“Birokrasi”
menurut pandangan sosiologi adalah kekuasaan kehilangan kontak realitas
sosial yang menjadi dasarnya dan hanya dikenal melalui gambaran abstrak dari generalisasi-generalisasi yang diterjemahkan dalam statistik. Demikianlah
aspek-aspek utama dari birokrasi kita, paham melayani dan bukan dilayani.
Didalam komunitas besar
pertarungan-pertarungan politik yang riil ada dilingkaran dan dilaksanakan oleh
mesin-mesin politik yang besar, warga negara hanya diberi kesempatan mengambil
bagian secara “abstrak dan episodik” terusir oleh personalisasi kekuasaan
birokrasi, karena dia memegang karakter kekuasaan ilusif. Partisipasi asli oleh
para warga di dalam mencapai keputusan mungkin hanya bilamana komunitas dibagi
dalam kelompok yang lebih kecil. Artinya “desentralisasi birokrasi” janganlah
dikaburkan dengan pengaturan kekuasaan secara regional, untuk memiliki
markas-markas lokalnya dan tidak satupun memasukkan kehidupan politik riil bagi
warganya. Kehidupan politik lokal hanya hidup bilamana kekuasaan “lokal
independent” kompetisinya berasal dari kompetisi politik lokal. Pandangan kaum
sosiolog bahwa “desentralisasi ” telah menjadi masalah besar didalam kehidupan
politik komunitas besar, seolah kehidupan politik sirna. Kompetisi terjadi
hanya pada tingkatan organisasi birokratik besar (propinsi dan nasional),
integrasi sosial menjadi formal, proses politik impersonal dan
individu-individu merasa terasing. Kemajuan teknologi seperti bergerak kearah
berlawanan dengan desentralisasi, orang daerah terkotak didaerahnya yang
seharusnya mengurangi jarak. Dan itulah pula yang dianggap sebagai melahirkan
kejahatan-kejahatan politik baru tiadanya kekuasan lokal yang independent.
Lembaga-lembaga, mesin-mesin politik,
aparat-aparat partai, dari berbagai ragam tingkat kepentingan dan kompleksitas
berkonfrontasi satu sama lain. Maka menghasilkan pergolakan terus-menerus
secara simultan antara kelompok yang bertanding dalam setiap kelompok (misalnya Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada). Dalam kasus lain pergolakan
mengambil bentuk karakter-karakter pribadi dari komunitas-komunitas lebih kecil
sebagai mikro politik pembelaan dan altrualisme adat-istiadat, semuanya dapat
mengakibatkan menjadi tidak berarti bagi ” bendera” dan “bangsa” dan
seterusnya.
Sel-sel “kejahatan politik” berkembang dengan
banyaknya kasus-kasus korupsi didaerah dan lebih-lebih dipusat, dari
penyalahgunaan sistem politik dalam kerangka “makro-politik” dan “birokrasi politik”.
(Analisis terbatas : Kehidupan Politik
Indonesia Kontenporer)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar