Almarhum John F. Kennedy pernah mengatakan
begini, “Jangan tanyakan apa yang negara berikan padamu tapi, tanyakanlah apa
yang dapat kau berikan pada negaramu”.
Buat Saya, perkataan Kennedy di atas akan
sangat menggelikan jika Kita membicarakan apa itu negara atau, siapakah negara.
Pasalnya, negara hanyalah alat dari suatu masyarakat tertentu yang dibentuk
dalam rangka mencapai tujuan-tujuan masyarakat bersangkutan secara keseluruhan.
Makanya, dalam perspektif Sosiologi politik, dimana penekanan pembahasannya
adalah kelompok-kelompok dalam kaitannya dengan kekuasaan (politik), yang kita
temukan sebagai representasi negara adalah kelompok yang menguasai dan
menjalankan negara tersebut. Misalnya, Indonesia. Jadi, bila kata negara dalam
ungkapan Kennedy di atas kita ubah dalam artian Sosiologi politik menjadi
kelompok penguasa niscaya akan berbunyi, “Jangan tanyakan apa yang diberikan
kelompok penguasa padamu tapi, tanyakanlah apa yang dapat kau berikan pada
kelompok penguasa”. Bukankah itu menggelikan?.
Nah, meski menggelikan namun itulah fakta
yang bisa kita lihat dan rasakan tentang negeri ini. Kelompok penguasa tadi,
dalam politik, sering disebut sebagai koalisi partai. Koalisi partai adalah
sebuah mekanisme bagi-bagi kekuasaan dari pusat maupun daerah. Di Pusat,
koalisi partai mengacu kepada wacana tentang siapa yang jadi menteri, siapa
yang jadi Kapolri/Panglima TNI, bahkan siapa yang jadi Gubernur Bank Indonesia
ditentukan oleh jumlah suara koalisi partai ini di Parlemen (Legislatif).
Jumlah kursi tiap-tiap anggota koalisi di Legislatif ikut menentukan apakah
“orangnya” bisa jadi menteri atau tidak. Jika bisa, jabatan menteri apa yang
bisa diperolehnya. Kemudian, di Daerah, koalisi partai merujuk pada kesepakatan
tentang, misalnya, siapa yang menjadi kepala dinas, siapa yang menjadi kepala
inspektorat dan seterusnya.
Dalam konteks Indonesia sebagai negara gagal,
koalisi partai itulah yang bertanggung jawab penuh atas musibah yang menimpa
indonesia. Jadi, kemiskinan bangsa ini tak bisa dibebankan kepada rakyat
sebagai penyebabnya, termasuk Tuhan. Semua masalah yang menyangkut kemiskinan
maupun kebodohan sebagian anak bangsa mesti dinisbatkan kepada koalisi partai,
dan bukan yang lain. Mengapa? Karena koalisi partai inilah yang punya senjata
dan merupakan representasi negara.
Dengan senjata yang dimilikinya, mulai dari
senjata konvensional, senjata ideologis maupun senjata represif, koalisi partai
ini membuat peraturan, perundang-undangan maupun keputusan-keputusan yang di satu
sisi memperkaya mereka sementara di sisi lain memiskinkan mayoritas anak bangsa
sehingga Indonesia menjadi negara gagal.
Orang-orang yang bercokol dalam koalisi
(Pusat dan Daerah) inilah yang membuat peringkat Indonesia di Indeks Negara
Gagal naik dari peringkat 64 ke 63. Hal itu berarti buruk karena semakin kecil
peringkat negara di indeks tersebut berarti negara itu dalam perjalanan menjadi
negara gagal. Dalam Index Negara Gagal (Failed State Index (FSI) 2012 yang
dipublikasikan di Washington DC, Amerika Serikat, Indonesia menduduki peringkat
ke-63 dari 178 negara. Dalam kategori tersebut, Indonesia masuk kategori
negara-negara yang dalam bahaya (in danger) menuju negara gagal.
Tahun lalu, Indonesia menempati peringkat
ke-64 dari 177 negara. Sementara itu, Lembaga riset nirlaba Fund For Peace
menempatkan posisi Indonesia di atas Myanmar (21), Kamboja (37), Laos (48),
Filipina (56), dan Timor Leste (28) dalam hal tekanan sosial, politik, ekonomi
dan militer. Artinya, kondisi di Indonesia sepanjang satu tahun terakhir
dipandang memburuk dibandingkan periode sebelumnya. Peringkat satu di Indeks
Negara Gagal masih ditempati oleh Somalia dan Republik Demokratis Kongo di
posisi dua. Ada tiga hal yang membuat posisi Indonesia memburuk. Pertama adalah
tekanan demografis. Tekanan demografis ini terjadi karena masalah degradasi
lahan serta tergusurnya warga karena masalah lingkungan. Kedua, ketidakpuasan
kelompok. Ketidakpuasan kelompok terjadi karena di Indonesia bergulir banyak
aksi demonstrasi serta kekerasan terhadap kelompok-kelompok minoritas. Yang
ketiga masalah tekanan sosial akibat melebarnya jurang antara yang kaya dan
yang miskin.
Jika kita cermati ketiga variabel di atas,
sebenarnya itu adalah variabel tergantung yang muncul karena variabel perilaku
kompleks orang-orang di dalam koalisi partai. Perilaku kompleks di sini adalah
gabungan dari penghayatan atas etika moral yang dimiliki dan perilaku konsumsi
barang dan jasa yang ada pada diri setiap anggota koalisi partai beserta
keluarganya masing-masing sehingga, melalui serangkaian
peraturan-perundang-undangan maupun keputusan-keputusan yang dibuat, timbullah
ketiga variabel di atas sebagai akibatnya.
Maka dari itu, muncul dari manakah logika
tentang memberikan sesuatu kepada koalisi partai padahal rakyat tak punya
apa-apa untuk diberikan? Dengan pertanyaan lain, jika seluruh aset bangsa mulai
dari bumi, air serta segenap yang tersimpan di dalamnya adalah milik koalisi
partai (sebagai representasi negara), padahal rakyat tak punya apapun, lalu apa
lagi yang mau diberikan kepada koalisi partai ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar