Dalam sosiologi politik dari sudut pandangan yang liberal, seorang pemimpin
harus memiliki kekuatan, kekayaan,
kepintaran dan kelicikan. Adakah
Jokowi persyaratan ini ?. Boleh dikatakan tidak. Namun dalam pandangan conservative seorang
pemimpin akan diakui kalau dia berprilaku baik, pengayom dan pengabdian. Jokowi memenuhi syarat sebagai pemimpin
dipandang dari sudut pandang yang konservative.
Selanjutnya kita lihat undang-undang dasar
kita, presiden dipilih secara langsung
dan pemilihan langsung seperti itu
adalah liberal atau demokrasi atau juga kebebasan. Dalam persaingan bebas seperti ini, strategi
pemenangan dan kampanye akan membutuhkan kekuatan untuk menghimpun dukungan,
membutuhan biaya, membutuhkan kepintaran untuk mempengaruhi dan membutuhkan
kelicicikan untuk menjatuhkan lawan politik.
Jokowi telah mendapat citra publik sebagai pemimpin yang yang bersedia bekerja,
berhasil menunjukkan prestasinya dan dekat dengan rakyat. Pandangan yang terbentuk seperti ini sudah
demikian melekat sehingga kritik
terhadap Jokowi akan mendapat serangan balik seperti yang dialami oleh Amien
Rais. Padahal, didalam kepemimpinan
dalam pemerinthan yang liberal membutuhkan seorang pemikir yang menelurkan
kebijakan yang tegas dan konsisten.
Apakah konsistensi itu tidak dimiliki Jokowi ?.
Sebelumnya saya memposting mengenai rencana
penerapan ERP yang pada intinya tidak akan efektif untuk mengatasi kemacetan di
Jakarta justru akan memberatkan masyarakat. Faktanya, kebijakan pembatasan
kendaraan bermotor pribadi melalui nomor polisi kendaraan ganjil dan genap
untuk mengurai kemacetan lalu lintas ibu kota kemungkinan besar akan dibatalkan
oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja
Purnama mengatakan, rencananya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan langsung
menerapkan kebijakan jalan berbayar atau Electronic Road Pricing (ERP),
“Kemungkinan batal” .
Padahal, baru dalam beberapa hari Jokowi
begitu antusian penerapan kebijakan tersebut akan membuat jalanan di Jakarta
untuk ngebut. Artinya, menurut Jokowi
Jakarta tidak akan mengalami kemacetan lagi. Yang menjadi pertanyaan,
mengapa dalam waktu singkat dapat membatalkan kebijakan tersebut ?.
Jokowi yang memiliki janji
pemilu akan membuat Jakarta bebas macet
dan menyediakan transportasi massal dan murah ”dimanfaatkan” oleh kelompok
bisnis yang akan masuk pada sektor bisnis transportasi massal. Dengan commitment akan menggelontorkan dana
sampai Rp. 12 Triliun lebih, perhitungan bisnis saya, investasi itu bagi
perusahaan yang memiliki profit orented tidaklah cukup feasible, apalagi dengan
menggunakan produk China. Dalam patokan Return Of Investment (ROI)
10 tahun, idealnya tariff yang harus diberlakukan antara Rp. 17,500 - Rp.
20.000,- dengan mutu produk sekelas produk jepang. Tariff ini tidak cocok
dengan program Jokowi yang memiliki motto transportasi massal dan murah.
Walau baru commitment, media sudah memblow-up sedemikian rupa
program Jokowi tersebut sebagai sebuah kesukesan dan kerja nyata dimata publik
yang menggerek elektablitas Jokowi.
Kerja media ini membuat posisi Jokowi menjadi tergantung pada investor,
pembatalan oleh investor akan merusak angan-angan Jokowi yang membayangkan
Jakarta memiliki monorel yang sekaligus menghancurkan citra kesuksesan. Apakah pembatalan penerapan ERP
dan pengaturan nomor ganjil genap sebagai pertanda terjadi sesuatu dengan
proyek monorail ?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar