Dunia politik bisa diibaratkan sebagai sebuah
panggung sandiwara dengan aneka tokoh dan perannya masing-masing. Ada tokoh dan
peran utama, ada tokoh dan peran figuran. Ada peran di depan layar ada peran di
belakang layar. Tentu ada skenario dan sutradaranya juga. Yang dominan menjadi
fokus perhatian penonton biasanya hanya dua tokoh sentral yakni: tokoh
protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis biasanya memainkan peran yang
mewakili unsur putih (positif), dan tokoh antagonis memainkan peran yang
mewakili unsur hitam (negatif). Kebaikan tokoh porotagonis tidak akan menjadi
semakin jelas, kabur, jika tokoh antagonisnya tidak serius memainkan perannya
untuk memperjelas, menggunggat, mempertanyakan, dan menguji peran tokoh
protagonis. Penonton akan semakin sulit menemukan keberpihakkan kepada tokoh
protagonis, jika tokoh antagonis malah mengambil alih peran protagonis.
Panggung politik menjelang pilpres 2014 mulai
menyuguhkan tokoh protagonis yang disukai penonton. Siapa lagi kalau bukan
Jokowi yang disebut sebagai “Sang Media Darling” dan Sang Bintang yang menuai
banyak penggemar fanatik. Jokowi memang sudah terlanjur mengambil peran
protagonis sejak dari Solo menuju DKI Jakarta. Sebagai tokoh protagonis, Jokowi
mewakili sisi putih, kebaikan, kebersihan, kesahajaan, yang disukai rakyat. Karena
itu, dia menjadi populer dan elektabilitasnya pun kian meroket takterbendung.
Apalagi untuk ibu-ibu yang suka nonton sinetron, figur Jokowi mewakili
tokoh-tokoh pahlawan/protagonis di dalam film-film yang mereka sukai.
Nah, untuk semakin memperjelas, mempertajam,
dan menguji kedalaman serta konsistensi peran protagonis Jokowi sangatlah
diperlukan tokoh-tokoh yang ‘lihai’ dan ‘ahli’ dalam memainkan peran antagonis.
Satu per satu bermunculan tokoh antagonis di pentas perpolitikkan jelang
pilpres 2014. Ruhut Sitompul dan Amin Rais untuk saat ini bisa diidentikkan
dengan tokoh antagonis yang tampil untuk menggugat, memperjelas, dan
memperdalam ketokohon Jokowi.
Serangan betubi-tubi yang mereka lakukan
terhadap Jokowi malah semakin memperjelas posisi peran protagonis yang
dimainkan oleh Jokowi. Ruhut Sitompul yang meragukan kemampuan Jokowi untuk
memimpin Indonesia, karena hanya seorang tukang mebel malah memperkuat
keyakinan masyarakat Indonesia bahwa negeri ini butuh pemimpin yang punya hati
seperti seorang tukang mebel. Rakyat pun semakin dibuat penasaran, mengapa
seorang tukang mebel mampu memimpin Solo dan tembus menjadi Gubernur di Ibu
Kota? Ada apa dengan seorang Jokowi? Di sini, Ruhut ikut mempertajam peran
protagonis Jokowi.
Setelah Ruhut, muncul mantan anggota MPR RI,
Amin Rais yang lebih jago memainkan peran antagonis dalam pentas pepolitikkan
nasional. Tampilnya ketokohan antagonis sekelas Amin Rais merupakan berkah
tersendiri untuk menguji ketokohan protagonis Jokowi. Serangan-serangan Amin Rais
terhadap Jokowi mulai dari meragukan kadar nasionalismenya, seolah populer
tanpa keberhasilan nyata, serta dianggap tidak mampu memimpin Indonesia malah
semakin memperkuat keyakinan publik bahwa Jokowi memang pantas memimpin
Indonesia. Publik dibuat penasaran untuk mencari bukti-bukti kebenaran dari
pernyataan Amin Rais. Ketika publik sampai pada fakta bahwa apa yang
disampaikan oleh Amin Rais malah justru sebaliknya, maka kemantapan peran
protagonis yang dimainkan oleh Jokowi terasa semakin gamblang untuk Indonesia.
Ruhut Sitompul dan Amin Rais memainkan peran
antagonisme politik bagi Jokowi. Dalam teori sosiologi politik dikenal juga
istilah antagonisme politik
(dipopulerkan oleh Maurice Duverger). Antagonisme politik ini bisa dimainkan
secara individual juga bisa dimainkan seca kolektif. Secara individual bisa
disebabkan oleh bakat, kemampuan, atau usur psikologis lainnya. Artinya,
tampilnya antagonisme politik secara individual bisa disebabkan oleh karena
sang tokoh antagonis merasa diri kalah dalam bakat atau kemampuan dari sang
tokoh protagonis. Lantas ia hadir untuk menenggelamkan tokoh
protagonis yang lebih mampu untuk memimpin dan populer. Secara kolektif bisa
disebabkan oleh kepentingan partai politik, kelas sosial tertentu, atau SARA.
Bisa jadi penyebabnya bisa kedua-duanya atau saling menunggangi.
Persoalannya, apakah antagonisme politik ini
akan berlangsung terus tanpa ada sebuah konsensus politik atau integrasi ?
Jawabannya tentu tidak. Integrasi politik melalui manajemen konflik antagonisme
politik dapat menjadi sebuah keniscayaan jika tokoh protagonis kemudian
memenangkan pertarungan di atas pentas dan menuai dukungan politik. Meskipun
bisa jadi bahwa tokoh antagonisme politik akan terus berlangsung sebagai
“oposisi” bagi tokoh protagonis yang memenangkan pertarungan politik pada 2014
mendatang.
Setelah memenangkan euforia sebagai tokoh
protagonis dalam pilpres 2014, seorang protagonis tentu harus terus menjaga
konsistensi keprotagonisannya dengan gambaran-gambaran yang diharapkan oleh para
penonton/masyarakat pemilihnya. Jika tidak, maka para
penonton/penggemar/masyarakat pemilihnya akan berbalik menyerangnya apalagi
jika didukung oleh tokoh-tokoh antagonis.
Presiden SBY dan Demokrat adalah salah satu
contoh terkini protagonis pada masanya dengan Megawati dan PDIP sebagai
antagonisnya sampai saat ini. Apakah sejarah akan terulang kembali bagi
Jokowi dan PDIP?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar