Jika salah satu atau dua individu tidak dapat
menjalankan fungsi dan perannya dengan baik, maka akan sangat menganggu sistem
kehidupan.
Teori struktural fungsional berkaitan erat
dengan sebuah struktur yang tercipta dalam masyarakat. Struktural – fungsional,
yang berarti struktur dan fungsi. Artinya, manusia memiliki peran dan fungsi
masing – masing dalam tatanan struktur masyarakat. Hal ini tentu telah menjadi
perhatian oleh banyak ilmuwan sosial, dari zaman klasik hingga modern. Teori –
teori klasik fungsionalisme diperkenalkan oleh Comte, Spencer, dan E. Durkheim,
serta fungsionalisme modern yang diteruskan oleh Robert K. Merton dan Anthony
Giddens.
Di awal – awal kelahiran teori
fungsionalisme. August Comte berpikir agar ilmu – ilmu sosial tetap menjadi
ilmiah, dan memandang biologi sebagai dasar melihat perkembangan manusia,
hingga lahirlah ilmu sosiologi. Dalam kajiannya, teori fungsionalisme
mempelajari struktur dalam masyarakat seperti halnya perkembangan manusia dalam
struturasi organisme. Spencer menyebutkan, “Jika salah satu organ mengalami
‘ketidakberesan’ atau ‘sakit’, maka fungsi dari bagian tubuh yang lain juga
akan terganggu.” Hal yang sama terjadi pada sebuah tatanan kesatuan dalam
masyarakat. Jika salah satu atau dua individu tidak dapat menjalankan fungsi
dan perannya dengan baik, maka akan sangat menganggu sistem kehidupan.
Masyarakat, sebuah kesatuan yang terdiri dari
beragam individu dengan latar belakang politik, budaya, sosial, dan ekonomi
yang berbeda. Dalam pandangan Robert K. Merton yang diteruskan dari Comte,
Spencer, dan E. Durkheim, masyarakat cenderung mengalami perubahan seiring
dengan perkembangan zaman. Jika perubahan tersebut kearah positif, maka dapat
disebut sebagai masyarakat berfungsi, namun jika terjadi hal sebaliknya, maka
dapat disebut sebagai masyarakat tidak berfungsi (disfungsional). Menurut Comte
dan Spencer, perkembangan masyarakat bermula dari kesederhanaan hingga akhirnya
menuju pada masyarakat positif, dengan pembagian struktur yang juga semakin
kompleks, dari masyarakat primitif ke masyarakat industri. Dalam arti lain,
seperti teori Karl Marx dalam pembagian kelas. Yang menyebutkan bahwa
masyarakat berubah dari masyarakat primitif dengan struktur proletarian
(pemilik tanah dan buruh), masyarakat Industri (pemilik modal dan buruh
industri), lalu masyarakat modern (kapitalis).
Penekanan yang terjadi pada teori
fungsionalis struktural bersumber pada bagaimana dalam perkembangan tersebut
mencakup keragamannya, tercipta sebuah keseimbangan (equilibrium) atau dinamic
equlibrium (keseimbangan berjalan). Notebene, berasal dari fungsi dan peran
masing – masing individu yang ada dalam masyarakat. Parsons (1957) menyebutkan,
keseimbangan dapat tercipta dengan konsep Adaptation (adaptasi), Goals
(tujuan), Integration (integrasi), dan Latern Pattern Maintenance (pemeliharaan
pola – pola). Adaptation, yang berarti dilaksanakan oleh masing – masing
individu, terhadap pengaruh baru yang masuk. Integrasi, mencakup bagaimana
fungsi dan peran dalam masyarakat saling terhubung (connected). Tujuan, jelas
merupakan tujuan umum yang ingin dicapai oleh masyarakat tersebut dibantu oleh
norma – norma yang dimiliki, dan sanksi terhadap pelanggaran norma. Meski
terjadi konflik pun, dapat diatasi dengan penyesuaian – penyesuaian dan
institusionalisasi (Nasikun, 1984 : 11). Lattern Pattern Maintenance, sub –
konsep yang terakhir ini merupakan pemeliharaan pola – pola, dimana suatu
masyarakat memiliki peluang untuk menjaga tatanan sistem yang sudah terbentuk.
Sekali lagi, meski terdapat ‘penyakit sosial’ atau pelanggaran norma yang
mungkin terjadi, tidak akan mampu merusak tatanan kehidupan masyarakat.
Konsep AGIL oleh Parsons diatas digunakan
untuk bertahan (defensed) dalam sebuah struktur fungsionalisme. Tentu, sebuah
tatanan masyarakat akan dipengaruhi oleh subsistem yang ada didalamnya
(struktur fungsionalisme) diantaranya ; subsistem ekonomi, perubahan ekologis
(lingkungan tempat tinggal), politik, kebudayaan, dan sosialisasi (David Easton
dan Talcott Persons). Karena menurut Mallinowski, terdapat empat unsur
fungsionalisme mencakup (1) sistem norma yang memungkinkan kerjasama antar
individu dalam masyarakat, (2) organisasi ekonomi (baik swadaya maupun bentukan
pemerintah), (3) alat – alat pendidikan, (4) organisasi kekuatan (politik),
yakni regulasi (peraturan/kebijakan) yang dibuat oleh pemerintah atau daerah
setempat.
Struktural fungsionalisme berjalan melalui
individu – individu (invidu Act) sebagai aktor dengan menjalankan fungsi dan
perannya masing – masing melalui bentuk adaptasi terhadap subsistem struktural
fungsionalisme, yang menghasilkan sebuah tindakan (unit aksi). Dari unit aksi
inilah kemudian terjadi sistem aksi (act system) dimana masyarakat telah
menemukan tujuan dari aksi tersebut. Sehingga terbentuklah sebuah tatanan
masyarakat dengan keunikannya tersendiri. Nantinya, akan mengalami perubahan
yang lebih kompleks.
Teori struktural fungsional juga mengalami
perubahan seiring dengan perkembangan masyarakat yang semakin kompleks. Jika
diawal – awal lahirnya teori ini diprakarsai oleh Comte, Parsons, dan E.
Durkehim dengan menyesuaikan jiwa jaman (Geiisweitch) saat itu, yakni keadaam
dimana masyarakat masih begitu sederhana. Maka dalam perkembangan yang lebih
lanjut, teori struktural fungsional klasik tersebut dinilai ‘kurang’ sesuai dengan
perkembangan masyarakat saat ini yang lebih kompleks. Sehingga munculah teori –
teori baru yang diteruskan oleh Robert K. Merton (1910 – 2003), dan Anthonny
Giddens (1938 – sekarang). Robert K. Merton yang lebih menitikberatkan
kajiannya terhadap perubahan sosial dan Anthonny Giddens dengan strukturisasi
masyarakatnya.
Dalam masyarakat yang lebih kompleks,
pembatasan terhadap teori fungsional dinilai perlu dilakukan, dimana perubahan
– perubahan kerap terjadi. Robert K. Merton mengakui bahwa teori fungsionalisme
klasik telah banyak membantu bagi perkembangan studi kemasyarakatan, namun
tidak dapat menjawab permasalahan sosial secara keseluruhan. Menurut Merton dan
Giddens, tindakan sosial (act social) tidak pernah terlepas dari struktur
sosial. Raclidffe brown menyebutkan, pembagian dalam masyarakat beserta ide
mengenai strata yang membedakan agama, ras, dan suku tersebut dipengaruhi oleh
peraturan – peraturan dan hukum yang sedang berlaku di sekitar lingkungan
masyarakat.
Ada keterkaitan antara struktur sosial dengan
perilaku dan adaptasi individu. Lower class (masyarakat bawah) misalnya,
cederung memiliki kesempatan yang lebih kecil jika dibandingkan dengan
masyarakat kelas atas. Tentu hal ini berakibat pada keresahan, frustasi, dan
kekecewaan terhadap individu – individu tertentu, sehingga dapat menghasilkan
perubahan sosial dengan adaptasi tertentu. Masih menurut Merton, adaptasi dalam
teori struktural fungsional terbagi menjadi 5 jenis yakni conformity (keadaan
tetap pada keadaan sosial yang lama), Inovation (terdapat perubahan cara untuk
menggapai tujuan dalam masyarakat), Ritualism (bentuk penolakan terhadap
pengaruh – pengaruh baru), Retreatism (bentuk penarikan diri individu dengan
cara melakukan penyimpangan sosial), dan Rebellion yang berarti pemberontak,
dan berani mengubah tatanan struktur sosial secara keseluruhan.
Dalam teori Giddens, perubahan sosial yang
terjadi memerlukan struktur sosial (recurrent social practise) sebagai sarana
dan sumber daya untuk melakukan tindakan sosial. Perubahan sosial yang juga
dipengaruhi oleh subsistem (ekonomi, budaya, politik, dan sosialisasi) dan
struktur teori fungsionalisme (norma, organisasi ekonomi, alat pendidikan, dan
politik kebijakan pemerintah), membutuhkan jarak (space) saat praktiknya
dimulai, notabene tidak semua ritual lama ditinggalkan oleh masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar