Di Indonesia, fenomena pendukung partai
politik serupa dengan fenomena pendukung sepak bola. Piala Dunia Sepak Bola merupakan fenomena
menarik. Setiap empat tahun sekali football fevermenjangkiti dunia. Ribuan
penggemar sepak bola dari berbagai belahan dunia membayar ribuan dolar untuk
ongkos pesawat, hotel, dan tiket masuk agar bisa menyaksikan pertandingan dari
dekat.
Sementara ratusan juta penggemar di seluruh
dunia menonton melalui televisi atau mendengarkan melalui radio. Begitu juga di
Indonesia, tak terhitung jumlah penggemar sepak bola yang rutin menyaksikan
pertandingan secara langsung.
Yang menarik dari fenomena sepak bola itu
adalah fanatisme pendukung dan dukungan total secara moril-material untuk
kesebelasan dan pemain favoritnya. Para pendukung ini rela dan sanggup
mengeluarkan ribuan dolar agar bisa memberi dukungan langsung pada kesebelasan
favoritnya. Hansen (1998) penulis sosiologi olahraga menjelaskan fenomena ini
dengan menyebutnya sebagai-salah satunya-deindividuisasi. Artinya, sebagian
dari identitas pribadi para pendukung itu terkikis dan mereka mengidentifikasi
dirinya sebagai bagian dari tim favoritnya.
Meski fenomena ini menarik diamati secara
psikologis dan sosiologis, karena para pendukung benar-benar all out dalam
memberikan dukungannya, tetapi dengan memakai pendekatan political
economyfenomena ini jadi relevan dengan demokrasi kita di Indonesia dan menarik
untuk dianalisis. Pendekatanpolitical economy ini biasa mendasarkan pada
pertanyaan: who gets what, and why (siapa mendapat apa, dan mengapa)?.
Dalam konteks dukung-mendukung itu
pertanyaannya adalah, para pemain dan pendukung ini memperoleh rewards apa?
Yang pasti para pendukung senang saat tim dukungannya menang, dan ikut merasa
terpukul jika timnya kalah, tetapi secara materi mereka tidak mendapat apa-apa.
Justru pemain yang didukung yang mendapatkan semua rewards.
Ketika pemain sepak bola mencium piala emas
itu, jutaan pendukungnya bersorak riang. Ketika pemain sepak bola itu kembali
ke negaranya membawa rasa bangga dengan berbagai bonus, jutaan pendukungnya
kembali pada realita hidupnya membawa bahagia dengan tangan hampa. Para pemain
mendapatkan semua kompensasi, sementara pendukungnya meski boleh ikut bahagia
dan boleh berbangga, tetapi tetap saja cuma bisa menonton. Ketika konstruk
hubungannya adalah antara pendukung dan pemain olahraga, maka fenomena
dukung-mendukung macam ini tampak normal.
Yang menjadi masalah adalah bila konstruk
hubungan ala sepak bola ini terjadi dalam dunia politik di mana rakyat sebagai
suporter dan partai politik sebagai tim sepak bola.
Rakyat pendukung ini mati-matian berdebat,
membela partai pujaannya dan bila partai pujaannya dikritik atau diejek, mereka
sanggup tak cuma beradu jotos tapi juga beradu-nyawa untuk membela. Setiap saat
partai kesayangannya itu bertanding dalam pemilu, maka para pendukung ini pun
sanggup mendukung habis-habisan. Lalu saat “pertandingan” selesai, terjadilah
ironi itu: para politisi meraih berbagai hadiah dan trofi dalam bentuk kekuasaan
politik, sedangkan para pendukung-yang fanatik sekalipun-cuma bisa menonton dan
gigit jari. Berbeda dengan sepak bola yang lapangannya dibatasi pagar kokoh dan
pemain tidak boleh dipengaruhi kelakuan pendukungnya, lapangan politik dalam
demokrasi adalah arena partai politik yang perlu dan harus dipengaruhi
pendukungnya.
Dalam sepak bola, lapangan itu milik pemain.
Dalam demokrasi, lapangan politik itu milik rakyat. Lapangan politik itu untuk pertandingan
secara non-violence, bukan cuma kepentingan politisi tetapi kepentingan rakyat
yang diwakilinya. Lebih jauh lagi, karena manfaat/output dari demokrasi
ditentukan oleh aktor yang terlibat, maka memikirkan dan memformulasikan
kepentingan adalah modal untuk mendapatkan manfaat dari demokrasi. (Przeworski,
1991) Dalam hal ini aktornya adalah para politik dan rakyat. Aktor yang tidak
memikirkan dan memformulasikan kepentingan/agenda akan mengalami kerugian
(opportunity cost). Di sisi lain, aktor yang siap dengan kepentingannya akan
berpeluang lebih besar untuk diuntungkan.
Kesadaran bahwa demokrasi adalah instrumen
alokasi kekuasaan politik dan ekonomi akan memaksa para aktor demokrasi (yaitu
partai dan rakyat) untuk berinteraksi secara kalkulatif. Dalam seting yang
kalkulatif maka:
Rakyat memberi dukungan pada partai politik. Partai politik memperjuangkan kepentingan
pendukungnya. Akibatnya, interaksi rakyat dengan partai
menjadi sebuah interaksi yang bersifat transaksional dan masing-masing pihak
mengadopsi langkah yang, dalam kajian game theory, disebut Tif-For-Tat. Di sini
terlihat, dalam demokrasi, konstruk hubungan pendukung dan partai politik
bergerak dua arah. Sementara, konstruk hubungan pendukung dan pemain sepak bola
hanya bergerak satu arah yaitu dari pendukung pada pemain. Dalam hubungan satu
arah ini tidak perlu karakter kalkulatif, apalagi transaksional.
Sayang, konstruk hubungan ala sepak bola ini
hidup subur dalam dunia politik di Indonesia. Di Indonesia, fenomena pendukung partai
politik serupa dengan fenomena pendukung sepak bola.
Absennya hubungan yang kalkulatif dan
transaksional membuat pendukung partai politik umumnya berperilaku sama dengan
pendukung tim sepak bola. Tentu ada perkecualian. Misalnya para penarik becak
di Jakarta, yang menyatakan sebagai pendukung partai tertentu. Ketika lahan
hidup penarik becak digusur dan mereka menganggap partai dukungannya tidak
peduli dan tidak membela maka mereka mengambil langkah sepadan, beramai-ramai
mengembalikan kartu tanda anggota dan kaus/topi/atribut partai ke Kantor partai
yang mereka dukung.
Terobosan para penarik becak itu adalah
langkah politik yang modern. Sayang, perilaku pendukung yang transaksional dan
kalkulatif macam ini belum banyak ditiru. Bahkan, langkah penarik becak di
Jakarta ini cenderung dicitrakan buruk: menarik dukungan selalu diasosiasikan
dengan penggembosan dan rekayasa pihak ketiga. Padahal, dalam politik modern,
menarik dukungan adalah sama legitimate-nya dengan memberi dukungan.
Dengan absennya karakter kalkulatif dan
transaksional ini maka wajar bila demokratisasi belum dirasakan faedahnya oleh
rakyat. Demokratisasi minus karakter kalkulatif dan transaksional hanya
berhasil menambah jumlah pemain dan tim di lapangan, yaitu jumlah politisi dan
partai di arena politik, tetapi konstruk hubungan antara pemain dan pendukung
justru tidak berubah. Di satu sisi, rakyat pendukung partai politik berperilaku
seperti pendukung sepak bola, sama saja dengan kerja bakti politik.
Rakyat pendukung tidak memikirkan apakah
politisi dan partai dukungannya sedang menguntungkan atau merugikan dirinya. Di sisi lain, bisa dibayangkan betapa
senangnya para politisi dan partai politik bila memiliki pendukung yang
berperilaku seperti pendukung sepak bola. Politisi dan partai politik nasional
dan pragmatis tentu akan berusaha melanggengkan kerja-bakti tanpa imbalan yang
dilakukan pendukungnya. Dalam pandangan politisi, untuk apa diubah bila
konstruk sekarang memang amat menguntungkan dirinya, toh para pendukungnya
melakukan hubungan secara habis-habisan tanpa paksaan dan memang tanpa pamrih.
Situasi ini merugikan bagi perkembangan demokrasi yang sehat. Karena itu, perlu
ada perubahan.
Mengubah konstruk hubungan partai politik dan
rakyat pendukung bisa dilakukan dengan merasionalkan partisipasi politik
melalui : Pendekatan struktural dan Pendekatan kultural.
Bila menggunakan pendekatan struktural : Melalui rekayasa institusional, misalnya
dengan mengubah electoral system atau memperpendek masa jabatan politisi.
Tujuan rekayasa institusional itu adalah agar
intensitas interaksi antara politisi dan rakyat jadi meningkat. Dalam
cooperation theory (game theory), iterated games, macam pemilihan umum, yang
berkala, reguler, dan intensif ini akan membuat setiap pihak lebih berpeluang
menilai perilaku pihak lain secara cenderung kooperatif dan mutualistis
(Axelrod, 1984).
Jadi, politisi tidak akan punya cukup waktu
dan peluang untuk menelantarkan aspirasi konstituennya, karena dia memerlukan
dukungan rakyat agar bisa terpilih lagi pada pemilu berikutnya. Perubahan
electoral system atau siklus pemilu yang lebih rapat ini bisa : Membuat rakyat lebih rasional dalam memberi
dukungan. Politisi/partai dan rakyat terpaksa
mengadopsi strategi timbal-balik (tit-for-tat).
Bila menggunakan pendekatan kultural :
misalnya, dengan pengembangan social capital. Seperti ditunjukkan Putnam dalam
studi klasiknya tentang demokratisasi, tingkat perkembangan social
capitalmenentukan optimalnya output politik dan ekonomi dari sebuah demokrasi.
Di sini berbagai organisasi misalnya, organisasi nonpemerintah, lembaga swadaya
masyarakat, dan asosiasi profesi, berfungsi menjadi katalis penumbuhan social
capital. Social capital ini meliputi kepercayaan, nilai timbal-balik
(reciprocity), dan jaringan (Putnam, 1993).
Pelibatan rakyat secara kolosal dalam
organisasi-organisasi macam ini akan menyadarkan bahwa partisipasi politik
mereka perlu dipenuhi dengan agenda dan bukan sekadar kerja bakti politik.
Jadi, kembali pada pertanyaan di awal tulisan ini, who gets what, and why?.
Minimnya faedah demokrasi untuk rakyat, bukan
karena demokrasi yang, by design, merugikan rakyat tetapi, salah satunya,
karena konstruk hubungan antara partai dan rakyat itu bukan konstruk yang
transaksional dan kalkulatif. Karena itu konstruk hubungan dan interaksi ala
dunia persepakbolaan ini harus diakhiri, agar transisi atau demokratisasi di
Indonesia tidak cuma menghasilkan elite demokrasi, atau bahkan, pseudodemocracy
tetapi merupakan konsolidasi demokrasi yang berpihak pada rakyat kebanyakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar