Pendahuluan
Kepemimpinan merupakan lokomotif organisasi yang selalu
menarik dibicarakan. Daya tarik ini didasarkan pada latar historis yang
menunjukkan arti penting keberadaan seorang pemimpin dalam setiap kegiatan
kelompok dan kenyataan bahwa kepemimpinan merupakan sentrum dalam pola
interaksi antar komponen organisasi (Suarjaya dan Akib, Usahawan bulan Nopember
2003: 42). Lebih dari itu, kepemimpinan dan peranan pemimpin menentukan
kelahiran, pertumbuhan dan kedewasaan serta kematian organisasi. Mengingat arti
penting dan peranan kepemimpinan itu maka tulisan ini diarahkan bukan saja
untuk menyegarkan pemahaman pembaca mengenai topik kepemimpinan, melainkan pula
– dengan menggunakan prinsip iklan – untuk memberitahukan yang tidak tahu,
mengingatkan yang lupa, dan mempengaruhi sikap dan perilaku orang yang sudah
tahu akan kepemimpinan.
Pengertian
Kepemimpinan diartikan sebagai proses mempengaruhi
dan mengarahkan berbagai tugas yang berhubungan dengan aktivitas anggota
kelompok. Kepemimpinan juga diartikan sebagai
kemampuan mempengaruhi berbagai strategi dan tujuan, kemampuan mempengaruhi
komitmen dan ketaatan terhadap tugas untuk mencapai tujuan bersama; dan
kemampuan mempengaruhi kelompok agar mengidentifikasi, memelihara dan
mengembangkan budaya organisasi (Shegdill dalam Stoner dan Freeman 1989:
459-460). Unsur-unsur kepemimpinan menurut Shegdill adalah: (1) adanya
keterlibatan anggota organisasi sebagai pengikut; (2) distribusi kekuasaan di
antara pemimpin dengan anggota organisasi; (3) legitimasi diberikan kepada
pengikut, dan (4) pemimpin mempengaruhi pengikut melalui berbagai cara.
Beberapa pendapat pakar mengenai
kepemimpinan juga disajikan oleh Philip (2003: 5-6) sebagai berikut. Menurut
Burns bahwa kepemimpinan merupakan proses hubungan timbal balik pemimpin dan
pengikut dalam memobilisasi berbagai sumber daya ekonomi, politik dan sumber
daya lainnya untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Selanjutnya, Gardner
berpendapat bahwa kepemimpinan merupakan suatu atau sekumpulan aktivitas yang
teramati oleh pihak lain, berlangsung dalam kelompok, organisasi atau lembaga,
dan melibatkan pemimpin dan pengikut yang bekerjasama untuk mewujudkan tujuan
umum yang direncanakan. Sedangkan Hary S. Truman mengartikan kepemimpinan
sebagai kemampuan untuk memperoleh orang-orang agar mengabaikan apa yang tidak
disukai dan melaksanakan apa yang disukai.
Sesuai definisi kepeminpinan pakar di
atas dapat dipahami bahwa kepemimpinan memiliki berbagai makna, tergantung pada
sudut pandang pakar, dan tergantung pula pada konteksnya. Kepemimpinan
merupakan suatu proses menggerakan berbagai sumber daya dan mempengaruhi orang
lain agar bekerjasama untuk pencapaian tujuan. Kapabilitas, pengaruh, proses,
pemimpin, pengikut, penggerakan, kerjasama dan tujuan merupakan unsur-unsur
penting kepemimpinan. Sebagai proses, kepemimpinan dapat dikategorikan ke dalam
beberapa bagian yaitu: (1) melibatkan pengaruh pemberian contoh dan persuasi,
(2) interaksi di antara berbagai aktor baik sebagai pemimpin maupun sebagai
pengikut, (3) interaksi dipengaruhi situasi dimana interaksi itu berlangsung.
(4) proses meraih berbagai luaran seperti pencapaian tujuan, kohesi kelompok,
dorongan atau perubahan budaya organisasi (Philip, 2003: 6).
Konsep kepemimpinan kontemporer
menganggap bahwa kepemimpinan merupakan proses saling mempengaruhi antara
pemimpin dan pengikut untuk mencapai tujuan bersama (Lussier dan Achua, 2001:
6). Elemen kunci kepemimpinan meliputi: pemimpin-pengikut, pengaruh, orang,
perubahan dan tujuan yang akan dicapai. Pengikut ialah orang lain yang
dipengaruhi oleh pemimpin. Pengaruh ialah upaya pemimpin mempengaruhi orang
lain dengan cara mengkomunikasikan gagasan, memperoleh tanggapan atas gagasan
yang dikemukakan dan memotivasi pengikut agar mendukung dan mengimplementasikan
gagasannya dengan melakukan perubahan. Pengaruh merupakan esensi kepemimpinan. Pemimpin yang efektif mempengaruhi pengikutnya dalam berpikir
bukan hanya untuk kepentingannya sendiri, melainkan pula untuk kepentingan
bersama. Selanjutnya, meskipun istilah orang tidak dikemukakan secara spesifik
dalam definisi kepemimpinan ini, namun setelah membaca elemen definisi
kepemimpinan yang lain, maka dapat dipahami bahwa kepemimpinan adalah
mengarahkan orang (lain). Definisi kepemimpinan ini mengandung makna bahwa
pengikut yang baik juga menunjukkan peran kepemimpinan jika diperlukan, artinya
pengikut bisa saja mempengaruhi pemimpinnya. Karena itu, definisi kepemimpinan
kontemporer ini menunjukkan bahwa proses mempengaruhi terjadi antara pemimpin
dan pengikut secara timbal balik dan dua arah.
Perkembangan
Gaya Kepemimpinan
Langkah yang perlu ditempuh
dalam mengklasifikasikan gaya kepemimpinan ialah memahami pengertian gaya
kepemimpinan dan menentukan tipologi kepemimpinan yang dapat dijadikan sebagai
acuan yang dapat mencirikan sekaligus membedakan setiap gaya kepemimpinan.
Istilah gaya sama dengan cara, teknik atau metode yang digunakan oleh pemimpin
untuk mempengaruhi pengikutnya. Gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang
digunakan oleh seseorang pada saat mencoba mempengaruhi perilaku orang lain
(Thoha, 2001: 49). Menurut Kaplan dan Norton (2001: 350) bahwa, gaya
kepemimpinan merupakan ramuan yang paling kritis bagi keberhasilan pengukuran
kinerja organisasi secara komprehensif. Gaya kepemimpinan yang dimaksud adalah
gaya kepemimpinan eksekutif senior yang berpengaruh terhadap seluruh anggota
organisasi.
Gaya kepemimpinan dapat
dicirikan dan dibedakan dengan fungsi kepemimpinan seperti uraian berikut. Gaya
kepemimpinan pada dasarnya mengandung arti berupa cara pemimpin berhubungan
dengan pengikut atau bawahannya. Hubungan antara pemimpin dengan bawahan
memiliki dua sifat, yakni berorentasi pada tugas dan berorentasi pada
bawahan (Robbins, et.al., 1994: 473).
Fungsi kepemimpinan pada dasarnya menyangkut dua hal pokok, yakni: (1)
fungsi yang berkaitan dengan tugas yang disebut fungsi pemecahan masalah, dan
(2) fungsi pemeliharaan kelompok yang disebut fungsi sosial.
Menurut Robbins, et.al.
(1994: 477) bahwa ada dua gaya kepemimpinan yang ekstrim yakni gaya
kepemimpinan otokratis dan gaya kepemimpinan demokratis. Gaya
otokratis dipahami sebagai gaya kepemimpinan yang berdasar pada kekuatan posisi
dan penggunaan otoritas pemimpin. Sedangkan gaya kepemimpinan demokratis
dikaitkan dengan kekuatan personal dan keikutsertaan pengikut dalam proses
pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. Dua kutub pemikiran tentang gaya
kepemimpinan ini sejalan dengan pendapat Robert Tannenbaum dan Warren H.
Schmidt (1958) dalam Robbins, et.al. (1994: 4780 dan Gibson (1997: 14) bahwa
gaya kepemimpinan otokratis dan demokratis merupakan gaya kepemimpinan yang
dapat ditempatkan pada suatu kontinuum dari perilaku pemimpin yang sangat
otokratis pada satu ujung dan perilaku pemimpin yang sangat demokratis pada
ujung yang lain. Apalagi karena menggunakan kata kunci yang sama yakni
“kontinuum”, dengan merinci tujuh model keputusan pemimpin. Karena itu, gaya
kepemimpinan yang lainnya dapat diposisikan dalam kontinuum di antara kedua
gaya kepemimpinan tersebut.
Beberapa gaya kepemimpinan
yang populer di masa lalu dapat dikategorikan ke dalam kontinuum klasifikasi
gaya kepemimpinan ini. Misalnya, model Manajerial Grid dari Robert R.
Blake dan Jane S. Mouton dalam Robbins, et.al. (1994: 474) yang merinci gaya
kepemimpinan ke dalam empat gaya ekstrim, ditambah satu gaya yang berada di
tengah-tengah untuk menyeimbangkan keempat gaya yang berada pada empat sisi
yang berbeda, merupakan salah satu contoh yang tepat. Begitu pula gaya tiga
dimensi dari William J. Reddin yang pada dasarnya hanya merupakan pengembangan
gaya kepemimpinan yang diintrodusir dari hasil penelitian Universitas Ohio dan
gaya yang dikembangkan oleh Blake dan Mouton. Gaya kepemimpinan yang juga
penting sebagai bagian dari teori perilaku adalah sistem manajemen dari Rensist
Likert (Robbins, et.al., 1994: 309) berupa desain empat sistem kepemimpinan.
Hal penting yang dapat
dipahami dari deskripsi posisi gaya kepemimpinan di atas ialah pemetaan gaya
kepemimpinan dalam berbagai model – kontinuum, grid, tiga dimensi dan sistem
manajemen – dan gambaran tentang konsep kepemimpinan terdahulu yang tidak
mempermasalahkan perbedaan ciri setiap gaya kepemimpinan, padahal cirinya
cenderung berbeda dilihat dari peta teori yang dibuat. Dengan demikian, model
kepemimpinan yang dibuat ini merupakan wadah untuk memetakan gaya kepemimpinan
yang ada dan akan ada.
Level
Analisis Teori Kepemimpinan
Untuk
mengklasifikasi teori dan penelitian kepemimpinan dapat dilakukan dengan cara
memahami level analisisnya (Lussier dan Achua, 2001: 14). Level analisis teori
kepemimpinan minimal terdiri dari empat, yakni individu, kelompok, organisasi
dan masyarakat. Karena itu, sebagian besar kajian kepemimpinan diformulasikan
dalam konsep proses pada salah satu dari empat level tersebut.
Pertama, level
individu. Level analisis ini terfokus pada individu pemimpin dan hubungannya
dengan individu lain (pengikutnya). Asumsi yang dianut ialah efektivitas
kepemimpinan tidak dapat dipahami lebih jauh tanpa menjelaskan bagaimana
pemimpin dan pengikutnya saling mempengaruhi satu sama lain sepanjang waktu.
Kedua, level
kelompok. Level analisis ini terfokus pada hubungan antara pemimpin dengan
kelompok pengikut kolektif yang disebut proses kelompok. Teori proses kelompok
memfokuskan pada kontribusi seorang pemimpin terhadap efektivitas kelompok.
Penelitian mendalam tentang beberapa kelompok kecil telah mengidentifikasi
faktor determinan penting bagi efektivitas kelompok.
Ketiga, level
organisasi. Level analisis ini terfokus pada organisasi sehingga lazim disebut
proses organisasi. Kinerja organisasi dalam jangka panjang tergantung pada
penyesuaian secara efektif terhadap lingkungan dan perolehan sumber daya yang
dibutuhkan untuk tetap hidup, serta pada proses transformasi efektif yang
digunakan oleh organisasi untuk menghasilkan produk dan jasa. Sebagian hasil
penelitian terakhir pada level organisasi menunjukkan adanya pengaruh
signifikan dari manajer level puncak terhadap kinerja organisasi (Lussier dan
Achua, 2001: 14; Manz dan Sims, 2001: 2; Overton, 2002).
Keempat, level
masyarakat. Level analisis ini banyak terfokus pada perilaku pemimpin informal
dalam masyarakat pada umumnya. Corak kepemimpinan di masyarakat sangat
dipengaruhi oleh tatanan nilai dan keyakinan serta norma-norma (adat,
kesusilaan, hukum, agama) yang berkembang dalam masyarakat.
Paradigma
Teori Kepemimpinan
Teori kepemimpinan
merupakan penjelasan mengenai beberapa aspek kepemimpinan dan teori yang
memiliki nilai praktis karena digunakan untuk memahami, memprediksi dan
mengendalikan sukses kepemimpinan secara lebih baik. Minimal ada empat
klasifikasi teori kepemimpinan atau pendekatan penelitian untuk menjelaskan
kepemimpinan. Klasifikasi teori kepemimpinan – yang dalam tulisan ini disebut
gaya kepemimpinan – mencakup pembawaan, keperilakuan, kontingensi dan
integratif.
Berdasarkan uraian di atas
nampak bahwa paradigma kepemimpinan merupakan bagian dari pola pikir yang
mewakili cara berpikir, mempersepsikan, mempelajari, meneliti dan memahami
kepemimpinan secara fundamental. Keempat klasifikasi teori kepemimpinan utama
tersebut juga mewakili perubahan paradigma kepemimpinan (Lussier dan Achua,
2001: 14-19).
Paradigma Teori Pembawaan (Sifat)
Kajian kepemimpinan pada
mulanya didasarkan pada asumsi bahwa pemimpin dilahirkan, tidak dibuat.
Peneliti kemudian mengidentifikasi serangkaian pembawaan pemimpin yang
membedakan dengan pengikutnya, serta pemimpin efektif dengan pemimpin tidak
efektif. Teori pembawaan kepemimpinan mencoba menjelaskan karakteristik khusus
kepemimpinan yang efektif. Peneliti menganalisis pembawaan fisik dan psikologis
serta kualitas, seperti level kemampuan yang tinggi, keagresifan, kepercayaan
pada diri sendiri, daya persuasif yang dimiliki dan kekuasaannya dalam
mengidentifikasi serangkaian pembawaan yang dimiliki oleh pemimpin yang sukses.
Dalam berbagai sumber dinyatakan bahwa, keberhasilan seorang pemimpin
ditentukan oleh sifat dan perangai pemimpin tersebut. Sifat-sifat tersebut
dapat berupa sifat fisik, sosial dan psikologis (Introducing Leadership
Studies, 2001: 18; Leadership, 2001: 1; Sadler, 2001: 11).
Atas dasar pemikiran di
atas ada anggapan bahwa untuk menjadi seorang pemimpin yang berhasil sangat
ditentukan kemampuan pribadi pemimpin. Karena itu, timbul usaha dari para ahli
untuk meneliti dan merinci kualitas seorang pemimpin yang berhasil melaksanakan
tugas kepemimpinannya, kemudian hasilnya diformulasikan ke dalam sifat-sifat
umum seorang pemimpin. Usaha tersebut berkembang menjadi teori kepemimpinan
yang disebut “teori sifat kepemimpinan” (Robbins, at.al., 1994: 469).
Teori Sifat atau Pembawaan
(Sumber: Diadaptasi dari Chapter Seventeen, Leadership, 2001,
The McGraw-Hill Company, Inc.)
Bakat-bakat
kepemimpinan: merepresentasikan karakteristik personal yang
membedakan para pemimpin dari bawahannya.
·
Temuan historis menunjukkan bahwa pemimpin
dan bawahan dibedakan berdasarkan:
-
intelijensi,
-
dominasi
-
kepercayaan diri
-
tingkat energi dan aktivitas
-
pengetahuan yang relevan dengan tugas
·
Temuan kontemporer menunjukkan bahwa:
-
orang cenderung mempersepsikan seseorang
selaku pemimpin ketika menunjukkan bakat yang berhubungan dengan intelijensi,
maskulinitas dan dominasi
-
orang mengharapkan pemimpin tersebut
menjadi kredibel
- pemimpin
yang kredibel adalah pemimpin yang jujur, berpandangan jauh ke depan dan
cakap.
|
Daftar pembawaan digunakan
sebagai prasyarat untuk mengusulkan calon untuk menduduki posisi kepemimpinan.
Calon yang bisa diberi kesempatan menduduki posisi kepemimpinan adalah yang
memiliki semua pembawaan yang diidentifikasi. Namun, tidak satu pun yang
menjadi daftar pembawaan universal yang dimiliki oleh pemimpin sukses atau
pembawaan yang menjamin keberhasilan kepemimpinan. Pertanyaannya, perangai
bagaimana yang perlu dimiliki oleh setiap pemimpin. Ternyata hasil usaha yang
dilakukan oleh para pakar sangat heterogen sehingga timbul keraguan terhadap
hasil tersebut. Sisi positifnya ialah meskipun tidak ada daftar yang menjamin
keberhasilan kepemimpinan, namun pembawaan yang terkait dengan keberhasilan
kepemimpinan dapat teridentifikasi.
Paradigma Teori Kepemimpinan
Perilaku
Setelah pada awal tahun
lima puluhan diketahui bahwa penyelidikan mengenai ciri-ciri kepemimpinan tidak
berhasil, para pakar dan peneliti kepemimpinan memulai mempelajari tingkah laku
pemimpin. Tingkah laku pemimpin lebih terkait dengan proses kepemimpinan.
Karena itu, ada dua dimensi utama kepemimpinan yang dikenal dengan nama
konsiderasi dan struktur inisiasi. Dua macam kecenderungan perilaku
kepemimpinan tersebut pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari masalah
fungsi dan gaya kepemimpinan.
Teori Gaya Keperilakuan
(Sumber: Diadaptasi dari Chapter Seventeen, Leadership, 2001,
The McGraw-Hill Company, Inc.)
·
Studi Ohio State University
mengidentifikasi dua dimensi penting perilaku pemimpin
(1)
Konsiderasi: menciptakan respek dan
kepercayaan timbal-balik dengan bawahan
(2)
Inisiasi struktur: mengorganisir dan
meredefinisi apa-apa yang akan dikerjakan oleh anggota kelompok
·
Studi Michigan University
mengidentifikasi dua gaya kepemimpinan yang sama dengan studi yang dilakukan
oleh Ohio State University.
= salah satu gaya terfokus pada pekerja dan gaya
yang satunya terfokus pada pekerjaan
· Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tidak ada satu gaya kepemimpinan yang terbaik.
Efektivitas gaya kepemimpinan tertentu tergantung pada situasi di mana gaya
tersebut diterapkan.
|
Berdasarkan tabel di atas
dapat dipahami bahwa perilaku pemimpin yang efektif melakukan konsiderasi
tergantung pada aspek berikut:
·
Kepuasan pengikut terhadap pemimpin tergantung
pada derajat konsiderasi yang ditunjukkan oleh pemimpin.
·
Konsiderasi pemimpin lebih berpengaruh terhadap
pengikut ketika pekerjaan tidak menyenangkan dan mendesak, dari pada ketika
pekerjaan menyenangkan dan tidak mendesak.
·
Pemimpin yang menunjukkan konsiderasi dapat
melakukan inisiasi struktur yang lebih banyak tanpa mengurangi kepuasan
pengikutnya.
·
Konsiderasi yang diberikan sebagai respons
terhadap kinerja yang baik akan meningkatkan kemungkinan kinerja yang baik di
masa depan.
Sedangkan
perilaku pemimpin yang efektif melakukan inisiasi struktur adalah:
·
Inisiasi struktur yang memperjelas peran
tambahan akan meningkatkan kepuasan.
·
Inisiasi struktur akan menyurutkan kepuasan
pengikut ketika struktur tersebut sudah tersedia.
·
Inisiasi struktur akan meningkatkan kinerja
ketika tugas tidak jelas.
·
Inisiasi struktur tidak akan mempengaruhi
kinerja ketika tugas jelas (Leadership, 2001: 2).
Uraian di atas memperjelas
bahwa teori kepemimpinan perilaku mencoba menjelaskan keunikan gaya yang
digunakan oleh pemimpin yang efektif, atau memahami sifat-sifat pekerjaan
pemimpin. Sepuluh peran manajerial dari Henry Minzberg merupakan salah satu
contoh teori kepemimpinan perilaku. Peneliti perilaku menekankan pada penemuan
cara mengklasifikasikan perilaku yang dapat memberikan pemahanan mengenai
kepemimpinan.
Paradigma Teori Kepemimpinan
Kontigensi
Pada mulanya, teori
kepemimpinan yang dibangun oleh Fiedler ini menekankan pada dua sasaran, yakni
melakukan idenfikasi faktor-faktor penting dalam situasi tertentu dan
memperkirakan gaya atau perilaku kepemimpinan yang paling efektif dalam situasi
tertentu. Hasil penelitian Fiedler menunjukkan bahwa, dalam situasi kerja
selalu ada tiga elemen yang menentukan gaya kepemimpinan yang efektif, yakni:
hubungan pemimpin dengan bawahan, struktur tugas dan ketangguhan posisi
pemimpin.
Teori kepemimpinan
kontingensi menjelaskan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan pemimpin, pengikut
dan situasinya. Paradigma teori ini menekankan pentingnya faktor situasional,
termasuk sifat pekerjaan yang dilakukan, lingkungan eksternal dan karakteristik
pengikut. Selain itu, dikenal pula teori kepemimpinan situasional (Robbins,
at.al., 1994: 483) yang dikembangkan dari teori kepemimpinan model kontingensi
Fiedler ini. Berdasarkan teori ini, gaya kepemimpinan yang paling efektif
adalah gaya kepemimpinan yang disesuaikan dengan tingakat kedewasaan bawahan.
Namun, Hersey dan Blanchard tidak merinci dan memberikan definisi kedewasaan
sebagai suatu tingkat kemantapan emosional.
Paradigma Teori Kepemimpinan
Integratif
Pada paruh sampai akhir
tahun 1970an, paradigma kepemimpinan mulai berubah menjadi paradigma integratif
atau teori kharismatik baru. Sesuai namanya, teori kepemimpinan integratif ini
memadukan teori pembawaan, perilaku dan kontingensi untuk menjelaskan
kesuksesan dan pengaruh hubungan antara pemimpin dan pengikut. Peneliti
berusaha menjelaskan mengapa pengikut pemimpin tertentu mempunyai keinginan
bekerja keras dan rela berkorban untuk mencapai tujuan kelompoknya. Di samping
itu, menjelaskan bagaimana seorang pemimpin secara efektif mempengaruhi
perilaku pengikutnya, serta mengapa perilaku pemimpin yang sama dapat membawa
dampak yang berbeda pada pengikutnya dalam situasi tertentu.
Pendekatan
Baru Terhadap Kepemimpinan
Dewasa ini, sejumlah
peneliti kepemimpinan kembali menggunakan teori sifat kepemimpinan, meskipun
dengan perspektif yang berbeda (Robbins, at.al., 1994: 497). Lima teori
kepemimpinan menurut pendekatan baru ini ialah teori atribusi, teori
kepemimpinan kharismatik dan teori kepemimpinan transaksional versus
transformasional. Selain itu, teori kepemimpinan pengembangan (Gilley dan
Maycunich, 2000) dan teori kepemimpinan super (Manz dan Sims, 2001) juga
merupakan gaya atau tipe kepemimpinan yang tergolong dalam perspektif ini.
Tinjauan tiga teori
kepemimpinan yang pertama – atribusi, kharismatik dan transaksional versus
transformasional – dapat diringkaskan dari beberapa sumber (Politis, 2001:
358-359; Politis, 2002: 188-190; Lussier dan Achua, 2001: 374-384 Bass dan
Burns dalam Haryono, 2002: 7-10) sebagai berikut.
Teori
Atribusi Kepemimpinan
Teori atribusi kepemimpinan
menjelaskan perbedaan hubungan sebab-akibat yang mempengaruhi orang. Bila
terjadi suatu peristiwa, pemimpin mencoba menghubungkannya dengan suatu
penyebab yang sifatnya internal dan eksternal. Dalam konteks kepemimpinan,
teori atribusi menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan astribusi yang dibuat
orang mengenai individu lain. Dengan menggunakan kerangka atribusi ini,
peneliti menemukan bahwa orang mencirikan pemimpin sebagai menyandang ciri
seperti kecerdasan, kepribadian, keramah-tamahan, keterampilan verbal yang
kuat, keagresifan, pemahaman dan kerajinan. Salah satu tema yang lebih menarik
dalam literatur teori atribusi kepemimpinan adalah persepsi bahwa pemimpin yang
efektif umumnya konsisten atau tidak bergeming dalam keputusan yang dibuat
(Robbins, et.al., 1994: 167, 497-498).
Teori
Kepemimpinan Kharismatik
Teori kepemimpinan
kharismatik merupakan suatu perluasan dari teori atribusi. Teori ini
mengemukakan bahwa para pengikut membuat atribusi dari kemampuan kepemimpinan
yang heroik atau luar biasa bila mengamati perilaku-perilaku tertentu. Beberapa
penulis telah mengidentifikasi karakteristik pribadi pemimpin kharismatik ini.
Robert House yang terkenal dengan gagasannya mengenai teori jalur-tujuan
mengidentifikasi tiga karakteristik pemimpin kharismatik, yakni: kepercayaan
diri yang luar biasa tinggi, kekuasaan dan keteguhan pada keyakinan yang dianut
(Robbins, et.al., 1994: 499-500).
Setelah Warren Bennis
mempelajari 90 pemimpin yang paling efektif dan sukses di Amerika serikat
disimpulkan bahwa pemimpin kharismatik mempunyai empat kompetensi yang sama
yakni: mempunyai visi atau pemahaman tujuan; dapat mengkomunikasikan visinya
dalam kata-kata yang jelas sehingga para pengikutnya dapat dengan mudah
memihak; dapat menunjukkan konsistensi dan fokus dalam memburu visi
kepemimpinannya; dan tahu kekuatannya sendiri dan memanfaatkannya. Selain itu,
analisis yang paling menyeluruh telah dirampungkan oleh Congger dan Kanungo
dari Universitas McGill. Sebagian kesimpulan yang dibuat menyatakan bahwa
pemimpin kharismatik memiliki tujuan ideal yang ingin dicapai, memiliki
komitmen pribadi yang kuat pada tujuan, tidak konvensional, tegas dan percaya
diri, serta sebagai agen perubahan radikal, bukan manajer dari status quo.
Menurut Bass (1985) bahwa
kharisma adalah bagian penting dari kepemimpinan transformasional, namun
kharisma itu sendiri tidak cukup untuk proses transformasional. Pemimpin
kharismatik lebih dari sekedar percaya diri pada keyakinannya, melainkan pula
melihat dirinya sendiri seperti mempunyai suatu tujuan dan takdir supranatural.
Sementara itu, pengikutnya bukan saja mempercayai dan menghormati pemimpin yang
kharismatik, melainkan pula memuja dan menyembah pemimpinnya sebagai seorang
pahlawan yang melebihi manusia atau tokoh spiritual. Pemimpin kharismatik
dipandang memiliki kebesaran, sekaligus menjadi katalisator mekanisme
psikodinamik pengikutnya.
Seorang pemimpin
kharismatik lebih besar kemungkinannya akan lahir manakala para pengikut
membagi sama norma-norma, keyakinan dan fantasi yang dapat dijadikan sebagai
basis bagi seruan emosional dan rasional oleh pemimpin tersebut. Namun, Bass
juga menyatakan bahwa tanggapan seseorang terhadap pemimpin kharismatik
kemungkinannya akan sangat terpolarisasi, karena pemimpin kharismatik dicintai
oleh beberapa orang namun dibenci oleh yang lainnya. Tanggapan yang
terpolarisasi ini membantu menjelaskan mengapa demikian banyak pemimpin politik
yang kharismatik menjadi sasaran pembunuhan.
Kata akhir yang perlu
dipahami dalam hal ini ialah kepemimpinan kharismatik mungkin tidak selalu
diperlukan untuk mencapai tingkat kinerja karyawan yang tinggi. Namun, pemimpin
kharismatik mungkin paling tepat jika tugas pengikut memiliki suatu komponen
ideologis. Hal ini dapat menjelaskan mengapa pemimpin kharismatik lebih
dimungkinan muncul dalam konteks politik, agama, waktu perang atau apabila suatu
perusahaan bisnis memperkenalkan suatu produk yang benar-benar baru (baca:
produk kreatif dan inovatif) atau menghadapi suatu krisis yang mengancam
kehidupannya.
Kepemimpinan
Transaksional versus Transformasional
Hasil studi
terakhir yang menarik mengenai dua gaya kepemimpinan ini adalah perhatian yang
diberikan pada perbedaan pemimpin transformasional dari pemimpin transaksional.
Padahal, pemimpin transformasional juga kharismatik. Karena itu, seringkali
terjadi tumpang-tindih topik ini dengan pembahasan kepemimpinan kharismatik.
Burns membedakan
kepemimpinan transformasional dan kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan
transaksional memotivasi pengikutnya dengan menunjuk pada kepentingan diri
sendiri. Burns juga membedakan kepemimpinan transaksional dan kepemimpinan yang
mentransformasi pengaruh yang ditunjukkan berdasarkan pada kekuasaan
birokratis. Organisasi birokratis lebih menekankan pada kekuatan legitimasi dan
lebih menghormati peraturan serta trandisi, dari pada pengaruh yang didasarkan
atas pertukaran atau inspirasi. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa
kepemimpinan merupakan suatu proses, bukan sejumlah tindakan yang mempunyai
ciri-ciri sendiri. Burns menjelaskan kepemimpinan sebagai sebuah arus antar
hubungan yang berkembang, di mana pemimpin secara terus-menerus membangkitkan
tanggapan motivasi dari pada pengikut dan memodifikasi perilaku pengikutnya
pada saat menghadapi tanggapan atau perlawanan, dalam sebuah proses dan arus
balik yang tidak pernah berhenti.
Bass (1985)
memperkenalkan teori kepemimpinan transformasional yang dibangun berdasarkan
gagasan awal dari Burns (1978). Pengikut pemimpin transformasional merasa
adanya kepercayaan, kekaguman, kesetiaan dan adanya rasa hormat terhadap
pemimpinnya dan bawahan tersebut termotivasi untuk melakukan lebih dari pada
apa yang diharapkan darinya. Pemimpin mentransformasi dan memotivasi
pengikutnya dengan cara: (1) membuat pengikutnya lebih sadar mengenai arti
penting hasil suatu pekerjaan yang dilakukan; (2) mendorong pengikutnya untuk
lebih mementingkan tim atau organisasi dari pada kepentingan dirinya sendiri;
dan (3) mengaktifkan kebutuhan pengikutnya pada level yang lebih tinggi.
Formulasi
teori Bass (1985) mencakup tiga unsur kepemimpinan transformasional, yakni:
kharisma, stimulasi intelektual dan perhatian yang diindividualisasi. Kharisma
didefisinikan sebagai sebuah proses yang padanya seorang pemimpin mempengaruhi
para pengikutnya dengan menimbulkan emosi-emosi yang kuat dan identifikasi
dengan pemimpin tersebut. Stimulasi intelektual ialah suatu proses yang di
dalamnya pemimpin meningkatkan kesadaran pengikut terhadap berbagai masalah dan
mempengaruhi para pengikutnya untuk memandang berbagai masalah dari perspektif
yang berbeda. Perhatian yang diindividualisasi termasuk di dalamnya memberi
dukungan, membesarkan hati dan memberi pengalaman tentang perkembangan kepada
para pengikutnya. Sementara itu, kepemimpinan transaksional diartikan sebagai
sebuah pertukaran imbalan untuk mendapatkan kepatuhan.
Berdasarkan
pengertian di atas, jelas bahwa Bass mendefinisikan kepemimpinan transaksional
dalam arti yang lebih luas dari pada Burns. Salah satu komponen perilaku
transaksional yang disebut perilaku contingent rewards mencakup
kejelasan mengenai pekerjaan yang diharapkan memperoleh imbalan dan menggunakan
insentif dan contingent rewards untuk mempengaruhi motivasi. Komponen
kedua yang disebut active management by exception, mencakup pemantauan
para bawahan dan tindakan memperbaiki untuk memastikan bahwa pekerjaan tersebut
telah dilaksanakan secara efektif. Komponen ketiga yang disebut passive
management by exception ditambahkan oleh Bass dan rekannya. Termasuk ke
dalam komponen ini adalah penggunaan contingent punishment dan tindakan
perbaikan sebagai tanggapan atas penyimpangan dari standar kinerja. Bass
memahami kepemimpinan transformasional dan transaksional sebagai proses yang
berbeda namun tidak saling menafikan. Selain itu, Bass mengakui bahwa pemimpin
yang sama dapat menggunakan kedua jenis kepemimpinan tersebut pada waktu dan
situasi yang berbeda.
Kepemimpinan Transaksional versus
Kepemimpinan Kharismatik
(Sumber: diadaptasi dari Chapter Seventeen, Leadership, 2001,
The McGraw-Hill Company, Inc.)
Kepemimpinan
Transaksional: terfokus pada interaksi interpersonal
antara pemimpin dan para pengikut
·
Pemimpin Transaksional
-
Menggunakan ganjaran kontingen untuk
memotivasi pengikutnya
-
Tindakan koreksi hanya dilakukan manakala
pengikutnya gagal mencapai tujuan kinerja yang diharapkan
Kepemimpinan Kharismatik:
menekankan perilaku pemimpin simbolik yang mentransformasi para pengikut
untuk memprioritaskan tujuan bersama lebih dari kepentingan pribadi.
·
Pemimpin Kharismatik
-
Menggunakan pesan-pesan visioner dan
inspirasional
-
Berdasar pada komunikasi non-verbal
-
Menyerukan nilai-nilai ideologis
-
Berupaya menstimulasi pengikutnya secara
intelektual
-
Menunjukkan kepercayaan diri dan para
pengikutnya
- Menetapkan
harapan kinerja yang tinggi
|
Kebanyakan teori
kepemimpinan yang disajikan sebelumnya – misalnya studi Ohio, model Fiedler,
teori jalur tujuan dan model partisipasi pemimpin – memperkuat konsep
kepemimpinan transaksional. Pemimpin jenis ini memandu dan motivasi pengikutnya
ke arah tujuan yang ditetapkan. Kepemimpinan transformasional dibangun di atas
“fondasi” kepemimpinan transaksional, sehingga menghasilkan tingkat upaya dan
kinerja bawahan yang melampaui apa yang terjadi dengan pendekatan transaksional
semata. Lebih dari itu, kepemimpinan transformasional lebih dari pada pemimpin
kharismatik. Pemimpin yang semata-mata kharismatik dapat menghrapkan pengikutnya
mengadopsi perspektif pemimpin kharismatik dan tidak beranjak lebih jauh.
Sementara itu, pemimpin transformasional berupaya menanamkan dalam diri
pengikutnya kemampuan untuk mempertanyakan tidak hanya pandangan yang mapan,
melainkan pula pandangan yang ditetapkan oleh pemimpin.
Perbandingan Tipe
Kepemimpinan
Perbandingan tipe
kepemimpinan yang dibahas berikut ini diwakili oleh tipe The Strong Man, The
Transactor, Visionary Hero dan Superleader (Manz and Sims, 2001: 39). Pertama,
the Strongman menggunakan kewenangan dalam posisinya untuk mempengaruhi
orang lain agar tunduk kepadanya karena rasa takut. Perilaku the strongman
yang paling umum adalah menginstruksikan, memerintah dan mengintimidasi.
Kedua, the Transactor,
dikategorikan ke dalam tipe hubungan pertukaran pemimpin dengan bawahan (orang
lain). Pemimpin menanamkan pengaruh melalui dispensasi imbalan dalam pertukaran
sehingga pengikut mentaati apa yang diinginkan oleh pemimpin. Perilaku yang
paling banyak digunakan oleh pemimpin ini ialah ganjaran personal dan material
sebagai balikan dari upaya, kinerja dan loyalitas orang terhadap
kepemimpinannya (bandingkan dengan Model Teori Pertukaran Pemimpin-Anggota).
Model Pertukaran Pemimpin-Anggota
(Sumber: diadaptasi dari Chapter Seventeen, Leadership, 2001,
The McGraw-Hill Company, Inc.)
·
Model ini didasarkan pada gagasan bahwa
satu dari dua tipe khusus mengembangkan hubungan pertukaran timbal balik
pemimpin-anggota, dan pertukaran itu berhubungan dengan luaran pekerjan
penting.
-
pertukaran dalam kelompok: kemitraan yang
dicirikan dengan rasa saling percaya, respek dan menyukai
-
pertukaran di luar kelompok: kemitraan
yang ditandai dengan kurangnya rasa saling percaya, respek dan menyukai.
·
Hasil penelitian mendukung model ini.
|
Ketiga, the Visionary Hero
dicirikan dengan kemampuan yang dimiliki oleh pemimpin untuk menciptakan
motivasi yang tinggi dan menyerap visi masa depan. Pemimpin ini memiliki
kapasitas untuk memberi kekuatan kepada orang lain untuk merealisasikan visi
yang ditetapkan. Jenis kepemimpinan ini terutama menyangkut proses pengaruh
atas-bawah. Pemimpin merupakan sumber kebijakan dan arahan, serta cenderung
menempati posisi sentral, sementara peran pengikut memudar dalam bayang-bayang
pemimpin. Kewenangan pemimpin didasarkan pada kapabilitas yang dimiliki dalam
membangkitkan komitmen pengikutnya terhadap visi pemimpin.
Keempat, the
Superleadership, yaitu pemimpin yang mengarahkan orang lain agar dapat
mengarahkan dirinya sendiri. Pemimpin super dikenal pula sebagai pemimpin
pemberdaya. Tipe pemimpin ini terutama terfokus pada bawahan. Pemimpin menjadi
“super” – memiliki kekuatan dan kebijaksanaan sejumlah orang – karena membantu
melejitkan kemampuan para pengikut yang mengelilinginya (Manz dan Sims, 2001:
45).
Kepelayanan dan Kepemimpinan Super
(Sumber: Manz dan Sims, 2001; Chapter Seventeen, Leadership, 2001,
The McGraw-Hill Company, Inc.)
·
Merepresentasikan filosofi kepemimpinan
mengenai pemimpin yang lebih terfokus pada peningkatan pelayanan terhadap
orang lain (orang banyak) dari pada untuk orang tertentu.
·
Pemimpin super adalah orang yang
mengarahkan orang lain untuk mengarahkan dirinya sendiri melalui pengembangan
keahlian manajemen para pekerja
·
Pemimpin super berusaha meningkatkan
perasaan pengendalian diri dan motivasi intrinsik pekerja
|
Tugas pemimpin super adalah
membantu pengikut mengembangkan keahlian kepemimpinannya secara mandiri agar
memberikan sumbangan yang lebih besar kepada organisasi. Pemimpin super
mendorong inisiatif pengikutnya, mendorong rasa tanggung jawab individu, rasa
percaya diri, penetapan tujuan diri sendiri, pemikiran peluang positif dan
pemecahan masalah sendiri. Dengan kata lain, pemimpin super memberdayakan
bawahannya sehingga gaya kepemimpinan ini bisa dianggap sebagai tipe pemimpin
pemberdaya. Luaran perilaku yang dihasilkan oleh tipe kepemimpinan super ialah
kinerja jangka panjang tinggi, kepercayaan diri para pengikut tinggi,
pengembangan pengikut tinggi, fleksibiltas sangat tinggi, inovasi tinggi, mampu
bekerja tanpa pemimpin dan mengandalkan kerjasama tim.
Penutup
Peta konsep
dan gaya kepemimpinan yang dikemukakan di atas memberi pemahaman tentang
keberagaman perspektif setiap pakar dalam memahami karakteristik manusia yang
akan memimpin atau dipimpin. Keberagaman gaya kepemimpinan ini juga meneguhkan
arti penting dan peranan kepemimpinan dilihat dari dimensi ruang – di
rumah, di sekolah dan di masyarakat atau di kelompok mana saja – dan dimensi
waktu – dulu, saat ini, dan di masa datang, termasuk di hari kiamat, karena
orang beragama meyakini bahwa setiap individu akan dimintai pertanggungjawaban
atas kepemimpinannya. Karena itu, artikulasi teori dan gaya kepemimpinan pada
tataran ilmiah akan membawa implikasi multi-dimensional terhadap basis teoritis
dan representasi perilaku aktor yang memerankan gaya kepemimpinan tertentu.
Tipe pemimpin penentang yang menganut teori reward and punishment
cenderung akan menampilkan perilaku yang suka mengintimidasi dan mencercah atau
sebaliknya memberikan penguatan (berupa kata-kata, tindakan, hampiran, kinesik,
uang, benda berharga, termasuk piagam, piala, dan THR). Selanjutnya, bagi
pemimpin yang bertipe transaksional yang dimotivasi oleh teori pengharapan (Vroom, 1964), teori keadilan (Adams,
1963), teori jalur-tujuan (House, 1971)
atau teori pertukaran (Homan, 1958), cenderung suka mengusulkan upah personal
dan material atau mengelola melalui pengecualian (aktif dan pasif). Demikian
pula dengan pemimpin transformasional yang menganut teori sosiologi kharisma
(Weber, 1946, 1947), teori kepemimpinan kharismatik (House, 1977) atau teori
kepemimpinan perubahan (Burns, 1978), cenderung akan mengusulkan visi,
mengekspresikan idealisme dan memberi penghargaan yang tinggi terhadap kinerja
yang baik. Semoga.
Daftar Bacaan
Bass, B.M. 1985. Leadership and
Performance Beyond the Expectations, Pree Press New York.
Bass B.M. dan Avolio, B.J. 1993. Transformational Leadership dan
Organizational Culture. Public Administration Querterly, 17(1): 112-17
Bycio et al., 1995. Conceptualization
of Transactional and Transformational Leadership., Journal of Aplied
Psychology, 80(4):468-78
Boje, David M. 2000. Flight
of The Buffalo and Other Superleader Model, http://www.
Bowser D.G. dan
Seashore, S.E. 1966. Predicting Organizational Effectivess with a Four
Factor Theory of Leadership. Administrative Science Quartely, 11, p.
238-63.
Champy, James. 1995. Reengineering Management The Mandate For New
Leadership, Herper Collins Publishing.
Darcy T. dan Kleiner, B.H. 1991. Leadership for Change
in a Turbulent Environment. Leadership and Organization Development Journal, 12 (5), p. 12-16.
Fiedler, F.E.1967. A Theory of Leadership
Effectivenss, New York: McGraw-Hill.
French, Wendell L., at.al. (ed.) 2000. Organization Development and
Transformation: Managing Effective Change, Irwin McGrall-Hill Singapore.
Gibson, Ivancevich and Donnelly. 1994. Organizations, Erlangga
Jakarta.
Gilley, Jerry W. and Ann Maycunich. 2000. Beyond the Learning
Organization, Perseus Books Cambridge, Massachusetts.
Hennessey, J.T. 1998. Reinventing
Government: Does Leadership Make the Difference? Public Administration
Review 58 (6), p. 522-32.
House, R.J. 1971. A Path-Goal
Theory of Leadership. Journal of Comtemporary Business 3, p. 81-97.
Howell, J.M. dan Avolio, B.J. 1993. Transformational
Leadership,Transactional Leadership, Locus of Control Support for Innovation,
Journal of Applied Psychology 78, p. 891-902.
Kotter, John P. 1996. Leading To Change, Harvard Business School
Press.
Leonard-Barton, Dorothy. 1995. Wellsprings of Knowledge, Harvard
Business School Press.
Lloyd, Bruce. 1998. Understanding
the Power, Responsibility, Leadership and Learning Links: The Key to Successful
Knowledge Management, Journal of Systemic Knowledge Management.
Lussier, Robert N. and Christopher F. Achua. 2001. Leadership: Theory,
Application, Skill Development, South-Western College Publishing, United
States.
Manz, Charles C and
Henry P. Sims Jr. 2001. The New Super Leadership: Leading Others to Lead
Themselves, Berrett-Koehler Publishers, Inc., San Francisco.
Politis, John D. Transformational and Transactional Leadership Enabling
(Disabling) Knowledge Acquisition of Self Managed Team: The Consequences for
Performance, Leadership and Organization Development Journal, 23 April
2002.
____________. The Relationship of Various Leadership Style to Knowledge
Management, Leadership and Organization Development Journal, 22 Agustus
2002.
Rachmany, Hasan. 2003. Pengaruh Kepemimpinan Terhadap Kinerja Ditjen
Pajak, Proposal Disertasi Ilmu Administrasi FISIP Universitas Indonesia.
Robbins, Stephen, et.al. 1994. Organizational Beharviour: Concepts,
Controversies and Applications, Prentice-Hall Australia and New Zealand.
Sadler, Philip, 2003. Leadership, Kogan
London.
Scaborough, Jle D. 2001. Transforming Leadership in the
Manufacturing Industry. http; Journal Industrial Technology.
Schein, Edgar H. 1992. Organizational Culture and
Leadership, Jossey-Bass Publishers San Francisco.
Stoner, James A.F dan R. Edward Freeman. 1989. Management,
Prentice-Hall of India.
Suarjaya, I Wayan dan Haedar Akib. Gaya Kepemimpinan
Yang Terlupakan: Developmental Leadership, Manajemen USAHAWAN No. 11/TH.
XXXII Nopember 2003, h. 42-48.
Taffinder, P., 1995. The New Leaders: Achieving
Corporate Transformation Through Dynamic Leadership. London: Kogan Page.
Vroom V. dan Yetton, P. 1974. Leadership
and Decision Making, Pittsburgh, PA: University of Pittsbyrgh Press.
Yulk, Gary. 1994. Kepemimpinan Dalam Organisasi,
Prenhallindo Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar