Kata gender berasal dari bahasa Inggris
berarti “jenis kelamin”. Dalam Webster’s New World Dictionary dan Women’s
Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang
berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas,
dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang
dalam masyarakat. Hilary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex & Gender:
an Introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap
laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and men). Pendapat ini
sejalan dengan pendapat kaum feminis, seperti Lindsey yang menganggap semua
ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau
perempuan adalah termasuk bidang kajian gender (What a given society defines as
masculine or feminin is a component of gender).
Gender tidak sekelompok dengan sex. la malah
dianggap serumpun dengan masculine dan feminine. Dengan mengutip Oxford English
Dictionary, Ivan Illich menyebutkan bahwa gender adalah “… salah satu dari tiga
kata yang paling tidak berhubungan dengan pembatasan jenis kelamin (the absence
of sex) menjadi kata-kata benda yang dibedakan sesuai dengan modifikasi
pemakaiannya dalam kata-kata yang secara sintakasis berhubungan. “Maskulin” dan
“feminin” tidak berkaitan dengan kelamin tertentu karena bisa saja seorang
laki-laki bertingkah laku feminin atau perempuan yang tampak maskulin. Dengan
kata lain, gender mempunyai pengertian sex.
Lalu apakah sex itu sebenarnya? Semua dimulai
pada masa yang sangat dini, ketika kita belum dalam bentuk janin. Defenisi
bipolar tentang sex diperkenalkan baru pada abad ke-20 lewat catatan biologis
tentang alami sex difference yang dilandaskan pada adanya kromsom X dan Y yang
kemudian dijadikan pembuktian kuat. Chris Barker menyebutkan bahwa ilmu
genetika dan biokimia menyatakan adanya batas-batas material, yang bersifat
kimiawi atas berbagai kemungkinan perilaku. Kini hampir tidak ada ilmuwan yang
bersitegang tentang pengaruh hormon terhadap pembentukan janin laki-laki atau
perempuan. Hormon adalah tombol yang mengaktifkan gen yang memerintah otak dan
tubuh, yaitu organ-organ reproduktif kita, tingkat testosterone, lemak tubuh,
perkembangan otot, struktur tulang dan lain-lain. Juga diyakini bahwa hormon
yang sama membentuk struktur otak kita sehingga laki-laki dan perempuan
memiliki pola aktivitas otak yang berlainan.
Karenanya, identifikasi diri sebagai jantan
atau betina adalah landasan utama bagi identitas diri (self identification)
yang banyak diyakini sebagai hasil dari badan dan atribut tertentu. Logika umum
mencakup berbagai bentuk reduksionisme biologis yang menyatakan bahwa struktur
biokimia dan struktur genetis manusia menentukan prilaku laki-laki dan
perempuan dengan cara yang pasti dan has. Laki-laki diyakini ’secara alamiah’
lebih mendominasi, berorientasi hierarkis dan haus kekuasaan, sementara
perempuan dilihat sebagai pemelihara, pengasuh anak dan berorientasi domestik.
Karena perbedaan genetis yang sudah pasti itu, muncul perbedaan-perbedaan lain
semisal bahwa laki-laki umumnya lebih bertubuh lebih besar, rambut lebih
banyak, pinggang lebih sempit, bokong lebih ramping dan badan lebih berat.
Umumnya perempuan sedikit mempunyai lemak di
dada dan bokongnya. Lalu, perbedaan ini berindikasi pada pandangan umum tentang
kaitannya yang kuat dengan perbedaan kapasitas emosional dan intelektual.
Karena perbedaan seperti itu takdir, maka umum diterima bahwa dampak dari
perbedaan itupun takdir, kata Lila Leibowitz. Namun Chris Barker curiga.
Baginya, biologi itu sendiri adalah suatu bahasa dan suatu sistem klasifikasi
budaya. Biokimia dan genetika terdiri dari tipe-tipe kosakata tertentu yang
dimanfaatkan untuk mencapai tujuan tertentu. Argumen ilmu-ilmu ini harus
dipahami bukan sebagai pengungkapan kebenaran obyekrif atau korespondensi
bahasa dengan dunia objek independen melainkan sebagai keberhasilan dari
prosedur yang telah disepakati.
Untuk memperkuat pendapatnya, Barker mengutip
D. Davidson yang menegaskan bahwa tidak mungkin ada hukum sebab akibat yang
menjelaskan berbagai peristiwa dalam deskripsi mental dengan menggunakan
deskripsi fisik. Lalu ada J. Hood-Williams yang mempunyai bukti sejarah dan
argumen analisis untuk tesisnya: sex adalah konstruksi sosial. Dia menolak
ungkapan bahwa ‘perbedaan antar-sex adalah given secara natural dalam
fakta-fakta biologi manusia.
Konstruksi sosial sex melibatkan banyak
elemen: dimensi material, norma sosial, dan agensi (yang berdasar pada
refleksi, kesadaran-diri, dan kekuatan ide-ide). Elemen-elemen ini secara tegas
dikombinasikan dalam konteks historis dan kultural yang berbeda. Argumen
konstruksi sosial ini tidak menjadi bukti bagi konstitusi sosial dalam
kaitannya dengan determinisme sosial, serta tidak memandang dimensi material
sebagai fondasi bagi determinisme biologis. Kedua pandangan ini gagal berperan
dalam mediasi kesepahaman sosial, refleksi dan agensi. Argumen konstruksi
sosial membuktikan bahwa versi kuat klaim bahwa konstitusi diskursif tidak
mempunyai kedudukan penting untuk mendemonstrasikan hubungan antara praktik
individual dan sosial. Sebagai tambahan, konstruksi sosial sex merujuk kepada
interaksi dari konteks aksi dan sosial dalam membentuk makna seksual. Pada
dasarnya memang ada ‘natural difference’ yang merujuk pada pemahaman partiarki
terhadap biologi, anatomi dan fisik. Namun pemaknaan ini bertukaran proses
penting ‘naturalisation’ yang karenanya apapun yang natural (alami) adalah secara
umum sebagai asumsi taken-for-granted. Sedangkan. mengutip H. Haste, harapan
“naturalness” adalah pengabsahan terhadap status quo.
Adapun wacana tentang kromosom X dan Y yang
dijadikan dasar kuat bagi sex difference, D. Haraway mencibirnya dengan ‘bad biology’
yang menyebarkan ‘pemberhalaan terhadap gen, di mana gen dianggap sebagai
blueprint dan sumber segala sesuatu’. DNA ‘tidak pemah bekerja sendiri. Mereka
selalu beraktivitas dalam intetaksi dengan struktur sel yang lain’ unit
terkecil kehidupan adalah sel, bukan gen. Gen tidak sesederhana, sesuatu yang
konkret’, tetapi senantiasa dalam proses. Ia adalah sebuah nama bagi suatu
proses yang diobservasi.
Lalu apa itu gender? D. Haraway menyebutkan
bahwa gender dibangun sebagai sebuah kategori untuk mengeksplorasi makna
sebagai “perempuan”, untuk mempersoalkan apa yang dulunya dianggap
taken-for-granted. Dengan demikian, kata ‘gender’ dimunculkan atas nama sebuah
persoalan relasi perempuan dengan laki-laki. Paling tidak, kata ‘gender’
merujuk kepada tiga hal:
a. Konstruksi sosial atas maskulinitas dan
femininitas dalam peran sosial.
b. Tingkah laku (kedekatan sosial dan
personal).
c. Identitas individu yang dikenali dari luar
pada basis ‘alami‘ perbedaan sex.
Pemakalan istilah ‘gender’ pada literatur
kaum feminis juga mempunyai beragam tujuan untuk menggambarkan kerangka
normatif sosial yang dengannya diskriminasi berlangsung; sebagai alat kririk
bagi feminis yang dipakai untuk menanggulangi penindasan terhadap perempuan dan
sebagai makna yang dengannya feminis bisa menerangkan identitas berbeda yang
berisikan baik menjadi bukan-laki-laki atau menjadi terserap dalam
(dianggap-laki-laki) masyarakat.
Secara tradisional, ayah adalah pencari
nafkah utama dan ibu adalah pengasuh utama untuk anak-anak mereka. Keadaan ini
mempunyai dampak psikologis terhadap anak perempuan dan anak laki-laki. Selama
tahun-tahun awal pertumbuhan, anak perempuan tidak membedakan identitas mereka
dari ibunya, demikian pula anak laki-laki. Karena anak laki-laki diasuh hampir
secara eksklusif oleh gender yang berbeda, mereka mendefenisikan diri mereka
melalui pembedaan.
Anak perempuan terus-menerus bertumpu dan
diidenrifikasi dengan ibunya sumber asli pengasuhan untuk mengafirmasi
keberadaannya, dia menumbuhkan ketergantungan terhadap hubungan itu untuk
mengafirmasi kebajikan, amanah, dan cintanya. Di masa pertumbuhannya, dia
menambahkan kepercayaan ini kepada yang lain yang signifikan, khususnya ayah,
pacar, dan suaminya. Konsekuensinya, seorang anak perempuan belajar untuk
menjadi baik dan menyenangkan untuk mendapatkan kepercayaan dan afirmasi demi
kebajikan-dirinya. Demikianlah kisah singkat bagaimana ‘gender’ itu terbentuk.
Namun untuk menganalisisnya dengan lebih komplit, dibutuhkan beberapa teori
seperri teori psikoanalisis, teori fungsional struktural, teori konflik,
berbagai teori feminis, dan teori sosio-biologis.
Perbedaan esensial sex/gender yang berdasar
pada kapasitas reproduktif tubuh mereka masih sangat dominan mempengaruhi.
Mengenai hal itu, J. Squires menegaskan bahwa “femininitas” ‘tidak mempunyai
hubungan mutlak dengan kategori biolgis perempuan dan bisa saja menempati tubuh
biologis laki-laki’. Meski begitu, perempuan masih menjadi subordinasi
laki-laki. Gender lebih umum digukan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki
dengan perempuan dari segi sosial budaya. Sementara itu, sex secara umum
digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi
anatomi biologi. Istilah sex (dalam bahasa juga berarti “jenis kelamin”). Lebih
banyak berkonsentrasi kepada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan
komposisi kimia dan hormon pada tubuh, anatomi fisik, refroduksi dan
karakteristik biologis lainnya. Sementara itu, gender lebih banyak
berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, psikologis dan aspek biologi lainnya.
Gender dalam pemahaman kekinian bukanlah
bagian dari kodrat jika kodrat dipahami sebagai ketentuan-ketentuan baku dari
Allah swt., melainkan modifikasi-modifikasi tertentu dari konstruksi sosial
dimana laki-laki dan perempuan hidup. Ia tidak lain sesungguhnya hanyalah hasil
konstruksi tradisi, budaya dan ideologi tertentu. Karna ia hasil karya dan
budaya manusia. Maka ia mengenal batas ruang dan waktu. Oleh karena itu gender
memiliki kerergantungan terhadap nila-nilai yang dianut masyarakat sehingga
menentukan apa yang dilakukan perempuan dan laki-laki.
Dalam kajian gender dikenal beberapa teori
yang cukup berpengaruh yaitu;
1. Teori Psikoanalisa/Identifikasi.
Kekuatan psikoanalisis adalah pada penolakan
atas sifat subjek dan seksualitas yang bersifat tetap. Jadi, psikoanalisis
berkonsentrasi pada konstruksi dan pembentukan subjektivitas. Bukan tentang apa
itu subjek, melainkan tentang bagaimana dia sampai kepada keadaannya yang
sekarang. Psikoanalisis, dikatakan, menunjukkan bagaimana proses psikis
melembagakan ‘pemanusiaan’ anak, pada terbentuknya subjek jender di dalam tanah
simbolis bahasa dan kebudayaan.
Psikolog yang terkenal dengan teori ini
adalah Sigmund Freud (1856-1939). Baginya, kepribadian tersusun dari 3 sistem
pokok, yakni: id, ego dan superego. Meskipun masing-masing bagian dari
kepribadian total ini mempunyai fungsi, sifat, komponen, prinsip kerja,
dinamisme, dan mekanismenya sendiri, namun mereka berinteraksi begitu erat satu
sama lain sehingga sulit (tidak mungkin) untuk memisah-misahkan pengaruhnya dan
menilai sumbangan rektifnya terhadap tingkah laku manusia. Tingkah laku hampir
selalu merupakan produk dari interaksi di antara ketiga sistem tersebut; jarang
salahsatu sistem berjalan terlepas dari kedua sistem lainnya.
Id merupakan sistem kepribadian yang asli; id
merupakan rahim tempat ego dan superego bekembang. Id berisikan segala sesuatu
yang secara psikologis diwariskan dan telah ada sejak lahir, termasuk
insting-insting. Id merupakan reservoir energi psikis dan menyediakan seluruh
daya untuk menjalankan kedua sistem yang lain. Id berhubungan erat dengan
proses-proses jasmaniah dari mana id mendapatkan energinya. Freud juga menyebut
id “kenyataan psikis yang sebenarnya”, karena id merepresentasikan dunia batin
pengalaman subjektif dan tidak mengenal kenyataan objektif. Ketika terjadi
tegangan, id merespon dengan membentuk khayalan tentang objek yang dapat
menghilangkan tegangan tersebut. Namun proses primer seperri itu tidak akan
mampu meredakan tegangan secara maksimal. Orang lapar tidak dapat memakan
khayalan tentang makanan. Karena itu, proses psikologis baru atau sekunder
berkembang, dan apabila hal itu terjadi, maka struktur sistem kedua
kepribadian, yaitu ego, mulai terbentuk.
Ego timbul karena kebutuhan-kebutuhan organisme
memerlukan transaksi-transaksi yang sesuai dengan dunia kenyataan objektif.
Karena ia adalah pintu awal terjadinya tindakan, ego juga disebut sebagai
eksekurif kepribadian. Orang yang lapar harus mencari, menemukan dan memakan
makanan sampai tegangan karena rasa lapar dapat dihilangkan. Ini berarti orang
harus belajar membedakan antara gambaran ingatan tentang makanan dan persepsi
aktual terhadap makanan seperti yang ada di dunia luar. Setelah melakukan
pembedaan yang sangat penting ini, maka perlu mengubah gambaran ke dalam
persepsi, yang terlaksana dengan menghadirkan makanan di lingkungan. Dengan
kata lain, orang mencocokkan gambaran ingatan makanan dengan penglihatan atau
penciuman terhadap makanan yang dialaminya melalui pancaindera. Perbedaan pokok
antara id dan ego ialah bahwa id hanya mengenal kenyataan subjektif-jiwa,
sedangkan ego membedakan antara hal-hal yang terdapat dalam batin dan hal-hal
yang terdapat dalam dunia luar.
Sistem kepribadian ketiga adalah superego.
Supergo adalah perwujudan internal dari nilai-nilai dan cita-cita tradisional
masyarakat sebagaimana diterangkan orang tua kepada anak, dan dilaksanakan
dengan cara memberinya hadiah-hadiah atau hukuman-hukuman. Superego adalah
wewenang moral dari kepribadian; ia mencerminkan yang ideal dan bukan yang
real; dan memperjuangkan kesempurnaan ban bukan kenikmatan. Perhatiannya adalah
memutuskan apakah sesuatu itu benar atau salah dengan demikian ia dapat
bertindak sesuai dengan norma-norma moral yang diakui oleh wakil-wakil masyarakat.
Secara sangat umum id bisa dipandang sebagai komponen biologis kepribadian,
sedangkan ego sebagai komponen psikologis dan superego sebagai komponen
sosialnya.
Freud mungkin merupakan psikolog pertama yang
menekankan aspek-aspek perkembangan kepribadian dan terutama menekankan peranan
menentukan dari tahun-tahun awal masa bayi dan kanak-kanak dalam meletakkan
struktur watak dasar sang pribadi. Memang Freud berpendapat bahwa kepribadian
telah cukup terbentuk pada akhir tahun kelima, dan bahwa perkembangan
selanjutnya sebagian besar hanya merupakan elaborasi terhadap struktur dasar
itu. Kepribadian berkembang sebagai respon terhadap empat sumber tagangan
pokok, yakni: (1) proses-proses pertumbuhan fisiologis, (2) frustasi-frustasi,
(3) konflik-konflik, dan (4) ancaman-ancaman. Sebagai akibat langsung dari
meningkatnya tegangan yang diambulkan oleh sumber-sumber ini, sang pribadi
terpaksa mempelajari cara-cara baru mereduksikan tegangan.
Respon terhadap tegangan-tegangan itu sangat
menentukan di masa lima tahun awal. Freud menyebutnya dengan tahap-tahap
perkembangan. Masing-masing tahap perkembangan selama lima tahun pertama itu
ditentukan oleh cara-cara reaksi suatu zona tubuh tertentu. Selama tahap
pertama, yang belangsung selama kira-kira satu tahun, mulut merupakan daerah
pokok kegiatan dinamik. Tahap oral disusul dengan berkembangnya ”kateksis” dan
”antikateksis” di sekitar fungsi-fungsi eliminasi, dan sebut tahap anal. Tahap
ini berakhir pada tahun kedua dan disusul dengan tahap phallik di mana organ-organ
seks merupakan zona-zona erogen yang terpenting. Tahap-tahap ini, yakni oral,
anal, dan phallik disebut tahap-tahap pragenital. Anak kemudian memasuki
periode laten yang cukup lama, yang secara dinamis disebut tahun-tahun yang
tenang. Selama periode ini, impuls-impuls cenderung berada dalam keadaan
direpresikan. Munculnya kembali dinamika pada masa adolesen yang dinamis
mengaktifkan kembali impuls-impuls pragenital; apabila impuls-impuls ini
berhasil dipindahkan dan disablimasikan oleh ego maka sampailah orang pada
tahap kematangan yang merupakan tahap akhir, yaitu tahap genital.
Titik persinggungan para pemerhati kajian
perempuan dengan teori ini terjadi karena psikoanalisis adalah suatu penjelasan
universal subjektivitas yang menandai proses psikis manusia sepanjang sejarah,
dan lebih jauh lagi, suatu yang inhern persifat patriarkis dan phallosentris
ketika Freud menyatakan perempuan adalah laki-laki yang tidak sempurna karena
tidak memiliki penis.
Jika dibaca dan teori difference Jacques
Derrida. Perbedaan (difference) menjabarkan usaha manusia dalam tuturan dan
tulisan untuk membedakan makna sebagai “penanda”. Artinya, kata dan konsep
mendapatkan makna hanya dalam referensi relasional dengan kata-kata dan penanda
lain yang menjelaskan makna secara berbeda dari mereka. Misalnya, istilah
maskulinitas memiliki makna hanya selama maskulinitas dibedakan dan yang bukan
maskulin, yaitu feminin (yang memerlukan pemaknaan hanya dalam hubungannya
dengan perbedaannya dengan maskulin). Sehingga. secara sosiologis, istilah
laki-laki dan perempuan dalam hubungan satu sama lain dan memiliki makna hanya
dengan keterwakilannya terhadap istilah lain. Untuk menjadi “laki-laki tulen”
berarti menjadi nonfeminin. Sebaliknya juga demikian. Dilihat dari cara ini,
kelelakian dan keperempuanan tidak dicirikan oleh esensi invariant sosial dan
biologis namun hanva dalam konteks apa yang bukan mereka, yang “lain” dari
mereka. Dalam budaya patriarki kita, laki-laki bersifat dominan terhadap
perempuan, yang berarti bahwa perbedaan jender cenderung dicirikan bukan hanya
dari perbedaan. namun dan ketidakseimbangannya.
Identifikasi diri seorang perempuan bahwa dia
tidak ber-penis terjadi pada tahap phallik yang diperkenalkan oleh Freud lewat
konsep Oedipus complex. Sebelum momen Oedipal, kita tidak mampu membedakan
dengan jelas antara diri kita dengan objek lain, dan kita pun tidak merasakan
diri kita sebagai laki-laki atau perempuan. Anak-anak praoedipal mengalami
dunia ini dengan cara eksplorasi sensoris dan auto-erorisme. Mereka mencari
kepuasan fisik tetutama dengan berfokus pada ibu sebagai sumber kehangatan,
kenyamanan dan makanan. Akibatnya, cinta pertama sang anak adalah ibunya, yang
diidentikkan dan diambakannya. Jadi, anak ingin ‘menjadi’ ibu dan ‘menguasai’
sang ibu. Resolusi Oedipus complex melibatkan penolakan ibu sebagai objek cinta
dan pemisahan subjek dari ibunya.
Dr. Nasaruddin Umar, MA, Menyebutkan bahwa
pada tahap ini, seorang anak laki-laki berada dalam puncak kecintaan terhadap
ibunya dan sudah mulai mempunyai hasrat seksual. Ia mulai melihat ayahnya
sebagai saingan, karena ia ingin memperoleh kasih sayang ibu yang melebihi
kasih sayang yang diperoleh ayahnya. Suatu ketika anak tersebut merasa tidak
sanggup memperoleh kasih sayang ibu, maka seketika itu tertanam di alam bawah
sadarnya bahwa ayahnya adalah saingan. Namun karena anak itu takut dikebiri
oleh ayahnya, karena ia masih berada di tahap phallik tahap puncak kesenangan
berada di penisnya—, maka ia tidak bisa melawan ayahnya. Meskipun demikian,
seorang anak laki-laki merasa bangga karena tidak semua orang mempunyai penis,
termasuk ibunya. Pada tahap akhir ini, ia kembali mengidentifikasi ayahnya,
bukan sebagai saingan (rival) tetapi ia menerimanya sebagai idola (model).
Sebaliknya, anak perempuan, ketika ia melihat
dirinya tidak memiliki penis seperti anak laki-laki, tidak dapat menolak
kenyataan dan merasa sudah “terkebiri”. Ia mengalami perkembangan rasa “rendah
diri”. Secara tidak sadar menjadikan ayahnya sebagai objek cinta dan menjadikan
ibunya sebagii objek iri hati.
Teori ini kemudian dipertajam oleh Jacques
Lacan, yang dianggap sebagai psikoanalis besar setelah Freud. Lacan menyebutkan
bahwa bentuk dominasi penanda phallik. Pertama, di sekitar penis sebagai
penanda-lah terbentuk hasrat Liyan yang Simbolik (masyarakat), karena hal ini
mendefenisikan perkosaan sebagai penetrasi yang dilakukan oleh penis. Kedua, di
dalam tindakan perkosaan itu sendiri hasrat laki-laki terpusat dan ditandakan
oleh penisnya: laki-laki tidak hanya menaruh minat pada pribadi perempuan, ia
juga ridak memiliki minat lain di luar kenikmatan fisik dirinya yang terpusat
di penisnya. Ketiga, hasrat perempuan yang mejadi korban juga terpusat pada
penis si laki-laki—pertama-tama ia hanya berharap untuk tidak dipenetrasi oleh
penis tersebut (atau lebih tepatnya di dalam beberapa representasi pornografis
pada perkosaan itu dipenetrasi olehnya). Dan akhirnya, serta yang paling
penting, kenikmatan yang dialami perempuan saat dia mengalami perkosaan
direpresentasikan sebagai yang datang dari organ laki-laki yang dahsyat.
Banyak pertanyaan yang melingkungi teori ini
seperti misalnya, Mengapa Freud menyatakan bahwa perempuan ’secara alamiah’
memandang rendah alat vital mereka atau bahwa aktivitas heteroseksual genital
yang menekankan kekuasaan maskulin dan pasivitas feminine adalah bentuk normal
Seksualitas?.
J. Mitchell memandang psikoanalisis telah
menawarkan suatu dekonstruksi atas pembentukan identitas terjenderkan dalam
ranah psikis dan simbolis masyarakat patriarkis. Karena itu, dia menitikberatkan
kepada penekanan Freudian terhadap konstruksi dan pembentukan subjektivitas dan
seksualitas, bukannya terhadap apa ini perempuan tapi bagaimana ia tumbuh.
Katanya lagi, politik feminis dapat menyelidiki dan menentang fantasi phallic
maskulin yang menjadi titik sentral dalam ketimpangan jender. Dalam
melakukannya, Ia dapat mengemukakan struktur alam bawah sadar baru, mekanisme
baru bagi prose masuk ke dalam kebudayaan dan berbagai posisi subjek baru.
Ada seorang bernama Julia Kristeva yang mencoba
menawarkan upaya dekonstruksi identitas seksual. Kristeva adalah psikoanalis
yang dipengaruhi pemikiran Lacanian. Baginya, percaya bahwa seseorang “berjenis
kelamin perempuan” nyaris se-absurd dan se-doktriner keyakinan bahwa seseorang
“berjenis kelamin laki-laki”. Identitas seksual hanya bisa terwujud dengan cara
memasuki tatanan simbolis, jadi, identitas seksual bukan merupakan suatu esensi
melainkan soal representasi. Walhasil, derajat maskulinitas dan femininitas
dikatakan ada di dalam diri laki-laki dan perempuan secara biologis.
Femininitas adalah suatu kondisi atau posisi subjek marginalitas yang juga
dapat dikuasai oleh beberapa laki-laki, misalnya seniman garda depan.
Karena itu, kata Kristeve, perjuangan untuk
meraih identitas seksual berlangsung pada masing-masing individu. Alih-alih
konflik pertentangan antara kedua massa laki-laki dan masa perempuan, identitas
seksual memusatkan perhatian pada keseimbangan antara maskulinitas dan
femininitas dalam diri laki-laki dan perempuan. Perjuangan ini, katanya, bisa
melahirkan dekonstruksi identitas seksual dan idenritas jender yang dipahami
dalam konteks marginalitas di dalam tatanan simbolis.
Upaya defenisi ulang identitas jender juga
ditawarkan oleh Herb Goldberg dalam bukunya, the Neiv Malt. Ia menganjurkan
laki-laki mendefinisikan ulang maskulinitas agar dapat menanggulangi
pengaruh-pengaruh yang telah memisahkan mereka dari ‘pengalaman batin’ mereka.
Mereka harus menghilangkan label-label yang telah membuat mereka mengabdi pada
tuntutan-tuntutan seperti seorang budak kekhawatiran akan pemikiran sebagai
pengecut, lemah, gaga, belum dewasa, impoten atau pembenci perempuan. Mereka
harus mengusahakan persahabatan akrab dengan laki-laki lain untuk memberi
dukungan yang sama di mana perempuan dapat menawarkan satu sama lain. Penting
bagi laki-laki untuk memutuskan hubungan dengan ide bahwa perempuan dengan
siapa dia melibatkan diri haruslah pasif dan penuh cinta; lebih lagi, dia
sebaiknya mengharapkan mengembangkan hubungan-hubungan dengan perempuan yang
individual secara otonom. Laki-laki perlu membangun ’sisi feminin’ mereka dan
‘memperoleh kembali emosi-emosi, kebutuhan-kebutuhan dependensi, pasifitas,
keridakstabilan, kesukaan bermainnya, sensualitas, kerawanan dan perlawanan
terhadap selalu mengambil tanggung jawab’. Golberg menasihati laki-laki, jangan
coba-coba merubah dunia: Rubahkh dulu dirimu sendiri.
Ditambahkan oleh Giddens, phallus cuma
sekadar penis: penemuan yang kaku dan membingungkan baig kedua jenis kelamin!
Tuntutan-tuntutan terhadap kekuasaan kelaki-lakian tergantung pada penguntaian
sepotong tubuh (piece offlesli) yang sekarang sudah kehilangan hubungan
khususnya dengan reproduksi. Ini tentu saja merupakan sebuah pengebirian baru;
perempuan sekarang dapat melihat laki-laki, setidaknya pada tingkat kognitif,
hanya sebatas anggota badan yang tidak berfungsi seperti organ seksual
laki-laki itu sendiri.
2. Teori Fungsionalis Struktural
Dasar utama teori fungsionalis struktural
adalah stratifikasi fungsional sebagaimana diungkapkan oleh Kingsely Davis dan
Wilbert Moore. Davis dan Moore menjelaskan bahwa mereka menganggap stratifikasi
sosial sebagai fenomena universal dan penting. Mereka menyatakan bahwa tak ada
masyarakat yang tidak terstratifikasi atau sama sekali tanpa kelas. Menurut
pandangan mereka, stratifikasi adalah keharusan fungsional, semua masyarakat
memerlukan sistem stratifikasi. Mereka juga memandang sistem stratifikasi
sebagai sebuah struktur dan menunjukkan bahwa stratifikasi tidak mengacu kepada
individu di dalam sistem stratifikasi, tetapi lebih kepada sistem posisi
(kedudukan). Mereka memusatkan perhatian pada persoalan bagaimana cara posisi
tertentu memengaruhi tingkat prestise yang berbeda dan tidak memusatkan
perhatian pada masalah bagaimana cara individu dapat menduduki posisi tertentu.
Pemahaman seperti ini telah dapat ditemukan
benih-benihnya pada Auguste Comte yang memahami sosiologi sebagai studi tentang
strata sosial (struktur) dan dinamika sosial (proses/fungsi). Di dalam membahas
masyarakat, Comte menerima premis “masyarakat adalah lasana organisme hidup”.
Setelah melalui beberapa tokoh, sampailah teori ini kepada Talcort Parsons yang
kemudian melahirkan fungsionalisme struktural.
Parsons memulai fungsionalisme struktural
dengan mendefinisikan fungsi (junction) sebagai “kumpulan kegiatan yang
dirujukan ke arah pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem”. Dengan
menggunakan definisi ini, Parsons yakin bahwa ada empat fungsi penting
diperlukan semua sistem:
a. Adaptation (Adaptasi): sebuah sistem harus
menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus menyesuaikan diri
dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhannya.
b. Goal attainment (Pencapaian tujuan):
sebuah sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya.
c. Integration (Integrasi): sebuah sistem
harus mengatur antarhubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Sistem
juga harus mengelola antarhubungan ketiga fungsi penting lainnya.
d. Latemy (Latensi atau pemeliharaan pola):
sebuah sistem harus memperlengkapi, memelihara dan memperbaiki, baik motivasi
individual maupun pola-pola cultural yang menciptakan dan menopang motivasi.
Parsons mendesain skema AGIL ini untuk
digunakan di semua tingkat dalam sistem teoritisnya. Lalu dia juga mendesain
empat sistem tindakan sebagai berikut: organisasi perilaku adalah sistem
tindakan yang melaksanakan fungsi adaptasi dengan menyesuaikan diri dengan dan
mengubah lingkungan eksternal. Sistem keprihadian melaksanakan fungsi
pencapaian tujuan dengan menetapkan tujuan sistem dan memobilisasi sumber daya
yang ada untuk mencapainya. Sistem sosial menanggulangi fungsi integrasi dengan
mengandalkan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Terakhir, astern cultural
melaksanakan fungsi pemeliharaan pola dengan menyediakan aktor seperangkat
nurma dan nilai yang memotivasi mereka untuk bertindak.
Berdasar pada teori ini. Parsons dan Robert
Bales dalam, family. Socialisation, and Interaction Process, mengiyakan adanya
dualitas laki-laki dan perempuan dengan menampilkan mereka sebagai satu
hierarki. Parsons dan Bales menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan
menajaknkan peran saling melengkapi yang sesuai dengan kepribadian dan
keterampikn mereka. Laki-laki mencari kue dan perempuan mengasuh anak. Hal ini
membenarkan pembagian kerja secara seksual. Mereka benar-benar ingin
membenarkan supremasi laki-laki dengan menyatakan masuk akalnya argumen ini.
Teori sosiologi modern seperti fungsionalisme
strukturalis ini menekankan subjektivitas. Penekanan semacam ini memiliki
sejumlah implikasi termasuk kecenderungan memusatkan pada, jika tidak
mendewakan, (hampir umumnya laki-laki) pengarang karya-karya teortetis. Kondisi
ini terjadi baik pada kajian-kajian sosiologi klasik, yang hampir, selalu
menggunakan analisir. ide-ide manusia besar (Marx, Weber. Durkheim, dan
kin-lam), maupun pada teori sosiologi kontemporer, termasuk Talcott Parsons
dengan fungsionalisme strukturalnya.
Di dunia postmodern, kepengarangan, genius,
karisma, dan sebagainya tidak ditekankan, ide-ide akan menjadi lebih penting
daripada orang yang mengekspresikan ide-ide itu. Teori sosiologi pada era
postmodern, “teks” menggantikan “karya”. Ide karya menyatakan secara tidak
langsung seorang pengarang, si genius, dengan sendirinya, senggup memproduksi
karya semacam itu. Karena, pada dunia postmodern, tidak ada lagi pengarang,
tidak ada lagi karya. Tepatnya, yang ada hanya teks, dan tentu saja, ide-ide
teks yang ada di dalam teks. Yang menjadi masalah bukan siapa yang menciptakan
teks tetapi lebih pada siapa “yang membaca” teks. Kekuasaan beralih dari
pengarang ke pembaca.
3. Teori Konflik.
Teori konflik sebagian berkembang sebagai
reaksi terhadap fungsionalisme structural. Tokoh yang dianggap berhasil
merampungkan teori ini adalah Ralf Dahrendorf. Jika pada fungsionlisme
struktural masyarakat adalah staris atau masyarakat berada dalam keadaan
berubah seimbang secara seimbang, maka menurut Dahrendorf dan teoritisi konflik
lainnya, setiap masyarakat setiap saat tunduk pada proses perubahan.
Fungsionalis menekankan keteraturan masyarakat, sedangkan teritisi konflik
melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Fungsionalis menyatakan
bahwa setiap elemen masyarakat berperan dalam menjaga stabilitas. Teoritisi
konflik melihat berbagai elemen kemasyarakatan mcnyumbang terhadap disintegrasi
dan perubahan.
Fungsionalis cenderung melihat masyarakat
secara formal diikat oleh norma, nilai dan moral. Teoritisi konftik melihat apa
pun keteraturan yang terdapat dalam masyarakat berasar dari pemaksaan terhadap
anggotanya oleh mereka yang berada di atas (Otoritas). Fungsionalis memusatkan
perhatian pada kohesi yang diciptakan oleh nilai bersama masyarakat. Teoritisi
konflik menekankan pada peran kekuasaan dalam mempertahankan ketertiban dalam
masyarakat.
Otoritas dalam setiap kelompok bersifat dikotomi;
karena itu ada dua, hanya ada dua, kelompok, kelompok konflik yang dapat
terbentuk di dalam seriap asosiasi. Kelompok yang memegang posisi otoritas dan
kelompok subordinat yang mempunyai kepentingan tertentu “yang arah dan
subtansinya saling bertentangan”. Di sini kita berhadapan dengan konsep kunci
lain dalam teori konflik Dahrendorf, yakm kepentingan. Kelompok yang berada di
atas dan yang berada di bawah didefiniskan berdasarkan kepentingan bersama. Di
dalam setiap asosiasi, orang yang berada pada posisi dominan berupaya
mempertahankan status quo, sedangkan orang yang berada pada posisi subordinat
berupaya mengadakan perubahan. Konflik kepentingan ini selalu ada sepanjang
waktu. setidaknya tersembunyi. Ini berarti legitimasi otoritas selalu terancam.
4. Teori Feminis Liberal, Sosialis dan
Radikal.
Teori feminis menyuarakan isu yang diabaikan
oleh sebagian besar teoritisi laki-laki. Prestasi utama teori feminis adalah
menempatkan politik seksualitas sebagai isu sentral dalam pemahaman tentang
penindasan. Argumen yang dibangun oleh teori feminis adalah bahwa patriarki,
atau supremasi laki-laki, muncul dari pembagian kerja berdasarkan seks, yang
ada di wilayah privat maupun publik. Teori Feminis bukan hanya mengeksploitasi
seksualitas dan domestifikasi, namun juga mengaitkan politik jender di
kehidupan domestik dengan politik jender di dunia kerja upahan dan kehidupan
publik.
Jadi, feminisme terutama memberikan perharian
pada seks dan prinsip penataan kehidupan sosial yang sepenuhnya dipengaruhi
oleh relasi kekuasaan. Feminism berpendapat bahwa subordinasi atas perempuan
terjadi di semua institusi dan praktik sosial, jadi dia bersifat struktural.
Subordinasi struktural yang menimpa perempuan lain disebut feminis dengan
partriarki, dengan makna turunannva berupa keluarga yang dikepalai laki-laki,
penguasaan dan superioritas.
- Feminisme Liberal
Feminis liberal melihat perbedaan laki-laki
dengan perempuan sebagai kosntruk sosio-ekonomis dan budaya ketimbang sebagai
hasil dari suatu biologi abadi. Mereka menekankan perlunya kesetaraan
kesempatan bagi perempuan di semua bidang, yang, di dalam demokrasi liberal
Barat, diyakini dapat tercapai di dalam struktur besar dalam kerangka kerja
ekonomi dan hukum.
Feminisme liberal memfokuskan diri pada
hak-hak perempuan di ruang publik dan tidak menganalisis kekuatan hubungan yang
mungkin ada di dalam rumah atau ruang privat; ini membuktikan bahwa keadilan
karenanya akan menjamin kesuksesannya dan bahwa tidak akan punya alasan untuk
melawannya.
- Feminisme Marxis-Sosialis
Feminis Marxis memandangan bahwa kelas
masyarakat hanya bisa menguntungkan beberapa gelintir perempuan kelas menengah
sebagian besar perempuan, demikian pula laki-laki, akan tetap tertindas sampai
sistem ekonomi kapitalis digantikan oleh komunisme. Dari perspektif ini, kunci
bagi pembebasan perempuan adalah masuknya mereka ke dalam pasar buruh bayaran
dan partisipasi mereka dalam perjuangan kelas, dan hanya dalam masyarakat
komunis, ketergantungan ekonomi yang menjadi basis ketertindasan perempuan akan
hilang, dan pemeliharan anak dan penjagaan rumah secara komunal terbebas dari
pekerjaan domestik yang menjemukan serta mengizinkan mereka untuk
berpartisipasi secara penuh dalam kehidupan produktif. Kesempatan tersebut
tidak bisa diperoleh hanya dengan menuntut keadilan, karena mereka adalah
produk dari tahap particular pembangunan ekonomi; karena itu, kesetaraan
seksual akan dicapai, tetapi hanya dalam kondisi historis tertentu.
Upaya yang dilakukan oleh feminsi
Marxis-sosialis adalah dengan meruntuhkan organisasi dan reksi sockl kapitalis.
Dikatakan bahwa kerja domestic perempuan adalah inti dari reproduksi tenaga
kerja baik secara fisik (memberi makan, berpakaian, mengasuh, dan lain-lain).
Lebih jauh lagi, perempuan menciptakan persediaan tenaga kerja yang murah dan
fleksibel bagi kapitalisme yang lebih mudah ‘dikembalikan ke rumah’ ketika
dikehendaki. Jadi, yang menjadi inti dari kapitalisme sosialis adalah penekanan
kepada ‘peran ganda’ (kerja domestic dan kerja upahan) perempuan dalam
reproduksi kapitalisme.
- Feminisme Radikal
Feminisme radikal atau kultural berpandangan
bahwa penindasan atas perempuan terutama terjadi karena patriarki, yang
berorientasi baik pada level keluarga dan pada harapan atas heteroseksualitas
wajib dan pada level budaya, di mana citra seksis perempuan diobjektifkan
sehingga menindas mereka. Feminism radikal mirip dengan feminism lesbian atau
separatisme lesbian dalam kritiknya atas keluarga heteroseksis sebagai sumber
utama penindasan atas perempuan. Ini sekaligus mengantisipasi berbagai tema
dalam teori homoseksual yang didiskusikan kemudian, misalnya hegemoni
heteroseksualisme, yang memproduksi pandangan terbelah tentang maskulinitas dan
femininitas.
Feminisme Liberal berkembang di Barat pada
abad ke-18, bersamaan dengan semakin populernya arus pemikiran baru zaman
pencerahan. Dasar asumsi yang digunakan adalah bahwa setiap manusia mempunyai
hak asasi yaitu hak untuk hidup, hak untuk mendapatkan kebebasan dan hak untuk
mencari kebahagiaan. Mereka memasukan ide bahwa perempuan mempunyai hak yang
sama dengan laki-laki. Agar persamaan antara hak laki-laki dan perempuan dapat
terjamin pelaksanaannya. Maka perlu ditunjang dengan dasar hukum yang kuat.
Oleh karena itu agar tujuan ini dapat tercapai perjuangan di fokuskan pada perubahan
segala undang-undang dan hukum yang dianggap dapat melestarikan institusi
keluarga yang patriarkat. Kelompok ini menghendaki agar perempuan
diintegrasikan secara total didalam semua peran termasuk bekerja diluar rumah.
Dengan demikian tidak ada lagi suatu kelompok jenis kelamin yang lebih dominan.
Organ reproduksi bukan merupakan penghalang terhadap peran-peran tersebut.
Feminis radikal berpandangan bahwa feminis
perlu meruntuhkan atau secara radikal memperbaiki keluarga dan menciptakan
budaya non-misoginis di mana perempuan tidak dijadikan objek. Feminisme radikal
memasukkan tapi tidak terbatas pada kritik tajam atas heteroscksisine, yang
tidak hanya berpandangan bahwa semua orang dewasa pada dasarnya heteroseksual
tapi juga menambahkan bahwa perempuan mendapatkan identitas mereka karena
berpasangan (khususnya, menikah) dengan laki-laki dan mempunyai anak. Feminisme
lesbian merupakan feminis radikal, meski tidak semua feminisme radikal adalah
separatis lesbian karena mereka menasihati perempuan untuk berpasangan hanya
dengan perempuan.
Sebagaimana feminis liberal, feminis radikal
berasumsi dan meyakini kapitalisme sebagai satu kerangka yang didalamnya
feminis radikal melakukan kerja politis mereka dan menjalani hidup sebagaimana
mereka hidup. Feminis radikal menyalahkan dilemma perempuan dalam patriarki’
yang mereka yakini berasal dari keluarga dan cara di mana perempuan terjebak
dalam peran tanggung jawab dan kewajiban mereka. Feminis radikal merupakan
paham esensialisme yang eksplisit dan tertutup yang berpandangan bahwa
perempuan dan laki-laki pada dasamya berbeda dalam hal cara yang
diperbincangkan dan cara mereka bertindak di dunia (Mirip Freud yang Menyatakan
“anatomi adalah takdir”).
5. Teori Sosio-Biologis.
Pierre van den Berghe, Lionel Tiger dan Robin
Fox teori ini yang intinya bahwa semua pengaturan peran jenis kelamin tercermin
dari “biogram” dasar yang diwarisi manusia modern dari nenek moyang primal dan
hominid mereka. Intensitas keunggulan laki-laki tidak saja ditentukan oleh
faktor biologis tetapi elaborasi kebudayaan atas biogram manusia. Teori ini
disebut “biososial” karena melibatkan faktor biologis dan sosial dalam
menjekskan reksi jender.
Teori Sosio-Biologis ini merupakan
pengambungan kedua teori yang sudah lebih dahulu yaitu; ”nature” dan ”nuture”.
Teori ini disebut juga bio-seksual. Disebut demikian karena intinya adalah
bahwa semua pengaturan peran jenis kelamin tercermin dari biogram dasar yang
diwarisi manusia dari nenek moyang mereka. Keunggulan laki-laki yang ada hingga
sekarang tidak saja ditentukan oleh faktor biologis, tetapi juga akibat
elabosai kebudayaan atas biogram manusia.
Dari uraian di atas kelima teori tesebut di
atas perlu mendapat sorotan ;
Teori Psikonalisa bersifat analisis seks,
manusia dan sifat prilakunya tidak lebih dari luapan libidonya. Pandangan ini
mingakibatkan potensi perempuan ditempatnya sebagai pihak yang penuh kelemahan.
Perempuan dipandang senantiasa memiliki kekurangan pada alat kelaminya
dibanding laki-laki.
Teori Fungsionalis Struktural membiarkan
keadaan berlangsung menurut keadaan yang berjalan dalam keadaan masyarakat
tanpa ada usaha-usaha meluruskan ketidakkeseimbangan. Pandangan teori ini
mengakibatkan pembenaran kekuasaan laki-laki atas perempuan yamg telah
berlangsung atau pada masa yang akan datang. Pandangan ini mungkin dibenarkan
untuk masyarakat masa lalu. Sementara kondisi kekinian masyarakat telah berubah
seiring perobahan tradisi sosial budaya dalam kehidupan.
Teori Konflik menilai ketidakadilan dalam
hubungan laki-laki dan perempuan hanya dari sisi ekonomil dengan kata lain,
hubungan tesebut besifat kapitalis. Siapa yang lebih bermamfaat memberi harta
hanya lebih banyak dialah yang lebih berkuasa terhadap pihak lainnya. Laki-laki
dalam hal ini akan senantiasa menguasai sumber-sumber perekonomian dibanding
perempuan. Karena sepanjang hidup laki-laki tidak akan perna mengalami hambatan
terutama biologisnya tidak akan perna mampu mengejar ketinggalannya. Dalam
hukum pasar terjadilah persaingan tidak sehat dan tidak akan berlangsung permanen.
Teori Feminis bersifat menerawang jauh ke
awan. Pendapat-pendapat yang disampaikannya tidak memandang realita bahka ia
hanya sebagai angan-angan. Sementara penggabungan yang dilakukan Teori
Sosio-Biologis tanpa disari akan menyudutkan perempuan sebagai akibat dari
faktor biologis maupun sosioligis lebih menetapkan perempuan pada posisi kedua.
Laki-laki dominan secara politis dalam semua masyarakat karena predisposisi
biologis bawaan mereka. Biogram hominid kuno hidup terus dalam diri manusia
kontemporer, mengerahkan jenis kekmin kepada jenis kegiatan yang berbeda secara
mendasar. Pengamatan terhadap perilaku primal infrahuman, penelitian
lintas-budaya atas perbedaan jenis kelamin, dan penelitian atas pengaruh jenis
kelamin dalam perkembangan perilaku manusia, semuanya memperkuat kesimpulan
bahwa biologi manusia adalah suatu komponen yang penting dalam perikku yang
berbeda antara jenis-jenis kelamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar