Kekuasaan selalu menjadi ‘arena’ perburuan
birahi manusia zaman ini. Perburuan semakin ketat manakala melibatkan mereka
yang seolah berhak mengklaim diri sebagai bagian dari elite dan kelompok
mayoritas, baik kelompok elite politik, suku, ekonomi maupun agama. Trend yang
tengah berkembang, menjadikan ruang-ruang tersebut sebagai alat yang dapat
ditunggangi untuk memuluskan kepentingan personal belaka tanpa menjaga
kemurnian niatan. Pasalnya, perburuan kekuasaan setidak-tidaknya seperti yang
diyakini para penganut Darwinisme Sosial, dipandang sebagai bagian dari
struggle for life. Manusia secara mendasar menempatkan diri sebagai satu
spesies melawan spesies yang lain dan begitu pula sebaliknya. Dalam bahasa
evolusi Darwin , “The fittest of the survival”. Kekuasaan di mata para penganut
pemikiran sosial kritis, bahkan dipandang sebagai titik tolak terjadinya
dialektika hegel atau meminjam istilah Weberian sebagai motif tindakan sebab
(because motive) sekaligus motive tujuan (in order to motive). Kekuasaan
dimanfaatkan untuk mengukuhkan cengkeraman terhadap privelese yang dimiliki
oleh para elite sehingga mengekalkan dominasinya terhadap rakyat atau kelas
yang tidak memiliki harta milik maupun alat-alat produksi.
Dizaman raja-raja Jawa, perburuan kekuasaan
banyak melibatkan intrik dan bahkan menggunakan cara kekerasan yang melibatkan
mereka yang di dalam maupun di luar Keraton. Kekuasaan di mata mereka bagaikan
‘sawah’ , sebuah unexpandable good, sebuah komoditi yang tidak bisa diperluas.
Upaya untuk memperluas, tidak ada cara lain selain dengan cara mempersempit
‘sawah’ orang lain. Di sinilah perburuan kekuasaan sering menimbulkan
ketegangan. Bahkan menelan korban. Mangkurat I dikenal sebagai penguasa Jawa
yang pernah menghimpun ratusan dan bahkan ada yang mengatakan ribuan ulama di
alon-alon keraton. Mereka dianggap ancaman, lalu dibunuh. Perburuan kekuasaan
tampaknya memang selalu berhimpitan dengan kekerasan. Namun, Sultan Agung
(1613-1646) memiliki cara yang lebih menarik dan kompleks. Tidak hanya
menggunakan cara penundukan (vassal) melalui kekerasan dan pengerahan militer.
Sultan Agung juga menggunakan cara-cara yang cerdik,seperti cara politis,
mistis dan juga magis-religius. Dengan cara itu, akhirnya rakyat menaruh
hormat. Semua orang lalu bersedia ikut kepada kehendak raja. Cara itulah yang
disebut Antonio Gramsci dengan istilah hegemoni.
Sultan Agung dengan jeli melihat energi di
balik agama. Di sana ada kekuatan yang dapat memperkokoh kekuasaan. Kekuasaan
yang ia bangun di atas doktrin ‘keagungbinataraan’. Kekuasaan yang luas gung
binatara, bau dendha anyakrawati, sebesar kekuasaan dewa, pemelihara hukum dan
penguasa dunia. Untuk mengokohkan kekuasaannya, Sultan Agung mengundang ulama
dari Mekah untuk mengukuhkannya sebagai seorang Sultan yang bergelar sayyidin
panata gama, kalifatullah ing tanah Jawi. Dengan cerdik pula, Sultan Agung
mengubah kalender Jawa dengan penanggalan Islam, sehingga orang Jawa kemudian
mengenal nama bulan seperti Sawal, Selo, Besar, Suro, Sapar,Mulud, Bakda-mulud,
Jumadil awal, Jumadilakir, Rejeb, Ruwah lan Poso. Namun, prinsip penundukan
(vassal) dan pertuanan (overlord) tetap saja tidak bisa dielakkan. Dianggap
sebagai ancaman, Sultan Agung pernah mengirim ekspidisi penyerangan ke daerah
para wali, di Giri pada 1635. Setelah itu Mangkurat II meneruskan untuk
menghancurkannya pada 1680.
Begitulah kalau saja kekuasaan dikonstruks
seperti ‘sawah’ , sebagai komoditi yang bisa jadi diperjual-belikan. Konstruksi
kekuasaan dengan metafor ‘sawah’ itu tampak masih dijalankan oleh sementara
penguasa di jaman Indonesia modern. Penundukan dan pertuanan masih dipelihara.
Pemilu, sebagai wujud system demokrasi, bisa ‘ditekuk-tekuk’ sehingga tetap
menghasilkan system kekuasaan yang diselimuti oleh nilai-nilai ‘kebinataraan’.
Kekuasaan lalu digunakan untuk membatasi ruang gerak orang-orang dan memuluskan
kegiatan akumulasi kapital sang penguasa. Pada akhirnya kekuasaan dipelintir
sana sini dan tidak lagi menjadi media untuk menciptakan altruisme atau
kebaikan bersama, melainkan untuk meneguhkan predikat homo politicus yang
sekaligus homo economicus sang pemegang kekuasaan. Dalam pahaman yang
sebenarnya kekuasaan itu harus dicari, dan dipergunakan sebaik-baiknya.
Kesejahteraan, kedamaian dan kesentausaan hidup bersama memang membutuhkan
sejumlah kuasa. Namun, kuasa yang bukan disalah gunakan dan disalah artikan.
(Penafsiran ala penulis melalui penghayatan atas buku Sosiologi Politik
: Zainuddin Maliki)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar