Pendahuluan
Berawal dari kemenangan Negara-negara
Sekutu (Eropa Barat dan Amerika Serikat) terhadap Negara-negara Axis (Jerman,
Italia & Jepang) pada Perang Dunia II (1945), dan disusul kemudian dengan
keruntuhan Uni Soviet yang berlandasan paham Komunisme di akhir Abad XX , maka
paham Demokrasi yang dianut oleh Negara-negara Eropah Barat dan Amerika Utara
menjadi paham yang mendominasi tata kehidupan umat manusia di dunia dewasa ini.
Suatu bangsa atau masyarakat di Abad XXI ini baru mendapat pengakuan sebagai warga dunia
yang beradab (civilized) bilamana menerima dan menerapkan demokrasi sebagai landasan pengaturan tatanan
kehidupan kenegaraannya. Sementara bangsa atau masyarakat yang menolak
demokrasi dinilai sebagai bangsa/masyarakat yang belum beradab (uncivilized).
Sejak Indonesia merdeka dan berdaulat
sebagai sebuah negara pada tanggal 17 Agustus 1945, para Pendiri Negara
Indonesia (the Founding Fathers) melalui UUD 1945 (yang disahkan pada tanggal
18 Agustus 1945) telah menetapkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia
(selanjutnya disebut “NKRI”) menganut paham atau ajaran demokrasi, dimana
kedaulatan (kekuasaan tertinggi) berada
ditangan Rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR). Dengan demikian berarti juga NKRI tergolong sebagai negara yang menganut
paham Demokrasi Perwakilan (Representative Democracy).
Penetapan paham demokrasi sebagai tataan
pengaturan hubungan antara rakyat disatu pihak dengan negara dilain pihak oleh
Para Pendiri Negara Indonesia yang duduk di BPUPKI tersebut, kiranya tidak bisa
dilepaskan dari kenyataan bahwa sebahagian terbesarnya pernah mengecap
pendidikan Barat, baik mengikutinya secara langsung di negara-negara Eropah
Barat (khususnya Belanda), maupun mengikutinya melalui pendidikan lanjutan atas
dan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintahan kolonial Belanda
di Indonesia sejak beberapa dasawarsa sebelumnya, sehingga telah cukup akrab dengan
ajaran demokrasi yang berkembang di negara-negara Eropah Barat dan Amerika
Serikat. Tambahan lagi suasana pada saat itu (Agustus 1945) negara-negara
penganut ajaran demokrasi telah keluar sebagai pemenang Perang Dunia-II.
Didalam praktek kehidupan kenegaraan
sejak masa awal kemerdekaan hingga saat ini, ternyata paham demokrasi
perwakilan yang dijalankan di Indonesia
terdiri dari beberapa model demokrasi perwakilan yang saling berbeda satu
dengan lainnya.
Sejalan dengan diberlakukannya UUD Sementara
1950 (UUDS 1950) Indonesia
mempraktekkan model Demokrasi Parlemeter Murni (atau dinamakan juga Demokrasi Liberal),
yang diwarnai dengan cerita sedih yang panjang tentang instabilitas
pemerintahan (eksekutif = Kabinet) dan nyaris berujung pada konflik ideologi di
Konstituante pada bulan Juni-Juli 1959.
Guna mengatasi konflik yang berpotensi
mencerai-beraikan NKRI tersebut di atas, maka pada tanggal 5 Juli 1959,
Presiden Ir.Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang memberlakukan kembali
UUD 1945, dan sejak itu pula diterapkan model Demokrasi
Terpimpin yang diklaim
sesuai dengan ideologi Negara Pancasila dan paham Integralistik yang
mengajarkan tentang kesatuan antara rakyat dan negara.
Namun belum berlangsung lama, yaitu hanya
sekitar 6 s/d 8 tahun dilaksanakan-nya
Demokrasi Terpimpin, kehidupan kenegaraan kembali terancam akibat
konflik politik dan ideologi yang berujung pada peristiwa G.30.S/PKI pada
tanggal 30 September 1965 ,
dan turunnya Ir. Soekarno dari jabatan Presiden
RI pada tanggal 11 Maret 1968.
Presiden Soeharto yang menggantikan Ir.
Soekarno sebagai Presiden ke-2 RI dan menerapkan model Demokrasi yang berbeda
lagi, yaitu dinamakan Demokrasi Pancasila (Orba), untuk menegaskan klaim bahwasanya model
demokrasi inilah yang sesungguhnya sesuai dengan ideologi negara Pancasila.
Demokrasi Pancasila (Orba) berhasil
bertahan relatif cukup lama dibandingkan dengan model-model demokrasi lainnya
yang pernah diterapkan sebelumnya, yaitu sekitar 30 tahun, tetapi akhirnyapun
ditutup dengan cerita sedih dengan lengsernya Jenderal Soeharto dari jabatan
Presiden pada tanggal 23 Mei 1998, dan meninggalkan kehidupan kenegaraan yang
tidak stabil dan krisis disegala
aspeknya.
Sejak runtuhnya Orde Baru yang bersamaan
waktunya dengan lengsernya Presiden Soeharto, maka NKRI memasuki suasana
kehidupan kenegaraan yang baru, sebagai hasil dari kebijakan reformasi yang
dijalankan terhadap hampir semua aspek kehidupan masyarakat dan negara yang
berlaku sebelumnya. Kebijakan reformasi ini berpuncak dengan di amandemennya UUD
1945 (bagian Batangtubuhnya) karena dianggap sebagai sumber utama kegagalan
tataan kehidupan kenegaraan di era Orde Baru.
Amandemen UUD 1945, terutama yang
berkaitan dengan kelembagaan negara, khususnya laginya perubahan terhadap aspek
pembagian kekuasaan dan aspek sifat hubungan antar lembaga-lembaga negaranya,
dengan sendirinya mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap model demokrasi
yang dilaksana-kan dibandingkan dengan model Demokrasi Pancasila di era Orde
Baru.
Model Demokrasi pasca Reformasi (atau
untuk keperluan tulisan ini dinamakan saja sebagai “Demokrasi
Reformasi”, karena memang
belum ada kesepakatan mengenai namanya) yang telah dilaksanakan sejak beberapa
tahun terakhir ini, nampaknya belum
menunjukkan tanda-tanda kemampuannya untuk mengarah-kan tatanan kehidupan
kenegaraan yang stabil (ajeq), sekalipun lembaga-lembaga negara yang utama,
yaitu lembaga eksekutif (Presiden/Wakil
Presiden) dan lembaga-lembaga legislatif (DPR dan DPD) telah terbentuk melalui
pemilihan umum langsung yang memenuhi persyaratan sebagai mekanisme demokrasi.
Keadaan inilah yang nampaknya
melatarbelakangi kegalauan diantara warga masyarakat yang dari hari ke hari
semakin membesar jumlahnya, sehingga kemudian kegalauan tersebut diangkat oleh
Simposium ini dan dirumuskan kedalam pertanyaan, “Model demokrasi yang manakah dirasakan paling sesuai
dan mendapat dukungan dari mayoritas warganegara Indonesia, dan apa yang
menjadi dasar dukungan tersebut?”.
Tulisan singkat ini bertujuan mencoba
memberikan jawaban atas pertanyaan di atas, khususnya dari sudut kajian Ilmu
Hukum Tata Negara.
Sekilas tentang
Ajaran Demokrasi
Sebelum paham atau ajaran demokrasi
muncul, kehidupan bangsa, masyarakat dan negara di Eropah dilandasi oleh paham
agama, atau dinamakan juga dengan “Teokrasi”, yang artinya pemerintahan/negara
berdasarkan Hukum/Kedaulatan Tuhan.
Penyelewengan paham Teokrasi yang
dilakukan oleh pihak Raja dan otoritas Agama, mengakibatkan kehidupan
negara-negara di Eropah mengalami kemunduran yang sangat drastis, bahkan
hampir-hampir memporak-poranda seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat dan
negara disana.
Ditengah situasi kegelapan yang melanda
Eropah inilah JJ.Rousseau berpendapat bahwa landasan kehidupan
bangsa/masyarakat tidak dapat lagi disandarkan pada kedaulatan Tuhan yang
dijalankan oleh Raja dan Otoritas Agama, karena sesungguhnya kedaulatan
tertinggi di dalam suatu negara/masyarakat berada ditangan rakyatnya dan bukan
bersumber dari Tuhan. Bahkan negara/masyarakat berdiri karena semata-mata
berdasarkan Kontrak yang dibuat oleh rakyatnya (Teori Kontrak Sosial).
Singkatnya ajaran/teori Kedaulatan Rakyat
atau “demokrasi” ini mengatakan bahwa
kehendak tertinggi pada suatu negara berada ditangan rakyat, dan karenanya
rakyat yang menentukan segala sesuatu berkenaan dengan negara serta
kelembagaannya. Atau dapat juga dikatakan sebagai ajaran tentang Pemerintahan
Negara berada ditangan Rakyat.
Ajaran Demokrasi adalah sepenuhnya
merupakan hasil olah pikir JJ. Rousseau yang bersifat hipotetis, yang sampai
saat itu belum pernah ada pembuktian empiriknya. Bahkan pada “Polis” atau City
State ” di Yunani yang
digunakan oleh Rousseau sebagai contoh didalam membangun Ajaran Demokrasi yang
bersifat mutlak dan langsung, tidak dapat ditemui adanya unsur-unsur demokrasi.
Oleh karenanya Logemann mengatakan bahwa
Ajaran Demokrasi JJ.Rousseau sebagai “Mitos Abad XIX”, karena tidak memiliki pijakan pada
kenyataan kehidupan umat manusia.
Adalah bertentangan dengan kenyataan
dimana rakyat secara langsung dan mutlak (keseluruhan) memegang kendali
pemerintahan negara. Karena justru kenyataannya menunjukan bahwa segelintir
(sedikit) oranglah yang memegang kendali pemerintahan negara dan memerintah
kumpulan orang yang banyak, yaitu rakyat.
Benturan yang tidak terdamaikan antara
Ajaran Demokrasi JJ.Rousseau (yang bersifat mutlak dan langsung) dengan
kenyataan empirik kehidupan manusia (yang sedikit memerintah yang banyak),
ditambah lagi sebagai akibat perkembangan lembaga negara menjadi “National State” yang mencakup
wilayah luas serta perkembangan rakyatnya yang menjadi semakin banyak jumlahnya
dan tingkat kehidupannya yang komplek, maka Ajaran Demokrasi yang awalnya
dicetuskan oleh JJ.Rousseau ini masih memerlukan penyempurnaan-penyempurnaan.
Langkah penyempurnaan terhadap Ajaran
Demokrasi JJ.Rousseau yang terpenting dan merupakan awal menuju kearah
demokrasi modern yaitu Demokrasi Perwakilan yang dikenal sampai kini, adalah
dengan dibentuknya Dewan Perwakilan Rakyat di Inggris pada pertengahan Abad
XIII (1265).
Pada Demokrasi Perwakilan, rakyat secara
keseluruhan tidak ikut serta menentukan jalannya pemerintahan negara, tetapi
rakyat mewakilkan kepada wakil-wakilnya yang duduk di Badan Perwakilan Rakyat
untuk menentukan jalannya pemerintahan negara.
Untuk menentukan siapakah individu-individu
rakyat yang akan mewakili keseluruhan jumlah rakyat di Badan Perwakilan Rakyat
ini digunakan mekanisme Pemilihan (Umum) yang bercirikan :
1.
Adanya
2 (dua) atau lebih calon yang harus dipilih ;
2.
Siapa
yang mendapatkan suara terbanyak dari calon-calon yang ada, maka dialah yang
akan duduk di Badan Perwakilan Rakyat guna mewakili mayoritas rakyat pemilih.
Kemudian hari tata-cara dan model
Pemilihan wakil-wakil rakyat berkembang menjadi model-model pemilihan yang
bervariasi, tetapi tetap berintikan kedua ciri di atas.
Dengan demikian, Demokrasi Perwakilan menjadi tidak bisa dilepaskan
dari penyelenggaraan pemilihan (umum) dan prinsip mayoritas vs minoritas.
Dibawah ini akan diuraikan secara singkat rincian unsur demokrasi
perwakilan :
-
Sumbernya : Gagasan seorang manusia
(Filosuf) yang bernama JJ. Rousseau (Abad XIX)
-
Sejarahnya : Sebagai pengganti
Ajaran Kedaulatan Tuhan (Teokrasi) yang diselewengkan di Eropah pada Abad XIX.
-
Tujuannya : Mencapai kebaikan kehidupan bersama di dalam wadah suatu negara,
khususnya dalam tata hubungan antara manusia sebagai warganegara dengan negaranya.
-
Mekanismenya : Keputusan tertinggi yang
pasti benar & baik adalah yang ditentukan oleh mayoritas
manusia/warganegara yang dipilih melalui pemilihan umum, sedangkan keputusan
yang dibuat oleh minoritas manusia/warganegara pasti salah & tidak baik.
-
Sarananya ; Partai Politik,
berdasarkan Sistem Dua Partai atau Sistem Banyak Partai.
-
Pembedanya : Model Demokrasi yang
dilaksanakan sangat tergantung pada 2 (dua) aspek, yaitu : (1). sistem
pembagian kekuasaan diantara lembaga-lembaga negara, dan (2). sifat hubungan
antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif.
-
Mottonya : Vox populi vox dei = Suara rakyat (mayoritas) adalah suara
Tuhan, dan Suara yang minoritas adalah suara setan.
Demikianlah Ajaran/Teori Demokrasi
berkembang dari waktu ke waktu dan berkembang sesuai pula dengan kebutuhan
suatu negara tertentu, sejalan dengan ucapkan Mac Iver , “..apa yang kita sebut
demokrasi adalah hanya sebuah permulaan dan bukan sesuatu yang bersifat
final….”.
Sehingga Ajaran/Teori Demokrasi yang
awalnya dicetuskan oleh JJ.Rousseau telah berkembang menjadi Ajaran/Teori
Demokrasi Perwakilan yang kemudian berkembang lagi menjadi berbagai model
demokrasi perwakilan yang saling bervariasi antara satu dengan lainnya,
tergantung pada kondisi masing-masing negara yang bersangkutan.
Timbulnya variasi model demokrasi
perwakilan ini menurut kacamata Ilmu Hukum Tata Negara bersumber dari perbedaan
nilai-nilai dasar bersama yang dianut oleh rakyat pada masing-masing negara,
dan secara khusus pada gilirannya tercermin melalui perbedaan pada sistem
pembagian kekuasaan dan sifat hubungan antar lembaga-lembaga negara (terutama
antara Lembaga Legislatif dan Lembaga Eksekutif), yang ditetapkan oleh masing-masing
negara yang bersangkutan.
Namun semua variasi model
demokrasi perwakilan harus tetap berpegang pada 4 (empat) prinsip, yaitu :
1. Prinsip Kedaulatan
Rakyat, dimana Konstitusi
negara yang bersangkut harus menetapkan bahwa kekuasaan tertinggi
(kedaulatan) berada ditangan rakyat ;
2. Prinsip Perwakilan, dimana Konstitusi negara yang
bersangkut harus menetapkan bahwa kedaulatan yang dimiliki oleh rakyat itu
dilaksanakan oleh sebuah atau beberapa lembaga perwakilan rakyat ;
3. Prinsip Pemilihan
Umum, dimana untuk
menetapkan siapakah diantara warganegara yang akan duduk di lembaga-lembaga perwakilan
rakyat yang menjalankan kedaulatan rakyat itu, harus diselenggarakan melalui
pemilihan umum .
4. Prinsip Suara Mayoritas, dimana mekanisme pengambilan keputusan dilaksanakan berdasarkan keberpihakan kepada suara mayoritas.
4. Prinsip Suara Mayoritas, dimana mekanisme pengambilan keputusan dilaksanakan berdasarkan keberpihakan kepada suara mayoritas.
Tanpa adanya ke-4 ciri pokok diatas
secara lengkap, maka suatu tatanan kenegaraan tidak dapat dikatakan sebagai
Model Demokrasi.
Diantara ke-4 prinsip Model
Demokrasi tersebut diatas, maka Prinsip Suara Mayoritas yang paling banyak
mengundang kritik, karena :
1. Manusia tidaklah sama semuanya dalam
berbagai aspek, terutama dalam hal aspek kualitas intelektualitasnya, sehingga
keputusan yang diambil dengan suara mayoritas (kuantitatif) sama sekali tidak
menjamin keputusan itu adalah baik atau benar.
2. Prinsip Suara Mayoritas bertentangan dengan
ajaran agama, khususnya Agama Islam, dimana pada Kitab Suci Al Qur’an terdapat
cukup banyak ayat-ayat yang bernada negatif atau bahkan mengecam prinsip suara
terbanyak ini, seperti sebagian contoh ayat-ayat Al Qur’an dibawah ini :
Dan jika kamu
menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan
menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah
mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).
(QS.
Al Anam [6]: 116)
Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah), tetapi kebanyakan
mereka tidak beriman.
(QS.
Asy-Syu’ara [26]: 103)
Dan
Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati
kebanyakan mereka orang-orang yang fasik.
(QS.
Al A’raaf [7]: 102)
Kemudian
apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: "Ini adalah
karena (usaha) kami". Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan
sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang besertanya. Ketahuilah,
sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi
kebanyakan mereka tidak mengetahui.
(QS.
Al A’raaf [7]: 131)
Model Demokrasi dan Ideologi
Sebagaimana telah dikemukakan diatas,
bahwa pilihan atas model demokrasi sangat tergantung pada kondisi setiap negara.
Demokrasi berperan sebagai sarana
pengaturan tatanan kehidupan kenegaraan guna mencapai tujuan atau cita-cita
yang hendak dicapai oleh negara yang bersangkutan. Sedangkan tujuan/cita-cita
serta nilai-nilai dasar bersama untuk mencapai tujuan/cita-cita tersebut
dirumuskan didalam ideologi negara yang bersangkutan. Dari sini terlihat jelas
kedekatan hubungan antara model demokrasi yang dijalan dengan ideologi yang
dianut oleh suatu negara.
Sehingga pertanyaan pokok yang diajukan
di dalam Simposium ini sebenarnya secara umum sudah dapat terjawab, yaitu model demokrasi yang paling tepat untuk diterapkan pada suatu negara
adalah yang sejalan dengan ideologi negara yang bersangkutan.
Jawaban diatas jelas sangat tidak
memuaskan, karena pada satu sisi bersifat sangat umum dan terkesan
menyederhanakan masalah, dan pada sisi lainnya jawaban tersebut justru melahirkan
berbagai pertanyaan baru yang intinya berkisar pada “bagaimana mengetahui bahwa model demokrasi yang
diterapkan adalah sejalan dengan ideologi yang dianut oleh negara tersebut?”.
Oleh karena itu untuk mengetahui model
demokrasi yang tepat untuk diterapkan pada suatu negara, tidak bisa tidak harus
terlebih dahulu dipahami ideologi yang dianut oleh negara yang bersangkutan.
Perlu diketahui bagaimana ideologi termaksud merumuskan tentang
tujuan/cita-cita yang hendak dicapainya, dan bagaimana nilai-nilai dasar
tentang tatanan kehidupan kenegaraan yang terkandung didalam ideologi tersebut
menetapkan pedoman umum dan khusus berkenaan dengan cara-cara untuk mencapai tujuan/cita-cita negara termaksud.
Untuk kasus Indonesia, maka upaya mencari model demokrasi yang tepat
tentunya harus diawali dengan upaya yang sungguh-sungguh untuk memahami
Pancasila yang merupakan ideologi negara.
Peran Pancasila sebagai Ideologi Negara terhadap Tatanan Hukum
Positif
Pancasila yang berkedudukan sebagai dasar
falsafah (ideologi) berfungsi menjadi
sumber tertinggi dari segala aspek tatanan kehidupan didalam wadah NKRI. Atau
dengan kata lainnya, Pancasila berfungsi sebagai Nilai-nilai Dasar Bersama
dimana segenap tingkah laku rakyat dan negara harus mengacu kepada nilai-nilai
dasar tersebut.
Dalam fungsinya sebagai Nilai-nilai Dasar
Bersama inilah Pancasila menetapkan tujuan hidup bersama dalam NKRI yang hendak
dicapai serta menentukan apa yang baik dan apa yang buruk bagi tatanan
kehidupan bangsa dan negara dalam rangka mencapai tujuan bersama tersebut.
Dalam aspek tatanan hukum pada umumnya
dan Hukum Tata Negara Indonesia
pada khususnya, maka Pancasila merupakan Sumber Hukum Materiel Tertinggi, yang
mengharuskan keseluruhan isi norma hukum positif mengacu kepadanya.
Bilamana suatu norma hukum positif
ternyata bertentangan dengan Pancasila, maka norma hukum tersebut tidak
memiliki daya keberlakuannya sehingga harus dinyatakan sebagai tidak berlaku.
Demikianlah
pemahaman yang dapat ditarik dari Penjelasan UUD 1945 Bagian Umum Angka III
menyatakan sebagai berikut :
‘Pokok-pokok
pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Indonesia .
Pokok-pokok pikiran ini mewujudkN cita-cita hukum (Rechtsidee) yang menguasai
hukum dasar negara, baik yang tertulis (Undang-Undang Dasar) maupun hukum yang
tidak tertulis.’
Adapun yang dimaksudkan dengan pokok-pokok pikiran tersebut
adalah persatuan, keadilan sosial, kedaulatan rakyat dan Ketuhanan YME menurut
dasar yang adil dan beradab, yang tidak lain adalah sila-sila dari Pancasila.
Didalam lingkup pengertian diatas, maka
pandangan yang baku selama ini berlaku diwilayah Hukum Tata Negara Indonesia
adalah bahwa Nilai-nilai Dasar Bersama yang terkandung
pada Pancasila sebagai “Asas-asas Hukum
Materiil” telah diwujudkan kedalam norma-norma hukum positif tertinggi (Norma Konstitusi = Batangtubuh UUD
1945), dan pada gilirannya isi seluruh norma-norma hukum positif yang lebih
rendah mengacu kepada norma-norma hukum positif tertinggi ini yang didalamnya
terkandung asas-asas hukum materiil, yaitu Nilai-Nilai Dasar Bersama Pancasila.
Dengan demikian maka dapat dikatakan
bahwa peranan Pancasila adalah menentukan isi seluruh norma hukum yang berlaku
di Indonesia ,
dimana setiap norma hukum yang tidak sesuai dengan Pancasila tidak bisa masuk
kedalam sistem hukum nasional Indonesia .
Pandangan baku dikalangan Hukum Tata Negara tersebut diatas, dengan
meminjam istilah Prof. Logemann, sesungguhnya hanyalah “mitos” belaka, karena
tidak didukung dengan bukti yang nyata.
Pemahaman umum tentang nilai-nilai
Pancasila pada Pembukaan UUD 1945 telah diwujudkan kedalam pasal-pasal didalam
Batangtubuh UUD 1945, jelas tidak didukung oleh bukti sejarah berkenaan dengan
penyusunan dan menetapan UUD 1945.
Batangtubuh UUD 1945 disusun oleh Panitia
Kecil Perumus UUD (diketuai oleh Prof.Dr. Soepomo) yang merupakan bagian dari
Panitia Perancang UUD (diketuai oleh Ir. Soekarno) yang dibentuk oleh BPUPKI.
Sedangkan Pembukaan UUD 1945 disusun oleh
Panitia Sembilan, yang awalnya memang bertugas untuk menyusun naskah untuk
pembukaan (preambule) bagi UUD 1945, tetapi kemudian tujuannya berubah menjadi
menyusun naskah Pernyataan Kemerdekaan. Baru kemudian pada Sidang PPKI tanggal
18 Agustus 1945, hasil kerja Panitia Sembilan yang berupa Naskah Pernyataan
Kemerdekaan tersebut, dengan beberapa perubahan redaksional, ditetapkan menjadi
Pembukaan bagi UUD 1945.
Jelas sekali dari sejarah penyusunannya, Pembukaan UUD 1945 dan Batangtubuh tidak
berkorelasi satu dengan lainnya.
Inilah sebabnya Pembukaan UUD 1945
dikatakan berpihak kepada musyawarah , sedangkan Batangtubuh berpihak kepada
voting (pemungutan suara) sebagai mekanisme pengambilan keputusan, padahal
keduanya mengandung makna yang bertolak belakang.
Disamping itu keberadaan peraturan hukum
peninggalan masa penjajahan didalam Sistem Hukum Nasional Indonesia sampai hari
ini yang jumlah masih tergolong besar dapat dijadikan sebagai tambahan bukti
bahwa Pancasila belum berperan sebagai sumber hukum tertinggi dan sebagai
asas-asas hukum materiilnya. Meskipun tentunya tidak semua peraturan hukum ex.
Penjajahan tersebut yang dapat dikatakan bertentangan dengan Pancasila secara
formil, namun dapat dipastikan bahwa secara materiil isi dari norma-norma yang
terkandung bukan bersumber dari Pancasila.
Kemudian jika diadakan penelitian
terhadap peraturan hukum yang lahir setelah masa Kemerdekaan, sangat patut
untuk diduga juga banyak yang secara materiil tidak sesuai dengan Nilai-nilai
Dasar Bersama Pancasila. Misalnya saja peraturan hukum yang berkenaan dengan
tatanan kehidupan perekonomian, yang cenderung mengandung muatan nilai-nilai
liberalisme/kapitalisme katimbang nilai-nilai Pancasila.
Dari kedua contoh diatas, maka sejujurnya haruslah dikatakan bahwa
Pancasila sebagai Ideologi Negara yang didalamnya mengandung Nilai-nilai Dasar
Bersama belum berfungsi sebagai sumber dari segala sumber bagi seluruh tatanan
kehidupan kenegaraan Indonesia, dan secara khusus belum berperan sebagai
Asas-asas Hukum Materiil bagi tatanan kehidupan hukum Positif (Sistem Hukum
Positif) di Indonesia.
Sebagai akibat belum berperannya
Pancasila sebagaimana dikemukakan diatas, maka dengan sendirinya kandungan
norma-norma hukum positif akan berisikan nilai-nilai yang non-Pancasila, dan
pada gilirannya akan membentuk tingkah laku warga masyarakat dan negara yang
juga non-Pancasila, yang akhirnya berujung pada tereduksinya atau bahkan
tergantikannya Pancasila sebagai Nilai-Nilai Dasar Bersama bagi bangsa dan
negara Indonesia
dengan nilai-nilai dasar yang non-Pancasila pula.
Pertanyaan yang perlu diajukan dalam
kaitan ini adalah, “mengapa Pancasila belum atau bahkan mungkin tidak berperan sebagai
ideologi Negara dan sumber hukum materiil bagi sistem hukum nasional?”
Sebelum mencoba menjawab pertanyaan diatas, ada baiknya diberikan
ilustrasi sederhana sebagai berikut :
1. Suatu masyarakat yang menyadari arti penting
kesehatan didalam kehidupan memiliki nilai bahwa “kebersihan
adalah pangkal kesehatan”.
Artinya semua warga
masyarakat tersebut menyadari bahwa kebersihan adalah merupakan faktor yang
penting didalam rangka menjaga/memelihara kesehatan tubuh, dan mereka
diharapkan untuk ikut serta menciptakan atau menjaga kebersihan itu.
2. Untuk mewujudkan nilai “kebersihan adalah
pangkal kesehatan” tersebut diperlukan adanya norma hukum (pedoman tingkah
laku) agar supaya warga masyarakat bertingkah laku sejalan dengan maksud nilai
tersebut. Barangsiapa yang bertingkah laku tidak sejalan dengan nilai
kebersihan tersebut, maka warga masyarakat yang bersangkutan akan dikenakan
sanksi. Tetapi apakah yang dimaksudkan dengan “kebersihan”, “bagaimana cara
menciptakan kebersihan”, “faktor-faktor apa yang menyebabkan kekotoran”, dan
sebagainya, tidak bisa dirumuskan oleh Ilmu Hukum, karena berada diluar bidang
kajiannya.
3. Oleh karenanya terlebih dahulu diperlukan
adanya uraian/penjelasan yang konkret dan multidispliner berkenaan dengan
“kebersihan”, atau diperlukan adanya pemahaman (teori) tentang kebersihan yang
menguraikan segala hal yang terkait. Dari Teori Kebersihan ini misalnya akan
diketahui bahwa sampah adalah gangguan terhadap kebersihan.
4. Bertitik tolak dari kajian multidisipliner
tentang Teori Kebersihan yang dilaksanakan oleh berbagai disiplin ilmu
pengetahuan terkait diatas, maka Ilmu Hukum mulai melakukan tugasnya yang
pertama, yaitu melakukan pilihan atas berbagai elemen yang terkait pada masalah
kebersihan untuk dijadikan sebagai “asas hukum materiil”, seperti misalnya, “sampah merusak kebersihan”. Tugas yang kedua
adalah membuat usulan rumusan norma hukum yang konkret sebagai berikut :
“Barangsiapa membuang sampah sembarangan dan tidak pada tempatnya, akan
dijatuhi hukuman ………dst.”
Tugas pertama dan kedua diatas merupakan
bagian pekerjaan dari kajian Ilmu Teori Hukum yang masih belum maju
perkembangannya di Indonesia .
5. Rumusan norma hukum konkret diatas kemudian
diserahkan ke ranah politik (Badan Pembentuk Hukum) untuk diberikan bentuk
yuridis (atau “dipositifkan”) agar memperoleh daya keberlakuannya sebagai norma
hukum positif.
Ilustrasi diatas sekedar ingin mengatakan
bahwa sebuah nilai yang bersifat umum dan abstrak, perlu dirumuskan terlebih
dahulu menjadi nilai yang bersifat khusus dan konkret melalui proses
pembentukan pemahaman/teori sosial, sebelum diberikan bentuk yuridis agar
berlaku sebagai norma hukum positif.
Demikian pula kiranya yang perlu
dilakukan untuk menjadikan Pancasila berperan sebagai ideologi negara dan
sumber hukum materiil tertinggi.
Nilai-nilai Dasar Bersama yang terkandung di dalam sila-sila
Pancasila :
1.
Ketuhanan
Yang Maha Esa
2.
Kemanusiaan
yang adil dan beradab
3.
Persatuan
Indonesia
4.
Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawara-tan/perwakilan.
5.
Keadilan
sosial bagi segenap rakyat Indonesia
baik secara indivual (per-sila) maupun
secara satu kesatuan masih merupakan nilai yang bersifat umum, abstrak serta
mengandung multi penafsiran.
Sebuah norma hukum positif baru dapat
dikatakan sesuai dengan Pancasila (sebagai sumber hukum materiil tertinggi dan
asas-asas hukum materiil) bilamana isi norma positifnya mengandung kelima sila
Pancasila secara utuh dan terpadu, sekalipun secara khusus norma hukum tersebut
hanya berkaitan dengan salah satu silanya saja.
Halmana jelas tidak mungkin dapat
dilakukan oleh Ilmu Hukum secara sendirian, dan ditambah lagi yang berkaitan
dengan istilah-istilah yang terkandung pada sila-sila Pancasila tersebut,
seperti : Ketuhanan, adil, beradab, Persatuan, Kerakyatan, hikmah kebijaksanaan,
dan Keadilan sosial, yang kesemuanya adalah bukan merupakan tugas kajian Ilmu
Hukum untuk merumuskan serta memaknainya dalam artian yang konkret.
Misalnya saja ada pertanyaan tentang “Apakah keadilan menurut
Pancasila?”, niscaya
akan banyak sekali bermunculan jawaban yang satu sama lainnya saling berbeda.
Padahal tanpa dilandasi pemahaman/teori/konsepsi tentang keadilan yang jelas,
konkret dan dianut oleh suatu masyarakat, maka tidaklah mungkin masyarakat yang
bersangkutan akan mampu membentuk sistem hukumnya dengan adil. Karena didalam
setiap norma hukum positif, mutlak harus mengandung unsur pemahaman/konsep
tentang keadilan yang berlaku pada setiap masyarakatnya. Norma hukum yang tidak
mengandung konsep keadilan, akan kehilangan daya keberlakuannya.
Sehingga jika selama ini kita semua
merasa prihatin terhadap kondisi tatanan hukum yang ada, maka salah satu sumber
penyebabnya yang terpenting adalah ketiadaan pemahaman/teori/konsep tentang
Keadilan menurut Pancasila ini.
Memang pernah ada satu-dua upaya yang
bersifat individual guna menyusun pemahaman atau teori-teori sosial yang
berkenaan dengan Pancasila, seperti misalnya inisiatif Prof.Dr. Mubyarto (Alm.)
untuk menyusun teori tentang Ekonomi Pancasila,
namun upaya-upaya tersebut tidak berkelanjutan, karena pekerjaan seperti
ini tidak mungkin dikerjakan secara invidual, melainkan harus melibatkan
berbagai pendekatan yang multi disipliner.
Inilah sebenarnya yang menjadi inti persoalan bangsa dan negara
Indonesia, yaitu selama +/- 60 tahun sejak ditetapkannya Pancasila sebagai
Dasar/Ideologi Negara, bangsa ini tidak pernah mengerjakan pekerjaan rumahnya
yang terpenting, yaitu pembentukan Pemahaman/Teori Sosial berkaitan dengan
nilai-nilai dasar yang terkandung didalam Pancasila, sehingga nilai-nilai tersebut menjadi konkret dan
dapat dioperasionalkan pada tataran praktis dengan merumuskan menjadi asas-asas
hukum materiil, dan kemudian diberikan bentuk yuridis, sehingga menjadi norma
hukum positif yang
mengarahkan tingkah laku segenap
rakyatnya dan negara.
Keseluruhan proses pembentukan Sistem
Hukum Pancasila diatas, dari nilai-nilai dasar bersama Pancasila sebagai Sumber
Hukum Tertinggi, kemudian menjadi asas-asas hukum materiil sampai akhirnya
menjadi norma hukum positif dinamakan juga sebagai “Proses
Pembentukan Hukum Pancasila yang
Dinamis”.
Pancasila dan
Model Demokrasi Indonesia
Sejak Indonesia merdeka ditahun 1945
telah menerapkan sekurang-kurangnya 4 (empat) model demokrasi yang saling
berbeda, baik dalam hal namanya maupun dalam hal unsur-unsur pokoknya, yaitu :
(1). Demokrasi Liberal {1950 – 1959}, (2). Demokrasi Terpimpin {1959 – 1966},
(3). Demokrasi Pancasila {1966 – 1998}, dan (4). Demokrasi Reformasi {1998 –
Sekarang).
Uniknya kesemua model demokrasi tersebut
mengklaim sebagai model yang paling sesuai dengan Pancasila sebagai ideologi
negara dan didukung oleh mayoritas elemen warganegara. Baru ketika rezim
penguasa yang menerapkan model demokrasi bersangkutan runtuh, maka semua elemen
warganegara tersebut berbalik dan bersama-sama berteriak bahwa model demokrasi
yang dijalankan oleh rezim penguasa terdahulu adalah bertentangan dengan
Pancasila.
Pengalaman ketika terjadi pergantian dari
model Demokrasi Liberal ke model Demokrasi Terpimpin, kemudian dari model
Demokrasi Terpimpin ke model Demokrasi Pancasila, dan akhirnya pada pergantian
dari model Demokrasi Pancasila ke model Demokrasi Reformasi saat ini, dapat
dijadikan bukti mengenai kenyataan termaksud.
Dari pengalaman sejarah pelaksanaan
beberapa model demokrasi di atas, dapat kiranya dinyatakan bahwa selama ini
Pancasila sebagai ideologi negara (sumber dari segala sumber) yang seharusnya
menjadi sumber bagi penentuan model demokrasi yang akan dijalankan, malahan
justru berfungsi seperti “Kunci Inggris” yang dapat dicocokan/disesuaikan
dengan semua ukuran sekrup. Sehingga yang
selama ini terjadi adalah justru model demokrasi (yang diterapkan) yang
menentukan pemahaman Pancasila terhadap demokrasi, bukannya sebaliknya yaitu pemahaman
Pancasila terhadap demokrasi yang menentukan model demokrasi yang manakah yang
harus diterapkan. Atau dapat juga dikatakan bahwa selama ini perumusan dan
penentuan atas model demokrasi yang akan diterapkan dilakukan dari luar
kerangka Pancasila, kemudian Pancasila “dipaksakan” untuk memahami demokrasi
berdasarkan model demokrasi yang diterapkan tersebut.
Hal diatas memang sangat dimungkinkan untuk terjadi, mengingat
sampai saat ini Pancasila sebagai Ideologi Negara dan sumber dari segala sumber
dalam kehidupan kenegaraan belum memiliki kerangka pemahaman yang baku dan ajeg
tentang demokrasi, atau singkatnya belum memiliki “Teori Demokrasi Pancasila”. Dan tanpa kerangka pemahaman (Teori)
Demokrasi Pancasila, bagaimana mungkin disusun/dirumuskan model demokrasi yang
sesuai dengan Pancasila.
Untuk mendukung pernyataan ini cukup banyak dapat diberikan
buktinya, diantaranya :
1. Berkenaan dengan
Kedaulatan Rakyat.
a. Model
Demokrasi Liberal.
Kedaulatan Rakyat sepenuhnya dilaksanakan
oleh DPR (Parlemen). Dan DPR membentuk serta memberhentikan
Pemerintah/Eksekutif (Kabinet).
b. Model
Demokrasi Terpimpin.
Meskipun secara normatif konstitusional
ditetapkan bahwa Kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya
oleh Majelis Permusya-waratan Rakyat (MPR), namun secara praktis justru
kedaulatan sepenuhnya berada ditangan Presiden.
Dan Presiden membentuk MPR(S)
dan DPR-GR berdasarkan Keputusan Presiden
c. Model
Demokrasi Pancasila (Orba).
Kedaulatan Rakyat sepenuhnya
dijalankan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR), baru kemudian MPR membagi-bagikan kedaulatan tersebut kedalam
bentuk kekuasaan-kekuasaan kepada lembaga-lembaga negara lainnya (Presiden, DPR , MA ,
Bepeka dsb.)
d. Model
Demokrasi Reformasi.
Kedaulatan Rakyat sepenuhnya
tetap berada ditangan rakyat, dan rakyat secara langsung membagi-bagikan
kedaulatan tersebut kedalam bentuk kekuasaan-kekuasaan kepada lembaga-lembaga
negara lainnya (Presiden, MPR, DPR, DPD ,
MA , MK, dsb.)
2. Berkenaan dengan
Pembagian Kekuasaan.
a. Model
Demokrasi Liberal.
Kekuasaan DPR (Legislatif) sangat kuat
dibandingkan dengan kekuasaan Pemerintah/Kabinet (Eksekutif), bahkan DPR dapat
memberhentikan Pemerintah/Kabinet. Sementara Presiden hanya berkedudukan
sebagai Kepala Negara saja (Simbol Negara saja).
b. Model
Demokrasi Terpimpin.
Kekuasaan Pemerintah/Presiden (Eksekutif)
sangat kuat (dominan) dibandingkan dengan kekuasaan DPR (Legislatif), bahkan
Presiden dapat membubarkan DPR serta mengangkat anggota-anggota DPR (GR).
Jabatan Presiden ditetapkan untuk masa
seumur hidup, sehingga tidak bisa diberhentikan oleh MPRS.
c. Model
Demokrasi Pancasila (Orba).
Meskipun
secara normatif konstitusional, ditetapkan :
1). Kekuasaan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan
(Eksekutif) maupun Kepala Negara lebih kuat dibandingkan kekuasaan DPR
(Legislatif) ;
2). Kecuali dalam hal Anggaran Belanja Negara,
maka kekuasaan Presiden dibidang legislasi (pembentukan undang-undang) lebih
kuat dibanding-kan kekuasaan DPR (Legislatif) ;
Namun secara praktis
Kekuasaan Pemerintah/Presiden (Eksekutif) sangat kuat (dominan) dibandingkan
dengan kekuasaan DPR (Legislatif), sebagai akibat adanya :
1). Campur tangan Pemerintah didalam kehidupan
kepartaian ;
2). Dominasi Pemerintah didalam penyelenggaraan
pemilihan umum anggota Legislatif (termasuk menyeleksi calon-calon Legislatif
dari partai peserta pemilu).
3). Kewenangan Presiden didalam pengangkatan
anggota MPR dari unsur Utusan Golongan yang jumlahnya cukup besar.
d. Model
Demokrasi Reformasi.
1). Kekuasaan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan
(Eksekutif) maupun Kepala Negara jauh berkurang karena harus dibagi kepada DPR
(Legislatif) ;
2). Kekuasaan Presiden dibidang legislasi
(pembentukan undang-undang termasuk UU-APBN)
lebih lemah dibandingkan kekuasaan DPR (Legislatif). Bahkan sebuah
Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui oleh DPR dapat berlaku meskipun
tidak disetujui dan tidak diundangkan oleh Presiden/Pemerintah.
3). Kekuasaan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan
(Eksekutif) menjadi semakin berkurang
dengan dilaksanakannya Otonomi Daerah.
3. Berkenaan dengan
Mekanisme Pengambilan Keputusan
a. Model
Demokrasi Liberal.
Semua keputusan di lembaga perwakilan
rakyat (DPR) diambil berdasarkan voting
dengan suara terbanyak.
b. Model
Demokrasi Terpimpin.
Semua pengambilan keputusan di lembaga
perwakilan rakyat (MPRS dan DPR-GR) harus berdasarkan musyawarah mufakat (suara
bulat).
(Ada Ketetapan MPRS yang khusus menetapkan
hal ini).
c. Model Demokrasi Pancasila (Orba).
c. Model Demokrasi Pancasila (Orba).
Semua keputusan di lembaga perwakilan
rakyat (MPR dan DPR) pertama-tama diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat,
dan jika musyawarah tidak berhasil mencapai mufakat, maka keputusan diambil
berdasarkan voting dengan suara terbanyak.
Namun didalam prakteknya pihak Pemerintah
senantiasa mengupayakan agar keputusan di DPR dan MPR diambil secara musyawarah
(suara bulat) untuk membuat kesan bahwa keputusan tersebut didukung oleh
segenap rakyat.
d. Model
Demokrasi Reformasi.
Semua keputusan di lembaga perwakilan
rakyat (MPR dan DPR) didalam prakteknya langsung diambil berdasarkan voting
dengan suara terbanyak.
Contoh-contoh diatas sekedar untuk
menunjukkan bahwa sejalan dengan perubahan model demokrasi yang dijalankan,
maka dari waktu kewaktu terjadi pula perubahan pemahaman terhadap unsur yang
essensial berkaitan dengan demokrasi itu sendiri, dan perubahan-perubahan itu
terjadi dengan alasan “sesuai Pancasila”.
Pedoman Pembentukan Pemahaman/Teori Demokrasi Pancasila
Berangkat dari asumsi bahwa rakyat
Indonesia menganut nilai-nilai dasar bersama yang terkandung didalam Pancasila
sebagai ideologi negara dan sumber dari segala sumber bagi segenap tatanan
kehidupan yang berwadahkan NKRI, maka penentuan model demokrasi manakah yang
paling sesuai untuk diterapkan tentunya harus dikembalikan rujukannya kepada
Pancasila.
Sehingga dapat dikatakan bahwa model
demokrasi yang paling sesuai untuk Indonesia adalah model demokrasi
yang sesuai dengan nilai-nilai dasar bersama yang terkandung di dalam
Pancasila, atau “Model Demokrasi Pancasila” (bukan Demokrasi Pancasila ala Orde
Baru).
Namun untuk menetapkan Model Demokrasi
Pancasila tersebut, terlebih dahulu perlu diketahui pemahaman Pancasila
terhadap demokrasi. Sehingga langkah yang paling awal yang harus dilakukan
adalah melakukan pengkajian menyeluruh dan multi disipliner terhadap kandung
nilai-nilai yang terumuskan pada sila-sila Pancasila, melalui usulan
tahapan-tahapan sebagai berikut :
Tahap-1
Karena substansi demokrasi berkaitan
dengan Sila-4 Pancasila, yang berbunyi : “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan”, maka tentunya sila ini secara individual pertama-tama yang harus digali kandungan
maknanya.
Seperti misalnya, apa yang dimaksudkan
dengan “Kerakyatan”, “dipimpin”, “hikmah kebijaksaanan”, bagaimana proses
keterwakilan rakyat dilaksanakan dan sebagainya.
Kemudian merangkaikan
pengertian-pengertian setiap terminologi yang terkandung pada Sila ke-4 ini
menjadi satu pemahaman awal yang utuh dan selaras tentang Demokrasi Pancasila.
Tahap-2
Melakukan kajian terhadap kandungan
nilai-nilai yang relevan dengan masalah demokrasi pada sila-sila lainnya.
Tahap-3
Melakukan integrasi, penyelarasan, dan
penyesuaian antara makna Sila-4 dengan kandungan nilai-nilai yang revelan pada
sila-sila yang lainnya.
Misalnya disini adalah bagaimana
menyelaraskan pandangan ajaran agama (Sila ke-1) yang menentang prinsip suara
mayoritas dengan ajaran demokrasi yang justru menempatkan prinsip suara
mayoritas sebagai unsur pokoknya.
Tahap-4
Perumusan Pemahaman/Teori Demokrasi
Pancasila yang akan berperan sebagai Sumber Materiil Tatanan kehidupan
kenegaraan yang berdasarkan Pancasila (ideologi negara), yang pada gilirannya
akan menghasilkan norma-norma hukum (norma konstitusi) yang membentuk model
demokrasi Pancasila.
Kegiatan pembentukan pemahaman/teori
tentang Demokrasi Pancasila diatas dapat dikembangkan lebih lanjut mencakup
tatanan kehidupan lainnya, sehingga pada akhirnya dapat terbentuk sebuah
Pemahaman Menyeluruh (Grand Theory) Pancasila, yang darinya dapat disusun Teori
Hukum Pancasila, Teori Ekonomi Pancasila, Teori Kesejahteraan Pancasila dan
lain sebagainya.
Apabila keseluruhan tatanan kehidupan
masyarakat telah dilengkapi dengan Teori Pancasila yang terkait, maka barulah
dapat dikatakan bahwa Pancasila itu telah benar-benar berfungsi sebagai
Ideologi Negara dan sumber dari segala sumber bagi tatanan kehidupan kenegaraan
didalam wadah NKRI.
Tanpa kelengkapan ini semua, maka
Pancasila hanya akan berfungsi sebagai Ideologi Negara dalam arti kata formal
dan semantik belaka, dan tidak akan pernah mampu mengarahkan tingkah laku
rakyat dan negara guna mencapai cita-cita kehidupan bersama yang ditetapkannya
sendiri. Dan manakala sebuah ideologi tidak mampu (atau gagal) mencapai
cita-cita yang ditetapkannya, maka ideologi yang bersangkutan cepat atau lambat
akan kehilangan dukungan dan daya
keberlakuannya dikalangan rakyat yang menganutnya.
Membangun Model Demokrasi Alternatif
Seluruh uraian di atas disusun
berdasarkan asumsi dasar bahwa Pancasila sebagai Ideologi Negara yang
mengandung Nilai-Nilai Dasar Bersama itu masih berada pada posisi diterima,
diakui, dianut dan didukung oleh segenap
rakyat dan negara Indonesia serta masih berperan sebagai sumber dari segala
sumber bagi tatanan kehidupan kenegaraan didalam wadah NKRI. Berangkat dari asumsi
ini, maka setiap upaya untuk membangun bangsa dan negara melalui penerapan
model demokrasi yang tepat, tentunya hanya mungkin dilakukan bilamana model
demokrasi termaksud sesuai dengan Pancasila agar didukung oleh rakyat.
Namun dari uraian diataspun terungkap
bahwa selama kurun waktu +/- 60 tahun sejak Indonesia merdeka, Pancasila
ternyata belum sepenuhnya berperan sebagai ideologi negara dan sumber dari
segala sumber bagi segenap tatanan kehidupan kenegaraan di Indonesia, sebagai
akibat kekosongan pada tataran Pemahaman/Teori tentang Pancasila, yang pada
gilirannya menyebabkan nilai-nilai dasar bersama yang terkandung pada Pancasila
tidak dapat dirumuskan sebagai asas-asas hukum materiil dan berikutnya tidak
dapat diserap oleh norma-norma sosial (norma hukum) yang positif dan konkret
sebagai pedoman tingkah laku bagi warga masyarakat (rakyat) didalam interaksi
sosialnya.
Berangkat dari kenyataan diatas kiranya
sudah cukup alasan untuk mengajukan sebuah pertanyaan terakhir, yaitu: “Apakah nilai-nilai dasar
bersama pada Pancasila masih diterima, diakui, dianut dan didukung oleh segenap (atau mayoritas) rakyat dan negara Indonesia ?”.
Apabila jawaban untuk pertanyaan diatas
adalah positif, maka usulan tentang upaya pembentukan Model Demokrasi Pancasila
masih relevan untuk dijadikan bahan pertimbangan lebih lanjut.
Tetapi jika jawaban untuk pertanyaan
diatas adalah negatif, maka usulan
tentang upaya pembentukan Model Demokrasi Pancasila menjadi tidak relevan lagi,
dan bahkan justru menjadi kesia-siaan belaka.
Karena tidak ada manfaatnya sama sekali, meskipun berhasil merumuskan
dan membentuk Model Demokrasi Pancasila, bilamana pada sisi lain rakyatnya
sudah tidak lagi menganut dan mendukung nilai-nilai dasar bersama yang
terkandung pada Pancasila.
Berkenaan dengan hal yang terakhir
diatas, maka perlu terlebih dahulu dilakukan upaya pengenalan kembali melalui
penelitian sosial terhadap nilai-nilai dasar bersama yang dihidup secara nyata
dikalangan segenap rakyat Indonesia
yang ber-Bhinneka itu.
Beberapa alternatif yang akan diperoleh melalui penelitian sosial
terhadap nilai-nilai dasar bersama itu adalah :
1. Nilai-nilai dasar bersama Pancasila masih
dianut dan hidup dikalangan segenap (mayoritas) rakyat Indonesia
sebagaimana aselinya ;
2. Nilai-nilai dasar bersama Pancasila yang
dianut dan hidup dikalangan segenap (mayoritas) rakyat Indonesia saat
ini telah mengalami perubahan dari aselinya, sejalan dengan perkembangan dan
tuntutan jaman ;
3.
Nilai-nilai
dasar bersama yang dianut dan hidup dikalangan segenap (mayoritas) rakyat Indonesia
dewasa ini sudah berbeda sama sekali dengan Nilai-nilai dasar bersama Pancasila
;
4.
Rakyat
Indonesia
dewasa ini tidak memiliki Nilai-nilai dasar bersama.
Alternatif yang ke-4 diatas adalah paling
mengkhawatirkan, karena tidak ada satupun upaya pembangunan dalam bidang apapun
juga yang dapat dilakukan terhadap suatu bangsa dan negara yang tidak memiliki
nilai-nilai dasar bersama. Mengingat bangsa dan negara tersebut sedang berada
ditengah proses pembubaran diri.
Berkenaan dengan Alternatif ke-1 dan ke-2
diatas, kiranya masih bisa ditampung kedalam usulan pembentukan Model Demokrasi
Pancasila, sedangkan untuk Alternatif ke-3 perlu dilakukan upaya pembentukan
Model Demokrasi lainnya yang sesuai dengan nilai-nilai dasar bersama yang secara
aktual hidup, dianut dan didukung oleh segenap rakyat Indonesia.
Hanya saja tentunya jika yang terjadi adalah Alternatif ke-3 diatas,
maka pekerjaan rumah yang harus dilakukan menjadi bertambah banyak, yaitu
meliputi tahapan-tahapan pekerjaan sebagai berikut :
1. Melakukan penelitian sosial secara
besar-besar untuk menemukan nilai-nilai dasar yang memiliki kesamaan berkenaan dengan tatanan
kehidupan kenegaraan didalam wadah NKRI, yang hidup dan dianut oleh segenap
unsur rakyat Indonesia
;
2. Dari hasil penelitian sosial diatas,
kemudian dilakukan upaya perumusan nilai-nilai dasar bersama ;
3.
Perumusan
nilai-nilai dasar bersama tersebut kemudian dikembangkan lagi kedalam bentuk
kerangka pemahaman sosial (Teori) agar memperoleh bentuk sebagai Ideologi Negara
dan menjadi sumber dari segala sumber yang konkret bagi segenap tatanan
kehidupan kenegaraan.
Baru pada tahapan inilah
nilai-nilai dasar bersama yang ditemukan dari penelitian sosial diatas dapat
berfungsi sebagai Sumber Materiil bagi norma-norma sosial yang akan dibentuk
untuk mengarahkan tingkah laku rakyat dan negara agar sejalan dengan
nilai-nilai dasar bersama tadi.
Dalam ranah Ilmu Teori Hukum,
Sumber Materiil ini dinamakan juga sebagai “asas-asas hukum materiil” yang pada
gilirannya akan menjadi muatan/materi/- isi norma hukum positif. Pada tahapan
ini pula dilakukan kegiatan perumusan dan penentuan model demokrasi yang
akan dilaksanakan.
4.
Tahapan
akhirnya adalah kegiatan perumusan norma-norma sosial positif (termasuk
norma-norma hukum positif) dan sekaligus pemberian bentuk publik (bagi
norma-norma sosial non-yuridis) atau
pemberian bentuk yuridis (bagi norma-norma sosial yuridis).
Penutup
Pekerjaan rumah diatas jelas merupakan pekerjaan yang sangat besar
dan nampaknya mustahil dapat dikerjakan didalam waktu dekat ini. Apalagi jika diingat pekerjaan rumah ini
praktis tidak pernah disentuh selama 60 tahun sejak Indonesia merdeka, dan sementara
itu pula tatanan kehidupan kenegaraan telah menjadi semakin kompleks.
Namun mungkin yang dapat dilakukan adalah
memulai kegiatan pembentukan kerangka pemahaman (teori) sosial Pancasila yang
berkenaan dengan sektor-sektor tertentu dari tatanan kehidupan kenegaraan,
seperti misalnya pembentukan kerangka pemahaman (teori) tentang Demokrasi
menurut Pancasila, sebagaimana maksud yang dikandung melalui penyelenggaraan
simposium ini.
Tanpa memulai upaya ini didalam waktu
yang secepatnya, dikhawatirkan akan mengakibatkan semakin tereduksinya
nilai-nilai dasar bersama Pancasila, dan pada akhirnya rakyat dan negara
Indonesia akan kehilangan nilai-nilai dasar bersama Pancasila itu, sebelum
akhirnya menemukan nilai-nilai dasar bersama yang lain dan baru, yang belum
tentu pula menjamin kelangsungan tatanan kehidupan kenegaraan didalam wadah NKRI. Kekhawatiran diatas kiranya tidaklah
terlalu berlebihan apabila dirujuk pada fakta-fakta sosial yang ada dewasa ini,
dimana sangat patut diduga bahwasanya nilai-nilai dasar bersama Pancasila sudah
tidak lagi berperan sebagai pedoman tingkah laku rakyat, penyelenggara negara
dan negara sendiri didalam menjalani interaksi didalam tatanan kehidupan
kenegaraan.
Puluhan daerah tingkat II Kabupaten/Kota di dalam wilayah
NKRI dewasa ini dengan berbagai variasi muatan aturannya, telah memberlakukan
Peraturan-peraturan Daerah (Perda) yang kandungan norma hukum positifnya
bersumber bukan dari asas-asas hukum materiil Pancasila (karena memang belum
ada).
Apakah kenyataan ini belum cukup untuk
menyimpulkan bahwa nilai-nilai dasar bersama Pancasila dewasa ini minimal tengah
berada didalam proses tereduksi?
Untuk menjawab pertanyaan pokok simposium ini, maka model demokrasi
yang sesuai bagi Indonesia serta didukung oleh mayoritas rakyatnya, adalah
model demokrasi yang sejalan/sesuai dengan nilai-nilai dasar bersama yang hidup
dan dianut oleh segenap (mayoritas) rakyatnya, apakah itu nilai-nilai
dasar bersama yang bersumber pada
Pancasila ataupun dari sumber yang lainnya.
Dan untuk menyelaraskan model demokrasi dan nilai-nilai dasar
bersama, diperlukan adanya pembentukan pemahaman/teori/konsep sosial tentang
demokrasi yang mengacu kepada nilai-nilai dasar bersama termaksud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar