Hukum adalah positivasi kepentingan politik
menjadi refleksi terhadap pengungkapan suap yang berkaitan dengan kebijakan
kuota impor daging sapi. Positivasi kepentingan bukan hal baru, kebijakan
kementrian pertanian menambah deret panjang bahwa hukum tidak akan pernah
steril dari kepentingan (politik). Purifikasi hukum menjadi kemuskilan dalam
proses pembentukan hukum, khususnya di ‘dapur’ lembaga legislatif.
Pun demikian, pembentukan hukum oleh hakimpun
dalam cengkeraman mafia hukum akan dipengaruhi oleh aneka kepentingan diluar
hukum. Hukum nenjadi positivasi kepentingan non hukum. Kepentingan non hukum
dibingkai dalam kerangka hukum, atau dilakukan normativasi. Hukum yang demikian
dicarikan dalil hukumnya, diformulasikan dalam bahasa hukum dan akhirnya
mentransformasikan menjadi hukum.
Dalam pandangan yang sosiologis, proses
pembentukan hukum yang melibatkan unsur non hukum akan memperkaya hukum.
Pengaruh aspek non hukum terhadap hukum adalah baik selama sifat aspek tersebut
berasal dari ‘benih’ yang baik. Kepentingan politik sebagai salah satu aspek
non hukum akan melahirkan hukum yang baik apabila tidak bermuatan kepentingan
diri sendiri atau kelompoknya. Artinya kepentingan politik harus
mempertimbangkan kepentingan publik dan demi sebesar-besarnya selain diri
sendiri atau kelompoknya.
Pengaruh ini diharapkan mampu mendekatkan
jarak das sein dan das sollen. Kesenjangan jarak dapat memperpendek hukum
normatif yang sering tidak membumi. Hukum normatif mengabaikan pengaruh dan
mendasarkan diri pada keterandalan logika positivistik. Logika positivistik
meletakkan analisisnya pada kajian internal yang bersifat tertutup dan
menganggap diluar logika tersebut bukanlah hukum. Hukum normatif menjadi
‘kering’, tidak meluapkan air dari mata air keadilan. Dan didominasi pencapaian
cita hukum yang berkepastian dan berketertiban
Pengaruh non hukum menjadi racun normatif ketika
bersifat koruptif. Koruptif dalam hal jni merupakan distorsi dari hakekat hukum
dan cita kehidupan bernegara. Mengutamakan kepentingan diri sendiri dan
kelompok dari perspektif cita kehidupan bernegara tidak hanya koruptif, namun
juga subversif. Positivasi kepentingan politik dapat dimaknai subversif ketika
terungkap sebagai korupsi, melainkan melakukannya sudah menjadi pengkhianatan
terhadap konstitusi yang memuat pengakuan sebagai negara hukum.
Kepentingan politik dalam rentang menjadi
norma berpeluang menjadi komoditas. Kepentingan sebagai komoditas
menempatkannya pada siklus penawaran dan permintaan. Istilah politik dagang
sapi, yang saat jni tidak sekedar menjadi metafora pasca terungkapnya suap
kuota impor sapi telah menempatkan politik berada pada pasar yang menjadi
tempat bertemunya penjual dan pembeli. Positivasi kepentingan politik dipenuhi
skandal yang mengotori kemurnian norma yang akan mengatur kehidupan masyarakat.
Hukum tercemar oleh kepentingan politik yang tidak hanya koruptif namun juga
subversif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar