Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan
representatif rakyat Indonesia, idealnya mereka dianggap membawa suara rakyat
dalam menjalankan pemerintahan. Konteks tersebut membawa konsekuensi pada dua
hal, yaitu aspirasi rakyat yang diserap dan implementasi nyata dari aspirasi
itu yang diwujudkan dalam tatanan legal-formal, misalnya peraturan
perundang-undangan. Tetapi kita juga tidak buta dalam memandang bahwasanya DPR
adalah lembaga politis, dilihat dari “kendaraan partai politik” tiap anggota
dewan dan proses perekrutannya sehingga wajar apabila dalam lembaga politis
akan menghasilkan suatu produk yang berbau politis namun dibungkus dengan judul
“demi kepentingan rakyat”. Saya bukan sarjana ilmu politik tetapi sebagai awam,
saya memandang bahwa logika sederhananya adalah demikian.
Lebih jauh lagi, dalam kacamata seorang awam
politik, terbesit pikiran apakah aspirasi rakyat yang membuahkan produk hukum
dilandasi dengan proses politik terlebih dahulu kemudian tercipta hukum yang
berlaku, ataukah sebaliknya, memahami apa yang dimaksud dengan das sein-das
sollen secara substansial kemudian memperjuangkannya dalam lobi politik agar implementasinya
berjalan nyata. Karena apabila kita cermati dalam prolegnas, -atau tidak usah
kita bicara jauh-jauh mengenai prolegnas-, apabila kita lihat dalam
kenyataannya, banyak peraturan yang diundangkan atau yang masih berupa
rancangan justru menimbulkan polemik dan kontroversi dalam publik yang
menyangkut hal substansial. Padahal, dalam suatu rancangan pembentukan
peraturan perundang-undangan selalu didahului oleh naskah akademik dan dalam
bagian pertimbangan selalu ada dasar sosiologis yang seharusnya tidak
bertentangan dengan kondisi sosial dari masyarakat. Dengan demikian, seharusnya
rancangan tersebut tidak lagi menimbulkan perdebatan.
Kemudian, dalam beberapa kasus yang
mengemuka, publik sangat paham (mungkin paham yang dipaksakan diterima dengan akal
sehat), bahwa dalam proses pengundangan ada kalanya pembahasan suatu rancangan
undang-undang disinyalir merupakan “titipan” dari pihak tertentu yang tentunya
terdapat indikasi mengenai “money politics”. Misalnya kasus hilangnya ayat
tembakau dalam undang-undang kesehatan, uu pengadilan tipikor yang
menghilangkan kewenangan kpk dalam hal penyadapan dan penuntutan, kontroversi
uu tentang pornografi, dsb. Seharusnya, dengan lembaga seperti DPR yang
mempunyai banyak staff ahli dengan kemampuan akademis tinggi, hal-hal seperti
itu bisa dihindari.
Sederhananya, saya mencoba menggambarkan
bahwa dalam ranah hukum, ketika logika hukumnya sudah benar dengan pertimbangan
secara sosiologis, filosofis, dan yuridis, diikuti dengan naskah akademik yang
relevan, seharusnya kepentingan secara politik tidak lagi mendasari suatu hal
tertentu, walaupun wajar terjadi dalam parlemen, namun seharusnya tidak sampai
hal yang paling substansial. Seringkali terjadi, hukum tercipta dengan
didahului oleh kesepakatan politis tertentu, akan baik apabila kesepakatannya
benar, tetapi bagaimana apabila kesepakatannya membawa kepentingan pihak
tertentu yang salah?
Kesepakatan politis dalam parlemen memang
mutlak ada dalam praktiknya karena koridornya memang demikian, tetapi akan
sangat baik apabila anggota dewan kita di parlemen lebih memahami konsep hukum
terlebih dahulu secara baik dan benar agar dalam menghasilkan suatu produk
legislatif tidak malah menimbulkan pertentangan diantara rakyatnya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar