik
Indonesia selanjutnya. Menurut Adnan Buyung Nasution dalam disertasi yang
dipertahankannya di negeri Belanda, Konstituante ketika itu sedang reses, dan
karena itu tidak dapat dikatakan gagal sehingga dijadikan alasan oleh Presiden
untuk mengeluarkan dekrit. Namun demikian, nyatanya sejarah ketatanegaraan
Indonesia telah berlangsung sedemikian rupa, sehingga Dekrit Presiden tanggal 5
Juli 1959 itu telah menjadi kenyataan sejarah dan kekuatannya telah
memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai UUD negara Republik Indonesia sejak
tanggal 5 Juli 1959 sampai dengan sekarang.
Memang
kemudian timbul kontroversi yang luas berkenaan dengan status hukum berlakunya
Dekrit Presiden yang dituangkan dalam bentuk Keputusan Presiden itu sebagai
tindakan hukum yang sah untuk memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945.
Profesor Djoko Soetono memberikan pembenaran dengan mengaitkan dasar hukum
Dekrit Presiden yang diberi baju hukum dalam bentuk Keputusan Presiden itu
dengan prinsip ‘staatsnoodrecht’. Menurut Moh. Kusnardi dan
Harmaily Ibrahim (1983) prinsip ‘staatsnoodrecht’ itu
pada pokoknya sama dengan pendapat yang dijadikan landasan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara masa Orde Baru untuk menetapkan Ketetapan MPR
No. XX/MPRS/1966. Adanya istilah Orde Baru itu saja menggambarkan pendirian
MPRS bahwa masa antara tahun 1959 sampai tahun 1965 adalah masa Orde Lama yang
dinilai tidak mencerminkan pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Oleh karena itu, MPRS mengeluarkan TAP No.XX/MPRS/1966 tersebut dengan asumsi
bahwa perubahan drastis perlu dilakukan karena adanya prinsip yang sama, yaitu
keadaan darurat (staatsnoodrecht).
Terlepas
dari kontroversi itu, yang jelas, sejak Dekrit 5 Juli 1959 sampai sekarang, UUD
1945 terus berlaku dan diberlakukan sebagai hukum dasar. Sifatnya masih tetap
sebagai UUD sementara. Akan tetapi, karena konsolidasi kekuasaan yang makin
lama makin terpusat di masa Orde Baru, dan siklus kekuasaan mengalami stagnasi
yang statis karena pucuk pimpinan pemerintahan tidak mengalami pergantian
selama 32 tahun, akibatnya UUD 1945 mengalami proses sakralisasi yang
irrasional selama kurun masa Orde Baru itu. UUD 1945 tidak diizinkan
bersentuhan dengan ide perubahan sama sekali. Padahal, UUD 1945 itu jelas
merupakan UUD yang masih bersifat sementara dan belum pernah dipergunakan atau
diterapkan dengan sungguh-sungguh. Satu-satunya kesempatan untuk menerapkan UUD
1945 itu secara relatif lebih murni dan konsekuen hanyalah di masa Orde baru
selama 32 tahun. Itupun berakibat terjadinya stagnasi atas dinamika kekuasaan.
Siklus kekuasaan berhenti, menyebabkan Presiden Soeharto seakan terpenjara
dalam kekuasaan yang dimilikinya, makin lama makin mempribadi secara tidak rasional.
Itulah akibat dari diterapkannya UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Perubahan
UUD 1945 merupakan salah satu tuntutan yang paling mendasar dari gerakan
reformasi yang berujung pada runtuhnya kekuasaan Orde Baru pada tahun 1998. Hal
ini menunjukkan bahwa masyarakat tidak lagi melihat faktor penyebab otoritarian
Orde Baru hanya pada manusia sebagai pelakunya, tetapi karena kelemahan sistem
hukum dan ketatanegaraan. Kelemahan dan ketidaksempurnaan konstitusi sebagai
hasil karya manusia adalah suatu hal yang pasti. Kelemahan dan
ketidaksempurnaan UUD 1945 bahkan telah dinyatakan oleh Soekarno pada rapat
pertama PPKI tanggal 18 Agustus 1945. (Asshidiqie,. 2005:5)
Gagasan
perubahan UUD 1945 menemukan momentumnya di era reformasi. Pada awal masa
reformasi, Presiden membentuk Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani
yang didalamnya terdapat Kelompok Reformasi Hukum dan Perundang-Undangan.
Kelompok tersebut menghasilkan pokok-pokok usulan amandemen UUD 1945 yang perlu
dilakukan mengingat kelemahan-kelemahan dan kekosongan dalam UUD 1945. Gagasan
perubahan UUD 1945 menjadi kenyataan dengan dilakukannya perubahan UUD 1945
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pada Sidang Tahunan MPR 1999,
seluruh fraksi di MPR membuat kesepakatan tentang arah perubahan UUD 1945
yaitu:[2]
1.
sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945;
2.
sepakat untuk mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3. sepakat untuk mempertahankan sistem presidensiil
(dalam pengertian sekaligus menyempurnakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri
umum sistem presidensiil);
4. sepakat untuk
memindahkan hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam
pasal-pasal UUD 1945; dan
5. sepakat untuk
menempuh cara adendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945.
Perubahan
UUD 1945 kemudian dilakukan secara bertahap dan menjadi salah satu agenda
Sidang Tahunan MPR [11] dari
tahun 1999 hingga perubahan keempat pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002
bersamaan dengan kesepakatan dibentuknya Komisi Konstitusi yang bertugas
melakukan pengkajian secara komprehensif tentang perubahan UUD 1945 berdasarkan
Ketetapan MPR No. I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi.
Perubahan
Pertama pada tahun 1999, Perubahan Kedua pada tahun 2000, Perubahan Ketiga pada
tahun 2001, dan Perubahan Keempat pada tahun 2002. Dalam empat kali perubahan
itu, materi UUD 1945 yang asli telah mengalami perubahan besar-besaran dan
dengan perubahan materi yang dapat dikatakan sangat mendasar. Secara
substantif, perubahan yang telah terjadi atas UUD 1945 telah menjadikan
konstitusi proklamasi itu menjadi konstitusi yang baru sama sekali, meskipun
tetap dinamakan sebagai Undang-Undang Dasar 1945.
Perubahan
Pertama UUD 1945 disahkan dalam Sidang Umum MPR-RI yang diselenggarakan antara
tanggal 12 sampai dengan tanggal 19 Oktober 1999. Pengesahan naskah Perubahan
Pertama itu tepatnya dilakukan pada tanggal 19 Oktober 1999 yang dapat disebut
sebagai tonggak sejarah yang berhasil mematahkan semangat konservatisme dan
romantisme di sebagian kalangan masyarakat yang cenderung menyakralkan atau
menjadikan UUD 1945 bagaikan sesuatu yang suci dan tidak boleh disentuh oleh
ide perubahan sama sekali. Perubahan Pertama ini mencakup perubahan atas 9
pasal UUD 1945, yaitu atas Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9 ayat (1) dan ayat
(2), Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 15,
Pasal 17 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20 ayat (1) sampai dengan ayat (4), dan
Pasal 21. Kesembilan pasal yang mengalami perubahan atau penambahan tersebut
seluruhnya berisi 16 ayat atau dapat disebut ekuivalen dengan 16 butir
ketentuan dasar.
Gelombang
perubahan atas naskah UUD 1945 terus berlanjut, sehingga dalam Sidang Tahunan
pada tahun 2000, MPR-RI sekali lagi menetapkan Perubahan Kedua yaitu pada
tanggal 18 Agustus 2000. Cakupan materi yang diubah pada naskah Perubahan Kedua
ini lebih luas dan lebih banyak lagi, yaitu mencakup 27 pasal yang tersebar
dalam 7 bab, yaitu Bab VI tentang Pemerintah Daerah, Bab VII tentang Dewan
Perwakilan Rakyat, Bab IXA tentang Wilayah Negara, Bab X tentang Warga Negara
dan Penduduk, Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, Bab XII tentang Pertahanan dan
Keamanan Negara, dan Bab XV tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta
Lagu Kebangsaan. Jika ke-27 pasal tersebut dirinci jumlah ayat atau butir
ketentuan yang diaturnya, maka isinya mencakup 59 butir ketentuan yang
mengalami perubahan atau bertambah dengan rumusan ketentuan baru sama sekali.
Setelah itu,
agenda perubahan dilanjutkan lagi dalam Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2001 yang
berhasil menetapkan naskah Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tanggal 9 November
2001. Bab-bab UUD 1945 yang mengalami perubahan dalam naskah Perubahan Ketiga
ini adalah Bab I tentang Bentuk dan Kedaulatan, Bab II tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, Bab V
tentang Kementerian Negara, Bab VIIA tentang Dewan Perwakilan Daerah, Bab VIIB tentang
Pemilihan Umum, dan Bab VIIIA tentang Badan Pemeriksa Keuangan. Seluruhnya
terdiri atas 7 bab, 23 pasal, dan 68 butir ketentuan atau ayat. Dari segi
jumlahnya dapat dikatakan naskah Perubahan Ketiga ini memang paling luas
cakupan materinya. Tapi di samping itu, substansi yang diaturnya juga sebagian
besar sangat mendasar. Materi yang tergolong sukar mendapat kesepakatan
cenderung ditunda pembahasannya dalam sidang-sidang terdahulu. Karena itu,
selain secara kuantitatif materi Perubahan Ketiga ini lebih banyak muatannya,
juga dari segi isinya, secara kualitatif materi Perubahan Ketiga ini dapat
dikatakan Sangay mendasar pula.
Perubahan
yang terakhir dalam rangkaian gelombang reformasi nasional sejak tahun 1998
sampai tahun 2002, adalah perubahan yang ditetapkan dalam Sidang Tahunan MPR-RI
tahun 2002. Pengesahan naskah Perubahan Keempat ditetapkan pada tanggal 10
Agustus 2002. Dalam naskah Perubahan Keempat ini, ditetapkan bahwa (a)
Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah
diubah dengan perubahan pertama, kedua, ketiga, dan perubahan keempat ini
adalah Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan
pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden
pada tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli
1959 oleh Dewan Perwakilan Rakyat; (b) Penambahan bagian akhir pada Perubahan
Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dengan kalimat
“Perubahan tersebut diputuskan dalam Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia ke-9 tanggal 18 Agustus 2000 Sidang Tahunan Majelis
permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dan mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan”; (c) pengubahan penomoran Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) Perubahan
Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi Pasal 3
ayat (2) dan (3); Pasal 25E Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menjadi Pasal 25A; (d) penghapusan judul Bab IV tentang
Dewan Pertimbangan Agung dan pengubahan substansi Pasal 16 serta penempatannya
ke dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan negara; (e) pengubahan dan/atau
penambahan Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3), Pasal 11 ayat
(1); Pasal 16; Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 ayat (3); Bab XIII, Pasal 31 ayat
(1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 32 ayat (1) dan ayat
(2); Bab XIV, Pasal 33 ayat (4) dan ayat (5); Pasal 34 ayat (1), ayat (2), ayat
(3) dan ayat (4); Pasal 37 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat
(5); Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III; Aturan Tambahan Pasal I dan II
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Secara
keseluruhan naskah Perubahan Keempat UUD 1945 mencakup 19 pasal, termasuk satu
pasal yang dihapus dari naskah UUD. Ke-19 pasal tersebut terdiri atas 31
butir ketentuan yang mengalami perubahan, ditambah 1 butir yang dihapuskan dari
naskah UUD. Paradigma pemikiran atau pokok-pokok pikiran yang terkandungdalam
rumusan pasal-pasal UUD 1945 setelah mengalami empat kali perubahan itu
benar-benar berbeda dari pokok pikiran yang terkandung dalam naskah asli ketika
UUD 1945 pertama kali disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Bahkan dalam Pasal
II Aturan Tambahan Perubahan Keempat UUD 1945 ditegaskan, “Dengan ditetapkannya
perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal”. Dengan demikian,
jelaslah bahwa sejak tanggal 10 Agustus 2002, status Penjelasan UUD 1945 yang
selama ini dijadikan lampiran tak terpisahkan dari naskah UUD 1945, tidak lagi
diakui sebagai bagian dari naskah UUD. Jikapun isi Penjelasan itu dibandingkan
dengan isi UUD 1945 setelah empat kali berubah, jelas satu sama lain sudah
tidak lagi bersesuaian, karena pokok pikiran yang terkandung di dalam keempat
naskah perubahan itu sama sekali berbeda dari apa yang tercantum dalam
Penjelasan UUD 1945 tersebut.
Kesimpulan
Konstitusi adalah instrument wajib yang
harus dimiliki oleh suatu Negara, tanpa Konstitusi Negara tidak akan berjalan
dengan baik, karena arah dari perjalanan suatu Negara ditentukan oleh
Konstitusi itu sendiri. Meskipun para ilmuan memiliki banyak definisi tentang
Konstitusi namun, secara umum Konstitusi adalah ketentuan-ketentuan yang
mengatur suatu Negara baik dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis.
Dari uraian
di atas, dapat diketahui bahwa dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia merdeka,
telah tercatat beberapa upaya (a) pembentukan Undang-Undang Dasar, (b)
penggantian Undang-Undang Dasar, dan (c) perubahan dalam arti pembaruan
Undang-Undang Dasar. Pada tahun 1945, Undang-Undang Dasar 1945 dibentuk atau
disusun oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai hukum dasar bagi Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang kemerdekaannya diproklamasikan pada tanggal 17
Agustus 1945.
Pada tahun
1949, ketika bentuk Negara Republik Indonesia diubah menjadi Negara Serikat
(Federasi), diadakan penggantian konstitusi dari Undang-Undang Dasar 1945 ke
Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949. Demikian pula pada tahun
1950, ketika bentuk Negara Indonesia diubah lagi dari bentuk Negara Serikat
menjadi Negara Kesatuan, Konstitusi RIS 1949 diganti dengan Undang-Undang Dasar
Sementara Tahun 1950. Setelah itu, mulailah diadakan usaha untuk menyusun
Undang- Undang Dasar baru sama sekali dengan dibentuknya lembaga Konstituante
yang secara khusus ditugaskan untuk menyusun konstitusi baru. Setelah
Konstituante terbentuk, diadakanlah persidangan-persidangan yang sangat
melelahkan mulai tahun 1956 sampai tahun 1959, dengan maksud menyusun
Undang-Undang Dasar yang bersifat tetap. Akan tetapi, sejarah mencatat bahwa
usaha ini gagal diselesaikan, sehingga pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno
mengeluarkan keputusannya yang dikenal dengan sebutan Dekrit Presiden 5 Juli
1959 yang isinya antara lain membubarkan Konstituante dan menetapkan berlakunya
kembali Undang-Undang Dasar 1945 menjadi hukum dasar dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Perubahan
dari Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 ke Undang-Undang Dasar 1945 ini
tidak ubahnya bagaikan tindakan penggantian Undang-Undang Dasar juga. Karena
itu, sampai dengan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 itu, dalam
sejarah ketatanegaraan Indonesia modern belum pernah terjadi perubahan dalam
arti pembaruan Undang-Undang Dasar, melainkan baru perubahan dalam arti
pembentukan, penyusunan, dan penggantian Undang-Undang Dasar. Sementara
perubahan UUD 1945 dalam arti pembaharuan Undang-Undang Dasar, baru terjadi
pada era reformasi pada tahun 1998, yaitu setelah Presiden Soeharto berhenti
dan digantikan oleh Presiden Prof. Dr. Ir. Bacharuddin Jusuf Habibie.
UUD Republik
Indonesia Tahun 1945 sebagaimana terakhir diubah pada tahun 1999, 2000, 2001
sampai tahun 2002 merupakan satu kesatuan rangkaian perumusan hukum dasar
Indonesia di masa depan dalam satu naskah Undang-Undang Dasar yang mencakupi
keseluruhan Hukum Dasar yang sistematis dan terpadu secara lebih utuh. Semula
materi muatan naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, setelah perubahan
menjadi 199 butir ketentuan yang isinya mencakup dasar-dasar normative yang
berfungsi sebagai sarana pengendali (tool of social and political control)
terhadap penyimpangan dan penyelewengan dalam dinamika perkembangan zaman dan
sekaligus sarana pembaruan masyarakat (tool of social and political reform)
serta sarana perekayasaan (tool of social and political engineering) ke
arah cita-cita kolektif bangsa.
Meskipun
perubahan-perubahan UUD 1945 tersebut, meliputi hampir keseluruhan materi UUD
1945. Namun sesuai dengan kesepakatan MPR yang kemudian menjadi lampiran dari
Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999, Pembukaan UUD 1945 tidak akan diubah. Pembukaan
UUD 1945 memuat cita-cita bersama sebagai puncak abstraksi yang mencerminkan
kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat yang dalam
kenyataannya harus hidup di tengah pluralisme atau kemajemukan. Pembukaan UUD
1945 juga memuat tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang biasa juga disebut
sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita negara) yang
berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common
platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga
masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara. Inilah yang oleh William G.
Andrews disebut sebagai Kesepakatan (consensus) pertama.
Pancasila
sebagai dasar-dasar filosofis terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 yang merupakan
kesepakatan pertama penyangga konstitusionalisme. Dengan tidak diubahnya
Pembukaan UUD 1945, maka tidak berubah pula kedudukan Pancasila sebagai
dasar-dasar filosofis bangunan Negara Republik Indonesia. Yang berubah adalah
sistem dan institusi untuk mewujudkan cita-cita berdasarkan nilai-nilai
Pancasila. Hal ini sesuai dengan makna Pancasila sebagai ideologi terbuka yang
hanya dapat dijalankan dalam sistem yang demokratis dan bersentuhan dengan
nilai-nilai dan perkembangan masyarakat.
Referensi
·
Asshidiqie, Jimly. 2005. Konstitusi &
Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta : Konstitusi Press.
·
Nasution, Mirza. 2004. Negara dan Kostitusi. Medan: Fakultas Hukum
Universitas Sumatra Utara : USU Digital Library.
·
Kusnardi, Moh. & Ibrahim, Harmaily. Pengantar
Hukum Tata Negara Indonesia. 1983. Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata Negara,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Numpang Lapak ya gan..
BalasHapusAGEN POKER ONLINE TERPERCAYA DAN TERBESAR DI INDONESIA,BONUS JACPOTNYA TERBESAR
Domino Online
Judi Domino
Agen Judi Terpercaya
Domino Online Indonesia
Agen Poker Online