Korupsi Politik, dua kata yang kini makin
santer disebut berbagai kalangan, termasuk penulis sendiri. Korupsi cenderung
berkaitan dengan aspek hukum, korupsi kini kesannya hidup berdampingan dengan
aspek politik. Bedanya makna korupsi dengan politik adalah korupsi lebih
mengarah kepada tindakan, perilaku atau sikap sedangkan politik diartikan
sebagai ilmu dan diturunkan menjadi berbagai praktik, seperti sosialisasi
politik, partisipasi politik, partai politik, komunikasi politik, perekrutan
dan pengkaderan politik, masih banyak makna turunan lain yang berkaitan dengan
politik sebagai ilmu dan praktek. Namun kini seiring perkembangan reformasi di
Negara Indonesia yang berdemokrasi, ternyata korupsi dalam politik juga semakin
berkembang.
Dari sekian banyak definisi politik yang
diungkapkan oleh para ahli, penulis mengutip definisi politik dari buku Michael
Rush dan Phillip Althoff, politik adalah proses dengan mana masyarakat membuat
keputusan-keputusan ataupun mengembangkan kebijakan-kebijakan tertentu atau
secara otoritatif mengalokasikan sumber-sumber dan nilai-nilai tertentu atau
berupa pelaksanaan kekuasaan dan pengaruh dalam masyarakat, perhatian sentral
dalam politik yakni penyelesaian konflik-konflik manusia. Untuk mengalokasikan
sumber dan nilai tersebut harus ada pengaruh dan kekuasaan, partai politik
ternyata memiliki hal itu semua, dan kemudian partai politik menjadi wadah
untuk melaksanakan kegiatan politik tersebut. Tidak tertutup kemungkinan bagi
pihak lain dalam implementasi makna politik itu, mengacu pada defenisi tersebut
siapapun dapat melakukannya karena pada pelaksanaannya tidak terbatas dan
berkembang mengikuti gejala dan dinamika yang terjadi pada masyarakat.
Sarana untuk berpolitik salah satunya ialah
partai politik, dari sudut pandang sistem politik, partai politik dan kelompok
kepentingan dinyatakan sebagai agen mobilisasi politik. Partai politik adalah
suatu organisasi, melalui anggota masyarakat dapat berpartisipasi dalam
kegiatan politik yang meliputi usaha mempertahankan posisi, situasi, orang dan
kelompok tertentu, lewat sistem politik yang bersangkutan. Partai politik di
Indonesia semakin subur seiring dimulainya masa reformasi di tahun 1998,
sepanjang satu dekade dinamika politik diwarnai geliat partai politik yang
beragam coraknya, termasuk juga corak dan sikap elit parpol yang tampil dalam
panggung politik Indonesia. Semakin banyak partai menandakan berjalannya
kehidupan demokrasi suatu Negara, konsekuensinya makin beragam partai politik
dan elit yang berdesak-desakan dalam panggung politik, alhasil masyarakat butuh
waktu ekstra untuk menyisihkan energinya memperhatikan tiap aktivitas partai
politik dan elit.
Jumlah partai politik yang akan mengikuti
Pemilu 2014 kemungkinan besar tidak akan berubah. Berdasarkan keputusan KPU
Pusat yang tertuang pada SK No.5/Kpts/KPU/2013, 10 partai politik berhasil
lolos setelah melewati verifikasi data dan faktual yang dilakukan Komisi
Pemilihan Umum di tingkat pusat dan daerah. Keputusan tersebut membantu
masyarakat umum menjadi lebih mudah dalam mengenali profil partai politik dan
elit yang akan dipilihnya saat pemilu. Sekitar satu ke depan masyarakat
menjelang pemilu, masyarakat Indonesia bersiap untuk mengamati aktivitas politik yang akan
dilakukan oleh tiap-tiap partai politik serta elitnya. Tiap partai politik
menyuguhkan menu bervariasi untuk dinikmati publik, pada saatnya masyarakat
untuk memilih dan memilah menu yang hendak dinikmatinya, yang paling penting
tujuannya untuk mengenali figur elit dan rekam jejak partai politiknya selama
ini.
Korupsi sebagai fenomena penyimpangan dalam
kehidupan sosial budaya, kemasyarakata dan kenegeraan sudah dikaji dan ditelaah
secara kritis oleh banyak ilmuwan dan filosof, Aristoteles misalnya dan diikuti
oleh Machiavelli, sejak awal telah merumuskan sesuatu yang disebutnya sebagai
korupsi moral (moral corruption). Korupsi berasal dari kata Latin Corruptio
atau Corrupts, kemudian muncul dalam bahasa Inggris dan Prancis Corruption, dalam bahasa Belanda
Korruptie, selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan Korupsi. Kata
korupsi makin hari semakin sering diungkapkan oleh berbagai kalangan, hal itu
berbanding lurus dengan semakin meningkatnya kasus korupsi di Indonesia.
Korupsi yang dilakukan pejabat Negara di tingkat pusat dan daerah, sering pula
melibatkan kalangan pengusaha. Pejabat Negara tersebut kebanyakan berasal dari
berbagai partai politik, apakah itu parpol tua maupun parpol pendatang baru.
Pendapat yang sudah lama diungkap pemikir
Prancis Rousseau, menyalahkan kehidupan politik dan sosial bagi timbulnya
korupsi, menurutnya bukan korupsi dari manusia yang menghancurkan suatu sistem
politik. Tetapi, sistem politik lah yang menimbulkan korupsi dan merusak-kan
manusia. Jika mengacu pada definisi itu mengingatkan kita pada realitas yang
terjadi dalam kehidupan Indonesia, sistem politik Indonesia disanjung tinggi karena
merupakan buah dari reformasi yang lahir, tentunya mereka yang menyanjung itu
adalah orang-orang yang dulu ikut berkontribusi dalam meruntuhkan kekuasaan
orde baru dan kini mereka duduk di lingkaran pemerintahan dan menikmati
fasilitas Negara yang asalnya dari uang rakyat. Pendapat lain, Waterbuy
mengurai korupsi dalam dua definisi berbeda, yakni korupsi dalam arti hukum dan
korupsi berdasarkan norma. Kedua definisi itu dapat berbentuk serupa
(coincident) terjadi di masyarakat. Dalam arti hukum, korupsi adalah tingkah
laku yang mengurus kepentingan sendiri dengan merugikan orang lain oleh pejabat
pemerintah yang langsung melanggar batas-batas hukum atas tingkah laku
tersebut. Menurut Norma, pejabat pemerintah dapat dianggap korup walaupun di
dalam prosesnya hukum itu dilanggar atau tidak. Seseorang dapat dinyatakan
melakukan tindak korupsi dan membuat dia tercela menurut hukum, namun belum
tentu dari sisi norma. Sebaliknya, yang dinyatakan melakukan korupsi dari
standar normatif dapat bersih dari sisi hukum.
Tindakan korupsi dalam aspek hukum
dikategorikan sebagai tindak pidana, maka sering disebut tindak pidana korupsi.
Suatu kasus yang diduga terjadi korupsi akan ditangani oleh beberapa pihak
diantaranya Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK merupakan
suatu lembaga Negara yang independen, hadir di masa reformasi Indonesia untuk
merespon peningkatan kasus korupsi sejak dimulainya masa reformasi, dan kini
pun setelah KPK berdiri kasus korupsi terus menjamur. Fakta itu makin
membenarkan definisi korupsi menurut Rousseau bahwa sistem politik lah yang
menimbulkan korupsi dan merusak manusia/masyarakat. Sistem politik melibatkan
berbagai partai politik Indonesia, tiap parpol menempatkan kadernya di kursi
pemerintahan eksekutif, legislatif, bahkan dugaan kader parpol masuk ke ranah
kerja lembaga independen sulit untuk dipatahkan. Contoh terkini saat surat
perintah pencegahan ke luar untuk anak majelis syuro PKS diduga bocor dan
membuat anaknya tersebut bepergian ke luar negeri, alhasil keterangannya
sebagai saksi belum bias didapatkan untuk kasus daging sapi impor. Begitupun
dengan surat penyelidikan ketua umum partai Demokrat menyebar ke publik, surat
tersebut telah dinyatakan asli sebagai milik KPK, lalu siapa yang berani
berbuat hal tersebut. Penempatan kader politik dan kepentingan politik sarat
terjadi di lingkungan KPK yang dinyatakan sebagai lembaga yang independen,
bebas dari intervensi manapun, termasuk dari partai politik.
Sistem politik Indonesia penuh dinamika,
diramaikan dengan kehadiran partai politik, korupsi pun turut serta membuat
dinamika itu tidak statis. Demokrasinya Indonesia menjadi kaya dengan dinamika
yang terus berjalan dari masa ke masa, demokrasinya pun berbeda dengan
demokrasi milik Negara lain. Ternyata fakta telah membuktikan, korupsi adalah
salah satu kegiatan partai politik di Indonesia, polanya pun hampir sama,
bekerja sama dengan pihak swasta, dan kader yang menempati kursi pemerintahan
turut membantu partai politiknya untuk mengamankan kepentingan dan aktivitasnya,
sudah pasti aktivitas yang memperkaya diri sendiri dan kelompoknya, dan
memiskinkan masyarakat luas, karena dana yang kerap diambil adalah dana rakyat.
Pengelolaan dan peng-anggaran dana merupakan wewenang mereka yang menempati
jabatan eksekutif dan legislatif. Masyarakat biasa tidak memiliki wewenang itu,
siapapun yang ingin punya wewenang itu harus menempati jabatan strategis
tersebut melalui wadah partai politik. Biaya politik yang dikeluarkan selama
proses mendapatkan kursi jabatan itu terbuka peluangnya untuk diganti ketika
sudah menempati kursinya, motivasi itulah yang membuat kompetisi diantara
partai politik, berlomba untuk menempati kursi strategis sebanyak-banyaknya
agar peluang untuk aset strategis dapat dikelola dan dimanfaatkan di segelintir
mereka saja. Begitulah lingkaran sistem yang terjadi di Negara demokrasi
seperti Indonesia, masyarakat yang tidak berpartisipasi dalam lingkaran
tersebut tidak maksimal menikmati hasil kinerja partai politik, dan pembangunan
yang jadi jargon semua partai hanya khayalan semata. Korupsi politik akan
semakin memiskinkan masyarakat, dan korupsi politik mendekonstruksi tujuan
berdemokrasi yang menjadi sandaran hidup Indonesia sebagai bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar