Rabu, 08 Januari 2014

Bencana : Akibat Dosa Teologis atau Sosiologis ?

Setiap kali bencana melanda, dalam hal ini bencana alam, selalu timbul pertanyaan; apakah bencana merupakan peringatan dari Tuhan ataukah fenomena alam biasa ? Apakah bencana merupakan kehendak Tuhan ataukah murni kesalahan manusia ? Pertanyaan-pertanyaan ini selalu muncul ketika ribuan nyawa melayang dan kerusakan yang maha dahsyat seakan mematahkan semangat manusia untuk kembali memulai kehidupannya.
Paradigma berfikir masyarakat tentang bencana (alam) sebagian besar didominasi oleh keyakinan bahwa bencana merupakan kehendak dari Tuhan. Dalam konteks sebagai ujian, bencana merupakan cara Tuhan menguji makhluknya sejauh mana mereka taat dan mengakui kebesaranNya. Sebagai peringatan atau teguran, Tuhan diyakini murka karena manusia lalai dengan ajaran agama dan menimpakan malapetaka. Baik ujian maupun peringatan, pandangan ini memposisikan manusia sebagai makhluk yang tidak berdaya, dan setiap kesalahan akibat dosa manusia karena tidak menjalankan segala perintah-Nya.
Dalam Islam, pandangan ini bisa dimaklumi mengingat dalam hal teologis, sebagian besar muslim Indonesia menganut aliran Asy’ariah, yakni aliran yang diperkenalkan oleh seorang ulama Abu Hasan Al’Asyari dari Irak. Salah satu inti keyakinan dari aliran ini adalah tidak mengenal free will & free act dalam atau dengan bahasa lain menafikan potensi manusia. Segala sesuatu yang ada atau terjadi di dunia adalah merupakan kehendak Tuhan.
Dalam pandangan mereka yang menganut aliran ini, sebelum dilahirkan manusia sudah memiliki tiga ketetapan yang tidak diketahui dan dirubah oleh manusia: rejeki (baca: berhubungan dengan ekonomi), jodoh (baca:berhubungan dengan keturunan, sosial dan pertumbuhan masyarakat) dan kematian. Dalam konteks inilah setiap dampak dari bencana (baik itu korban jiwa maupun kerusakan) harus diterima dengan pasrah dan sikap sabar, sebagai bentuk pengakuan manusia atas kebesaran Tuhan, tanpa ada upaya untuk menggali kenapa bencana bisa terjadi.
Mereka yang menganut aliran ini umumnya juga menganggap bahwa bencana (alam) dan merupakan hukuman akibat kesalahan/dosa yang dilakukan manusia karena mengingkari ajaran Tuhan dalam konteks ritual, meski secara ilmiah sama sekali tidak bisa dijelaskan bagaimana korelasinya. Misalnya yang paling sering muncul adalah bencana (alam) akibat banyak tindak maksiat yang dilakukan manusia seperti berzina, minuman keras atau tidak menjalankan ritual ibadah tertentu.
Keyakinan fatalistik ini selalu dijadikan tempat berlindung dari pihak tertentu, utamanya pemegang kekuasaan sebagai alat untuk menghindar dari tanggung jawab sosial mereka. Bencana sebagai kehendak Tuhan menjadi legitimasi dari sikap ketidakberpihakan dan pengabaian penguasa terhadap setiap penderitaan dan hilangnya hak sosial ekonomi masyarakat ketika bencana terjadi. Kasus lumpur Lapindo yang tidak kunjung selesai adalah salah satu contoh nyata keyakinan fatalistik masyarakat yang dijadikan pembenaran oleh penguasa untuk tidak memenuhi hak sosial ekonomi korban dengan alasan semburan lumpur merupakan bencana alam.
Memang belakangan ini mulai muncul pemikiran progresif yang memberikan cara pandang baru dalam menyikapi bencana meskipun pandangan ini seperti arus kecil ditengah pusaran ombak mayoritas kaum fatalistik di negeri ini. Pandangan ini meyakini bahwa bencana yang terjadi adalah akibat dari kesalahan manusia dalam kehidupan sosialnya, bagaimana manusia mengelola dan memperlakukan alam yang bersumber dari cara pandangnya terhadap alam semesta.
Dalam Al Quran sendiri ada tiga istilah yang berhubungan dengan bencana, yaitu azab, musibah dan bala. Azab ditujukan kepada para pendosa, tanpa ada penjelasan apa penyebabnya dan biasanya merupakan kisah yang sangat luas maknanya. Misalnya banjir besar pada zaman Nabi Nuh, atau wabah penyakit pada zaman Nabi Luth dan azab yang ditujukan pasukan Abrahah yang mencoba menyerang dan menghancurkan Ka’bah.
Sedangkan musibah dan bala ditujukan baik kepada pendosa maupun orang baik-baik, dan sebagian besar bisa dipahami oleh akal manusia. Istilah yang barangkali dekat dengan bencana dalam Al Quran disebut dengan fasad (kerusakan). Jika merujuk pada ayat Al Quran, ada dua jenis bencana, yaitu : Pertama, adalah bencana yang diakibatkan oleh fenomena alam, seperti banjir, gunung meletus atau angin topan. Sebagai contoh, dalam Al Quran sendiri diterangkan bahwa fungsi gunung adalah sebagai pasak bumi sebagaimana yang diterangkan dalam Surat An-Naba ayat 7, namun ternyata juga bisa menimbulkan bencana karena memuntahkan debu, lahar panas, dan gas beracun (Surat Al-Mursalat ayat 10), fenomena tsunami seperti dalam surat At Takwin ayat 6, dan angin topan dalam surat Al Fushilat ayat 16. Bencana dalam kategori ini merupakan sunnatullah (hukum alam), di mana manusia tidak memiliki kemampuan untuk mencegahnya, tetapi manusia dimungkinkan untuk mengurangi dampak yang ditimbulkannya dengan kemampuan akalnya. Ini sesuai dengan ayat Al Baqarah ayat 286 “Allah tidak akan memberikan cobaan di luar kemampuan hambaNya”. Bahkan surat Al Ra’du ayat 11 menyatakan ”….sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…”, yang dengan jelas bisa dimaknai bahwa realitas di mana manusia hidup dalam alam semesta yang penuh dengan ancaman bencana tidak seharusnya disikapi secara pasrah atau fatalistik, melainkan harus dicari bagaimana cara untuk mengatasinya, atau setidaknya mengurangi kerusakan-kerusakan akibat dari fenomena alam tersebut. Kedua, bencana atau kerusakan sebagai kesalahan manusia sendiri. Beberapa ayat yang menjadi dasar dari pandangan ini antara lain; ”Musibah apa saja yang menimpa kalian adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kalian” (QS As Syura : 30). Atau dalam surat As Syura ayat 30 yaitu ”…dan musibah apa saja yang menimpa kalian, maka itu karena disebabkan perbuatan tangan- tangan kalian sendiri. Dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS. Asy Syura: 30). Dan ayat yang dengan gamblang menyatakan peran manusia dalam kerusakan alam yaitu surat Ar Rum ayat 41: ”Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan disebabkan oleh perbuatan tangan manusia supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
Beberapa ayat Al Quran diatas jelas menunjukkan bahwa bencana yang terjadi tidak semata karena kesalahan atau dosa teologis manusia yang tidak mengindahkan ajaran Tuhannya tanpa ada korelasi atau sebab akibat yang melatar belakangi bencana tersebut. Bencana lebih merupakan akibat dari dosa sosial manusia, yakni ketika mereka mengelola dan memanfaatkan alam semesta untuk keberlangsungan hidupnya dengan cara yang melebihi batas dan mengabaikan etika.
Disahkannya UU 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menjadi bukti yang menggembirakan dari berubahnya cara pandang para pengambil kebijakan di negeri ini. Bencana (alam) tidak lagi dianggap sebagai isu sampingan atau tambahan, kalah ”seksi” dibanding isu-isu pembangunan lainnya seperti stabilitas politik, ekonomi, pertahanan maupun isu lainnya.
Pertanyaan selanjutnya adalah seberapa efektifkah penerapan undang-undang tersebut di Indonesia yang mayoritas didominasi cara pandang fatalisik ini, atau sejauh mana perangkat-perangkat turunan dari UU tersebut bisa digunakan oleh pengambil kebijakan untuk menyediakan kebijakan yang memihak kepentingan masyarakat umum dalam penanggulangan bencana, tidak saja untuk tindakan reaktif pasca bencana, tetapi juga tindakan-tindakan preventif dalam arti bencana bisa dicegah sebelumnya.
Merubah paradigma berpikir fatalistik soal bencana juga bukan sesuatu yang mudah karena ia terkait dengan keyakinan yang juga mengambil landasan dan sumbernya dari kitab suci. Peran dari tokoh-tokoh agama, cerdik cendekia dan pengambil kebijakan menjadi penting untuk menjelaskan berbagai hal tentang bencana (alam), sebagai upaya untuk menghapus mental pasrah dan cara pandang fatalistik tersebut, sekaligus juga meningkatkan pengetahuan dan kapasitas masyarakat dalam menanggulangi bencana untuk meminimalisir korban jiwa dan kerusakan yang terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar