Berbicara tentang perkembangan kota dengan berbagai permasalahannya, tidak
akan lengkap tanpa menyentuh konsep ”urbanisasi”. Hal ini terutama disebabkan
oleh karena konsep urbanisasi itu sendiri secara definitif memang berkenaan
dengan proses pengkotaan suatu daerah. Ada
bebarapa arti ”urbanisasi” yang diberikan oleh para ahli. Misalnya P. J. M. Nas
berpendapat bahwa, urbanisasi adalah proses yang digerakkan oleh
perubahan-perubahan struktural dalam masyarakat, sehingga daerah-daerah yang
dulu merupakan daerah pedesaan dengan struktur mata pencaharian agraris maupun
sifat masyarakatnya, lambat-laun atau melalui proses yang mendadak, memperoleh
sifat kehidupan kota .
Urbanisasi juga berarti ”gejala perluasan pengaruh kota ke pedesaan, baik dilihat dari sudut
morfologi, ekonomi, sosial maupun psikologi”. Konsep urbanisasi juga mencakup
pertumbuhan suatu pemukiman menjadi kota (desa
menjadi kota ), perpindahan penduduk ke kota (dalam berbagai bentuk seperti migrasi mutlak,
ulang-alik), atau kenaikan prosentase penduduk yang tinggal di kota .
Seperti diketahui, istilah urbanisasi dalam garis
besarnya memiliki dua pengertian. Pertama,
urbanisasi berarti proses pengkotaan, yakni proses mengembang atau mengkotanya
suatu daerah (desa). Kedua,
urbanisasi berarti perpindahan atau pergeseran penduduk dari desa ke kota (urbanward migration). Ditinjau dari segi perkembangan kota itu sendiri, dua
pengertian urbanisasi tersebut meskipun berbeda, tetapi keduanya masih dalam
lingkup yang sama. Urbanisasi dalam arti proses pengkotaan lebih menekankan
perhatiannya pada proses perkembangan masyarakatnya. Sedangkan konsep
urbanisasi dalam arti perpindahan penduduk
lebih memperhatikan proses pergeseran penduduknya, yang sebenarnya juga merupakan
akibat perkembangan kota
itu sendiri.
Dari dua pengertian di atas, yang lebih populer
dan banyak dimengerti oleh umum adalah urbanisasi dalam arti pergeseran
penduduk (perpindahan penduduk) dari desa ke kota . Oleh karena itu, terdapat pula kecenderungan
kalau orang membicarakan masalah urbanisasi, maka yang dimaksud adalah
masalah-masalah terlalu banyaknya penduduk desa usia produktif yang tersedot ke
kota, terlalu sedikitnya lapangan pekerjaan yang tersedia bagi para urbanisan,
masalah sosial yang timbul akibat belum siapnya orang desa menerima dan hidup
berdasarkan kebudayaan kota, masalah perumahan sebagai akibat padatnya penduduk
kota, dan lain sebagainya. Pengertian urbanisasi dalam arti pertama, yakni
proses pengkotaan, tidak sepopuler pengertian urbanisasi yang kedua.
Urbanward Migration
Analisa umum mengenai sebab mengalirnya penduduk
dari desa ke kota , sering dikaitkan dengan besar
kecilnya perbedaan antara kota
dan desa. Perkembangan kota setelah terjadinya
Revolusi Industri, di mana semakin meluasnya dan mendalamnya penggunaan
teknologi modern dalam kehidupan manusia, menyebabkan semakin melebarnya jurang
perbedaan antara desa dan kota .
Kehidupan kota yang jauh lebih baik serta
banyaknya kesempatan kerja yang bisa didapat, mengundang penduduk desa untuk
datang ke kota , maka tidak tercegah lagi bahwa
sejalan dengan semakin melebarnya jurang perbedaan desa – kota
itu, semakin membesar pula arus perpindahan penduduk dari desa ke kota . Gejala semacam ini berkurang dengan
sendirinya tatkala jurang perbedaan antara desa dan kota menjadi mengecil. Semakin meluasnya
jaringan komunikasi dan transportasi antara kota
yang satu dan lainnya, sehingga banyak desa yang masuk jaringan itu, adalah
merupakan faktor yang menyebabkan semakin mengecilnya perbedaan antara kota dan desa. Lebih-lebih
setelah terjadi desentralisasi industri, yakni penyebaran lokasi-lokasi
industri ke luar kota .
Dalam analisa tersebut, meskipun tidak secara
tegas dinyatakan, tetapi secara implisit telah tercakup pengertian bahwa berkembangnya
kota-kota dengan segala kemudahan-kemudahan yang tersedia bagi hidup, telah
mendorong orang-orang desa untuk bergerak ke kota . Akan tetapi di lain pihak, tidak pula
dapat disangkal bahwa perkembangan kota-kota itu sendiri secara obyektif memang
memerlukan aglomerasi penduduk. Aglomerasi penduduk diperlukan bukan sekedar
untuk memenuhi tenaga-tenaga kerja yang dibutuhkan oleh industri di kota , tetapi lebih dari itu hakekatnya eksistensi suatu kota akan tergantung
kepada ”suatu volume penduduk tertentu”. Dan tuntutan obyektif terhadap volume
penduduk tertentu ini tidak akan terpenuhi hanya sekedar mengandalkan kepada
perkembangan natural penduduk setempat. Dengan kata lain, untuk eksistensi
suatu kota serta perkembangannya, suatu kota selalu memerlukan
penduduk dari luar, yakni dalam hal ini para urbanisor.
Eratnya kaitan antara arus urbanisasi dan
perkembangan kota
terlihat lebih jelas, terutama lewat gambaran-gambaran tentang perkembangan
negara-negara industri. Dengan melihat beberapa pengamatan empiris dari waktu
ke waktu, maka terlihatlah eratnya kaitan antara arus urbanisasi dengan
perkembangan kota
itu. Memang dari catatan statistik sulit ditentukan mana yang merupakan sebab
dan mana yang akibat : apakah menurunnya arus urbanisasi yang menjadi biang
keladi menurunnya perkembangan kota
atau sebaliknya. Tetapi yang jelas adalah kenyataan bahwa, terdapat hubungan
erat antara besar kecilnya arus urbanisasi dan tinggi-rendahnya perkembangan kota .
Urbanisasi (Proses
Pengkotaan)
Urbanisasi dalam arti proses pengkotaan bukanlah
terutama menekankan sifat fisiknya, melainkan lebih kepada sifat yang sosial
dan kultural. Dalam hal ini GIST dan FAVA juga menekankan hal yang sama,
yakni bahwa pengertian urbanisasi tidaklah jauh dari konsep-konsep akulturasi,
difusi, asimilasi, dan bahkan amalgamasi (kawin campur antar suku). Dalam
pengertian ini sekalipun suatu daerah/lingkungan, baik secara geografi maupun
berdasarkan ketentuan pemerintah masih termasuk kategori belum atau bukan kota , tetapi kalau
orasng-orangnya telah mulai menempuh cara-cara hidup ke kota-kotaan, maka
berarti bahwa lingkungan tersebut (telah) mengalami proses urbanisasi.
Kedekatan konsep urbanisasi dengan akulturasi
adalah sehubungan dengan kenyataan bahwa, proses urbanisasi menunjukkan dominasi
(kebudayaan) kota
terhadap desa. Sebagaimana diketahui, akulturasi berarti leburnya dua pola
kebudayaan menjadi satu, tetapi dengan pengertian bahwa pola kebudayaan yang
satu lebih dominan daripada dan ”menelan” yang lain itu. Sudah barang tentu tidak
dapat dilihat dalam kenyataan bahwa pola kebudayaan yang satu sepenuhnya atau
secara mutlak mendominasi pola kebudayaan yang lain. Bagaimanapun rendahnya
posisi kebudayaan desa dalam kontaknya dengan kebudayaan kota
itu, namun masih harus diperhitungkan pula pengaruhnya terhadap percampuran
antara dua pola kebudayaan itu (kota
dan desa). Oleh karena itu akan lebih tepat menggunakan konsep difusi atau
penyebaran kebudayaan kota , yang sekalipun tetap
menunjuk kepada dominasi kebudayaan kota
tetapi tidaklah selalu akulturatif. Dalam derajat tertentu juga asimilatif.
Seperti diketahui, asimilasi adalah proses terleburnya dua pola kebudayaan
dalam bentuk synthese antara dua kebudayaan itu. Berbeda dengan akulturasi,
pengertian asimilasi tidak menunjuk kepada dominasi pola kebudayaan yang satu
terhadap yang lain. Dengan
perkataan lain, konsep difusi di sini mencakup baik akulturasi maupun
asimilasi.
Proses urbanisasi tidak hanya merupakan proses difusi
kebudayaan kota terhadap desa, tetapi juga terhadap masyarakat kota itu
sendiri. Yang terakhir ini berkaitan dengan kenyataan bahwa, bahkan di
kota-kota besar sekalipun, sering kali masih terdapat ”desa-desa” di dalamnya.
Menurut GIST dan FAVA, gejala terdapatnya ”desa-desa dalam kota” itu lebih terlihat
jelas dalam negara-negara berkembang. Di kota-kota negara berkembang banyak
terdapat ”kantong-kantong” tempat tinggal orang-orang sesama kerabat. Menurut HOSELITZ,
para urbanisasi di negara-negara berkembang tinggal di tempat-tempat yang
mereka rasa asing selama di kota, dan hal ini semakin menambah tekanan psikis.
Akibatnya, mereka membutuhkan teman-teman yang berasal dari kerabat, desa atau
daerah yang sama. Ia bekerja dengan orang-orang seasal dan sekerabat. Akibat
lebih lanjut, mereka tidak dapat melepaskan diri dari pola kehidupan desa
tempat asal mereka.
Oleh berlalunya waktu dan sejalan dengan irama
perkembangan kota itu sendiri, ”desa-desa dalam kota” itu akan tersapu oleh
urbanisasi. Semakin cepat irama perkembangan suatu kota, akan semakin cepat
pula memudar atau lenyapnya ”desa-desa dalam kota” tersebut.
Urbanisasi dalam arti penyebaran kebudayaan tersebut
bukan saja terjadi dalam masyarakat kota itu sendiri (intra society), atau dari kota terhadap desa, tetapi juga antar
kota dan bahkan meluas keluar batas-batas negara. Sekalipun urbanisasi bersifat
sosial-kultural, namun tidak terlepas pula dari hal-hal yang bersifat fisik.
Proses penyebaran kebudayaan memerlukan terjadinya kontak antara pihak penerima
dan pemberi. Antara pihak penerima dan pihak pemberi sering dipisahkan oleh
jarak fisik yang jauh. Oleh karena itu, untuk terjadinya kontak diperlukan
sarana, yakni sarana komunikasi, khususnya transportasi.
Sementera itu, sekalipun komunikasi dan transportasi
merupakan faktor yang sangat penting bagi proses urbanisasi, tetapi bukanlah
merupakan satu-satunya faktor. Sejauh mana suatu masyarakat mau menerima
kebudayaan baru, juga merupakan faktor yang sangat penting dalam proses
urbanisasi. Dalam hal ini, terdapat sejumlah masyarakat yang cenderung bertahan
pada tradisi atau kebudayaan sendiri. Menurut GIST dan FAVA,
kelompok-kelompok masyarakat yang kuat keagamaannya umumnya cenderung bersifat
demikian.
Di negara-negara sedang berkembang, banyak didapati
gejala-gejala resistensi terhadap program-program pembangunan. Dalam hal ini
program pembangunan dipandang parsial dengan proses urbanisasi. Dalam pada itu,
eratnya kaitan antara proses urbanisasi dan sarana komunikasi dan transportasi
modern telah menyebabkan terjadinya dua gejala penting bagi kehidupan masyarakat.
Pertama, adalah gejala peleburan
kesatuan-kesatuan komunitas kecil menjadi kesatuan komunitas yang lebih besar. Kedua, adalah gejala per – massa – an
masyarakat sebagai ciri kebudayaan modern. Gejala pertama timbul oleh karena
daerah-daerah atau lingkungan-lingkungan masyarakat yang tadinya tertutup,
terisolasi baik secara geografik maupun sosial-kultural, sejalan dengan semakin
meluasnya jaringan komunikasi dan transportasi, menjadi terbuka. Terbuka untuk
masuknya pengaruh-pengaruh luar, khususnya pengaruh kebudayaan kota.
Tertembusnya daerah-daerah terisolasi yang disertai oleh penyebaran kebudayaan
kota, pada gilirannya akan melahirkan suatu kesatuan masyarakat yang lebih
besar, yang bukan saja diikat oleh sistem kebudayaan yang sama, tetapi juga oleh
jaringan sistem sosial-ekonomi, politik, dan lainnya.
Dalam
pada itu, gejala per – massa – an masyarakat terjadi oleh karena dengan melalui
sarana komunikasi dan transportasi modern, maka dimungkinkan
terdistribusikannya pelbagai jenis informasi secara meluas dan serentak,
diterima oleh segala lapisan masyarakat lepas dari perbedaan kekayaan,
pendidikan, tingkat sosial serta segi-segi lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar