Pada masa abad 18 dan awal 19, secara umum di Jawa dikenal
3 kelas
penguasaan tanah , yaitu:
(1) Kelompok besar petani tuna-kisma yang kadangkala
berlindung pada
keluarga-keluarga petani yang memiliki tanah, namun juga
sering
merupakan kelompok tenaga kerja musiman yang tidak terikat
dan cukup
mobil. Secara kuantitas jumlah petani tuna-kisma ini cukup
besar dan
menjadi kelompok inti kegiatan pertanian.
(2) Kelompok mayoritas petani (sikep atau kuli) yang
memiliki hak atas tanah,
dan untuk hak tersebut berkewajiban membayar pajak dan
upeti yang
besar jumlahnya kepada pihak kerajaan.
(3) Kelas pamong desa yang selain menguasai tanah pribadi,
juga berhak
menguasai sejumlah besar tanah desa sebagai upah mereka
dalam
mengatur pemerintahan (lungguh dan tanah bengkok),
ditambah lagi hak
memperkejakan sikep atau kuli untuk mengarap tanah mereka
tersebut
tanpa membayar upah.
Menurut Breman, ada empat lapisan
dalam masyarakat desa, yaitu:
(1) Penguasa desa dan orang-orang penting lokal yang tidak
pernah menggarap
tanah secara langsung namun mendapat hak apanage atau
lungguh dari
raja. Mereka berada pada lapisan paling atas dan dihormati
oleh warga lain.
Biasanya mereka adalah dari keluarga pembuka wilayah
tersebut pertama
kali, atau dari keluarga kerajaan.
(2) Masyarakat tani (sikep) sebagai bagian inti
masyarakat. Secara kuantitas
jumlah mereka paling besar dibanding yang lain.
(3) Para wuwungan (=penumpang) yang hidup sebagai buruh
tani, dan
membangun rumah di pekarangan sikep karena tidak punya
tanah sendiri.
Mereka adalah petani tuna-kisma.
(4)
Para bujang, yaitu mereka yang belum keluarga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar