Gus Dur:
“Saat ini Indonesia sedang dalam proses mencari Identitas Nasional. Namun harus
diakui pemerintah menghadapi banyak sekali hambatan dan
masalah untuk mewujudkan hal tersebut, seperti ancaman separatisme,
militerisme dan konflik keagamaan. Bahkan, juga ada sekelompok
kaum militan yang merasa terancam”.
Apa sebenarnya yang dimaksud Gus Dur dengan identitas nasional? Sebelum bicara lebih jauh, ada baiknya kita mengetahui
apa arti dan makna kata tersebut. Identitas, kalau mau lebih spesifik lagi,
identitas kolektif, dapat dibagi menjadi lima kategorie: Identitas gender (feminisme), identitas kedaerahan, identitas kelas-sosial, identitas etnis dan yang terakhir identitas religius.
Identitas kolektif. Feminisme sebagai identitas kolektif, memang pernah nge-trend,
terutama di negara negara (industri) maju; Eropa, Amerika Serikat dll.
Kolektivitas jenis ini, kendati populer, namun kurang mengikat, karena dibatasi
oleh benua, negara, etnis dan agama.
Demikian pula, identitas kolektif yang bersifat kedaerahan (lokalisme/
regionalisme). Keunikan sebuah daerah, (keunikan saja!) tak bisa dijadikan alat
untuk memobilisasi massa. Rupanya ini lebih banyak urusan ideologi dibanding
ekologi (natur). Kemudian masalah kelas sosial (borjuis vs. kelas buruh) sebagai identitas kolektif, bukan saja kurang
atraktif, akan tetapi keberadaannyapun sangat meragukan. Identitas kelas (buruh
sedunia?) sebagai identitas kolektif tak pernah – benar-benar – eksis. Karena
terbukti, kurang lem perekat emosional, disamping itu juga, karena, tidak
memiliki akar budaya yang kuat. Kalau dibanding identitas lain – seperti
identitas religius atau etnis, misalnya. Perlu diketahui, kelompok interes,
dengan basis ekonomi, bukanlah termasuk bentuk identitas kolektif yang stabil.
Identitas religius dan identitas etnis sering kali, mengikat dan
merekayasa (basis) lebih dari satu
kelas-sosial. Identitas religius berbeda dengan kelas sosial, masing-masing
berangkat dari segi kebutuhan dan aktivitas manusia yang berbeda. Identitas
kelas berangkat dari pola produksi dan tukar menukar barang dan jasa. Sedangkan
identitas religius tumbuh dan berkembang sebagai akibat dari hasil komunikasi
dan proses sosialisasi di masyarakat. Yang bersumber dari elemen-elemen budaya
seperti nilai-nilai, simbol, mitos, tradisi – yang sering dikodifikasi menjadi
adat-istiadat dan ritual, demikian menurut sosiolog Inggris Anthony D. Smith.
Komunitas religius seringkali bersimbiose dengan identitas etnis.
Tatkala agama-‘agama dunia’ bersaing ketat, mencoba, berusaha mengaburkan atau
bahkan menghapuskan batas-batas ke-etnisan, yang terjadi malah sebaliknya.
Kebanyakan komunitas religius menyatu dengan kelompok-kelompok etnis. Hubungan
ini malah bisa lebih erat lagi. Ceritanya seperti ini: Komunitas religius yang
semula kecil dan sederhana, dalam kurun waktu tertentu, bisa saja berubah
bentuk menjadi sebuah komunitas etnis yang eksklusif. Sampai saat ini masih
banyak minoritas etnis yang memiliki ikatan religius.
Definsi etnis dan nasion (bangsa) berubah-ubah dan selalu bermuatan politis dan penuh rekayasa.
Misalnya, identitas kolektif, bisa berarti identitas etnis dan bisa juga
berarti identitas nasional. Kenapa demikian?
Begini. Dari perbedaan kultural, etnisitas membentuk batas-batas
kultural. Dari batas-batas kultural, sebuah bangsa
membentuk batas wilayah negara. Kedua batas ini bukan terbentuk secara alami,
melainkan resultat dari berbagai macam strategi serta struktur organisasi
sosial/politik dll. baik batas yang merupakan produk kesewenang wenangan
kolonialisme abad 19, ataupun rekayasa kolonialisme internal (penguasa bangsa
sendiri) akhir abad 20. Singkat, kini etnisitas berarti: pertama sebagai pengganti status minoritas (hampir disegala bidang)
dan kedua, munculnya situasi
dikotomis: penguasa versus kelompok tertindas. Perlu diingat hanya gerakan
etnis yang memiliki karakter kelas sosial, bisa menjadi politis. Dan kalau
politik mandeg gerakan etnislah yang mengisi ruang politik itu.
Etnisitas bisa juga dilihat sebagai ekspresi seseorang (baca kelompok) yang
mengacu pada etnis tertentu. Perbedaan (etnis) muncul, sebagai akibat dari
bentuk kultur yang berlainan. Namun yang terpenting, bukan substansi
perbedaan-perbedaan tersebut yang harus ditonjolkan, melainkan; bagaimana
sebuah kelompok menamakan diri mereka
sendiri dan bagaimana mereka dinamakan oleh
kelompok lain (Barth, 1969). Hasil pemotretan pihak lain mestinya bisa dipakai
sebagai pengakuan terhadap eksistensi identitas diri sendiri. Jika cara ini
tidak klop, maka sudah pasti identitas yang dimiliki, tidak akan pernah stabil. (Elwert 1989:23).
Sebagai contoh mungkin sekarang orang Papua tak mau lagi kalau disebut sebagai
orang Irian. Dalam kondisi “normal” (tanpa krisis) soal identitas bukanlah
masalah pokok. Namun dalam suasana krisis multi dimensional, banyak orang
bingung, yang kemudian lantas mencari tempat untuk berlindung – rumah ibadah
penuh. Acara-acara yang bernuansa religius dan kedaerahan tambah marak. Wacana
budaya lokal pun muncul. Masalah ini bisa dilihat sebagai akibat dari
kapitalisme yang makin meng-global, yang menyebabkan, fungsi negara-nasional,
disatu pihak kurang optimal (lemah) dan dipihak lain munculnya sentimen budaya
lokal, separatisme atau nasionalisme etnis. Kenapa kita harus heran tatkala
melihat bangkitnya nasionalisme etnis dimana-mana?
Nasionalisme etnis dan nasionalisme teritorial.
Dalam hal ini Smith (1981:14-20) membedakan antara nasionalisme etnis, yakni gerakan yang berusaha keras
memperjuangkan kemandirian tradisi, kultur atau adat istiadat lokal. Sedangkan nasionalisme teritorial, pertama tama
bertujuan membentuk sebuah negara teritorial. Pembagian Smith terasa kurang
pas. Karena itu, perlu direvisi. Berbeda dengan Smith–dan yang lebih relevan –
Jäggi, membedakan antara periphere
nasionalisme dan nasionalisme sentral.
Alasannya seperti ini; gerakan nasionalisme pinggiran,
yang tercerabut dari akar kulturalnya, memiliki dinamika yang berbeda dengan
nasionalisme dominan. ‘Nasionalisme pinggiran’ bertujuan merubah struktur
kekuasaan, sedangkan ‘nasionalisme di pusat’ memperkuatnya (Jäggi 1993:23).
Dengan kata lain, setiap usaha pencarian identitas (nasional), selamanya akan
memicu munculnya identitas-identitas “nasional” tandingan. Karena (kalau
menurut Fredrik Barth 1969): Identity
makes counter- identity. Dan identitas kolektif tak pernah nyelonong begitu
saja jatuh dari langit. Identitas memiliki asal usul yang ‘jelas’ dan selamanya
merupakan produk sejarah – penuh rekayasa politik dan sarat muatan ideologi dan
manipulasi. Akhirnya identitas etnis, misalnya, dianggap sebagai sesuatu yang
(pernah dan terus) eksis – walau ratusan tahun sekalipun.
Aceh.
Misalnya, peringatan 360 tahun wafatnya Sultan Iskandar Muda dirayakan secara
militer, 27 Desember tahun lalu, merupakan momentum bagi bangsa Aceh untuk meningkatkan persatuan, katanya. Menurut Hasan Di
Tiro, Aceh sedang berada di ambang kemerdekaan – kembali ke masa pimpinan
Sultan Iskandar Muda abad 16, yang terkenal ke seluruh dunia. Kehidupan
rakyatnya sangat makmur. Disebabkan pimpinan selalu bertindak adil, bijaksana,
dan selalu bersikap jujur sehingga terkenal di kawasan Asia, Eropa, dan tanah
Arab. Menurut dia, keadaan itulah yang hendak dikembalikan ketika Aceh Sumatera
mencapai kemerdekaannya nanti (lihat : Waspada
28 Desember 1999). Singkat, kasus Aceh boleh dibilang sebagai kombinasi antara
represi politik (DOM) dan penghisapan sumber daya alam, yang kemudian
menyebabkan identitas etnis yang sudah kuat menjadi makin kental.
Maluku. Sedangkan konflik (“Kristen/Islam”) Maluku, lain lagi. Penyelesaian
persoalan, tidak mudah, kata Presiden Adurrahman Wahid, baru baru ini, karena
ini berakar sejak zaman Belanda, di mana golongan Kristen ketika itu mendapat
perlakuan istimewa dari Belanda, misalnya untuk
menjadi anggota militer. Ketika Soeharto (dan kemudian Habibie)
berkuasa, keadaan terbalik, di mana kaum Muslimin menduduki berbagai posisi
penting, namun ketika Kristen protes, mereka dihadapi dengan kekerasan. Karena
itu, kekerasan yang terjadi sekarang ini tidaklah mungkin dihadapi dengan
kekerasan pula, ujar Abdurrahman Wahid (Kompas 04/05/00).
Kasus bangsa Papua lebih “spesifik” lagi. Kongres Rakyat Papua, (4/6),
menyatakan, menolak penyatuan Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Proses penyatuan Papua yang dilakukan Pemerintah Belanda dan Pemerintah
Indonesia, selanjutnya dikukuhkan PBB, dinilai cacat hukum. Sebab itu, kongres
meminta dukungan internasional untuk kemerdekaan Papua. Demikian resolusi KRP
yang dibacakan oleh Thaha Al-Hamid di hadapan ribuan warga Papua. Menurut
resolusi yang dihasilkan oleh kongres itu, bangsa Papua telah berdaulat sebagai
sebuah bangsa dan negara sejak 1 Desember 1961 (Kompas
05/05/00).
Kasus Riau sederhana saja. Proklamator Riau
Merdeka, Prof. Dr. Tabrani Rab menilai
kedatangan Gus Dur ke Pekanbaru Riau (29/4) , kecuali menghabiskan dana rakyat,
juga tak ada gunanya serta tak menyelesaikan akar persoalan. Tabrani menilai Gus
Dur tak mampu menyelesaikan persoalan
Riau. Sebab, hingga saat ini, Gus Dur dianggapnya belum memahami akar persoalan
masyarakat Riau. "Ini jelas terlihat. Jangankan soal penyerahan wewenang
pengelolaan pendapatan daerah. Soal UU No 22 dan 25 saja, tak jelas
pelaksanaannya. Semua hanya omong kosong. Menurut Tabrani akar persoalan Riau
sederhana saja: perbaikan taraf hidup.
Keinginan itulah yang mendorong munculnya Deklarasi Riau Merdeka, 15 Maret 1999
lalu (Tempo Interaktif 29/04/00).
Tuntutan Lampung kelihatan masih lebih bersahaja. Sekitar enam ribu warga
Bandar Lampung, (21/3) yang umumnya
petani dari delapan kabupaten di Lampung itu, berkumpul untuk menuntut
"kemerdekaan dari segala macam penindasan" terhadap rakyat dengan
menggunakan momentum peringatan hari jadi provinsi Lampung yang ke-36. (Waspada 22/03/00)
q
Perjuangan nationalisme-etnis,
biasanya melalui empat tahap: fase keterpinggiran (marginalisasi) yang cukup
lama, fase penindasan yang brutal, fase perlawanan yang menelan korban sangat
banyak dan yang terakhir (kalau mujur) fase kemenangan. Korban jiwa ataupun
materi biasanya lebih banyak dihabiskan bukan untuk membidani lahirnya, anak
haram yang bernama separatisme melainkan usaha untuk membunuhnya.
q
Logika nasionalisme. Sebenarnya tak ada istilah
perjuangan nasional ataupun pembebasan nasional. Yang ada yalah perang yang
gunanya memperkuat nasionalisme. Menindas bangsa lain atau ditindas oleh bangsa
lain – memiliki fungsi yang kira kira sama. Nasionalisme pinggiran bakal mengatakan bahwa apa yang ‘mereka’ lakukan adalah
perang sebuah bangsa melawan negara
sentral. Negara sentral akan mengaku,
bahwa mereka sedang memerangi teroris (GPK).
q
Nasionalisme dan integrasi nasional. Integrasi bukan hanya tergantung
dari seberapa besar kontrol pemerintah pusat terhadap daerah dan (sebaliknya)
bagaimana respon daerah terhadap pusat. Integrasi berarti saling ketergantungen
antar daerah serta partisipasi regional – dalam urusan atau masalah nasional.
Pembedaan ini dapat dibandingkan dengan perbedaan atara integrasi nasional dan nasionalisme.
Nasionalisme berkaitan erat dengan patriotisme, emosi nasionalis (perasaan
senasib seperjuangan sebagai satu bangsa). Kehadiran perasaan nasionalis ini
diperlukan untuk mengatasi jiwa kerdil (regionalisme, tribalisme,
partikularisme atau sekterianisme) sembari memperkuat hubungan vertikal – pusat
daerah. Sebaliknya integrasi nasional adalah sebuah konsep yang jauh lebih
luas, yang tidak hanya membahas kasus-kasus atau masalah-masalah daerah
(pinggiran) akan tetapi juga menyoroti hubungan antara pusat dan daerah.
Misalnya seperti ini: faktor interaksi masyarakat, faktor saling ketergantungan
antara pusat dan daerah, antara daerah yang satu dengan yang lain, bukan
tergantung dari emosi nasional. Melainkan lebih banyak tergantung dari arah
(dari mana dan kemana) mengalirnya kapital, apakah uang mengalir lebih banyak
dari pusat kedaerah atau sebaliknya – dari daerah ke pusat?
q
Separatisme. Kasus yang terjadi di berbagai
negara (multi etnik) di dunia bukanlah separatisme, melainkan masalah yang
lebih ‘ringan’ yakni emansipasi warga masyarakat atau karsa bersama menuju
masyarakat madani (civil society),
menciptakan kemakmuran bersama (keadilan ekonomis) dan atau mengatasi masalah
kerusakan lingkungan dsb.nya. Lahirnya separatisme boleh dianggap sebagai
sebuah hukuman terhadap negara karena pemerintahnya terlalu banyak (atau malah
sebelumnya terlalu sedikit?) memberikan ruang gerak bagi sentimen lokal.
Separatisme bukan merupakan masalah besar di dunia, yang menjadi masalah ialah
karena mereka semua mengaku (dan minta diakui) sebagai bangsa.
q Identitas nasional dan
teritorium (wilayah). Nasion (bangsa) adalah sebuah kesatuan yang terikat dengan
teritorium dan mesti memiliki wilayah (tanah tumpah daerah mereka sendiri),
kesamaan sejarah, sistim hukum/perundang undangan, hak dan kewajiban serta
pembagian kerja berdasarkan profesi.
q
Tak ada satu pun bangsa di dunia ini yang tidak memanipulasi sejarahnya sendiri!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar