Dahrendorf merupakan penerus dan pengembang
dari Teori Konflik Karl Marx. Dilahirkan di Hamburg Jerman pada tahun 1929.
Awalnya Dahrendorf mempelajari filsafat dan sastra klasik di Hamburg sedangkan
ilmu sosiologi dipelajarinya di London Inggris. Karyanya yang paling popular
adalah buku berjudul Class and Class Conflict in Industrial Society yang
diterbitkan pada tahun 1959. Sebagai orang dilahirkan pada masa perang dunia
pertama sangat mempengaruhi pemikiran Dahrendorf dan terlibat dalam akitivitas
politik di Jerman Barat hingga akhirnya pernah menjadi anggota parlemen Jerman
Barat. Sedangkan karir akademis yang pernah diraihnya adalah menjadi direktur
London School of Economics di Inggris.
Tokoh yang mempengaruhi pemikiran Dahrendorf
adalah Karl Marx. Dia mengambil gagasan dasar dari teori, hipotesis, dan
konsep-konsep Marx. Seperti halnya dengan ahli lainnya, lahirnya teori konflik
merupakan kritik terhadap teori struktural fungsional dimana teori ini
menekankan bahwa masyarakat disusun atas ketertiban dan keteraturan pada
struktur. Para penganut aliran teori konflik mengkritisi teori structural
fungsional dengan mengatakan bahwa teori tersebut mengabaikan konflik yang
terjadi pada masyarakat. Marx sebagai tokoh utama dan pertama teori konflik ini
melihat bahwa masyarakat tersusun atas dua kelas yaitu borjuis (penguasa dan
pemilik modal) dan proletar (masyarakat kelas rendah). Kedua kelas ini saling
bertentangan terutama oleh dalam memperjuangkan sumber-sumber ekonomi.
Teori fungsionalis cenderung melihat
masyarakat secara informal diikat oleh norma, nilai, dan moral. Sedangkan teori
konflik melihat bahwa seluruh keteraturan dalam masyarakat disebabkan adanya pemaksaan
terhadap anggotanya oleh para penguasa. Merujuk pada konsep Marx hal ini
berarti masyarakat proletar hidup dan bertingkah laku karena adanya pemaksaan
untuk melaksanakan aturan-aturan yang ditetapkan oleh kaum burjuis. Golongan
fungsionalis fokus pada kohesi yang diciptakan oleh nilai bersama dalam
masyarakat. Sedangkan kritik teori konflik memfokuskan pada peran kekuasaan
dalam mempertahankan ketertiban dalam masyarakat.
Selain mengkritik teori fungsional struktural
tradisional yang dibangun oleh Talcot Parsons karena gagal memahami masalah
perubahan, Dahrendorf juga mengkritik toeri konflik Marx. Jika Marx bersandar
pada pemilikan alat produksi, maka Dahrendorf bersandar pada kontrol atas alat
produksi. Dalam terminologi Dahrendorf, pada masa pos-kapitalisme, kepemilikan
akan alat produksi (baik sosialis atau kapitalis) tidak menjamin adanya kontrol
atas alat produksi. Dia membangun teori konflik dengan separuh penolakan,
separuh penerimaan, dan modifikasi teori sosiologi Karl Marx. Dahrendorf mula-mula
melihat teori konflik sebagai teori parsial, menganggap teori itu merupakan
perspektif yang dapat dipakai menganalisa fenomena sosial. Teori kelas Marx dan
teori konfliknya hanya relevan pada awal kapitalisme (awal revolusi industri)
dan tidak lagi sesuai dengan masyarakat industry post kapitalis. Dahrendorf
berpendapat bahwa pekerjaan masyarakat semakin heterogen karena adanya
peningkatan keterampilan, peningkatan persamaan, dan arti hak-hak warga dalam
politik, peningkatan kemakmuran materiil masyarakat, peningkatan upah kerja,
dan berdirinya berbagai mekanisme institusional dalam membahas isu konflik.
Pemikiran Dahrendorf ini lebih bersifat umum karena bisa diterapkan pada
masyarakat kapitalis maupun sosialis yang berpusat pada struktur otoritas perusahaan
industry dari pola kepemilikan.
Dahrendorf telah melahirkan kritik penting
terhadap kegagalan dalam menganalisa masalah konflik sosial. Dia menegaskan
bahwa proses konflik sosial itu merupakan kunci bagi struktur sosial. Bersama
Coser, Dahrendorf telah berperan sebagai corong teoritis utama yang
menganjurkan agar perspektif konflik di pergunakan dalam rangka memahami dengan
baik fenomena sosial.
Pemikiran Dahrendorf mengenai konflik dapat
dikelompokkan dalam tiga bagian : Dekomposisi modal, menurut Dahrendorf
timbulnya korporasi- korporasi dengan saham yang dimiliki oleh orang banyak,
dimana tak seorangpun memiliki kontrol penuh merupakan contoh dari dekomposisi
modal.
Dekomposisi Tenaga kerja, di abad
spesialisasi sekarang ini mungkin sekali seorang atau beberapa orang
mengendalikan perusahaan yang bukan miliknya, seperti halnya seseorang atau
beberapa orang yang mempunyai perusahaan tapi tidak mengendalikanya. Karena
zaman ini adalah zaman keahlian dan spesialisasi, manajemen perusahaan dapat
menyewa pegawai- pegawai untuk memimpin perusahaanya agar berkembang dengan
baik.
Timbulnya kelas menengah baru, pada akhir
abad kesembilan belas, lahir kelas pekerja dengan susunan yang jelas, di mana
para buruh terampil berada di jenjang atas sedang buruh biasa berada di bawah.
Pemikiran Dahrendorf juga dipengaruhi oleh
Max Weber terutama dalam melahirkan konsep kekuasaan dan otoritasnya. Kekuasaan
diartikan sebagai kemampuan untuk memaksakan kemauan seseorang meskipun
mendapat perlawanan. Sedangkan otoritas diartikan sebagai hak yang sah untuk
mengharapkan kepatuhan. Dalam konsep otoritas disebutkan bahwa yang menjalankan
otoritas dan yang tunduk pada otoritas tersebut mempunyai kepentingan yang
bertentangan sehingga orang yang menyadari akan kepentingan kelasnya dan
membentuk kelompok konflik kelas untuk mengubah struktur otoritas tersebut.
Otoritas tidak terletak dalam diri seseorang melainkan pada posisi. Letak
otoritas ini pada posisi menyebabkan sifat otoritas tentatif dan dapat berubah
pada tempat dan waktu yang berbeda. Sebagai contoh seorang wali nagari pada
satu nagari tidak memiliki otoritas di nagari lain.
Dahrendorf menunjukkan bahwa kepentingan
kelas bawah menantang legitimasi struktur otoritas yang ada. Kepentingan antara
dua kelas yang berlawanan ditentukan oleh sifat struktur otoritas dan bukan
oleh orientasi individu pribadi yang terlibat di dalamnya. Individu tidak harus
sadar akan kelasnya untuk kemudian menantang kelas sosial lainnya.
Dahrendorf juga menganalisis hubungan antara
kelompok, konflik, dan perubahan. Menurutnya ada tiga tipe kelompok yaitu:
1. kelompok semu yaitu sejumlah pemegang
posisi dengan kepentingan yang sama;
2. kelompok kepentingan yaitu kelompok yang
memiliki struktur, bentuk organisasi, tujuan atau program dan anggota perorangan.
Kelompok ini merupakan agen riil dari konflik kelompok;
3. kelompok konflik, yaitu kelompok yang
terlibat dalam konflik kelomok actual.
Kelompok-kelompok tersebut merupakan konsep
dasar untuk menjelaskan konflik sosial. Kelompok dalam masyarakat tidak pernah
berada dalam posisi ideal sehingga selalu ada factor yang mempengaruhi
terjadinya konflik sosial. Berkaitan dengan ini Dahrendorf mengatakan, jika
anggota kelompok direkrut secara acak dan ditentukan oleh peluang, kelompok
kepentingan dan kelompok konflik tidak akan muncul. Jika rekrutmen anggota
kelompok berdasarkan struktur akan sangat memungkinkan munculnya kelompok
kepentingan hingga kelompok konflik.
Berkaitan dengan perubahan, Dahrendorf
mengatakan bahwa konflik akan menyebabkan perubahan dan perkembangan. Setelah
konflik selesai, anggota masyarakat akan melakukan perubahan dalam struktur
sosial. Jika konflik yang terjadi sangat besar akan menyebabkan perubahan yang
radikal dan bila konflik disertai tindak kekerasan akan menyebabkan perubahan struktur
yang tiba-tiba.
Dalam menganalisis konflik masyarakat, yang
pertama dilakukan adalah mengidentifikasi berbagai peran otoritas di dalam
masyarakat. Dahrendorf mengkombinasikan pendekatan fungsional (tentang struktur
dan fungsi masyarakat) dengan pendekatan konflik dalam menganalisis antar kelas
sosial masyarakat. Berkaitan dengan hal ini, Zetlin menyarankan dalam
menganalisis masyarakat harus membedakan dua metateori dalam masyarakat yaitu
system sosial terintegrasi secara fungsional (teori fungsional), dan metateori
kedua adalah struktur sosial dijalankan melalui tekanan dan paksaan (teori
konflik).
Teori sosial Dahrendorf berfokus pada
kelompok kepentingan konflik yang berkenaan dengan kepemimpinan, ideologi, dan
komunikasi di samping tentu saja berusaha melakukan berbagai usaha untuk
menstrukturkan konflik itu sendiri, mulai dari proses terjadinya hingga
intensitasnya dan kaitannya dengan kekerasan. Jadi bedanya dengan
fungsionalisme jelas, bahwa ia tidak memandang masyarakat sebagai sebuah hal
yang tetap/statis, namun senantiasa berubah oleh terjadinya konflik dalam
masyarakat. Dalam menelaah konflik antara kelas bawah dan kelas atas misalnya.
Pendekatan konflik dikritik karena mengabaikan
ketertiban dan stabilitas serta cendrung berideologi radikal. Ada beberapa
kritik terhadap teori Dahrendorf yaitu : tidak
secara tegas mencerminkan pemikiran Marxian, lebih banyak kesamaannya dengan teori
fungsionlisme structural daripada teori Marxian dan memiliki kelemahan yang
sama dengan teori fungsionlisme structural; hampir seluruh teori konflik bersifat
makroskopik dan sangat sedikit yang ditawarkan dalam memahami pemikiran dan
tindakan sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar