Dalam politik, untuk unggul dalam persaingan
dapat menggunakan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan melakukan survey
atau pooling untuk menentukan strategi politik. Beberapa waktu silam, media menengarai Partai Demokrat membiayai
sebuah lembaga survey. Lembaga survey dapat bersikap independen namun juga
dapat berlaku sebagai alat pembangun opini untuk kepentingan politik. Hasil survey pada dasarnya adalah untuk basic
data dalam sebuah pendapat yang dapat dipertanggung jawabkan. Dalam bisnis,
survey biasa dilakukan untuk melihat demand dan kopetitor produk dalam
pengambilan keputusan investasi peningkatan produk yang biasa disebut study
kelayakan atau feasibility study.
Apa yang dilakukan oleh Partai Demokrat
adalah hal yang wajar menggunakan lembaga survey untuk menentukan strategi
politiknya. Namun menjadi masalah etika
ketika lembaga survey tersebut menyatakan diri sebagai lembaga independen jika
hasil survey yang dibuatnya adalah rekayasa.
Tidak pula harus berprasangka buruk, sebuah strategi dapat disusun dengan
baik jika data yang digunakan adalah data valid, bukan sebuah rekayasa.
Untuk menciptakan figur seseorang menjadi
calon pemimpin juga dapat dilakukan dengan memanfaatkan lembaga survey
itu. Sebuah rekayasa adalah hal sangat
mungkin sebab dalam politik tidak terjadi resiko finansial seperti dalam
keputusan sebuah investasi. Menciptakan
Joko Widodo sebagai idola bukan hal yang sulit. Cara yang paling lazim adalah
merilis hasil rekayasa survey dengan menempatkan Jokowi sebagai figur
terpavorit untuk memancing opini.
Dilakukan secara rutin maka akhirnya memang terbentuk opini real, Jokowi
menduduki ranking nomor wahid.
Opini itu juga terbangun oleh adanya
gencarnya pemberitaan ”dagangan” yang dimiliki Jokowi sebagai orang paling
pantas menjadi pemimpin bangsa. Namun
jika melihat “dagangan” Jokowi yang sifatnya tugas rutin kepala daerah, antara
hasil survey dan dagangan yang dimiliki Jokowi menjadi terlihat sebuah trik
politik semata. Betapa tidak, Megawati Sukarno Putri yang memiliki track record
sebagai prsiden RI, pamornya dikalahkan oleh “urusan” pasar milik Jokowi. Walaupun hal itu merupakan sebuah
kejanggalan, namun opini sudah terbentuk yang juga dipengaruhi oleh adanya
hujatan-hujatan kepada pemerintah SBY, bahkan hujatan kepada SBY sendiri.
Jika kita melihat dari sudut sosiologi kemasyarakatan,
harus diakui bahwa di Indonesia belum ada kesetaraan gender sehingga masih
dipandang perlu mengangkat menteri pemberdayaan wanita. Isu gender memang tidak mencuat, tapi
ganjalan sepanjang karir Megawati memang oleh faktor gender itu. Naiknya Megawati menggantikan Gus Dur, isu
gender menjadi kurang etis. Memanfaatkan
rekayasa hasil survey sebagai pancingan membentuk electabilitas Jokowi
mengalahkan Megawati menjadi cara untuk menjegal Megawati dengan menjual urusan
pasar dan blusukan milik Jokowi kadernya
sendiri. Mungkin moto elit politik Indonesia
”asal jangan Megawati” masih cukup kuat. Itulah Politik, sulit terduga arahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar