Sejak berada dalam tahanan KPK, Andi
Mallarangeng punya lebih banyak waktu luang. Sambil menunggu pengadilan, ia
mencoba memanfaatkan waktunya secara produktif dengan membaca dan menulis.
Aturan KPK tak membolehkan penggunaan laptop, iPad dan semacamnya oleh para
tahanan. Andi menulis artikel ini dengan tulisan tangan, dan kemudian disalin
kembali oleh Redaksi VIVAnews agar bisa dinikmati oleh pembaca.
Dari mana datangnya partai politik ? Kenapa
jumlahnya bisa begitu banyak ? Pertanyaan ini seringkali menjadi pertanyaan
banyak orang di negara-negara demokrasi baru yang sedang beralih dari negara
otoritarian menjadi negara demokrasi. Mereka mengalami sebuah gejala yang
hampir sama: dari sistem satu partai atau sistem partai yang sangat terbatas
menjadi sistem multi-partai yang agak centang perenang.
Sebelum era demokrasi, di negara-negara
komunis Eropa Timur misalnya, hanya ada satu partai, dan memang hanya boleh ada
satu partai, yaitu Partai Komunis. Pada era Orde Baru di Indonesia, yang kita
kenal adalah sistem tiga partai, karena memang hanya boleh ada tiga partai. Ia
lahir bukan karena evolusi pilihan pemilih dalam “pasar” politik, tetapi karena
paksaan. Rezim yang berkuasa
mengharuskan 10 partai politik yang ada untuk menggabungkan diri ke dalam 3
partai, yaitu PDI, PPP, dan Golkar. Dunia kepartaian disederhanakan, dan semua
orang praktis mengamininya karena begitu kuatnya sentralisme kekuasaan waktu
itu.
Begitu era demokrasi dimulai dan kebebasan
berpolitik dijamin, partai politik bermunculan lagi, bagai cendawan di musim
hujan. Pada 1999, kali pertama Indonesia mengadakan pemilu terbuka setelah
1955, ada 48 partai yang terdaftar sebagai peserta. Jumlah ini masih terhitung
kecil: di Polandia, pesertanya mencapai lebih dari 100 partai, beberapa
diantaranya dengan nama yang unik, misalnya Partai Peminum Bir.
Apa yang terjadi setelah itu ? Apakah lonjakan
jumlah partai terus berlangsung ? Ternyata, pasar politik bekerja cukup efisien.
Setelah dua atau tiga pemilu kemudian, jumlah peserta pemilu menyusut drastis.
Pada pemilu Polandia yang terakhir, tahun 2011, jumlah pesertanya tinggal 12
(Partai Peminum Bir sudah terlempar dari arena). Di Indonesia kecenderungan
yang sama juga terjadi. Pada Pemilu 2014 hanya 12 partai yang akan berlaga di
pentas nasional.
Penyusutan ini lebih jelas lagi jika dilihat
pada posisi partai di parlemen. Meskipun jumlahnya banyak, ternyata hanya
sedikit partai yang berhasil meraih kursi di parlemen. Pada periode DPR yang
sekarang, yaitu hasil pemilu 2009, cuma 9 partai yang memiliki kursi.
Apakah penyusutan alamiah semacam ini patut
disambut dengan tangan terbuka? Saya kira banyak orang akan setuju bahwa
penyederhanaan sistem kepartaian memang membawa manfaat positif. Kalau di
parlemen jumlah partai terlalu banyak, penyusunan koalisi pemerintahan menjadi
agak rumit. Gado-gado koalisi yang terlalu beragam menyulitkan pembentukan
pemerintahan yang stabil dan efektif. Bagaimana kita bisa mengambil keputusan
cepat jika kepentingan yang harus diakomodasikan jumlahnya bagitu banyak dan
berbeda-beda ?.
Salah satu mekanisme yang lazim digunakan
dalam menyederhanakan jumlah partai adalah konsep party threshold. Ia
diterapkan untuk memberi ambang batas minimal bagi partai untuk bisa memperoleh
kursi di parlemen. Di Indonesia misalnya, ambang batas ini adalah 2,5 persen
(Pemilu 1999) dan 3,5 persen (Pemilu 2014). Angka ini sebenarnya cukup rendah
ketimbang threshold di Eropa. Di Jerman misalnya, angkanya adalah 5
persen. Di Turki, 10 persen.
Sebenarnya, tanpa konsep ambang batas pun,
penyederhanaan partai secara alamiah akan tetap terjadi lewat kompetisi politik
yang ketat. Bahkan Prof. Maurice Duverger, seorang sosiolog Perancis ternama,
berani menyatakan bahwa sistem kepartaian demokratis, dengan mekanisme
tertentu, akan mengarah kepada sistem dua partai, sebagaimana yang terjadi di
Amerika Serikat.
Prof. Duverger menjelaskan bahwa ada dua
faktor yang bekerja dalam penyederhanaan partai. Pertama, faktor psikologis.
Rakyat cenderung memilih partai besar. Kita lebih senang jika dianggap sebagai
pendukung tim yang kuat. Siapa yang mau dianggap sebagai supporter tim
ecek-ecek ? Fenemona inilah yang sering disebut sebagai “efek kereta gandeng,”
band wagon effect.
Faktor kedua, dan barangkali lebih penting,
adalah faktor teknis dan aturan dalam sistem pemilu. Inilah yang dalam
literatur ilmu politik dikenal luas sebagai Duverger Law, hukum Duverger, yang
berlaku universal. Intinya sederhana saja: jika pemilu diadakan dengan sistem
distrik di mana pemenangnya ditentukan lewat prinsip mayoritas langsung, maka
secara alamiah hanya akan muncul dua partai di parlemen.
Kedengarannya memang ajaib. Tapi ternyata
Prof. Duverger benar: Amerika Serikat adalah contohnya yang hampir sempurna.
Semua orang bebas membentuk partai kapan dan di mana pun. Tapi yang muncul
dominan hanya dua partai politik, yaitu Partai Republik dan Partai Demokrat.
Problemnya adalah, untuk mengambil “skenario
Duverger” dalam menyederhanakan sistem kepartaian, dibutuhkan perubahan sistem
pemilu. Hal ini tentu bukan perkara gampang. Di Eropa, dengan sistem demokrasi
yang telah matang, mayoritas negara yang ada tidak menggunakan sistem distrik,
tetapi sistem proporsional dengan berbagai variasinya. Sistem ini memberi
tempat kepada partai besar, tetapi partai-partai gurem pun bisa terus hidup
dengan suara minimal. Karena itu sistem politik Eropa masih didominasi oleh
sistemmultiparty. Entah kapan ia akan berubah menjadi sistem dua partai.
Selain soal teknis dan aturan pemilu, adalagi
soal lainnya yang lebih berkaitan dengan gejala sosiologi. Partai politik
adalah cermin dari dinamika sosial. Ia hadir
mewakili social cleavagestertentu, baik dalam dimensi sosial-ekonomi,
religio-kultural, maupun regional. Perbedaan butuh wadah, dan dalam politik
wadahnya yang tertinggi adalah partai di parlemen. Selama perbedaan ini masih
tajam dan menggumpal, selama itu pula kebutuhan akan sistemmultiparty akan
terus hidup.
Bagaimana dengan Indonesia ? Seperti yang
telah saya singgung tadi, penyederhanaan partai secara alamiah telah terjadi.
Barangkali, dalam waktu dekat, untuk lebih jauh dari itu agak susah. Perubahan
sistem pemilu menjadi sistem distrik nampaknya masih muskil dalam satu atau dua
pemilu ke depan. Prof. Duverger benar dalam analisis dampak sistem pemilu,
tetapi idenya sulit diterapkan di negeri kita.
Buat saya, dengan segala kerumitannya, sistem
kepartaian kita sekarang sudah berada di jalan yang benar, on the right track.
Pemilu 2014 kelihatannya akan menyaring lebih jauh lagi jumlah partai di
parlemen. Jumlahnya akan lebih kecil dari sembilan, tergantung pada besarnya
perolehan suara tiga partai papan atas saat ini, yaitu Partai Golkar, PDIP dan
Partai Demokrat.
Adakah bentuk akhir yang ideal dari sistem
kepartaian kita ? Dari segi jumlah, ia akan berkurang sedikit, tetapi tidak akan
terlalu drastis. Dari segi ide, identitas, dan ideologi kepartaian, pola lama
terus berubah, tetapi esensinya barangkali akan bertahan: partai
nasional-religius di tengah, partai nasionalis terbuka di kiri-tengah atau di
kanan-tengah. Mungkin akan bertahan pula satu atau dua partai Islam, seperti
Partai Kristen Demokrat di Jerman.
Partai berasal dari kata “part.” Artinya
adalah “sebagian,” bukan keseluruhan. Karena itu, kebenarannya pun hanya
sebagian. Tugasnya adalah untuk merangkul keseluruhan, terutama ketika ia
berkuasa, sehingga dari sebagian (part), menjadi sesuatu yang utuh (whole),
yaitu Bangsa Indonesia.
Jadi, kita tentu berharap bahwa partai-partai
di negeri kita terus bersaing dengan ketat dan terbuka, namun jangan lupa untuk
saling merangkul dan menjaga persahabatan. Satu untuk semua. Semua untuk satu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar