Saya akan berkisah seputar sebuah novel.
Namun jangan kaget, novel ini belum pernah terbit, masih dalam bentuk draft,
dan saya belum pernah membacanya. Kisah di seputar novel itulah yang sempat
menyita perhatian saya. Gelombang yang diakibatkan oleh novel itu, sampai ke
saya.
Penulis novel ini seorang aktivis muda. Ia
keluar dari dunia aktivis dengan membawa segumpal rasa kecewa. Salah satunya,
dan mungkin yang paling utama adalah karena sebagian besar teman-temannya telah
berpindah haluan menjadi para makelar politik. Ia kemudian bekerja di sebuah
rumah penerbitan, menjadi penyunting buku. Di tengah kesibukan dan
rutinitasnya, ia menulis sederet cerita pendek dan sebuah novel.
Beberapa cerita pendeknya dilansir di
beberapa milis, terutama di milis-milis yang diikuti oleh para ‘mantan’
teman-temannya yang telah bersalin dunia. Dengan segera, si penulis diserang
dari segala penjuru, diserbu ramai-ramai. Pada tahun-tahun itu saja, menyebut
nama si penulis di tengah para mantan aktivis yang telah menjalani dunia
makelar politik, berarti memantik umpatan panjang dan ceracau liar.
Untungnya, si penulis bermental baja. “Balas
karya dengan karya,” begitu selalu ia menjawab setiap kerkahan yang ditujukan
kepadanya.
Seorang kawan saya, yang kebetulan penyuka
sastra dan pernah membaca cerpen-cerpen si penulis mengatakan kalau bahasa yang
digunakan di dalam cerpen-cerpen itu terlampau kasar. “Nyaris tidak ada nilai
sastranya….” ujar teman saya.
Tetapi teman saya yang lain, mantan aktivis
yang kini bekerja di sebuah LSM mengungkapkan, tidak penting soal bahasa yang
dipilih oleh si penulis. Namun isi cerpen-cerpen itu merupakan dokumen sosial
yang sangat penting untuk melihat peta politik pasca gerakan ’98.
Ketika si penulis menyelesaikan novel
debutannya, dunia makelar politik politik kembali geger. Novel itu, kata
beberapa teman saya yang pernah membaca draftnya, jauh lebih tajam dan tentu
saja lebih lengkap menyisir peta dunia makelar politik yang digeluti oleh para
mantan aktivis mahasiswa. Reaksi kembali berhamburan. Kali ini bahkan diikuti
dengan berbagai ancaman.
Saya pernah berkeinginan untuk membantu
menerbitkan novel dan antologi cerpen si penulis. Baru sebuah niatan. Ternyata,
bahkan ketika niatan saya itu didengar oleh beberapa orang, segera saya
menerima banyak sekali pesan pendek. Tentu saja dari para makelar politik. Ada
yang bilang, apa gunanya saya membantu menerbitkan novel dan cerpen-cerpen
sampah? Ada pula yang berkata bahwa saya berada di pihak si penulis. Dan yang
lebih konyol lagi, tiba-tiba saya dituduh sebagai orang yang hendak
menghancurkan karir banyak orang.
Di dalam hati, tentu saja saya tertawa.
Pertama, jika saya ingin membantu menerbitkan novel dan antologi cerpen itu,
tentu saya tidak akan memperdulikan reaksi orang-orang. Saya orang yang nyaris
tak pernah ambil pusing dengan segala tetek-bengek yang saya anggap tak berguna
untuk didengar. Kedua, sampai detik ketika tulisan ini saya kerjakan, saya belum
mendapatkan sebuah rumah penerbitan pun yang mau menerbitkan karya-karya
tersebut. Tetapi teman dekat saya, sudah mulai ancang-ancang untuk menerbitkan
kedua buku itu, justru karena ia merasa berempati dengan si penulis yang
digasak kanan-kiri.
Baiklah. Mari kita bersama-sama merenungkan
hal tersebut di atas. Dulu, semua aktivis bicara soal demokrasi, termasuk
kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat. Tetapi giliran ekspresi dan
pendapat tersebut mengancam mereka, sekelompok orang yang dulu berkoar-koar itu
justru masuk ke dalam lingkaran apa yang dulu sering dibilang dengan nada
sinis. Reaksioner.
Setiap makelar politik pasti mempunyai alasan
masing-masing mengapa memasuki gelanggang itu. Mereka sudah dewasa, sudah bisa
memilih dengan merdeka jenis profesi yang digeluti. Kalau kemudian ada yang
ingin membongkar jenis profesi itu, dan mereka marah, tentu saja patut mendapat
pertanyaan. Mengapa? Jangan-jangan memang ada yang tidak beres di profesi itu,
bukan?
Ketika saya menulis halaman-halaman ini, saya
sepenuhnya sadar atas resiko yang akan saya hadapi. Akan ada banyak orang yang
menyerang saya, dari mulai cara yang halus sampai cara yang kasar. Tetapi
lagi-lagi saya tidak peduli. Setiap orang berhak mengerjakan apa yang
dipikirnya baik, dan harus siap menanggung seluruh resikonya.
Ketik saya bertemu dengan kawan lama saya,
yang mulai ingin menceburkan diri ke dalam dunia makelar politik, tentang
serangkaian tulisan saya mengenal dunia tersebut, ia mengerutkan kening dan
bertanya, “Untuk apa?”
“Supaya banyak orang yang tahu,’ jawab saya.
“Semua orang tahu dunia itu. Kamu jangan sok
tahu.”
“Kamu yang sok tahu dengan beranggapan bahwa
semua orang tahu,” sahut saya enteng.
“Mending kamu gunakan energimu utnuk menulis
hal-hal yang lebih baik lagi,” ia berusaha mengalihkan masalah.
“Ini hal yang sekarang ini kupikir baik.”
“Kamu harus belajar dari sejarah dan
kenyataan, sejarah bangsa ini kan sejarah para makelar. Dan kenyataannya,
makelar itu ada di mana-mana. Kami ini kan hanya pemain-pemain anyar, baru kelas
kecil-kecilan.”
Saya tidak sedang ingin berpikir soal
pernyataannya yang mengatakan bahwa sejarah bangsa ini adalah sejarah para
makelar. Juga kenyataan bahwa ia dan teman-temannya baru pemain anyaran.
Persoalannya, saya ingin menuliskan itu, karena saya pikir itu penting. Titik.
Selesai.
Dan ia melanjutkan ucapannya, “Apa gunanya
sih mencari musuh? Apalagi itu teman-teman kita sendiri…”
Saya menggelengkan kepala, dan tetap
mengatakan bahwa saya tetap akan menerbitkan tulisan-tulisan tentang makelar politik.
Setelah sejenak ia terdiam, ia mendekatkan
kepalanya ke kepala saya, sambil mengatakan bagaimana kalau yang saya sikat
adalah makelar-makelar di kubu tertentu saja. Dengan begitu, kata dia, saya
bahkan bisa mendapatkan keuntungan. “Aku carikan nanti uang untuk menerbitkan
buku itu.”
Di dalam hati, saya tertawa ngakak. Ah, dasar
makelar politik……. Bahkan apapun hendak ia jual. Tetapi ia lupa, ada banyak hal
di hidup ini yang tidak bisa dijual dan tidak bisa dibeli.
Saya tersenyum, dan menggelengkan kepala saya
keras-keras. Ia kecewa, itu saya tahu. Tetapi lagi-lagi, saya tidak peduli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar