“Hegemony was a form of control exercised
primarily through a society’s superstructure, as opposed to its base or social
relations of production of a predominately economic character (Antonio
Gramsci).
Dilahirkan dengan nama Antonio Gramsci dengan
ayah bernama Francesco Gramsci di Sardinia pada tahun 1891 dan terkenal sebagai
salah seorang Hegelian Marxist di Italia. Semasa hidupnya, anak keempat dari
lima bersudara ini pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis
Italia dan kemudian dipenjara oleh rezim fasis Mussolini sampai akhir hayatnya
pada tahun 1937.Semasa hidupnya Gramsci pernah juga tercatat sebagai seorang
jurnalis surat kabar berhaluan Marxist yang mana di dalamnya ia banyak menulis
tentang masalah-masalah sejarah, filsafat, sosiologi, bahasa dan juga
literatur.
Keaktifannya dalam bidang tulis menulis tidak
berhenti saat ia akhirnya harus mendekam dalam penjara, terbukti dengan
terbitnya salah satu buku Prison Notebooks yang kemudianhari banyak dijadikan
rujukan dan diperdebatkan oleh teoritikus lanjutan. Dalam karyanya tersebut
salah satunya Gramsci membedakan fungsi intelektual dilihat dari peran yang
diambilnya, yaitu intelektual tradisional yang bertumpu pada profesionalitas
kerja dan intelektual organik yang lebih menekankan pada pengorganisiran kelas
(Gramsci dalam Teori Modern Sosiologi Bagian I, 2011). Di dalam bukunya Prison
Notebooks Gramsci menjelaskan bahwa negara, dalam kasus yang diangkat oleh
Gramsci adalah negara Fasis Italia, melakukan penguasaannya melalui dua
saluran, yaitu penguasaan dengan jalan kekerasan dan juga dengan jalan
hegemoni.
Lebih lanjut, Gramsci banyak mengungkap
tentang selubung hegemoni yang seringkali dijumpai dalam struktur masyarakat
utamanya negara yang seringkali berposisi sebagai pelaku hegemoni. Merujuk apa
yang disampaikan oleh Bates (1975), konsep hegemoni sebenarnya tidak lahir dari
Gramsci sendiri, tetapi dari konteks revolusi Rusia yang mana ini awalnya
dikenalkan oleh Plekhanov, Axelrod, dan juga Lenin. Menurutnya basis dari
hegemoni itu ada dua yaitu kekuatan dan juga ide, “that man is not ruled by
forces alone, but also by ideas (Bates, 1975).” Ia berfikir demikian tidak
terlepas dari konteks parcaturan perpolitikan Italia waktu itu, yang mana partai
komunis akhirnya harus menerima kenyataan menyedihkan dengan dibubarkan paksa
oleh Mussolini dan Gramsci sebagai salah seorang pendiri partai akhirnya harus
mendekam dalam penjara.
Dari sini kemudian Gramsci melihat tidak
seperti apa yang digariskan oleh Marx, bahwa watak negara adalah watak
kediktatoran. Munculnya fasisme yang menyeruak di Italia dengan dukungan yang
penuh dari rakyat akhirnya memberikan kesimpulan bagi Gramsci bahwa
determinisme Marx tidak bisa menjelaskan kondisi seperti ini. Sehingga menurutnya
bangunan ide (suprastruktur) mempunyai peranan yang lebih penting dalam
penentuan perubahan percaturan politik negara daripada hanya diletakkan pada
determenisme ekonomi seperti yang disampaikan oleh Marx. Pendapat kritisnya ini
tidak terlepas dari konteks percaturan politik fasisme Italia waktu itu yang
terjadi pada kurun 1918 sampai dengan 1937. Fasisme Mussolini akhirnya memaksa
gerakan revolusi sosial di Italia mengalami kekalahan. Fasisme nyatanya mampu
mendominasi rakyat Italia secara sangat hegemonik, hampir di semua rabah
publik.
Dalam melihat peran intelektual di
masyarakat, Gramsci meletakkannya dalam dua pijakan utama, civil society dan
political society. Dimana seringkali bertentangan kepentingan antara civil
society dan political society. Yang termasuk dalam wilayah civil society
diantaranya adalah sekolah, lembaga keagamaan, partai dan lainnya. Sementara
itu yang masuk dalam wilayah political society yang lebih merujuk pada
institusi publik, seperti yang digariskan oleh Gramsci, diantaranya terdapat
pemerintah, pengadilan, polisi dan tentunya juga militer (Bates, 1975). Dalam
ranah civil society dan political society terdapat relasi kuasa. Jika civil
society mampu mengatasi hegemoni dari pihak political society, maka hegemoni
yang dilakukan oleh political society akan berjalan lambat.
Menurut Gramsci jika kita ingin memahami
dinamika kapitalisme, maka mutlak kita harus memahami entitas civil society.
Baginya, relasi antara civil society dengan political society inilah yang
kemudian menghasilkan pertautan antara budaya dan ideologi yang kompleks (Syam,
2009). Lebih lanjut, Gramsci juga membaca bahwa hubungan antara political
society dengan civil society tidaklah selalu berjalan mulus, artinya
dimungkinkan dalam proses perjalanannya terdapat ketegangan-ketegangan yang
muncul diantara keduanya.
Sementara jika ternyata civil society tidak
mampu berbuat banyak atas hegemoni yang dilakukan political society maka yang
terjadi adalah, meminjam istilah Gramsci, states coercive apparatus atau bisa
dikatakan dengan kediktatoran negara terhadap rakyatnya. Menurut Gramsci, untuk
lebih memahami akan hadirnya kapitalisme dalam negara, pendekatan terhadap
civil society mutlak dilakukan. Dengan adanya peranan civil society yang mapan
maka selubung kapitalisme itu dapat dipahami oleh rakyat, sehingga harapannya
kapitalisme tidak berkembang lebih akut untuk mengeksploitasi sumberdaya yang
ada. Meskipun demikian, ia juga melihat bahwa proses hegemoni akan lebih mudah
dilakukan oleh penguasa (state) yang bisa memasukkannya lewat banyak saluran
yang tersedia, seperti yang diungkapkan di atas, mulai lembaga peradilan,
polisi, militer dan lainnya.
Ini artinya bahwa Gramsci lebih melihat
perubahan sosial yang terjadi di masyarakat itu sangat ditentukan oleh kondisi
suprastruktur yang ada di masyarakat, misalnya lembaga agama, lembaga
peradilan, pemerintah, media massa dan lain sebagainya. Pandangan ini jelas
bertolak belakang dengan pandangan Marxisme Orthodox yang meyakini kondisi material
objektif (basis ataupun struktur) yang memiliki peran sentral dalam perubahan
sosial. Sehingga bisa dikatakan bahwa Marxisme Orthodox ini hanya terpaku pada
permasalahan penguasaan ekonomi semata. Maka dari apa yang disampaikan oleh
Gramsci ini kemudian lebih dikenal dengan Hegelian Marxis, karena usahanya
untuk kembali menghidupkan geliat ide yang pernah digagas oleh Hegel dan
kemudian direvisi oleh Marx. Sehingga pada wilayah praxis, Gramsci lebih
cenderung menekankan pada ide kolektif daripada struktur sosial seperti yang
digagas oleh Marx.
Maka dari sini dapat dengan mudah kita lihat
bagaimana pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto melaksanakan hegemoninya
melalui lembaga-lembaga tersebut. Pemerintah dalam hal ini tidak hanya
melakukan hegemoni dengan cara yang halus semata hingga tidak disadari rakyat
bahwa ada proses hegemoni di dalamnya, tetapi juga menggunakan jalur-jalur
kekerasan. Bates (1975) juga menjelaskan bahwa proses hegemoni yang dilakukan
oleh state memiliki wajah ganda, pada satu sisi melakukan hegemoni dengan
cara-cara yang halus (konsensus), sementara di samping itu juga memiliki wajah
yang garang dengan cara memaksa. Saluran-saluran hegemoni yang dilakukan oleh
negara (state) bentuknya bisa bermacam-macam, mulai dari wilayah organisasi,
informasi dan juga saluran komunikasi.
Menurut Gramsci sistem demokrasi yang
memisahkan eksekutif, legislatif dan yudikatif memiliki perannya masing-masing.
Legislatif yang merupakan representasi dari partai-partai politik juga memiliki
peranan dalam pembentukan opini publik, tidak hanya state yang bisa
melakukannya. Lebih lanjut, publik opini inilah yang kemudian bertalian erat
dengan politik hegemoni. Dimana akhirnya dengan adanya politik hegemoni ini ada
saluran komunikasi antara civil society di satu pihak dengan political society
di pihak yang lain. Saluran komunikasi yang terjadi antara civil society dengan
political society bisa saja berlangsung secara konsensus maupun dengan cara
pemaksaan.
Dalam sudut metodologi, sumbangan yang
diberikan Gramsci cukup besar. Konsepsinya tentang hegemoni, yang didasarkan
atas kondisi fasisime Italia waktu itu, dalam metodologi penelitian bisa
dikategorikan masuk pada metodologi post-positivistik. Dimana basis
ontologisnya bersifat subjektif (shared subjective) yang berusaha untuk melihat
realitas sosial sejelas-jelasnya. Pendekatan fenomenologi yang mencoba untuk
mengurai, memaknai dan juga menafsirkan realitas sosial menjadi sangat
bersesuaian dengan teori hegemoni Gramsci ini, implikasinya penelitian berjenis
kualitatif menjadi paket dari teori hegemoni ini. selain itu, yang patut kita
perjelas juga di sini bahwa teori hegemoni ini nafas yang dihembuskan adalah
nafas keberpihakan kepada masyarakat yang termarginalisasi, dalam konteks
sosial-politik tentunya.
Sesudah eksodusnya para pemikir Frankfurt
School, dikarenakan konstelasi politik di Jerman waktu itu di bawah Hitler, ke
Amerika Serikat tepatnya di Columbia University, maka Frankfurt School di
Jerman mengalami mati suri. Masuknya Habermas ke Frankfurt School (1956) yang
kemudian lebih dikenal sebagai generasi kedua, membuat gerakan intelektual di
Frankfurt School kembali menemukan kejayaannya. Ini setidaknya terbukti dengan
hasil-hasil pemikiran generasi kedua ini yang digunakan oleh mahasiswa kiri di
Jerman waktu itu untuk melakukan gerakan.
Meskipun kemudian gerakan mahasiswa tersebut
akhirnya memisahkan diri dengan Habermas dikarenakan mereka melihat bahwa
Habermas telah menghianati semangat Marxisme. Di sisi lain, Habermas ternyata
juga ikhlas hati berpisah dengan gerakan mahasiswa kiri tersebut, tidak lain
dikarenakan ketidaksepakatannya atas tindakan kekerasan yang dilakukan oleh
mahasiswa-mahasiswa tersebut. Secara pemikiran, Habermas nyatanya masih tetap
bertumpu pada transendentalisme Kant, idealismenya Fichte dan Hegel, dan
materialismenya Karl Marx, seperti para pendahulu-pendahulunya di Frankfurt
School (Hardiman, 2004).
Dalam kacamata generasi pertama Frankfurt
School memperlihatkan bahwa mereka tidak terlalu memperhatikan tentang
permasalahan rasionalitas. Inilah yang kemudian mendasari Habermas untuk
menekuni pada sisi-sisi rasionalitas. Pada sisi rasionalitas inilah, menurut
genarasi pertama Frankfurt School, yang kemudian melahirkan aliran positivist
yang cenderung mengeliminir kekhasan manusia sebagai entitas yang unik. Akan
tetapi menurut Habermas, aliran positivist tidak semuanya bersifat negatif.
Menurutnya, aliran positivisme yang kemudian menghantarkan adanya modernitas
menjadi sesuatu yang penting dalam praxis manusia, yaitu kerja (Hardiman,
2004). Meskipun sikapnya yang sedikit lunak terhadap aliran postivisme,
Habermas tetap menjaga jarak dengan aliran ini. Terutama anggapan aliran
positivis bahwa bisa masuk di segala lini kehidupan, termasuk di dalamnya
masalah-masalah sosial.
Sementara itu, dalam pandangan Habermas, Marx
telah gagal menjelaskan tentang relasi antara kerja dengan interaksi simbolik
yang tercipta akibat relasi tersebut (Ritzer, 2011). Sehingga karena kegagalan
inilah, akhirnya Marx melihat relasi sangat bias, yang hanya bertumpu pada
buruh semata. Sehingga dalam refleksi teori kritis yang dihasilkannya kemudian,
bertumpu pada dua aspek, kerja dan interaksi. Kedua aspek inilah yang kemudian
menjadi cikal bakal teori komunikasi masyarakatnya. Lantas, dikarenakan
Habermas yang juga mengadopsi jalan pemikiran aliran kritis dalam
teori-teorinya, ia pernah dituduh sebagai seorang yang mengingkari Marxis.
Dalam pandangan Habermas, analisis-analisis yang dilakukan oleh Marx sudah
tidak relevan lagi dengan realitas sosial waktu itu, sehingga analisis Marx
harus direvisi pada basis epitemologis, tidak lain bertujuan untuk mewujudkan
suatu praxis.
Jika pada zaman Marx, yang bertugas untuk
melakukan perubahan struktur sosial yang timpang adalah kaum proletariat, dan
generasi pertama Frankfurt School mengamanatkannya pada kelas cendekiawan, maka
Habermas agak berlainan. Habermas dalam hal ini lebih menekankan pada rasio
manusia (Hardiman, 2004). Secara sepintas, mungkin kita tidak melihat sasaran
nyata siapa yang dimaksud oleh Habermas dengan rasio manusia tersebut. Akan
tetapi ketika kita baca lebih lanjut dalam tulisan F. Hardiman, Kritik
Ideologi, dengan jelas yang dimaksudkan oleh Habermas adalah rasio manusia yang
memiliki keberpihakan terhadap struktur sosial yang timpang. Dilihat dari sini,
apa yang dikemukakan oleh Habermas terasa lebih lugas dan cair dengan tidak
membatasinya pada basis ekonomi semata seperti yang digariskan oleh Marx,
ataupun juga pendahulu Habermas di Frankfurt School yang menekankan kelas
cendekiawan. Menurut Habermas, selubung ideologi itu tidak terbatas, entah itu
pada kaum proletar maupun borjuis yang akhirnya ia menekankan akan pentingnya
rasio manusia yang berpihak seperti yang telah tersebut tadi.
Dengan tawarannya untuk memecahkan kebuntuan
pemikiran genarasi pertama Frankfurt School tersebut artinya Habermas merevisi,
setidaknya, dua permasalahan yang tidak tertuntaskan (Hardiman, 2004). Dengan
teori rasio manusianya tersebut artinya Habermas telah berhasil mengatasi
permasalahan yang dihadapi oleh Marx, utamanya Marxisme Orthodox, yang hanya
terpaku pada aspek masterialisme historis semata. Bertumpunya Marxisme Orthodox
pada sebatas materialisme hostoris inilah yang menurut Habermas tidak bakal terwujud
apa yang namanya revolusi sosial seperti yang diidamkan. Pendapat Habermas ini
memang bersesuaian dengan kondisi kekinian, karena basis kesadaran tidak hanya
milik kaum buruh semata, akan tetapi tidak menutup kemungkinan juga terjadi di
kelas menengah dan atas. Dan sekaligus apa yang disampaikan oleh Habermas
tersebut berhasil memecahkan kebuntuan yang terjadi di generasi pertama
Frankfurt School yang hanya menyasar kelas cendekiawan semata sebagai pemangku
amanat perubahan struktur sosial yang timpang.
Sementara memperbincangkan public sphere yang
merupakan solusi yang ditawarkan oleh Habermas dalam mengatasi kebuntuan
Frankfurt School generasi sebelumnya lebih menekankan pada inklusivitas,
keterbukaan, keadilan, dan kebebasan untuk berpendapat. Habermas sendiri
memaknai bahwa public sphere bukan merujuk pada kondisi fisik semata, tetapi
juga non fisik, dan tempat dimana orang bebas mendiskusikan sesuatu hal yang
beroerientasi pada nilai-nilai kebenaran dan kebaikan secara umum. Media massa
menurut Habermas memiliki peranan yang penting dalam kontestasi ruang publik,
dimana setiap orang secara bebas dapat mengemukakan pendapatnya.
Sayangnya Habermas tidak melihat
kecenderungan pada aspek kepemilikan media sebagai salah satu instrumen ruang
publik. Kecenderungan pemberitaan di mediapun saya pikir juga tidak pernah
terlepas dari aspek kepemilikan. Artinya pemilik modal mempunyai peranan yang
sangat sentral dalam keputusan pemberitaan. Kondisi seperti ini terjadi di
mana-mana, termasuk juga di Indonesia dengan tingginya konglomerasi media.
Alih-alih media sebagai arena ruang publik yang bercita untuk mewujudkan
keberpihakan terhadap struktur sosial yang timpang, yang terjadi seringkali
media malah menjadi corong legitimasi dan kepentingan si pemilik modal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar