Politik dalam kehidupan manusia menjadi suatu
yang tidak dapat dielakkan. Mulai sejak awal terciptanya kehidupan, politik
telah muncul yang tentunya sesuai dan seimbang dengan realitas zamannya. Sampai
saat ini fenomena politik berlangsung dalam berbagai jenis masyarakat, bangsa,
provinsi, kota, masyarakat internasional, asosiasi, sarikat buruh, suku,
golongan, dan rupa-rupa kelompok campuran lainnya.
Secara sederhana, Pius A Partanto, dalam
kamus ilmiah populernya, mendefinisikan politik sebagai sebuah kata kolektif
yang menunjukkan pemikiran yang bertujuan untuk mendapat kekuasaan. Definisi
tersebut menginspirasikan bahwa politik sebagai media, sikap dan tindakan,
sedangkan kekuasaan adalah orientasi capaiannya.
Di situlah letak keterkaitan antara politik
dan kakuasaan. Jadi, ketika ada pembahasan politik, maka kekuasaan dan pemegang
kekuasaan harus dilibatkan. Jika hal itu dikaitkan dengan wacana yang beredar
di negara kita, maka jelas masyarakat sebagai pemegang kekuasaan juga harus
menjadi vokus pembicaraan karena nagara kita menganut sisitem demokrasi, sistem
yang akan mengedepankan kepentingan masyarakat, dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat. Tapi pada kenyataannya masyrakat hanya menjadi objek yang tidak
pernah dilibatkan dalam kancah politik. Yang lebih ironis, masyarakat hanya
dijadikan tumbal dari permainan politik yang berlangsung.
Dalam tradisi wacana perpolitikan negara ini
sering kali terjadi pembacaan sebelah mata antara politik dan kekuasaan.
Artinya, keduanya tidak dipadukan secara seimbang, politik adalah sesuatu
sedangkan kekuasaan adalah sesuatu yang lain. Bahkan pemegang kekuasaan
(masyarakat) menjadi diskursus yang tidak tersentuh. Hal itu dapat dilihat dari
adanya politisi dengan orientasi kekuasaan yang kurang jelas, juga dari adanya
penguasa yang menggunakan politik ngawur untuk melanggengkan kekuasaannya. Di
samping itu, minimnya pemerintah yang peduli terhadap masyarakat bawah juga
dapat dijadikan salah satu bukti konkretnya.
Fenomena demikian menunjukkan bahwa
benih-benih antagonisme politik mulai berkembang biak dalam tradisi
perpolitikan dewasa ini. Antagonisme politik dimakasud adalah adanya pemikiran
atau bahkan faham yang memandang bahwa antara politik, kekuasaan dan pemegang
kekuasaan terdapat sekat atau bahkan ketidakteraturan dan perlawanan. Politik
sudah tidak sejalur dengan kekuasaan, kekuasaan telah lepas kontrol dari
pemegangnya, sedangkan pemegang kekuasaan sengaja dibuat buta dengan fenomena
politik yang berkembang. Demikianlah benih-benih antagonisme politik yang
berkembang biak dewasa ini. Pertanyaannya, apa saja sebab yang melatarbelakangi
perkembangan antagoneisme tersebut?.
Maurice Duverger (1998), seorang profesor
sosiologi politik pada fakultas hukum dan ekonomi di salah satu universitas
Paris, melansir bahwa sebab-sebab timbulnya antagonisme politik dapat dibagi
menjadi dua kategori. Pertama adalah individual. Dalam hal ini beliau menyontohkan
kecerdasan pribadi seperti profesionalitas, kapabelitas, kecakapan dan
faktor-faktor psikologis lainnya. Sedangkan yang kedua adalah kolektif, seperti
faktor-faktor rasial, perbedaan stratifikasi sosial, pandangan politik, dan
faktor-faktor sosiokultural dan politik lainnya.
Kalau dalam konteks indonesia misalnya,
kategori yang pertama dapat dilihat dari adanya ketidakcakapan sebagaian
pemerintah dalam pemberantasan korupsi yang semakin membabi buta, pengentasan
kemiskinan, pemulihan ekonomi, dan semacamnya. Di samping itu, kunjungan kerja
(kunker) ke luar negeri sebagian mereka mengindikasikan minimnya kesadaran
moral dan jiwa empati yang ada dalam pribadi mereka. Di tengah maraknya
problematika yang menimpa bangsa dan negara ini, seperti pendidikan rendah,
balita kurang gizi, mereka masih ingin kunjungan dengan orientasi yang kurang
jelas dan banyak mendapat kritik dari beberapa kalangan.
Sedangkan kategori yang ke dua dapat kita
lihat dengan adanya persaingan konstan antarelit politik atau antara mereka
dengan masyarakat sehingga terjadi kesenjangan antara oknum dimaksud. Maraknya
politik uang (money politic) dan politik keluarga sebagaimana terjadi saat ini
juga dapat dikategorikan dalam kategori yang kedua ini.
Pada hakikatnya gema pembebasan masyarakat
telah berdengung sejak dahulu. Salah satu tokoh kesohor yang masih lekat dalam
ingatan adalah Paulo Freire. Pada tahun 2000, dia menulis sebuah buku dengan
judul “Islam dan Pembebasan”, pada kesempatan lain dia juga menerbitkan
karyanya yang bertemakan “Pendidikan yang Membebaskan”.
Mengapa dia sering kali mengangkat tema
pembebasan?. Salah satu jawabannya adalah karena sampai saat ini masyarakat
belum terbebaskan secara politik. Mereka masih terbelenggu oleh aturan-aturan
yang tidak sejalan dengan ruh demokrasi dan kebebasan. Dengan pembebasan
tersebut, dia ingin menghilangkan segala bentuk eksploitasi, dominasi,
penindasan, ketidakadilan, dan tindakan-tindakan lain yang menyusahkan
masyarakat. Dia ingin membangun masyarakat baru, yang awalnya hanya tunduk dan
patuh menjadi masyarakat yang ingin bersaing dan sedikit berfikir. Kalau
meminjam bahasa Paulo Freire: ingin merubah masyarakat kerucut (submerged
society) menjadi masyarakat yang terbuka (open society). Itulah yang menjadi
cita-cita suci seorang Paulo Freire.
Kenyataan membuktikan bahwa mayoritas
masyarakat kita dewasa ini masih berada dalam level tunduk dan patuh yang tidak
dilandasi dengan pengetahuan dan sikap kritis sebagaimana dipersepsikan Paulo
Freire. Terbukti, pada pemilihan gubernur kemaren, banyak di antara mereka yang
tidak mengetahui latar belakang para kandidat, baik politik, kapasitas
keilmuan, leadership, mereka mudah terbuai dengan uang politik (money politic)
dan janji-janji politik tanpa ada sikap kritis sedikitpun. Memang diakui bahwa
untuk mewujudkan cita-cita suci tersebut sangat sulit, tidak semudah membalik
telapak tangan. Kesulitan-kesulitan baik teknis maupun non teknis akan hadir
dalam setiap kesempatan. Tapi kesulitan demikian dapat dijadikan sebuah
tantangan ketika kita benar-benar memiliki niat dan kometmen untuk membuka
gerbang pencerahan politik dalam kehidupan masyarakat.
Salah satu tawaran yang cukup represntatif
untuk mewujudkan politik yang membebaskan adalah dengan membangun kesadaran
kritis masyarakat. Dalam hal ini Paulo Freire menegaskan bahwa seluruh
masyarakat harus berperan aktif untuk menumbuhkan kesadaran antarsesama. Para
ulama misalnya menjadikan khutbah menjadi media, tenaga pengajar dengan
pendidikan, politisi dengan kekuasaan yang dimilikinya, sastrawan dan budayawan
dengan sastra budayanya, dan sebagainya.
Kesadaran kritis ini diperlukan supaya
masyarakat tidak terus menjadi ekor, supaya tidak hanya menerima kenyataan apa
adanya tapi bagaimana mereka bisa menanyakan meneliti sumber penyebabnya atau
melakukan kontrol politik serta berani mengungkap ketika ada ketimpangan dalam
setiap fenomena yang terjadi. Pemilihan gubernur putaran kedua sudah tinggal
hitungan jari. Dalam momen itu, masyarakat diharapkan untuk bersikap kritis,
tidak hanya karena ada embel-embel uang lalu memilih, bukan karena terbuai
dengan janji-janji politis kemudian tunduk. Perlu diingat bahwa pilgub sangat
erat kaitannya dengan kesejahteraan hidup mereka. Dengan demikian, sikap kritis
dalam menentukan sebuah pilihan secara otomatis merupakan upaya dalam perbaikan
kehidupan mereka sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar