Merujuk pada definisi yang dikemukakan
Pierson, eksklusi sosial adalah proses yang menghalangi atau menghambat
individu dan keluarga, kelompok dan kampung dari sumber daya yang dibutuhkan
untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial, ekonomi, dan politik di dalam
masyarakat dengan utuh. Proses ini muncul sebagai konsekuensi dari kemiskinan
dan penghasilan yang rendah, tetapi bisa juga dampak dari faktor lain seperti
diskriminasi, marjinalisasi, pendidikan rendah, dan merosotnya kualitas
lingkungan. Melalui proses inilah individu atau kelompok masyarakat untuk
beberapa periode waktu kehidupan terputus dari layanan, jejaring sosial, dan
peluang berkembang yang sebenarnya dinikmati sebagian besar masyarakat.
Pierson juga mengungkapkan bahwa ada lima
kekuatan yang mendorong terjadinya proses eksklusi sosial yaitu (1) kemiskinan
dan penghasilan rendah; (2) tidak ada akses ke pasar kerja; (3) lemahnya atau
tidak ada dukungan sosial dan jaringan sosial; (4) efek dari kawasan dan
lingkungan sekitar (neighbourhood); (5) terputus dari layanan. Kelima komponen
mengeksklusi individu atau kelompok orang (Pierson, 2002). Berangkat dari
konsep Eklusi sosial kasus Outsourcing di Indonesia merupakan salah satu contoh
empiris mengenai lemahnya dukungan sosial dan jaringan sosial serta terputus
dari layanan yang dilakukan pemerintah dan perusahaan terhadap buruh
outsourcing.
Aksi demo buruh yang sering digelar di
sejumlah daerah di Indonesia merupakan bentuk ekspresi kekecewaan para pekerja
terhadap pemerintah yang tidak peka dalam merespon aspirasi para pekerja buruh.
Salah satu aspirasi tersebut adalah terkait mengenai tenaga alih daya atau
Outsourcing, tuntutan mengenai Outsourcing itu sebenarnya bukanlah isu yang
baru muncul akan tetapi sebuah tuntutan yang sudah di suarakan selama bertahun
tahun oleh para pekerja dengan berbagai cara yang damai dan demokratis agar
mendapatkan penyelesaian yang baik dari pemerintah. Salah satu yang menyebabkan
aksi demo tersebut adalah karena upah buruh outsourcing yang relatife rendah
dan terputusnya layanan sosial terutama dari akses layanan kesehatan yang
mengakibatkan para buruh Outsourcing menjadi tereklusi.
Osborn and Gaebler (1993) offer an approach
where the government must spare more space for community participation as well
as social dynamics. Berdasarkan konsep tersebut Pemerintah seharusnya
memberikan ruang kepada para buruh outsourcing dalam berpartisipasi dalam
menyalurkan aspirasi dan melakukan kebijakan kebijakan yang pro buruh. Jika
dicermati Sistem Outsourcing sebenarnya adalah buah dari kebijakan ekonomi
pemerintah yang tidak berkeadilan, Pemerintah seringkali hanya mengejar angka
pembangunan yang didasarkan pada pertumbuhan ekonomi dengan cara menarik
sebesar besarnya investasi dari dalam dan luar negeri, tetapi mengabaikan
pemerataan pendapatan bagi pekerja dan perlindungan bagi buruh dalam hubungan
kerja.
Problema outsourcing di Indonesia semakin
parah seiring dilegalkannya praktik outsourcing dengan Undang Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan yang banyak menuai kontroversi itu. Ditengah
kekhawatiran masyarakat akan lahirnya kembali bahaya kapitalisme, pemerintah justru
melegalkan praktik outsourcing yang secara ekonomi dan moral merugikan
pekerja/buruh.
Kebijakan dalam desain pasar bebas banyak
dimanfaatkan investor untuk memperkuat kekuatan tawar dan daya tekan di hadapan
pemerintah. Dengan demikian, ketika muncul sejumlah prasyarat investasi yang
diajukan pasar modal, pemerintah tidak berkutik. Prasarat yang biasanya
diajukan oleh diminta oleh pasar modal adalah flexsibilitas pasar kerja berupa
outsourcing. Dalam hal in, Negara seharusnya hadir memberikan perlindungan
kepada pekerja untuk dapat dicapai sebuah keseimbangan dan keadilan agar jangan
sampai terjadi Eklusi dan deprivasi sosial.
Terminologi outsourcing di Indonesia merujuk
pada pasal 64 UU No 13/2003 tentang ketenagakerjaan. Intinya adalah penyerahan
sebagian pekerjaan dari satu pekerjaan ke perusahaan lain yang kategorinya ada
dua, yang pertama pemborongan pekerjaan atau disebut outsourcing pekerjaan,
contoh pabrik televise menyerahkan pengerjaan remote control kepada perusahaan
lain. Kedua, jasa penyedia tenaga kerja atau lebih dikenal dengan outsourcing
tenaga kerja dan kategori terakhir inilah yang menimbulkan persoalan.
Menurut pasal 66 UU ketanakerjaan,
outsourcing tenaga kerja tidak boleh umntuk melakukan kegiatan pokok atau
kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, yaitu kegiatan yang
dimulai sejak masuknya bahan baku, proses material, hingga menjadi barang jadi.
Pada industry jasa, dimulai sejak diterimanya permintaan, proses pengerjaan
jasa, sampai keluar hasil dari jasa yang diminta. Toleransi outsourcing hanya
diberikan untuk jasa yang tidak berkaitan dengan langsung dengan proses
produksi, seperti petugas kebersihan, penyedia makanan dan tenaga pengamanan,
jasa penunjang di pertambangan serta usaha penyediaan angkutan pekerja. Kan
tetapi pada kenyataanya banyak perusahaan dan lembaga di Indonesia menjadi
korban kebijakan outsourcing meskipun pegawai tersebut ikut langsung dalam
proses produksi. Hal ini sangat memicu terjadinya deprifasi sosial karena buruh
outsourcing merasa sama sama bekerja akan tetapi tidak mendapatkan hak yang
sama.
Aksi menolak sistem outsourcing dilatar
belakangi pemikiran bahwa sistem ini merupakan corak kapitalisme modern yang
akan membawa kesengsaraan bagi pekerja/buruh, dan memberikan kesempatan yang seluasluasnya
bagi pengusaha mendominasi hubungan industrial dengan perlakuanperlakuan
kapitalis yang oleh Karl Marx dikatakan mengeksploitasi pekerja/buruh.
Dinamika aksi dan gejolak perburuhan dianggap
oleh asosiasi pengusaha sebagai sesuatu yang dapat memprovokasi investor untuk
merelokasi investasi mereka ke luar negeri. Sementara bagi kalangan buruh
outsourcing, gejolak yang terjadi adalah puncak aspirasi mereka untuk
memperjuangkan penghapusan sistem kerja alih daya yang dianggap merugikan hak
para buruh akan kepastian kerja dan kesejahteraan hidup.
Suatu pembangunan seharusnya memiliki unsur
esensial dari paradigma Human Development, antara lain adalah Produktifitas
yaitu manusia mampu meningkatkan produktifitasnya dan berpartisipasi penuh
dalam proses kerja, Equity yaitu manusia harus memperoleh kesempatan yang sama,
segala bentuk hambatan yang diskriminatif harus dilenyapkan, dan unsure
Empowerment yaitu pembangunan harus dilakukan oleh manusia dari pengambilan
keputusan sampai dengan pelaksanaannya.
Sedangkan dalam kasus di lapangan pada
kenyataanya perlindungan serta diskriminasi sering dialami oleh para buruh
outsourcing. Selain itu pekerja outsourcing juga mudah menjadi korban PHK dan
juga berapapun masa kerja, buruh tetap saja diberikan upah minimum, hal
tersebut sangat diskriminatif apabila dibandingangkan dengan pekerja lain yang
statusnya bukan outsorcing. Buruh outsourcing juga tidakmemiliki jaminan
kesehatan dan jaminan pensiun serta upah pekerja outsorcing juga dipotong oleh
agen outsourcing dalam jumlah yang sangat menyakitkan, yaitu Rp 200.000-Rp 1,5
juta perbulan dari gaji yang diterima.
Kasus Outsorcing ini terjadi karena kebijakan
pembangunan dari pemerintah ataupun akibat antaramkelompok masyarakat terjadi
suatu relasi dimana terdapat suatu kelompok yang melakukan eksklusi dan
terdapat kelompok lain yang tereklusi. Dalam hal ini pemerintah mengeluarkan
Surat Edaran Menteri Nomor
B.31/PHIJSK/2012 tentang Outsourcing dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT). Mahkamah Konstitusi menegaskan outsourcing adalah kebijakan usaha yang
wajar dari suatu perusahaan dalam rangka efisiensi usaha. Akan tetapi pada
kenyataanya para pekerja Outsourcing tidak mendapatkan kesejahteraan sebagai
warga Negara, antara lain tidak terjaminya masa depan, pemotongan gaji,
kurangnya asuransi kesehatan dan jaminan sosial. Hal tersebut tentu tidak
sesuai dengan kebijakan Negara yang seharusnya memberikan pelayanan sosial dan
kesehatan.
Para buruh outsorcing bisa merasa
terdiskriminasi dan tereklusi apabila dibandingkan dengan para pekerja lain
yang statusnya sudah tetap didalam pekerjaan, karena apabila dilihat dari segi
manapun secara jelas buruh outsourcing mendapat perlakuan yang tidak adil.
Sebagai contoh misalnya didalam jaminan kesehatan, pekerja tetap mendapatkan
jaminan kesehatan yang penuh dari perusahaan sedangkan buruh outsourcing hanya
mendapat jaminan kesehatan dalam nominal yang sangat kecil dan bahkan ada yang
tidak mendapatkan jaminan kesehatan sama sekali. Relative deprivation occurs
where individuals or groups subjectively perceive themselves as unfairly
disadvantaged over others perceived as having similar attributes and deserving
similar rewards (their reference groups). Eklusi sosial hanya dialami oleh
sebagian kelompok yaitu buruh outsourcing sedangkan para pekerja lain yang
sudah tetap pada umumnya mendapatkan hak yang seharusnya sama dengan pekerja
outsourcing. Dalam berbagai kasus misalnya pekerja tetap akan menerima gaji
penuh akan tetapi gaji pekerja outsourcing masih di potong oleh agen maupun
perusahaan yang menyalurkanya bekerja, secara tidak langsung telah terjadi
devrivasi relative didalam pelaksanaan system outsourcing di Indonesia.
Keadilamn sosial di dalam organisasi perusahaan tercermin terhadap pekerja,
meskipun itu bukanlah satu satunya masalah keadilan. Ketidakadilan juga dapat
terjadi antar pekerja yang disebabkan oleh perlakuan perusahaan. Oleh karena
itu ada gerakan lain selain protes para buruh, yaitu gerakan yang dilakukan
oleh lembaga lembaga tenaga kerja, termasuk International Labour Office, yang
mengkampanyekan pemerataan upah. Bentuk bentuk protes yang destruktif maupun
konstruktif akibat perlakuan tidak adil sering disebut deprivasi relatif.
Atas hal itu pemerintah hanya berdiam diri,
tak ada sangsi tegas kepada agen outsourcing yang melanggar UU. Para agen
outsourcing seolah tak bisa disentuh. Control pemerintah tak berfungsi, tidak
sedikit agen outsourcing ternyata berasal dari lembaga karang taruna, ormas,
bahkan melibatkan orang dalam dan petugas berwenang. Keterlibatan oknum dinas
ketenagakerjaan sering dijumpai dalam kasus outsourcing bermasalah. Terlalu
mudah disnaker memberikan izin kepada agen outsorcing kian menyuburkan praktek
illegal ini. Kebijakan pemerintah dalam kasus Outsourching masih pada sebatas
pengajuan materi kepada Mahkamah Konstitusi agar system Outsourcing dihapus kan
dan dig anti dengan system kontrak.
Ada beberapa solusi diantaranya adalah,
pertama pemerintah seharusnya melakukan moratorium outsourcing, dalam proses
ini pemerintah dapat meninjau kembali dan menata ulang persoalan alih daya agar
sesuai dengan ketentuan UU. Sanksi berupa pencabutan izin usaha harus harus
diterapkan kepada agen dan perusahaan pengguna yang terbukti melakukan
pelanggaran. Kedua membentuk peraturan Menakertrans yang khusus mengatur
larangan dan pemberian sangsi tegas terhadap praktik outsourcing illegal yang
seringkali menyengsarakan hak azasi buruh outsourcing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar