Beberapa waktu yang lalu kita mendengar
adanya gonjang-ganjing masalah penyederhanaan jumlah partai politik di
Indonesia. Beberapa pihak menganggap jumlah partai politik di Indonesia terlalu
banyak dan tidak ideal untuk diterapkan pada sistem presidensil. Mengapa wacana
ini muncul? Salah satu alasannya adalah dengan jumlah yang sedemikian banyak
tersebut roda pemerintahan tidak dapat berjalan dengan baik. Pertanyaannya
adalah, benarkah mengurangi jumlah partai adalah satu-satunya cara agar
pemerintahan berjalan efektif?.
Seperti kita ketahui, Indonesia telah
melaksanakan tiga kali pemilihan umum sejak reformasi. Pemilu 1999 diikuti 48
partai, Pemilu 2004 sebanyak 24 partai politik, dan Pemilu 2009 tercatat
sebanyak 38 partai politik. Semakin banyak partai yang ikut tentunya menjadikan
pasar politik menjadi semakin beragam baik dari sisi ideologi dan figur. Selain
itu, masyarakat menjadi bingung dalam memilih partai tersebut. Sehingga muncul
pertanyaan bahwa apakah dengan jumlah partai sebanyak itu mampu mewakili suara
masyarakat yang hidup dalam keragaman masing-masing wilayah. Tentu saja kajian
sosiologi-politik sangat tepat untuk menganalisis hal ini.
Terlepas dari sisi sosiologisnya, kita bisa
sedikit menelaah apa yang terjadi dalam pasar politik kita. Apakah tidak ada
kecurigaan ini merupakan sebuah strategi politik partai berkuasa untuk
menghalangi pesaing-pesaing politiknya? Teori ekonomi memandang bahwa akan
selalu ada kecenderungan memonopoli oleh salah satu supplier dengan cara salah
satunya menghalangi pesaing yang berkeinginan untuk masuk ke pasar. Upaya untuk
menghalangi tersebut dapat berupa secara artifisial, strategi, ataupun dibuat
seolah-olah natural. Dalam perspektif public choice, partai politik dipandang
sebagai pihak yang menawarkan kebijakan politik dan masyarakat sebagai demander
dengan alat tukar berupa suara. Sehingga terjadilah proses interaksi antara
partai politik dengan masyarakat sebagai pemilih. Apabila kecenderungannya
adalah monopoli, maka masyarakat akan dibuat seolah-olah tidak memiliki
alternatif lain. Dengan kata lain, tidak ada subtitusi untuk barang yang
sejenis. Sehingga pihak yang memonopoli mempunyai kecenderungan untuk menjadi
penentu harga, dan tidak ada tawar menawar dengan masyarakat.
Tentu saja hal ini jika dikaitkan dalam perspektif
struktur pasar politik, maka akan cenderung berpotensi pada kekuasaan yang
korup dan tidak demokratis. Salah satu penyebabnya adalah pihak berkuasa bebas
menentukan berapa dan kebijakan apa saja yang mereka inginkan dan mampu
menghalangi pihak lain untuk ikut berpartisipasi dalam percaturan politik.
Dengan demikian boleh jadi kita mengatakan usaha untuk mengurangi jumlah partai
politik adalah sama dengan menghidupkan kembali sistem otoriter yang kurang
demokratis.
Apa yang harus dilakukan? Dengan sistem
multipartai. presidensil, dan struktur
masyarakat majemuk di Indonesia, mengharuskan manajemen perpolitikan sebaiknya
diatur secara arif namun tanpa menghilangkan esensi dari demokrasi itu sendiri.
Are we on the right track? Yes. Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah
bagaimana perspektif Pancasila yang tertuang dalam sila keempat harus
diimplementasikan, jika kita masih menghargai Pancasila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar