Keterbukaan ruang publik (public space)
merupakan prasyarat fundamen dalam mewujudkan tatanan pemerintahan yang
demokratis. Karena terbukanya ruang publik dalam penyelenggaraan pemerintahan
akan berimplikasi pada pembangunan yang partisipatoris. Dengan menempatkan
rakyat sebagai mitra yang sebangun dan sejajar.
Kritik terhadap penguasa yang menjalankan
roda pemerintahan merupakan salah satu instrumen yang inheren dalam paradigma
pembangunan partisipatoris. Karena medium kritik itulah yang akan menciptakan
check and balances, sehingga kerja-kerja pemerintahan akan on the track, sesuai
dengan kaidah-kaidah demokrasi.
Namun, sejarah kekuasaan di negeri ini
memiliki kencendrungan yang kurang begitu bersahabat dengan frasa kritik.
Bahkan kritik direduksi sebagai pertentangan, untuk tidak dikatakan sebagai
bentuk perlawanan terhadap rezim penguasa.
Sehingga ketika ada kritikan dari berbagai
pihak yang tentunya konstruktif, penguasa malah menganggap itu sebagai
rongrongan terhadap tampuk kekuasaanya. Karenanya, berbagai cara dilakukan
sekalipun licik dan picik agar kritikan tersebut dianggap sebagai tindakan yang
bertentangan dengan kepentingan umum.
Berbagai pernyataan pembelaan diri pun
dilontarkan, sembari mensosialisasikan kebijakan-kebijakan narsistis yang sarat
pencitraan. Sehingga ensensi kritik tadi yang sesungguhnya solusi bagi
kesejahteraan rakyat, menghilang bersamaan dengan euphoria pernyataan pembelaan
diri.
Urgensinya kritikan dalam mewujudkan
kekuasaan yang baik, dilukiskan dengan begitu reflektif oleh seorang Sosiolog
Jerman, “kritik terhadap kekuasaan yang tidak jemu-jemunya dan dari saat ke
saat, menjaga agar pohon kekuasaan tidak bakal bertumbuh mencakar langit.” Ya,
tidak mencakar langit, karena kalau sudah mencakar langit, maka otoritas (kekuasaan)
akan cendrung absolut.
Kekuasaan yang absolut ini harus sedapat
mungkin dihindarkan, karena absoluditas kekuasaan akan berdampak pada berbagai
“kemungkaran sosial”, apakah itu Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN), pelanggaran
HAM maupun tindakan dehumanisasi lainya.
Seturut dengan sosiolog Jerman diatas,
beberapa abad lampau Khalifah Umar telah mengajarkan kepada kita tentang
pentingnya sebuah kritik. Alkisah, dalam suatu kesempatan, seorang sahabat,
Khudzaifah bin Al Yaman mendatangi Khalifah, Ia mendapati Umar dengan raut muka
yang muram, penuh kesedihan. Ia bertanya, “Apa yang sedang engkau pikirkan
wahai Amirul Mukminin?” jawaban Umar sama sekali tak terduga oleh Khudzaifah.
Kesedihan dan kegalauan hatinya, bukan karena banyak masalah rakyat yang sudah
pasti membuatnya letih.
Kali ini Umar justru tengah khawatir
memikirkan kondisi dirinya sendiri. “Aku sedang dihinggapi ketakutan, jika
sekiranya aku melakukan kemungkaran, lalu tidak ada orang yang mengingatkan dan
melarangku melakukanya, karena segan dan rasa hormatnya padaku,” ujar Umar
pelan. Sahabat Khudzaifah segera menjawab, “Demi Allah, jika aku melihatmu
keluar dari kebenaran, aku pasti akan mencegahmu.” Seketika itu, Wajah Umar bin
Khattab langsung berubah sumringah.
Pesan moral yang dapat kita maknai dari kisah
Khalifah Umar diatas adalah apapun otoritas yang kita miliki apalagi otoritas
kekuasaan, harus senantiasa disediakan ruang untuk masuknya teguran (kritik),
bukan sebaliknya menempatkan kritik sebagai virus yang mengganggu jalanya roda
kekuasaan.
Bayangkan dengan penguasa kini dan disini,
kritik dianggap sebagai pengganggu jalannya roda kekuasaan. Bahkan ada
kecendrungan pelaku kritik dibenturkan dengan pihak yang lain sehingga penguasa
tinggal cuci tangan. Bahkan pemimpin bergaya “infantilis”, karena begitu di
kritik langsung mengeluh kepada publik. Bukan sikap yang seyogyanya di tunjuk
oleh pemimpin.
Sehingga intelektual yang kritis terhadap
ketimpangan jalannya kekuasaan dianggap sebagai pembangkang yang merong-rong
wibawa penguasa. Padahal nalar kritis itu muncul sebagai upaya mewujudkan
kemaslahatan bersama.
Sebaliknya, intelektual yang manut-manut
serta tunduk dan patuh dengan kebijakan penguasa yang sesungguhnya bertentangan
dengan kepentingan rakyat, dianggap sebagai sahabat yang harus diakomodir
padahal tidak lebih sebagai “penjilat” yang oportunis. Disinilah kiranya kaum
intelektual itu berkhianat pada moralitas intelektualnya (Julian Benda, 1976).
Kritik Sosial
Karena itu, kritik sosial harus senantiasa
terinternalisasi dan terefleksikan dalam diri semua insan intelektual. Karena
semangat kritik inilah yang menjadi penjaga agar pohon kekuasaan tidak bakal
bertumbuh mencakar langit. Ini merupakan tanggung jawab etis insan intelektual.
Karena kaum intelektual memiliki potensi untuk menawarkan dan melakukan gerak
perubahan.
Seperti yang dikemukakan oleh Sartono
Kartodihardjo (1984), intelektual sangat potensial untuk merealisasikan
perubahan, karena didasarkan pada beberapa hal, (1) dapat mengidentifikasi
situasi serta permasalahan, (2) menghadapi berbagai gejala dan permasalahan
secara kritis, (3) menginterpretasikan gejala sosiokultural untuk memberikan
maknanya, (4) mentransendesikan realitas kekinian dan membuat proyeksi ke masa
depan.
Olehnya itu, insan intelektual harus
konsisten membangun garis demarkasi (pembatas) dengan penguasa. Sehingga
keinginan dan posisi intelektual sebagaimana cita Gramsci (1999), tetap
merepresentasikan kepentingan dan kegelisahan masyarakat.
Kritik konstruktif adalah sebuah keniscayaan
yang harus dirawat dan dipupuk bagi terwujudnya kekuasaan yang baik dan
populis. Dan merupakan sebuah keniscayaan juga bagi penguasa untuk
mengapresiasi dan mempertimbangkan setiap kritik sebagai wujud kepedulian dan
partisipasi publik bagi terwujudnya keadilan, kesejahteraan dan kedamaian bagi
semua lapisan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar