Malam tadi, saya nonton film “The Bodyguard
from Beijing”. Jet Lee sebagai star hero-nya. Sejak saya kenal film-film mandarin,
baik yang dibintangi oleh Bruce Lee, Wang Yu, Fa Yu Ching, Chen Kuan Tai, Danny
Tan, Danny Low, Jacky Chen, Jet Lee hingga Stephen Cow – untuk menyebut
beberapa nama diantaranya – maka satu hal yang mirip : mereka mampu mengalahkan
lawan-lawannya dalam jumlah banyak, sendirian. Lakon pasti tidak akan pernah
kalah, minimal babak belur, tapi tetap menang. Lalu bagaimana dalam jumlah
lawan yang demikian banyak, sang lakon bisa menang? Sepintas lalu, saya
teringat dengan ungkapan salah seorang teoritisi sosiologi konflik : “Ketika
menghadapi satu tujuan dengan motivasi untuk menang, maka setiap individu akan
berfikir secara kelompok, tapi bila mereka merasa keselamatan pribadinya
terancam, maka mereka akan berfikir perorangan. Dalam bahaya atau kemelut, kelompok
cenderung menjadi buyar”. Ciaaaat, kata Bruce Lee. Satu orang pingsan. Satu
lagi terkapar. Yang lain ?….. mereka akhirnya ragu-ragu dan buyar. Hal ini bila
dikorelasikan dengan bidang kehidupan lain, bisa nggak ? Dalam bidang politik
misalnya ?.
Menarik sekali bila melihat “kesan-kesan”
yang kita tangkap pada masa jelang Pemilu Legislatif 9 April 2014 yang akan
datang. Tiap caleg selalu mengadakan seruan (appeal) untuk memberikan kesan
bahwa rakyat yang akan memilih dan dirinya adalah satu. Di sana-sini terdengar
janji-janji. Lihatlah spanduk, baliho ataupun sticker dan ragam jenis instrumen
sosialisasi lainnya. “Wakil Kita Masa Depan Kita”, “Menciptakan Ekonomi
Kerakyatan”, “Mari Kita Sejahterakan Rakyat” dan seterusnya dan seterusnya yang
pada prinsipnya membuat kita mengklaim mereka “panduto raya”. Dalam kondisi
ini, timbul indentifikasi antara kepentingan rakyat dan kepentingan sang caleg.
Sedapat-dapatnya, sang caleg menciptakan kesan berfikir menurut jalan rakyat.
Tapi apapun yang dilakukan oleh para caleg belakangan ini, wajar-wajar saja.
Sosialisasi yang berhasil, menurut sosiologi politik, adalah yang mampu
mengadakan “political engineering” – suatu penyiasatan politik untuk mencapai
tujuan politik dan mewujudkan kemauan politik tertentu, dengan cara menciptakan
suatu kerangka berfikir menurut kerangka acuan kelompok.
“Historia Vitae Magistra”, kata Bennedicto
Croce. Sejarah memberi pengalaman. Pengalaman historis bangsa kita, memberikan
pelajaran yang sama. Kolonialisme yang ingin ditumbangkan melahirkan kondisi
kerangka berfikir yang sama dalam benak setiap ank bangsa kal itu. Indonesia
merdeka pun menjelma. Kemudian, lahir sejumlah kelompok dan partai politik.
Kemudian saling gontok-gontokan. Kemudian, terjadi instabilitas. Kemudian,
kemudian dan kemudian. Menjadi pertanyaan : “Mengapakah orang-orang yang
tadinya demikian bersatu padu, dalam waktu yang tak lama berselang, menjadi
amat terpecah belah?”. Pengalaman-pengalaman seperti itulah yang barangkali
membuat rakyat menjadi masygul dan kritis menghadapi seruan politik dalam
berbagai kampanye. Persatuan kepentingan dengan mereka dikerahkan
sehabis-habisnya tatkala suara atau tenaganya dibutuhkan untuk mensukseskan
suatu perjuangan politik. Tetapi begitu perjuangan mulai memperlihatkan hasilnya,
mereka cenderung tidak diutamakan lagi, sekurang-kurangnya tak lagi sehebat
ketika lagi berjuang. Ungkapan “Wakil Kita Masa Depan Kita” menjadi kehilangan
makna.
Lalu bagaimana hubungannya dengan Silat Jet
Lee diatas ? Dengan sedikit variasi : “dalam perjuangan politik orang cenderung
berfikir kelompok, dalam menikmati hasilnya, orang cenderung berfikir sebagai
perorangan”. Pagi hari minggu kemaren, lamat-lamat saya mendengar nyanyian
anak-anak yang baru pulang dari Didikan Subuh : Berakit-rakit ke hulu/berenang-renang
ke tepian/bersakit-sakit dahulu/bersenang-senang sendirian/. Saya lihat
kemudian, rupanya mereka bernyanyi menghadap pada baliho gambar seorang Caleg
yang terletak dekat musholla. Setelah nyanyi, mereka pun ketawa dan salah
seorang nyeletuk, “Calegnyo bencong, lai laki-laki tapi bibianyo bagincu”.
Pendapat Pribadi tentang Kombinasi Figur
Capres-Cawapres RI Ideal Tahun 2014. Menurut pendapat penulis, Yusril Ihza
Mahendra & Anies Baswedan merupakan pasangan Calon Presiden dan Wakil
Presiden alternatif pada kompetisi politik di tahun 2014 mendatang yang cukup
ideal untuk menegakan keadilan dan kepastian hukum demi membawa Indonesia
menjadi lebih sejahtera, visioner & mampu bersaing dlm percaturan global.
Perpaduan antara kepemimpinan, keislaman, keindonesiaan, keberanian, kepekaan,
kemudaan, kemampuan (intelektualitas), dan “multi-linguist skills” dari
keduanya merupakan sinergi yg kokoh dalam pemanfaatan sumber daya (sumber daya
manusia & sumber daya alam), serta pengembangan karakter bangsa demi
kemajuan Indonesia.
Namun dalam analisis penulis, duet ini
sedianya hanya dapat terwujud dengan asumsi kalkulatif bahwa Partai Bulan
Bintang yang mencalonkan Yusril Ihza Mahendra sebagai Calon Presiden
mendapatkan suara yang signifikan ± 8% suara pada Pemilu Legislatif 2014
mendatang, dan Anies Baswedan pun kiranya dapat mampu terpilih secara
demokratis dalam Konvensi yang diselenggarakan oleh Partai Demokrat, sehingga
keduanya dapat dipadukan, terlepas dari elektabilitas kedua partai politik
pendukung utama yang mencalonkannya belakangan ini.
Komposisi figuritas dan partai tersebut
diharapkan dapat mempunyai posisi-tawar yang tinggi untuk mengajak beberapa
partai politik berbasis massa Islam (PPP, PKS dan PKB) sebagai rekan koalisi
dalam menyajikan pasangan alternatif selaku “agent of change” pada kontestasi
Pemilu Presiden Tahun 2014 tahun mendatang, demi membawa perubahan yang riil
dan fundamental bagi bangsa ini.
Dalam dunia politik kontemporer yang penuh
dengan konflik kepentingan antar elit partai (oligarki), kadangkala memang
tidak mungkin kita mengharapkan sebuah komposisi kepemimpinan yang ideal. Namun
merumuskan komposisi alternatif kepemimpinan yang bermanfaat bagi kemajuan
bangsa secara keseluruhan adalah hak dan kewajiban dari setiap warga negara
dalam menjalankan fungsi partisipasi politik di sebuah negara yang demokratis.
Pemimpin yang ideal adalah orang yang mampu
mendorong orang lain untuk menyelesaikan masalah. Di negara kita ini terlalu
banyak masalah. Satu orang tidak akan sanggup menyelesaikan semuanya. Maka dari
itu kita membutuhkan pemimpin yang mampu mendorong banyak orang untuk bergerak
menyelesaikan berbagai macam masalah.
Bagi penulis pribadi, kedua figur ini adalah
tokoh multidimensi yang kontribusinya telah teruji secara nyata dalam berbuat
bagi bangsa dan negara ini melalui bidangnya masing-masing, menjalankan peran
kepemimpinannya, baik ketika mengambil posisi di dalam maupun di luar
pemerintahan. Konfigurasi personal dalam perspektif ‘aktivisme’ dan ‘intelektualisme’
adalah predikat yang melekat dan tidak dapat dilepaskan dari keduanya.
Sosiolog Politik ternama Max Weber menyatakan
bahwa konsep rasionalitas merupakan kunci bagi suatu analisa obyektif terhadap
makna subyektif dan merupakan dasar perbandingan mengenai jenis-jenis tindakan
sosial yang berbeda.
Pertanyaan besarnya adalah, akankah
perilaku/tindakan pemilih masyarakat Indonesia pada tahun 2014 mendatang tetap
mengedepankan subyektifitas pragmatis dalam melihat tokoh secara ‘melankolis’
atau sebaliknya akan semakin kritis dalam menentukan pemimpin alternatif yang
jujur, idealis, rasionalis dan jauh dari kepalsuan citra yang dirancang oleh
kekuatan modal ?.
Saat ini memang tak jelas lagi perbedaan
antara yang salah dan yang benar. Karena dipolitisir, keadilan jadi abu-abu. Di
ujung pena penguasa informasi, kebenaran jadi kabur. Uang terkadang sudah
menjadi keadilan itu sendiri. Kini saatnya untuk kembali pergunakan suara hati.
Saatnya berjuang untuk menegakkan keadilan dan kepastian hukum menuju Indonesia
yang lebih sejahtera, visioner, serta mampu bersaing dalam percaturan global.
Berikut ini penulis sajikan background
singkat kedua tokoh sebagai referensi. Apakah anda sependapat dengan pendapat
penulis atau anda mempunyai pilihan pasangan Capres-Cawapres alternatif yang
lain? Silakan tautkan pendapat anda, dan cermatilah agar konfigurasi ini tidak
hanya berlaku sebagai sebuah abstraksi, melainkan dapat memberi warna baru bagi
kesinambungan historis dalam konteks kebebasan berekspresi & kedewasaan
bernegara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar