SBY sebagai seorang jenderal (purn) jelas
memanfaatkan strategi militer untuk menangani kekisruhan Partai Demokrat.
Secara logis, SBY sebagai pendiri Partai
Demokrat tentu mengetahui dengan pasti bahwa ketentuan AD/RT dapat menjadi
sandungan bagi ia untuk memecat Anas Urbaningrum. Namun, satu hal yang jelas,
sebagai seorang jenderal, maka adalah keharusan bagi dirinya untuk memprediksi
setiap kemungkinan yang muncul dari keberadaan AD/RT tersebut.
Adanya celah tersebut, maka tindakan SBY
memperkuat posisinya dalam Partai Demokrat adalah hal tepat untuk menghindari
kemungkinan serangan dari pihak yang kontra atas tindakannya.
Secara AD/RT adalah benar SBY tidak dapat
memberhentikan Anas Urbaningrum secara langsung, namun AD/RT tidak melarang SBY
untuk memperkuat posisinya di struktur kepengurusan Partai Demokrat.
AD/RT memang menentukan agar DPD Partai
Demokrat sebagai penentu utama mengenai proses pemecatan Anas Urbaningrum,
namun AD/RT tidak memuat larangan bagi SBY untuk “menasihati” DPD untuk
memikirkan masa depan Partai Demokrat.
Lalu alur politik bagaimana yang sebenarnya terjadi ? Pertama, keberadaan Sprindik yang konon bocor
itu sebenarnya menurut saya adalah draft resmi laporan KPK kepada SBY mengingat
secara institusional, KPK perlu melaporkan setiap tindakan hukum yang menyentuh
para pejabat negara yang dekat dengan pusat pemerintahan, termasuk individu
yang bukan bagian dari institusi negara, namun memiliki pengaruh terhadap
institusi, misalnya laporan mengenai Ketua Partai Politik. Kedua, setelah SBY menerima draft Sprindik
tersebut, maka SBY secara logis kemudian meminta Anas Urbaningrum untuk fokus
pada permasalahan hukumnya. Ketiga, setelah SBY melihat Anas Urbaningrum
melakukan perlawanan, maka secara harus SBY kemudian mengundang seluruh DPD
Partai Demokrat untuk menghadiri pertemuan di Cikeas, dengan tujuan adalah
penandatanganan Pakta Integritas. Keempat, satu hal menarik adalah pada saat
penandatanganan pakta tersebut, Anas Urbaningrum tidak hadir dengan alasan
sakit. Namun, saya justru berpendapat sebaliknya, yaitu SBY meminta Anas untuk
tidak hadir ke acara tersebut. Logika SBY sederhana, dengan Anas tidak hadir
dalam pertemuan pertama tersebut, maka SBY dapat memastikan di hadapan seluruh
DPD yang hadir bahwa ia adalah yang memiliki kendali atas Partai Demokrat.
Secara otomatis, DPD tidak memiliki pilihan selain untuk menyetujui pakta
tersebut. Satu hal menarik dalam kajian sosiologi
politik adalah prinsip dramaturgi, yaitu konsep penampilan teater yang tidak
menunjukkan fakta yang sesungguhnya. Adalah benar Pers meliput proses
penandatanganan pakta tersebut, namun pers tidak melihat kemungkinan bahwa saat
sebelum perwakilan DPD hadir tersebut, SBY dapat saja mengirimkan ancaman halus
mengenai sanksi yang menolak penandatanganan tersebut melalui email, baik
sebelum maupun sesudah penandatanganan pakta tersebut. Kelima, setelah DPD berkumpul, pada hari
berikutnya giliran Anas Urbaningrum hadir untuk menandatangani pakta tersebut. Keenam, satu hal yang perlu diamati adalah
hal-hal yang tidak dimunculkan pers, yaitu kemungkinan bahwa melalui penguatan
posisi SBY dalam DPD, maka SBY sedang memainkan strategi agar DPD sendiri yang
kemudian “meminta” agar Anas Urbaningrum mundur melalui Munas. Rapimnas menurut
saya sendiri adalah pintu awal untuk mengadakan Munas “pemecatan” Anas. Benar atau tidak?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar