Studi hukum dalam perspektif ilmu sosial
merupakan sebuah ikhtiar melakukan konstuksi hukum yang didasarkan pada
fenomena sosial yang ada. Prilaku masyarakat yang dikaji adalah prilaku yang
timbul akibat berinteraksi dengan sistem norma yang ada. Interaksi itu muncul
sebagai bentuk reaksi masyarakat atas diterapkannya sebuah ketentuan
perundang-undangan positif dan bisa pula dilihat prilaku masyarakat sebagai
bentuk aksi dalam memengaruhi pembentukan sebuah ketentuan hukum positif.
Contoh yang dapat digambarkan dalam model studi hukum dalam perspektif sosial
adalah misalnya studi tentang hukum pertanahan tentang pengadaan tanah untuk
kepentingan umum. Kita bisa mulai dari aturan perundang-undangan yang berlaku
yang mengatur masalah pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Apakah ada
ketidaksesuaian antara peraturan perundangan dengan kondisi masyarakat,
sehingga menimbulkan konflik ketika pemrintah melakuakan pembebasan tanah dan
seterusnya.
Dengan demikian, kajian sosiologi hukum
adalah suatu kajian yang objeknya fenomena hukum, tetapi menggunakan optik ilmu
sosial dan teori-teori sosiologis, sehingga sering disalahtafsirkan bukan hanya
oleh kalangan non hukum, tetapi juga dari kalangan hukum sendiri. Yang pasti
Kajian yang digunakan dalam kajian sosiologi hukum berbeda dengan Kajian yang
digunakan oleh Ilmu Hukum seperti Ilmu Hukum Pidana, Ilmu Hukum Perdata, Ilmu
Hukum Acara, dan seterusnya. Persamaannya hanyalah bahwa baik Ilmu Hukum maupun
Sosiologi Hukum, obyeknya adalah hukum. Jadi meskipun obyeknya sama yaitu
hukum, namun karena “kacamata” yang digunakan dalam memandang obyeknya itu
berbeda, maka berbeda pulalah penglihatan terhadap obyek tadi. Yang mengenakan
kaca mata hitam akan melihat obyeknya sebagai sesuatu yang hitam, sebaliknya
yang memakai kacamata abu-abu akan melihat obyeknya abu-abu.[1]
Disadari bahwa hukum merupakan salah satu
dari pranata-pranata yang bersifat sentral bagi sifat sosial manusia dan yang
tanpa pranata-pranata itu, maka manusia akan menjadi suatu makhluk yang sangat
berbeda. Banyak bidang pemikiran dan tindakan, yang di dalamnya hukum, ditelaah
dan terus memainkan peran besar dalam kegiatan manusia. Pemikiran tentang hukum
telah berkembang sepanjang sejarah umat manusia. Para filosof mulai dari Plato
hingga Marx telah menegaskan betapa hukum adalah sesuatu yang buruk, yang
menjadikan umat manusia akan melakukan dengan baik untuk mengendarai cirinya
sendiri. Namun demikian, terhadap semua keraguan filosofis tersebut, pengalaman
telah membuktikan bahwa hukum merupakan salah satu dari kekuatan-kekuatan besar
yang menciptakan peradaban dalam masyarakat manusia, di mana perkembangan
peradaban umumnya telah dikaitkan dengan perkembangan gradual suatu sistem
aturan-aturan hukum, bersama-sama dengan mekanisme untuk penegakannya yang
teratur dan efektif.
Namun demikian, seperti yang pernah
dikemukakan oleh Prof. Dennis Lloyd (1982), ketentuan hukum tidak berada dalam
suatu ruang kosong, tetapi ditemukan berdampingan dengan aturan-aturan moral
dengan kompleksitas atau kurang-lebih yang berwujud kepastian. Di lain pihak,
hukum juga merupakan salah satu “gejala sosial” , yang diterapkan di dalam
masyarakat yang berbeda-beda satu sama lain. Olehnya, kitapun tak dapat
menafikan wujud hukum sebagai “realitas sosial”.
Dalam perkembangannya, paling tidak ada tiga
jenis kajian yang dapat digunakan dalam mempelajari ilmu hukum, yaitu : (a)
Kajian normatif, yang memandang hukum hanya dalam wujudnya sebagai aturan dan
norma; (b) Kajian filosofis, yang memandang hukum sebagai pemikiran, dan (c)
Kajian sosiologis, yang memandang hukum sebagai perilaku.
Perkembangan kajian sosiologis di dalam
kajian hukum itu, menimbulkan adanya dua jenis Kajian sosiologis : (a) yang
menggunakan sociology of law , dan yang (b) menggunakan sociological
jurisprudence . “Sociology of law” diperkenalkan oleh seorang Italia,
Anzilotti, olehnya itu berkonotasi Eropa Daratan, sedangkan “Sociological
Jurisprudence” diperkenalkan oleh Prof. Roscoe Pound, guru besar Harvard Law
School di Amerika Serikat, olehnya itu berkonotasi Anglo Saxon.Sementara itu,
“Sociology of law” adalah sosiologi tentang hukum, karena itu ia lebih
merupakan cabang sosiologi. Sedangkan “sociological jurisprudence” adalah Ilmu
Hukum Sosiologis, karena itu merupakan cabang ilmu hukum.Lebih jelasnya
perbedaan antara “sociology of law” dan “sociological jurisprudence” (Curzon
1979: 137) : Sociological jurisprudence. Pound refers to
this as a study of the peculiar characteristics of the legal order, i.e. an
aspect of jurisprudence proper. Lloyd writes of it as a branch of normative
sciences, having the law more effective in action, and based on subjective
values. Some other writters use the term to refer to the Sociological School of
jurisprudence, that is, those jurists who see in a study of society a means
whereby the science of law might be made more precice. Sociology of law. Pound refers to this study
as “sociology proper”, based on a concept of law as one of the means of sosial
control. Lloyd writes of it as essentially a descriptive science employing
empirical techniques. It is concerned with an examination of why the law sets
about its tasks in the way it odes. It views law as the product of a sosial
system and as a means of controlling and changing that system. Note: The term
“legal sociology” has been used in some texts to refer to a specific study of
situations in which the rules of law operate, and of behavior resulting from
the operations of those rules.
Meskipun di antara “sociology of law” dan
“sociological jurispridence” ada perbedaan, tetapi keduanya memiliki persamaan
mendasar yaitu berkisar di dunia “sein”, di dalam realitas. Keduanya berada di
dunia “is” (realm of “is”) yang adalah : “refers to a complez of actual
determinants of actual human conduct”. Jadi berbeda dengan pandangan kaum
positivistis yang berada di dunia”sollen” (“ought”).
Kajian sosiologis terhadap hukum menunjukkan
karakter pandangan empiris. Mereka ingin melakukan pemahaman secara sosiologis
terhadap fenomna hukum. Jadi, “interpretative understanding of sosial conduct”
( suatu usaha untuk memahami objeknya dari segi tingkah laku sosial), meliputi
: “ causes, its course, and its effects”. Fenomena hukum dari sudut pandangan
aliran sosiologis ini adalah gejala-gejala yang mengandung streotip baik yang
tertulis maupun yang tidak tertulis.
Kebangkitan kembali kajian-kajian sosial
mengenai hukum pada dekade 1960-1970 an, diikuti juga dengan kelahiran critical
legal thought generasi baru, seperti studi hukum kritis (critical legal
studies-CLS). Menurut Erlyn Indarti CLS adalah salah satu dari 4 paradigma
utama yaitu: Positivisme,Post-positivisme,Critical Theory et al dan
Kontruktivisme[2].CLS atau Critical Theory et al sebagai salah satu aliran atau
mashab dalam pemikiran hukum, kehadirannya telah menginspirasi
jurisprudence-jurisprudence baru semacam feminist jurisprudence dan critical
race theories. Sebagian orang menilai CLS bukan sebagai aliran pemikiran hukum
melainkan hanya gerakan dalam pemikiran hukum. Sementara realisme hukum,
menurut Karl Llewellyn bukan sebuah filsafat melainkan teknologi. Realisme
hukum tidak lebih dari hanya sekedar teknologi.
Baik kajian-kajian sosial mengenai hukum
maupun pemikiran kritis mengenai hukum sama-sama berasumsi bahwa hukum tidak
terletak di dalam ruang hampa. Hukum tidak dapat eksis, dan oleh karena itu
tidak dapat dipelajari, dalam ruang yang vakum.[3]
Hukum terletak dalam ruang sosial yang
dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan di luar hukum. Bagi kalangan instrumentalis,
hukum bahkan dianggap hanya sebagai instrumen yang mengabdi kepada kepentingan
kelompok berkuasa. Pendapat ini sedikit berbeda dengan kelompok strukturalis
yang , sekalipun mengakui pengaruh kekuatan di luar hukum terhadap hukum, namun
menganggap hukum masih memiliki otonomi relatif. Sekalipun demikian, terdapat
sedikit perbedaan antara kajian-kajian sosial terhadap hukum dengan pemikiran
kritis mengenai hukum. Studi hukum perspektif sosiologis melihat hukum sebagai
salah satu faktor dalam sistem sosial yang dapat menentukan dan ditentukan. Ada
sejumlah istilah yang digunakan untuk menggambarkan hal ini, seperti: apply
sosial science to law, sosial scientific approaches to law, disciplines that
apply sosial scientific perspective to study of law. Sedangkan critical legal
thought, mencoba menjelaskan hukum dengan meminjam bantuan dari ilmu-ilmu
sosial.
Terdapat perbedaan mengenai daftar ilmu-ilmu
sosial yang dimasukkan ke dalam cakupan studi hukum perspektif sosiologis.
Sekalipun demikian, ada 5 disiplin ilmu yang selalu masuk ke dalam daftar
tersebut, yakni sosiologi hukum, antropologi hukum, sejarah hukum, politik
hukum (hubungan politik dengan hukum) dan psikologi hukum. Terus berkembangnya
minat untuk mengkaji hukum menyebabkan lahirnya disiplin-disiplin baru yang
masuk ke dalam cakupan studi hukum perspektif sosiologis seperti administrasi
publik.
Ilmu-ilmu sosial yang masuk ke dalam studi
hukum perspektif sosiologis tergolong sebagai ilmu hukum (dalam arti luas).
Ilmu hukum pun dibagi ke dalam 2 kelompok yakni: ilmu hukum normatif, yang juga
popular disebut sebagai dogmatika hukum dan ilmu hukum empirik. Kelompok
disiplin ilmu yang masuk ke dalam socio-legal studies, masuk ke dalam kelompok
ilmu hukum empirik. Dalam konsepsi Meuwissen, ilmu hukum atau dogmatika hukum
adalah disiplin hukum yang paling rendah tingkat abstraksinya. Sedangkan
filsafat hukum adalah disiplin hukum yang tingkat abstraksinya paling tinggi.
Di tengah-tengah ilmu hukum dan filsafat hukum terdapat teori hukum
(jurisprudence). Penggolongan yang dirumuskan oleh Meuwissen tentulah
bertetangan dengan pendapat yang mengatakan bahwa hampir semua disiplin ilmu
yang masuk ke dalam studi hukum perspektif sosiologis adalah anak dari induknya
yang nota bene adalah ilmu sosial. Sosiologi hukum adalah anak dari ilmu
sosiologi. Antropologi hukum adalah anak dari antrpologi budaya dan sejarah
hukum adalah anak dari ilmu sejarah.
Di awal-awal kemunculannya, studi hukum
perspektif sosiologis banyak dipengaruhi oleh aliran pemikiran kiri. Teori
Kritis dari Mazhab Frankfurt dan new left berkontribusi banyak pada socio-legal
studies. Sekalipun ada anggapan bahwa studi hukum perspektif sosiologis banyak
dipengaruhi teori-teori berhaluan kiri, namun kajian ini justru menuai kritik
dari kelompok kiri sendiri. Adalah kelompok Marxist legal sociologist dari
Inggris yang menuding pemikir studi hukum perspektif sosiologis sebagai kaum
liberal yang karya-karyanya defisit dan konservatif. Mulai dekade 1980-an, studi
hukum perspektif sosiologis banyak diwarnai juga oleh kajian-kajian
post-modernisme. Studi hukum perspektif sosiologis mengembangkan konsep anti
metanarasi, anti totalitas dan anti universalitas ke dalam kajian-kajian
mengenai hukum. Studi hukum perspektif sosiologis mempertanyakan tafsir
monolitik dari pengambil kebijakan, universalitas dari pemberlakukan
undang-undang dan kebenaran dari doktrin-doktrin (metanarasi) klasik seperti
rule of law dan equality before the law.[4]
Studi sosiologi berbeda dengan sosiologi
hukum, dimana sosiologi hukum benih intelektualnya terutama berasal dari
sosiologi arus utama, dan bertujuan untuk dapat mengkonstruksi pemahaman
toritik dari sistem hukum. Ha itu dilakukan oleh para sosiolog hukum dengan
cara menempatkan hukum dalam kerangka struktur sosial yang luas.
Hukum sebagai mekanisme regulasi sosial dan
hukum sebagai sesuatu profesi dan disiplin, menjadi perhatian dalam studi ini.
Studi ini banyak memusatkan perhatian kepada wacana hukum yang merupakan bagian
dari pengalaman dalam kehidupan keseharian masyarakat. Hukum yang dimaksud
adalah kaidah atau norma sosial yang telah ditegaskan sebagai hukum dalam
bentuk perundang-undangan. Lingkup kajiannya adalah mengenai berfungsi atau
tidaknya hukum dalam masyarakat dengan melihat aspek struktur hukum, dan aparat
penegak hukum. Beberapa konsep penting yang dikaji adalah mengenai pengendalian
sosial, sosialisasi hukum, stratifikasi, perubahan hukum dan perubahan sosial.
[1] Ali, Achmad., Menguak Tabir Hukum (Suatu
Kajian Filosofis dan Sosiologis), PT. Gunung Agung Tbk, Jakarta, 2002, hal. 9,
[2] Prof. Erlyn Indarti , “PARADIGMA DAN ILMU
HUKUM”,Materi di sampaikan pada diskusi berseri Menggagas Ilmu Hukum
Ber-Paradigma Profetik di kampus FH UII,Yogyakarta,16 Juni 2011
[3] Kalimat ini dikutip oleh Alan Hunt dalam
menjelaskan pemikiran aliran sociological jurisprudence. Pernyataan tesebut
disampaikannya dalam bukunya yang berjudul, “Explorations in Law and Society
Toward Constitutive Theory of Law”, Routhledge, New York, 1993, hlm.
[4] Lihat Yesmil Anwar dan Adang, Op.Cit.
hal. 49.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar