Kuasa Rakyat, Analisis Perilaku Pemilih Pasca
Orde Baru
Oleh : Ibnu Hibban
Judul Buku :
Kuasa Rakyat “Analisis Tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden
Indonesia Pasca-Orde Baru”
Penulis : Saiful Mujani, R. William Liddle, Kuskridho Ambardi
Penerbit : Mizan Publika
Tahun Terbit
: Juni, 2012
Tebal
: 551 Halaman
PARTISIPASI POLITIK
Pasca zaman Orde Baru, Pemilihan Umum(Pemilu)
dan Pemilihan Presiden(pilpres) Indonesia baru telah sesuai dengan
prinsip-prinsip dasar demokrasi. Pemilihan umum dan pemilihan presiden tersebut
dinilai adil, jujur, bebas, umum dan bersifat rahasia(Luber).
Pada penentuan presiden dan anggota
legislatif, rakyat memiliki hak penuh dalam prosesnya. Keikutsertaan warga
dalam pemilihan umum dan pemilihan presiden merupakan elemen dasar dari sebuah
rezim demokrasi. Bahkan Verba, Schlozman dan Brady berpendapat partisipasi
warga negara adalah jantung demokrasi(1995:1). Demokrasi tidak dapat
dibayangkan tanpa partisipasi warga negara untuk berpartisipasi secara bebas
dalam bernegara.
Namun dalam sejarah politik Indonesia modern
ini partisipasi anggota masyarakat dalam memilih pemimpin mereka dalam
pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat(DPR), Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah(DPRD), Dewan Perwakilan Daerah(DPD) ataupun dalam pemilihan presiden
adalah gejala yang masih langka. Buku yang disusun oleh Saiful Mujani, R.
William Liddle, Kuskrido Ambardi berjudul Kuasa Rakyat ini mampu memberikan
penjelasan secara rigid tentang perilaku memilih dalam pemilihan legislatif dan
Presiden Indonesia pasca Orde Baru dengan menggunakan data empiris berdasarkan pengukuran
yang lebih objektif. Buku ini menjelaskan bagaimana memahami pola-pola sikap
perilaku politik rakyat yang diwujudkan dalam pemilihan umum dan pemilihan
presiden, bukan saja penting secara akademik tetapi juga secara praktis bagi
kehidupan kolektif Bangsa ini.
Model Partisipan Politik
Empat kriteria yang harus hadir dalam suatu
entitas yang disebut partisipasi politik, yaitu, tindakan, dilakukan oleh orang
biasa(bukan pejabat publik), dilakukan secara sukarela, untuk mempengaruhi
kebijakan publik.
Sedangkan dalam model partisipan politik, ada
tiga model pola-pola sikap perilaku politik rakyat yang dijelaskan dalam buku
ini, diantaranya model sosiologis, model psikologis dan model rasional.
Buku-buku ilmiah tentang pemilihan umum dan
pemilihan Presiden Indonesia sejauh ini lebih bertumpu pada data
agregat(Kabupaten dan Kota), dan lebih banyak mengandalkan faktor demografis
atau sosiologis untuk menjelaskan hasil pemilu atau pemilihan presiden
tersebut, karena data-data demografis tersebut yang tersedia pada tingkat
ini(King, 2003; Ananta, Arifin dan Suryadinata, 2007).
Dua model sosiologis yang telah dikembangkan
secara canggih yaitu model SES(socio economic status) yang lalu disempurnakan
dalam apa yang disebut Civic Voluntary Model yang pada intinya adalah bahwa
seseorang berpartisipasi dalam pemilu karena kesadaran tentang apa arti penting
pemilu bagi kepentingan dirinya dan masyarakat banyak. Hasil pemilu akan
menentukan kebijakan-kebijakan publik yang akan berkaitan dengan warga negara
termasuk dirinya. Orang yang mempunyai kesadaran ini biasanya orang yang
relatif berpendidikan. Oleh karena itu, dibandingkan yang kurang berpendidikan,
mereka yang lebih berpendidikan lebih mungkin untuk ikut pemilu.
Disamping pendidikan, status pekerjaan juga
berpengaruh terhadap keikutsertaan warga dalam pemilu. Orang yang bekerja lebih
mungkin ikut pemilu dibandingkan orang yang sedang mencari pekerjaan.
Alasannya, perhatian orang yang sedang mencari kerja lebih terfokus bagaimana
mendapatkan pekerjaan. Maka dari itu kemungkinan besar dia absen dalam
kegiatan-kegiatan politik seperti pemilu. Termasuk jenis pekerjaan juga
mempengaruhi terhadap partisipasi politik.
Model pendekatan sosiologis yang telah
dijelaskan diatas banyak terjadi dimasyarakat dalam partisipasi politik. Akan
tetapi model ini mempunyai kelemahan nyata, yaitu ketidakmampuannya untuk
menjelaskan fakta bahwa hasil pemilu, bahkan pemilihan Presiden berubah-ubah
secara cepat dan drastis dari satu pemilu ke pemilu berikutnya. Tiga kali
pemilu nasional menghasilkan tiga partai yang berbeda sebagai pemenang suara
terbanyak(1999 PDIP, 2004 Golkar, 2009 Partai Demokrat), dan demikian juga
tingkat partisipasi yang terus merosot dari satu pemilu kepemilu berikutnya.
Tingkat partisipasi pada pemilu 1999 sekitar 93% dan sepuluh tahun
kemudian(pemilu 2009) merosot tajam menjadi sekitar 70%. Sementara itu
faktor-faktor sosiologis seperti komposisi agama, suku-bangsa, kedaerahan, dan
bahkan stasus sosial-ekonomi relatif konstan, setidaknya dalam sepuluh tahun
terakhir ini. Kalaupun ada perubahan status sosial-ekonomi(seperti pendidikan
dan pendapatan) maka perubahannya tidak sebesar perubahan hasil pemilu, karena
itu, pendekatan sosiologis tidak dapat membantu menjelaskan dinamika politik
pemilu secara persuasif(hlm. vi).
Perspeketif sosiologis ternyata kurang
komprehensif dalam menganalisis perilaku memilih rakyat dalam politik, perlu
adanya model pendekatan baru(sebagai pelengkap) dalam menganalisis pertisipan
politik.
Perlu juga pendekatan melalui perspektif
psikologis, seperti halnya seorang warga berpartisipasi dalam pemilu atau
pilpres karena ia tertarik dengan politik, punya perasaan dekat dengan partai
tertentu (identitas partai), merasa suaranya berarti, serta percaya bahwa
pilihannya dapat ikut memperbaiki keadaan.
Sebaliknya, seorang warga yang apatis, merasa
pesimis, sinis atau teralienasi dari sistem politik dimana ia hidup, marasa tak
mampu umtuk memahami apa yang berlangsung dalam pemerintahan, politik demokrasi
dianggap rumit, bahkan tak ada sangkut pautnya dengan kepentingan seorang warga
negara. Warga yang seperti ini cenderung absen dalam pemilu atau pilpres.
Selain perspektif psikologis adapula
perspektif rasional. Menurut model ini, seorang pemilih berperilaku rasional.
Yakni, menghitung bagaimana caranya mendapatkan keuntungan yang banyak dengan
ongkos sedikit. Wajar saja ketika ketika pemilih menurun drastis pada pemilu
berikutnya jikalau hasil dari kinerja pemerintah yang dipilih pada pemilu
sebelumnya kurang maksimal sesuai dengan seperti pendapat Anthony
Downs—penganut model ini—(1957) melihat bahwa jawabannya ada pada “nilai
demokrasi”(hlm. 29).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar