Salah satu teori yang klasik dan abadi adalah
yang dikembangkan Abraham Maslow tentang konsep pribadi yang teraktualisasi
(self-actualizing people) dan keterkaitannya dengan motivasi seseorang dalam
menghadapi situasi pribadinya yang dipengaruhi oleh kondisi sosial-politik di
masyarakat maupun lingkungkungannya. Konsep aktualisasi diri merupakan
pemikiran yang dikembangkan oleh Abraham Maslow mengenai bagaimana manusia dapat
mengembangkan potensi diri untuk menjadi manusia yang sempurna.
Manusia yang dapat mengembangkan diri menjadi
manusia yang sempurna –menurut Abraham Maslow- adalah manusia yang mampu mengaktualisasikan
seluruh potensi terbaiknya. Abraham Maslow melakukan penelitian pada
orang-orang yang luar biasa untuk melihat bagaimana seseorang dapat menjadi
manusia yang teraktualisasi. Proses aktualisasi ini merupakan perkembangan atau
penemuan jati diri dan mekarnya potensi yang ada atau terpendam pada setiap
orang.
Beberapa ciri umum orang luar biasa atau
orang yang sempurna atau orang bisa mengakttualisasikan diri menurut Abraham
Maslow adalah kemampuan mereka melihat hidup secara jernih, apa adanya, dan
bukan menurut keinginan mereka. Mereka tidak bersikap emosional melainkan bisa
melihat secara obyektif. Memiliki sikap yang lebih tegas, memiliki pemahaman
yang jelas tentang benar dan salah. Memiliki sikap rendah hati dan mampu
mendengrakan orang lain. Persepsi yang dimilikinya mampu sedikit dicemari oleh
hasrat-hasrat, kecemasan, ketakutan, harapan palsu dan pesimisme.
Orang yang teraktualisasi membaktikan hidup
pada pekerjaan, tugas, kewajiban dan panggilan tertentu yang dianggap penting.
Memiliki sifat kreatif, fleksibel, spontan, berani membuat kesalahan, terbuka
dan rendah hati. Mereka memiliki kadar konflik yang rendah dan suka pada
manusia. Secara alami mereka menjadi berang (marah) terhadap hal-hal yang
dianggapnya melanggar kebaikan atau keadilan. Mereka orang-orang yang otonom,
tidak tergantung pada orang lain, tapi juga suka bergaul dan ramah.
Orang-orang yang teraktualisasi diri lebih
gembira dan bahagia. Lugas dan kurang suka basa-basi, serta punya rasa harga
diri yang tinggi. Orang-orang yang sempurna selalu ingin memahami. Memiliki
ilmu pengetahuan yang luas, bukan hanya pada hal-hal yang intelektual, tetapi
juga musik dan kebudayaan.
Sebaliknya dengan keadaan yang membentuk
manusia menjadi manusia yang sempurna adalah keadaan yang membentuk manusia
yang mengalami skeptisme, nihilisme, anomi, alienasi, dan apatisme. Apatisme
dan skeptisme terjadi karena orang mengalami keterasingan dari lingkungannya
dan tidak dapat menemukan harapan dari tatanan sosial dan politiknya.
Motivasi manusia menurut Maslow adalah
melakukan aktualisasi diri dan hanya dapat sampai pada tahap tersebut bila
hirarki kebutuhan dasar terpenuhi. Mengenai konsep motivasi dipaparkan oleh
Abraham Maslow dalam bukunya yang berjudul “Motivation and Personality” sebagai
konsep “metamotivation” yaitu motivasi yang digerakkan oleh kebutuhan-kebutuhan
yang lebih tinggi yaitu berupa hasrat manusia untuk mencapai nilai-nilai hidup.
Abraham Maslow menggambarkan hirarki
kebutuhan manusia yang terkenal dengan skema gambar berikut ini. Hirarki ini
tidak berlaku kaku, namun secara relatif perlu dipenuhi terlebih dahulu
kebutuhan yang paling dasar sebelum seseorang dapat mengaktualisasikan diri.
Orang yang digerakkan oleh motivasi yang kuat
dan mampu mengaktualisasikan diri lebih bahagia. Bahagia atau kebahagiaan
merupakan konsep politik yang menarik. Konstitusi Amerika menyatakan bahwa
kebahagiaan adalah hak (the right to pursuit the happines). Apakah yang bisa
membuat seorang bahagia? Manusia akan bahagia apabila kemanusiaannya hidup dan
berkembang. Tidak tertindas. Dalam konsep Hak-hak Asasi Manusia (HAM),
kemanusiaan yang paling mendasar adalah terpenuhinya hak-hak dasar, baik hak
ekonomi, sosial, budaya maupun politik.
Untuk Negara berkembang seperti Indonesia,
memang pertanyaan ini susah dijawab: mana yang seharusnya lebih dahulu,
mensejahterakan masyarakat dulu (ekonomi) atau deemokratisasi dulu?.
Kalau melihat teori hirarki kebutuhan memang
kebutuhan fisik yang meliputi kebutuhan dasar terlebih dahulu yang harus
dipenuhi. Tetapi tidak selalu harus berurutan demikian. Kebutuhan untuk hal-hal
yang lebih tinggi seperti rasa aman, penghargaan, dan harga diri adalah milik
semua orang, termasuk orang-orang miskin yang hak-hak dasarnya belum terpenuhi.
Reformasi itu sendiri merupakan hasil gugatan
nilai-nilai karena lebih banyak digerakkan oleh kalangan mahasiswa dan activist
ketimbang rakyat.
Bila kita merunut kembali tuntutan perubahan
Indonesia menjadi Negara (yang menuju) demokrasi yang mengemuka pada era Orde
Baru adalah menggugat kekuasaan mutlak dan diktatorial selama 32 tahun oleh
rejim militer Soeharto, tidak adanya pembagian kekuasaan antara eksekutif, legislatif
dan yudikatif, sensor pers dan pengekangan hak politik rakyat, Pemilu yang
tidak Jurdil, represi terhadap oposisi dan suara kritis yang sama sekali tidak
ditolerir saat itu, monopoli ekonomi, serta kesenjangan sosial yang mencolok.
Sesudah reformasi, apakah manusia Indonesia
tetap dapat mengembangkan diri sebagai manusia yang sempurna dalam situasi saat
ini? Bagaimana manusia Indonesia mensikapi situasi yang terjadi sekarang dan
bagaimana memandang masa depannya? Ataukah manusia Indonesia semakin terpuruk
dalam situasi apatis, skeptis, anomi dan teralienasi yang berkelanjutan.
Ataukah kemudian masyarakat yang demikian akan melahirkan gerakan perlawanan
untuk melahirkan perubahan? Masa depan Indonesia itu akan seperti apa?.
Masyarakat Indonesia belum dioptimalkan
potensinya agar bisa menjadi manusia yang teraktualisasi dengan sempurna
sehingga memiliki motivasi dan metamotivasi yang dapat menggerakkan seluruh
potensinya untuk bisa berkembang selain bagi kebahagiaan dirinya juga untuk
memajukan masyarakat dan menjadi warga negara yang memiliki kapasitas sebagai
asset Bangsa dan Negara.
Skeptisme dan apatisme masyarakat Indonesia
–misalnya terhadap politik dengan semakin tingginya angka Golput dalam Pilkada
maupun Pemilu yang terakhir- menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia merasa
tidak perlu mengekspresikan sikap politiknya yang merupakan kebutuhan di
wilayah metamotivasi.
Fenomena populernya Jokowi dan dukungan
masyarakat yang besar terhadap figur yang “melawan arus” dan menjadi anomail
terhadap realita buruknya citra kalangan politisi dan pemimpin di Indonesia
menunjukkan bangsa Indonesia punya sikap nilai terhadap lingkungan
sosial-politik. Sehingga sikap Golput itu dapat diartikan sebagai sikap nilai
juga untuk “melawan” atau menantang ketertindasan yang dialami dengan buruknya
sistem politik dan kepemimpinan di Indonesia saat ini. Ini menunjukkan bahwa
masyarakat Indonesia punya kesadaran kritis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar