Minggu, 02 Februari 2014

Perilaku KPK di Mata Pengamat

Rinaldi Munir, seorang dosen ITB yang juga blogger mengaku gemas menyaksikan “drama” KPK dan PKS. Ia gemas dengan perlakuan berbeda dari KPK kepada PKS. “LHI menjadi tersangka karena diduga menerima suap dari Fathanah terkait impor daging sapi, meskipun uang suapnya belum diterima.”katanya.
“Saya menangkap kesan sepertinya drama KPK dengan PKS ini baru akan berakhir setelah Pemilu 2014 (kayaknya lho).” katanya lagi.
Ia juga turut mengomentari soal Anas & Andi yang sudah menjadi tersangka,” Kalau memang orang-orang itu diduga bersalah, maka seharusnya perlakuannya tidak boleh berat sebelah. Wajar saja jika muncul dugaan politisasi, konspirasi, merasa dizalimi, kriminalisasi, atau apapunlah namanya.”
Sebelumnya, La Ode Ida menyatakan,”Terhadap politisi PKS, terkesan KPK dan media sengaja mempermalukan para pelakunya. Sebut saja, mulai dari tertangkapnya Presiden PKS M Luthfi Ishaaq dan pengusaha yang dekat dengan PKS, Ahmad Fatanah, hingga kelanjutannya,” kata Laode, Jumat (10/5/2013) sore.
Kepada kedua politisi PKS itu, lanjut Laode, KPK tak ada kompromi lagi. Mereka langsung ditahan. Padahal, politisi lainnya, seperti Anas Urbaningrum dan Andi Mallarangeng, masih bebas berkeliaran hingga kini.
Politisi lainnya dari PPP, Ahmad Yani turut mengamati. “Ini saling sandera, uji-menguji. KPK jangan dijadikan instrumen politik. Kalau ini betul konspirasi betapa tidak bermoralnya bangsa ini,” katanya di Kompleks MPR/ DPR.
Pengamat Hukum Tata Negara, Margarito juga menyayangkan perlakuan berbeda ini, “Saya kira KPK harus menjelaskan kepada publik. Kenapa KPK subjektif dalam menangani kasus korupsi. Apakah karena yang satu dari partai penguasa dan yang satu dari parpol bukan pemerintah ?” tegas Margarito. “Terlalu sulit bagi saya untuk mengatakan bahwa KPK tidak diskriminatif dalam penanganan kasus korupsi,”
Mantan ketua MK, Jimly Ashhiddiqie juga mencium gelagat aneh pada perlakuan KPK. Tidak lama setelah penangkapan LHI ia berkomentar, “Jangan sampai begitu. Menegakkan keadilan itu kan sebagian juga seni. (Lutfhi) belum diperiksa kok dijadikan sebagai tersangka. Bok ditunggu seminggu kalau memang ada alat bukti. Ini kan soal kecerdikan. Jadi ini penegak hukumnya agak bodoh. Bisa karena bodoh, bisa karena goblok. Ini bukan soal salah benar. Ini soal seni. Dia tidak berseni,” tandasnya.
“(Lutfhi dijadikan tersangka dan dijemput itu) tidak menunggu seminggu atau sebulan. Belum diperiksa, langsung dijadikan tersangka. Padahal yang tertangkap tangan orang lain,” ungkapnya merujuk pada operasi tangkap tangan di Hotel Le Meredien
Sebelumnya Jimly menjelaskan, agar orang tidak curiga, KPK harus mengungkapkan dua alat bukti mengenai keterlibatan Lutfhfi.  Jadi kalau misalnya, tidak diungkapkan dua alat bukti yang dianggap cukup itu orang jadi heran. Kok tiba-tiba begitu cepat prosesnya,” ujar Jimly. Namun sampai sekarang dua alat bukti tersebut masih misterius. Jubir KPK, Johan Budi hanya mengatakan,”tunggu di pengadilan”.
“KPK menetapkan Luthfi Hasan Ishaq sebagai tersangka sangat cepat, hanya beberapa menit setelah penangkapan. Kesannya, PKS seperti menjadi target,” kata Jimly.
Sejumlah pengamat juga mempertanyakan predicate crime dari TPPU yang diterapkan kepada LHI. Di antaranya adalah yang ditanyakan Karni Ilyas berkali-kali dalam acara Indonesia Lawyer Club di TvOne. Namun, Johan Budi hanya menjawab dengan jawaban mengambang, “Kita buktikan di pengadilan”
Rissalwan, pengamat sosiologi politik Universitas Indonesia melihat serangan terhadap PKS dari sisi lain. “Kalau mungkin ada pemikiran ini drama penghancuran, saya justru melihat ini potensi sangat besar, titik balik bagi PKS untuk menang di 2014, karena ini adalah tahun politik semua akan menjadi perhatian publik. Bayangkan kalau LHI tidak terbukti, ini justru akan menjadi muatan kampanye yang sangat baik bagi PKS.”
Gelagat aneh perlakuan KPK terhadap LHI ini harus dapat dijawab oleh KPK dengan kerja yang benar dengan cara yang benar. Jangan sampai KPK dituding tebang pilih atau menjadi alat.
Tentu saja kita berharap kicauan Yusril Ihza Mahendra tidak benar-benar terjadi di Indonesia : “Rezim dzalim dan begundal-begundalnya pandai mainkan sentimen publik untuk pojokkan lawan-lawan politiknya. Dulu tuduh PKI, kini tuduh korupsi. Untuk membenarkan tuduhannya, uang juga  bermain bayar sana-sini, termasuk penggalangan opini besar-besaran untuk sesatkan orang awam, Saya ingin ingatkan awam agar hati-hati dengan jualan anti korupsi sekarang ini. Bisa-bisa maling teriak maling.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar