“Masyarakat yang mana? Ini ada
profesor-profesor. Ini apa bukan masyarakat juga? Ini adalah masyarakat
intelektual, bukan masyarakat jalanan itu,” kata seorang praktisi hukum dalam
sebuah acara yang hadirkan para lawyer di salah satu stasiun televisi nasional.
Pernyataan di atas diberikan oleh salah
seorang praktisi hukum ketika ia dimintai pendapat mengenai perlunya
penghapusan remisi bagi para koruptor. Ia dan sebagian hadirin berpendapat
bahwa remisi adalah hak bagi seluruh narapidana tanpa kecuali, sehingga remisi
tak dapat dihapuskan.
Seperti dilansir yusril.ihzamahendra.com,
Yusril Ihza Mahendra dalam konteks yang sama juga mengatakan bahwa presiden
jangan mau dengar desakan orang jalanan. Menurutnya, “Pemerintah kalau bisa
didikte orang jalanan bisa celaka negara ini. Pemerintah harus mempunyai sikap
jangan tunduk pada suara-suara LSM atau mereka yang meneriakan ini.”
Saya tak hendak menyoal remisi. Saya lebih
tertarik diskusikan tentang suara rakyat. Benarkah suara rakyat, atau dalam
istilah mereka adalah masyarakat jalanan, tak layak untuk didengar?
Menurut Wertheim, kaum elite memang sering
kali abai terhadap rakyat biasa karena mereka menganggap rakyat biasa sebagai orang
yang tak perlu dianggap penting dan tak tahu apa-apa. Wertheim menyebut proses
ini sebagai sosiologi ketidaktahuan (sociology of ignorance). Pendapat Wertheim
itu sesuai dengan gambaran realitas yang saya sampaikan di atas. Suara dan
pendapat rakyat secara umum seolah hanya didengar saat penyelenggaraan pilpres,
pilkada, pemekaran wilayah, dll. Adagium vox populi vox dei, suara rakyat
adalah suara Tuhan, hanya rajin dikutip politikus saat pemilihan umum saja.
Saat itu, apa pun pilihan rakyat, tak ada yang mengganggu dan menggugat, karena
itu adalah juga kehendak Tuhan. Setelah semua usai, suara rakyat kembali
dianggap sepi. Padahal, pemberi suara dalam pemilihan umum pun tentu tak hanya
masyarakat intelektual yang seolah paham segala, tetapi juga rakyat biasa.
Menurut saya, untuk menepis anggapan negatif
terhadap rakyat biasa, ada beberapa hal yang perlu kita lakukan bersama.
Pertama, kita, khususnya media, perlu lebih aktif memberitakan rakyat biasa
dalam bingkai positif. Selama ini pemberitaan terkait isu yang dihadapi rakyat
biasa belum sebanding dengan pemberitaan terkait isu-isu yang dimainkan oleh
para tokoh politik dan selebritas. Pemberitaan rakyat biasa lebih sering berupa
kasus perkosaan, tawuran, penganiayaan, dan keterbelakangan. Padahal, realitas
menunjukkan bahwa banyak praktik dan pengalaman baik yang dilakukan oleh
masyarakat. Misalnya, usaha bersama yang dilakukan oleh kelompok perempuan dan
partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Dengan pemberitaan positif itu
diharapkan pandangan kita terhadap masyarakat akar rumput dapat berubah
positif.
Kita, warga biasa, berhak bersuara dan
berpendapat. Namun, kita juga perlu belajar menyampaikan segala sesuatu,
termasuk kritik untuk pemerintah, dengan baik dan benar. Sebenarnya, pernyataan
para tokoh yang saya sampaikan di awal tulisan ini tak mutlak salah. Di bidang
hukum, mestinya suara rakyat memang tak serta merta menjadi hukum, menjadi
suara Tuhan, tanpa didukung dasar yang kuat. Dalam hal ini, pernyataan bahwa
negara akan kacau jika serta merta mengikuti tuntutan sebagian golongan mungkin
ada benarnya. Namun, kita sebaiknya tak mendiskreditkan suatu golongan hanya
untuk membenarkan pendapat kita.
Elite pun harus belajar menjadi pendengar
yang baik bagi pendapat siapa pun, termasuk rakyat biasa itu. Meskipun pendapat
mereka salah, tak elok kita mencela mereka. Sering terbukti bahwa rakyat biasa
lebih memiliki nurani yang bersih dan pikiran yang jernih daripada elite di
negeri ini.
Itulah pendapat saya sebagai warga negara
biasa yang sama sekali tak termasuk golongan masyarakat intelektual dalam
bidang politik dan hukum. Apakah saya juga harus dipertanyakan seperti yang
saya ceritakan di atas: saya ini termasuk masyarakat yang mana?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar