Menurut bahasa, kata gender diartikan sebagai
“the grouping of words intomasculine, feminine, and neuter, according as they
are regarded as male, female or without sex” yang artinya gender adalah
kelompok kata yang mempunyai sifat, maskulin,feminin, atau tanpa keduanya
(netral). Dapat dipahami bahwa gender adalah perbedaan yang bukan biologis dan
juga bukan kodrat Tuhan.
Konsep gender sendiri harus dibedakan antara
kata gender dan kata seks (jenis kelamin). Perbedaan jenis kelaminantara
laki-laki dan perempuan adalah kodrat Tuhan karena secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis.
Sedangkan gender adalah perbedaaan tingkah laku antara laki-laki dan perempuan
yang secara sosial dibentuk. Perbedaan yang bukan kodrat ini diciptakan melalui
proses sosial dan budaya yang panjang. Misalnya sepertiapa yang telah kita
ketahui bahwa perempuan dikenal sebagai sosok yang lemah lembut,emosional, dan
keibuan sehingga biasa disebut bersifat feminin. Sementara laki-laki dianggap
kuat, rasional, jantan dan perkasa dan disebut bersifat maskulin. Pada
hakikatnya ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat
dipertukarkan.Artinya, ada laki-laki yang memiliki sifat emosional dan lemah
lembut. Dan sebaliknya,ada pula wanita yang kuat, rasional dan perkasa. Oleh
karena itu gender dapat berubahdari individu ke individu yang lain, dari waktu
ke waktu, dari tempat ke tempat, bahkandari kelas sosial yang satu ke kelas
sosial yang lain. Sementara jenis kelamin yang biologis akan tetap dan tidak
berubah.Gender tidak bersifat biologis, melainkan dikontruksikan secara sosial.
Karenagender tidak dibawa sejak lahir, melainkan dipelajari melalui sosialisasi,
oleh sebab itugender dapat berubah. Dalam berbagai masyarakat atau kalangan
tertentu dapat kita jumpai nilai dan aturan agama ataupun adat kebiasaaan yang
dapat mendukung dan bahkan melarang keikutsertaan anak perempuan dalam
pendidikan formal, sebagai akibatketidak samaan kesempatan, sehingga dalam
masyarakat dijumpai ketimpangan dalam angka partisipasi dalam pendidikan
formal.
Gender artinya suatu konsep, rancangan atau
nilai yang mengacu pada sistemhubungan sosial yang membedakan fungsi serta
peran perempuan dan laki-lakidikarenakan perbedaan biologis atau kodrat, yang
oleh masyarakat kemudian dibakukanmenjadi ’budaya’ dan seakan tidak lagi bisa
ditawar, ini yang tepat bagi laki-laki dan ituyang tepat bagi perempuan.
Apalagi kemudian dikuatkan oleh nilai ideologi, hukum, politik, ekonomi, dan
sebagainya. Atau dengan kata lain, gender adalah nilai yangdikonstruksi oleh
masyarakat setempat yang telah mengakar dalam bawah sadar kitaseakan mutlak dan
tidak bisa lagi diganti.Jadi, kesetaraan gender adalah suatu keadaan di mana
perempuan dan laki-laki sama-sama menikmati status, kondisi, atau kedudukan
yang setara, sehingga terwujud secara penuh hak-hak dan potensinya bagi
pembangunan di segala aspek kehidupan berkeluarga, berbangsa dan bernegara.
Terdapat dua teori peran laki-laki dan
perempuan yang berlawanan, yaitu teori nature dan teori nurture. Teori nature
yang disokong oleh teori biologis dan teori fungsionalisme struktural ini,
mengatakan bahwa perbedaan peran gender bersumber dari perbedaan biologis laki-laki
dan perempuan. Sedangkan teori nurture, yang disokong oleh teori konflik dan
teori feminisme, mengandaikan bahwa perbedaan peran gender antara laki-laki dan
perempuan bukan merupakan konsekuensi dari perbedaan biologis yang kodrati,
namun lebih sebagai hasil konstruksi manusia, yang pembentukannya sangat
dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural yang melingkupinya.
Kedua teori peran ini, pada tahap berikutnya
senantiasa berjalan secara berlawanan. Laki-laki atau perempuan, tidak
didefinisikan secara alamiah namun kedua jenis kelamin ini dikonstruksikan
secara sosial. Berdasarkan teori ini, anggapan bahwa laki-laki yang dikatakan
kuat, macho, tegas, rasional, dan seterusnya, sebagai kodrat laki-laki,
sesungguhnya merupakan rekayasa masyarakat patriarkhi. Demikian juga
sebaliknya, anggapan bahwa perempuan lemah, emosional dan seterusnya
sesungguhnya hanyadiskenerioi oleh struktur masyarakat patriarkhi. Oleh karena
itu diperlukan pemosisian apakah identitas jenis kelamin perempuan dan
laki-laki itu merupakan entitas kodrati atau konstruksi. Hal ini penting
didudukkan mengingat implikasi dari konsep yang berbeda tersebut sangat besar
bagi kehdupan sosial, laki-laki dan perempuan dalam lingkup sosio-kultural yang
lebih luas. Di samping itu, perdebatan in kemudian juga berdampak pada adanya
pembatasan “gerak” yang wajar dan pantas atau yang tidak wajardilakukan oleh
laki-laki atau perempuan.
Teori nature (Kelemahan Sebagai Kodrat
Perempuan)adalah teori yang mengandaikan bahwa peran laki-laki dan perempuan,
merupakan peran yang telah digariskan oleh alam. Munculnya teori ini, bisa
dikatakan diilhami oleh sejumlah teori filsafat sejak era kuno. Dalam konteks
filsafat Yunani Kunomisalnya, dinyatakan bahwa alam dikonseptualisasikan dalam
pertentangankosmik yang kembar, misalnya: siang malam, baik buruk,
kesimbungan-perubahan, terbatas-tanpa batas, basah-kering, tunggal-ganda,
terang-gelap, akal-perasaan, jiwa-raga, laki-perempuan, dan seterusnya. Dengan
demikian, ada dua entitas yang selalu berlawanan, yang berada pada titik
eksistensial yang a simetris dan tidak berimbang. Dalam hal ini, kelompok
pertama selalu dikonotasikan secara positif dan dikaitkan dengan laki-laki,
sementara kelompok kedua berkonotasi negatif yang selalu dikaitkan dengan
perempuan.
Senada dengan pandangan di atas, Plato
sedikit memberikan tempat bagi perempuan, dengan menyatakan bahwa perempuan
memiliki jiwa laki-laki yang rendah dam pengecut. Kendati memposisikan
perempuan rendah, namun ia masih menyisakan tempat bagi perempuan, untuk menembus
kesejatian laki-laki. Menguatkan teori nature tentang laki-laki dan perempuan,
Arstoteles juga mendukung ide Plato tentang dikhotomi jiwa-raga., dengan
anggapan ketidaksetaraan di antara manusia sebagai sesuatu yang alami dan bahwa
yang kuat harus mendominasi yang lemah. Lebih jauh, Aristoteles juga
melembagakan penolakan kewarganegaraan perempuan dalam negara kota, yang pada
saat itu mulai berkembang.
Jika Plato melihat dunia sebagai proses
oposisi kembar yang tiada hentinya, Aristoteles juga mengandaiakan bahwa
dualisme hirarkhi, yakni oposisi kembar mengharuskan adanya dominasi satu pihak
atas pihak lainnya. Jiwa mendominasi tubuh, akal mendominasi perasaan,
laki-laki mendominasi perempuan dan seterusnya. Perempuan yang didefinisikan
sebagai suatu yang ganjil, menyimpang dari prototipe manusia generik adalah
budak-budak dari funghsi tubuh yang pasif dan emosiaonal. Akibatnya perempuan
lebih rendah dari laki-laki yang memiliki pikiranm aktif dan cakap.2 Dampak
dari dasar filsafat di atas, maka perempuan dianggap sebagai perahu/kapal
tempat menyimpan dan mengasuh benih manusia karena ia keluar tanpa jiwa.
Laki-lakilah yang dianggap sebagai pencipta sejati
Menyimak pemikiran dua filsuf besar di atas,
terlihat jelas bahwa keduanya dibatasi dan terdistrorsi oleh ideologi yang
dominan dalam masyarakat dan oleh keinginan untuk menjaga atau melestarikan
tatanan tersebut. Kendati eksistensi perempuan masih dipandang penting dalam
suatu tatanan kosmik, namun perempuan tidak dianggap sebagai bagian dari
masyarakat yang beradab.Dengan demikian, tidak asing dalam tradisi Yunani Kuno
bahwa ada kecenderungan untuk melakukan kategorisasi atas pengalaman manusia
yang berhubungan dengan pertentangan alam dan budaya, sebagai sesuatu yang
berada di bawah kontrol manusia.Dalam konteks ini, menimbulkan konsekuensi
lebih jauh bahwa dalam kaitannya dengan suatu perlawanan, perempuan dipandang
oleh laki-laki lebih dekat dengan alam daripada dengan kebudayaan, perempuan
berada pada posisi margin dan periferi kebudayaan.
Memperkuat teori Yunani kuno, filosuf Yahudi,
Philo (30 SM-45 M) terilfiltrasi oleh pemikiran Yunani, dengan enggabungkan ide
status kekrangan an kelemahan perempuan dengan dogma teologi Yahudi. Teologi
Yahudi mengganggap perempuan sebagai sumber dari segala kejahatan. Perempuan
dikenal dengan tubuh yang emosi, mudah berubah, dan tidak stabil. Laki-laki
adalah simbol pikiran dan aspek jiwa intelektual yang lebih tinggi. Laki-laki
adalah situs dan perempuan adalah anima. Secara lebih tegas dukungannya dengan
teori nature, Philo menyatakan bahwa laki-laki merepresentasikan pikiran,
mengetahui dan mengenal dunia. Definisi laki-laki dan perempuan yang demikian
ini, memiliki akar yang menghunjam pada tataran kos`mologis. Dengan pikiran
dunia dibangun berkaitan dengan kontinuitas, stabilitas dan kekelannya,
sebaliknyaperempuan yang direpresentasikan dengan materi, mengkategorikannya
pada instabilitas dan mudah berubah.Philo secara lebih vulgar menyatakan;
dikhotomi laki-laki dan perempuanberikut peran sosial yang diembannya, merupakan
fakta dari alamdan hukum dunia mengikuti perintah alam.Di sampingfilsafat
tentang definisi nature-nya, Philo juga mencari legitimasi pemikirannya pada
teks-teks keagamaan, yakni naskah Perjanjian Lama yang diinterpretasikan bukan
sebagai mitos atau sejarah, namun lebih dipahami sebagai cara menyimbolkan
sesuatu yang mengacupada realitas kosmik. Cerita Adam dan Hawa misalnya,
memiliki pengaruh penting bagi status, kedudukan danperempuan.
Senada dengan kontradiksi kosmik yang digagas
Phytagoras, yakni siang-malam, Philo yang mungkin terpengaruh oleh Phytagoras
menempatkan laki-laki dan perempuan dalam kategori yang terpisah. Pemisahan ini
kemudian menimbulkan perbedaan yang mutlak. Misalnya dinyatakan bahwa ciri-ciri
laki-laki adalah akal, yang menyimbolkan ketenangan, aktif, kuat, dan stabil.
Sementara perempuan digambarkan dengan emosi, pasif, lemah dan tidak stabil.
Berdasarlan pemikiran itu, ia meyakini bahwa tidak adanya kekuatan bagi Hawa
untuk menahan emosinya ketika dibujuk syetan, mengakibatkan ia mudah
digelincirkan syetan. Menurut Philo, perempuan secara alamiah memiliki sifat
lebih terbuka kepada kesenangan fisik, membuat syetan berhasil menggodanya,
bahkan rasa rendah diri perempuan dianggap sebagai kaki tangan syetan.
Teori Nurture (Laki-laki dan Perempuan dalam
Konstruksi Sosial), Pendefinisan laki-laki yang dilakukan oleh masyarakat
patriarkhi, sesunguhnya tidak bisa dilepaskan dari tiga konsep metafisika,
yakni: identitas, dikhotomi dan kodrat. Identitas merupakan konsep pemikiran
klasik yang selalu mencari kesejatian pada yang identik. Segala ssuatu harus
memiliki identitas, memiliki kategorisasi dan terumuskan secara
jelas. Aristoteles yang dikatakan sebagai
bapak identitas, menyatakan bahwa sesuatu tanpa identitas adalah mustahil.
Berdasarkan kateorisasi yang melengkapi atribut identas, maka lahirlah
dikhotomi, pembedaan secara rigid dengan batas-batas tertentu.
Konsepsi dikhotomi yang mewarnai pola pikir
filsafat Barat sejak era klasik hingga modern ini, sesungguhnya lahir dari ide
Plato. Implikasi dari pola pikir ini adalah adanya penempatan salah satu
oposisi dalam posisi subordinat atas yang lain. Misalnya dinyatakan bahwa rasio
dihukumi lebih tinggi dari emosi, jiwa lebih unggul dari tubuh, ide dianggap
lebih unggul dari materi, dan seterusnya.
Melengkapi dua konsepsi metafisis di atas,
kodrat merupakan penyempurnanya.Kodrat atau esensi merupakan sesuatu yang
diyakini dapat mendasari kenyataan apakah sebuah entitas dikatakan sebagai
manuasia atau alam. Kodrat adalah sesuatu yang mutlak, given dan tidak dapat
dirubah oleh konstruksi dan kekuatan apapun. Tampaknya, wacana gender, juga
selalu digelayuti oleh persoalan seputar kodrati-non kodrati, terkait dengan
peran-peran sosial laki-laki dan perempuan di jagat ini. Oleh karena itu, membicarakan
peran gender tanpa mengikutkan teori yang mengkonstruksinya, akan mengakibatkan
wacana tersebut akan kehilangan elan vital-nya. Filsafat Barat yang mendasari
kelahiran sejumlah ideologi, perlu dirunut kontribusinya dalam melahirkan
konsepsi kodrati dan non-kodrati bagi kedua jenis kelamin manusia ini.
Konsepsi ideologi patriarkhi yang sessunguhya
lahir dari mesopotamia Kuno pada zaman neolithik, semakin memiliki daya
hegemonik yang kuat. Metafisika Barat yang melahirkan teori-teori identitas,
dikhotomi dan kodrati, hingga saat ini diposisikan sebagai “tersangka” bagi
pendefinisian secara tidak adil dan tidak setara antara laki-laki dan
perempuan. Kolaborasi dan “perselingkuhan” ideologis antara kekuatan patriarkhi
--yang diwariskan oleh peradaban kuno-- dan metafisika Barat, dapat dijelaskan
sebagai berikut: Patriarkhi mengurung mahluk laki-laki dan perempuan pada
kotak-kotak identitas yang tertutup rapat antara satu dengan yang lain.
Kompartmentalisas ini diperparah oleh pemaknaan identitas perempuan berdasarkan
sudut pandang laki-laki. Perempuan didefinisikan secara sosial, oleh dan untuk
kepentingan laki-laki. Identitas perempuan adalah mahluk yang bukan laki-laki.
Jika misalnya laki-laki beridentitas rasional, maskulin dan publik, maka
perempuan adalah beridentitas emosional, feminin, dan domestik. Konsepsi
identitas ini kemudian mengarah pada adanya dikhotomi, konsepsi kedua dari
metafiska Barat.Persekongkolan antara ideologi patriarkhi dan dikhotomi,
terlatak pada adanya dominasi satu pihak atas pihak lain, yang lahir dari
dikhotomi ini. Kosekusesinya, relasi laki-laki dan perempuan merupakan relasi
dominasi. Posisi superior yang dimiliki oleh identitas laki-laki, yakni
rasional, maskulin, dan petualang publik, dianggap merupakan kualitas, sifat dan
perilaku yan melekat pada identitas tersebut. Kualitas rasionalitas dan
maskulinitas laki-laki, diyakini lebih unggul dari kualitas emosionalitas dan
feminitas perempuan. Konsekuenasi dari keyakinan ini adalah lahirnya klaim
masyarakat patriarkhi bahwa sudah kodratnya, laki-laki memiliki posisi
superior, dominatif, dan menikmati posisi-posisi istimewa dan sejumlah
privelege lainnya atas perempuan.Untuk melanggengkan superioritasnya,
dominatifnya dan kekuatan priveleg-nya, laki-laki harus menekan emosinya dan
menekan feminitasnya. Karena itu, dikatakan cengeng, jelek dan tidak wajar jika
laki-laki menangis. Dikatakan tabu kalau laki-laki berbicara lembut. Laki-laki
dikontruksi harus kuat menahan tangis, tegas dalam berbicara dan bertindak, dan
seterusnya.
Berdasarkan kolaborasi dan “perselingkuhan”
kepentingan antara patriarkhi dan metafiskan barat yang melahirkan sejumlah
keistimewaan posisi laki-l;aki dibanding perenpuan di atas, maka perlu adanya
gerakan penyadaran tidak hanya terhadap perempuan tetapi juga terhadap
laki-laki, bahwa patriarkhi sebagai sebuah ideologi yang mapan, ternyata
dibangun di atas fondasi yang dikonstruksi oleh manusia. Kendati terkesan sosok
patriarkhi yang demikian kokoh, sesungguhnya ia dibangun di atas pondasi yang
goyah. Kesadaran kolektif bahwa identitas, dikhotomi dan kodrat yang selama ini
dipahami sebagai sesuatu yang given dan absolut, sebenarnya tidak lebih dari
sekedar buatan tangan manusia. Identitas, dikhotomi dan kodrat, tidak lain
adalah hasil dari proses hegemoni wacana budaya patriarkhi, yang dilanggengkan
melalui sejumlah piranti sosial dan bahkan politik untuk mengokohkannya.
Dalam konteks Indonesia misalnya bisa dilihat
pendefinisian perempuan/isteri sebagai pendamping laki-laki/suami, dikokohkan
oleh instritusi sosial berupa Dharma wanita, demikian juga wacana mengenai
posisi laki-laki/suami sebagai pemimpin, juga ditopang kuat oleh institusi
agama. Pandangan perempuan dan laki-laki, satu sama lain tentang diri mereka
masing-masing merupakan pengkondisian yang dibentuk oleh masyarakat secara
seksis. Pandangan dan konstruk yang seksis tersebut akan bertahan dan
menyelubungi cara berfikir, baik terhadap perempuan maupun laki-laki. Dalam
konteks seperti ini, mesti diingat bahwa kodrat yang melekat pada laki-laki dan
perempuan adalah kuat, pengasih, pintar, antusias, kooperatif, tegas, percaya
diri dan sensitif. Jika semua laki-laki dan perempuan telah mengenal kodratnya
yang sama, maka konsekuensiya kita harus menolak pandangan yang menyatakan
bahwa anak-laki-laki pada dasarnya memang bersifat agresif. Adanya anggapan
seperti itu, tidak lain hanyalah dikondisikan dan di-setting oleh situasi
sosial yang ada. Laki-laki, sama dengan perempuan, juga memiliki emosi, sifat
pengasih dan sensitivitas.
Untuk mengembangkan semua potensi kodrati
laki-laki yang sesungguhnya sama dengan perempuan, perlu adanya dorongan kepada
mereka untuk berlatih mengekspresikan diri secara alamiah. Sebagian besar
pengkondisian sosial terhadap laki-laki, berasal dari paksaan sosial untuk
bertindak sesuai aturan sosial yang biasa berjalan. Misalnya ketika laki-laki
menangis, akan dikatakan cengeng seperti perempuan. Pengondisian seperti ini,
pada akhirnya membuat laki-laki menerima peran-peran yang tidak alamiah dan
manusiawi, untuk dimainkan dalam kehidupan sosial mereka.
Berdasarkan realitas pengkondisian
sosialmasyarakat, baik laki-laki maupun perempuan sendiri tidak memahami atau
merasakan bahwa semua itu merupakan produk sosial, maka penghapusan seksisme
yang berimplikasi sangat luas dalam kehidupan harus dijadikan sebagai fokus
utama perjuangan untuk menegakkan keadilan gender. Hal ini karena, semua
perilaku yang menimbulkan segala bentuk ketidak-adilan gender, sepereti
marjinalisasi, subordinasi, kekerasan, steterotipe dan peran ganda bagi perempuan,
salah satunya berakar mendalam pada ideologi seksisme yang menjadi penopang
kuat ideologi patriarkhi. Pembagian kerja secara seksual, seringkali
dikonstruksi berdasarkan gender. Kegiatan-kegiatan ekonomis cenderung
terklasifikasikan menurut jenis kelamin. Beberapa peran dilihat melulu sebagai
maskulin atau feminin. Namun fakta semakin menguatkan bahwa peran sosial
laki-laki dan perempuan merupakan hasil konstruksi masyarakat, sehingga
akibatnya sebuah peran yang di suatu tempat dianggap maskulin di tempat lain
dianggap feminin. Memasak misalnya, hanya dilakukan oleh perempuan, sebaliknya
perkayuan hanya dilakukan oleh laki-laki. Berburu, menangkap ikan, membuat
senjata dan perahu cenderung menjadi tugas laki-laki, sementara menumbuk padi
dan mengambil air menjadi tugas perempuan.Sementara kegiatan yang
berganti-ganti dikerjakan oleh laki-lakidan perempuan adalah mengolah tanah,
menanam, merawat dan memanen.
Dalam masyarakat tertentu, laki-laki sangat
berpengaruh pada pengasuhan anak. Kegiatan tersebut tidak dianggap sebagai
wilayah kerja perempuan. Sebut saja misalnya dalam suku Arapesh di Papua
Newgini, yang beranggapan bahwa mengandung dan melahirkan anak merupakan tugas
bersama suami-isteri, sehingga mereka dibebaskan dari tugas-tugas klan lainnya.
Suku Aboriogin di Australia dan kepulauan Tobriand di Papua Newgini meyakini
bahwa mengasuh anak adalah merupakan tugas penting ibu maupun ayah.
Mengacu kepada perbedaan kebudayaan yang
berakibat pada perbedaan peran laki-laki dan perempuan di atas, dapat dikatakan
bahwa pembagian tugas dan kerja tidaklah bergantung pada jenis kelamin
tertentu, tetapi peran merupakan khas setiap kebudayaan, dan karenanya gender
adalah juga khas untuk setiap kebudayaan. Karena itu juga, gender tidak hanya
berbeda antar kebudayaan yang berbeda, tetapi juga berbeda dari waktu ke waktu
dalam kebudayaan yang sama. Kebudayaan bukanlah sesuatu yang statis, tetapi
berkembang seiring dengan berlakunya waktu dan berjalannya sejarah.
Dengan berkembangnya masyarakat, peran-peran
yang dijalani oleh perempuan dan laki-laki tidak lagi hanya ditentukan oleh
kebudayaan, tetapi juga oleh ideologi yang dominan pada suatu masa dan oleh
faktor-faktor sosial, politik, ekonomi dan agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar