1. Masyarakat Bahasa dan Redefinisinya
Salah satu asumsi pokok kelahiran Sosiolinguistik
sebagai cabang ilmu Bahasa adalah bahwa masyarakat
bahasa bersifat heterogen, baik antara satu masyarakat bahasa dengan
masyarakat bahasa lainnya, atau pula di antara anggota dalam masyarakat bahasa
yang sama. Heterogenitas itu ditandai oleh berbagai perbedaan sosial seperti
status sosial, peran sosial, jenis kelamin, umur, latarbelakang etnik,
lingkungan, pendidikan, dan agama. Ada
perkembangan yang cukup berarti setelah dua dekade belakangan ini mengenai
batasan masyarakat bahasa. Bagi Dell Hymes (1972), masyarakat bahasa adalah
semua anggota masyarakat tidak hanya menggunakan satu aturan yang sama secara
bersama-sama dalam berbicara, tetapi juga menggunakan setidak-tidaknya satu
variasi bahasa yang sama. Hymes memandang bahwa syarat aturan (rules) dan variasi (variety) yang sama harus dimiliki oleh setiap anggota masyarakat,
jika ia ingin diakui dalam lingkup masyakarakat bahasa yang sama.
Pandangan di atas mulai bergeser ketika orang sudah
dapat mengerti satu sama lain walaupun mereka menggunakan aturan dan variasi
yang berbeda. Pergeseran ini terjadi akibat desakan zaman yang umum dikenal
sebagai globalisasi atau pensejagatan yang benar-benar tidak terbendung lagi.
Penduduk dengan segala atribut yang mengikutinya, tidak terkecuali bahasa, berpindah
secara geografis atau maya dalam ruang yang nyaris tidak berbatas. Teknologi
transportasi yang canggih telah memudahkan orang berpindah tempat, dan
teknologi maya yang super canggih telah pula memudahkan orang untuk
berkomunikasi tanpa harus bergerak dari tempat tinggalnya. Web pengetahuan
bahasa lokal, regional, maupun internasional semakin bertambah dalam pikiran
orang-orang yang menggunakan jasa teknologi di atas, bahkan orang-orang semacam
ini semakin lama semakin banyak jumlahnya. Walaupun realitas akan terus
bergerak, namun definisi masyarakat bahasa pun sewajarnya diredefinisi seperti
dikemukakan Spolsky (2003: 24) bahwa aturan-aturan itu bisa saja sama atau
berbeda. Baginya, ketika semua orang berbicara dalam satu bahasa dengan
menggunakan fonologi dan tatabahasa yang sama atau berbeda secara bersama-sama,
ketika itu mereka dapat dikategorikan sebagai satu kelompok masyarakat bahasa.
Tentunya bahasa yang digunakan tidak menjadi kendala terhadap pemahaman mereka
satu sama lain.
Batas-batas yang semakin mencair sebenarnya menyulitkan
orang untuk mengidentifikasi secara persis si A termasuk anggota masyarakat
bahasa A, dan si B termasuk anggota masyarakat B karena fenomena seseorang
menjadi multilingual sekaligus multikultural sekarang ini sangat mungkin
terjadi. Fenomena yang terus bergulir ini semakin menemukan titik terang
terhadap asumsi awal kaum sosiolinguis yang bersikukuh bahwa masyarakat bahasa
tidak pernah ideal dalam sifat kehomogenan, sebaliknya masyarakat bahasa selalu
heterogen, bahkan mutlak heterogen.
Yang menarik dari heterogenitas itu adalah bahwa
realitas perbedaan sosial memberi atau memperoleh dampak pemakaian bahasa. Semua
dampak yang ditimbulkan dalam pemakaian bahasa ini dipelajari dalam kerangka
etnografi komunikasi. Dalam studi sosiolinguistik, etnografi komunikasi ini
merupakan akses untuk meneliti fenomena kebahasaan lebih mendalam karena dalam
upaya pemerian komunikasi inilah terkandung unsur-unsur bahasa yang dituturkan
secara alami (naturally occuring language)
berikut dengan segenap konteks yang mempengaruhinya. Clifford Geertz,
antropolog dunia yang terkenal karena banyak penelitiannya dilakukan di Jawa,
menyatakan bahwa untuk memahami sebuah ilmu yang pertama harus diamati bukanlah
teori-teori atau hasil penemuannya, bukan pula pembelaannya, tetapi lihatlah
apa yang dilakukan oleh pemakai ilmu itu. Apa yang dilakukan mereka adalah
etnografi. Dalam konteks ilmu antropologi, etnografi yang dimaksud adalah
sebuah deskripsi perilaku dalam sebuah kebudayaan tertentu yang dihasilkan dari
kerja lapangan (fieldwork). Lebih
spesifik, Geertz berpendapat bahwa etnografi adalah upaya menginterpretasikan
makna suatu perilaku yang mengacu pada pengelompokan budaya tempat perilaku itu
dihasilkan, dirasakan, dan ditafsirkan. Konsep-konsep ini tentunya sangat
bermanfaat menjadi dasar dalam kajian Sosiolinguistik berikutnya.
2. Etnografi Komunikasi dan
Etnografi Berbicara
Sebelum istilah etnografi komunikasi
semakin populer dipakai, istilah etnografi berbicara (ethnography of speaking) lebih awal diacu sebagai pemerian
pemakaian bahasa lisan. Etnografi komunikasi menjadi lebih luas karena tidak
hanya melingkupi modus komunikasi lisan (speaking),
tetapi juga melibatkan komunikasi tulis (writing)
serta komunikasi isyarat (gesture), gerakan
tubuh (kinesics), atau tanda (signing). Pemakaian tuturan Apa khabar?, Comment alle vous? (bahasa Perancis), Hoe gaat het? (bahasa Belanda) dengan arti yang sama tentu saja
berbeda modus kemunculannya dengan tuturan Dengan
hormat, Dear Sir, Beste Meneer, Hormat kami, sincerely yours. Kelompok
tuturan pertama terjadi dalam modus lisan, sebaliknya kelompok tuturan kedua
hanya muncul dalam modus tulis. Kedua modus ini juga sangat berbeda dengan
modus komunikasi isyarat, bahasa tubuh atau tanda yang menggunakan anggota
badan atau alat. Orang Indonesia
akan menganggukkan kepalanya untuk
menyatakan makna setuju, tetapi orang India justru mengayunkan kepala
dengan membentuk gerakan angka 8 untuk makna yang sama. Orang Tibet menggesek-gesekkan hidungnya dengan hidung
teman untuk menyatakan selamat datang, sedangkan orang Indonesia melakukan hal yang sama
dengan saling berjabat tangan. Menariknya lagi, Orang Tibet akan menjulurkan lidahnya sebagai sapaan
untuk menyambut tamu, yang bagi orang Indonesia tindakan demikian
diartikan mengejek. Sebaliknya sapaan untuk menyambut tamu orang Indonesia
menyatakan selamat datang sambil mempersilahkan masuk dan seterusnya. Kalau orang Indonesia menjulurkan tangannya ke
bawah sambil berjalan membungkukkan badan pertanda ia meminta permisi untuk
minta lewat di hadapan orang lain, tetapi bagi orang Arab, mereka justru
memegang kepala orang yang dilewatinya. Orang Jepang menggenggam keempat
jemarinya kecuali kelingking untuk menyatakan makna perempuan, sebaliknya orang
Indonesia
mengartikan tindakan demikian sebagai pernyataan anggap remeh atau enteng
terhadap seseorang atau sesuatu hal.
Di samping contoh-contoh di atas, tentunya masih banyak
lagi komunikasi nonverbal yang terdapat sebuah masyarakat bahasa. Hampir semua anggota badan dapat
mengkomunikasikan makna tertentu sesuai dengan apa yang dipahami masyarakatnya.
Demikian pula pemakaian alat atau benda-benda juga memberi arti tersendiri bagi
sebuah masyarakat tertentu. Pakaian berwarna putih yang dikenakan seorang
perempuan india
misalnya dimaknai sebagai pernyataan ditinggal mati sang suami. Penggunaan
pluit untuk mengirimkan pesan morse juga termasuk dalam kategori ini.
Perbedaan mendasar antara satu komunitas dengan
komunitas lainnya dalam hal komunikasi lisan, tulis, isyarat, gerakan tubuh,
dan tanda turut membangun kaidah-kaidah bahasa. Selain itu, prinsip dasar
etnografi komunikasi juga memerikan perbedaan aturan berbicara (rule of speaking), misalnya kapan harus berbicara
dan kapan harus diam (lih. Fasold, 1990: 40). Aturan berbicara ini bisa sangat
berbeda antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. Kebanyakan Orang Amerika Kulit Putih Kelas Menengah mematuhi
kaidah pergantian percakapan “no gap, no
overlap” (tidak ada kesenyapan, tidak ada tumpang tindih) (Schegloff,
1972). Dalam sebuah percakapan, mereka berbicara saling bergantian agar tidak
tumpang tindih. Jika yang satu berbicara, yang lain mendengarkan. Kaidah percakapan
ini disebut “no overlap.” Sebaliknya,
jika keduanya diam lebih dari beberapa detik,
mereka justru tidak merasa nyaman. Seseorang akan mengisinya dengan
percakapan yang tidak penting agar “tidak ada gap” dalam komunikasi tersebut.
Reisman (1974) menemukan kaidah yang berbeda pada masyarakat Antigua . Mereka
cenderung berbicara saling tumpang tindih. Yang satu berbicara yang lain
menimpali pada saat yang sama. Dengan cara ini, mereka tidak mengikuti kaidah
percakapan yang “no overlap.” Saville-Troike (1982) melaporkan bahwa orang
Indian Amerika justru biasa menunggu beberapa menit sebelum seseorang
menjawab pertanyaan atau mengambil alih pembicaraan. Demikian pula halnya
dengan masyarakat Lapp di Swedia Bagian
Utara tempat Reisman (1974: 112) tinggal.
Gap percakapan sudah menjadi bagian dari cara berbicara mereka.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa
etnografi komunikasi adalah semua bentuk pemerian komunikasi yang bermakna baik
menggunakan tuturan verbal maupun isyarat, bahasa tubuh atau tanda nonverbal.
Dalam kajian kebahasaan pada umumnya, hanya tuturan verbal yang diperlakukan
sebagai objek kajian sedangkan sisanya dianggap sebagai konteks. Pemerian
pemakaian tuturan verbal saja disebut etnografi berbicara, dalam hubungan ini
modus komunikasi tulis juga dikategorikan objek kajian sosiolinguistik karena
media cetak juga memberi perbedaan pada pemakaian bahasa. Dalam wacana yang
lebih umum, bahasa tulis, kendatipun berbeda, sebenarnya merupakan bentuk
pencatatan dari komunikasi lisan. Dewasa ini etnografi komunikasi boleh saja dipandang
sebagai bentuk perluasan dari etnografi berbicara, namun aspek-aspek nonverbal tadi
sekali lagi hanya diperlakukan sebagai konteks yang mempengaruhi makna tuturan.
Akibatnya, aspek-aspek nonverbal tersebut tidak menjadi tujuan dalam penelitian
sosiolinguistik.
Menurut Hymes (1962/1968: 101), ada
empat hal pokok yang diuraikan dalam sebuah etnografi berbicara, yaitu pemerian
situasi, pemakaian, struktur, dan fungsi aktivitas berbicara tersebut. Namun
demikian, di balik pendekatan struktural-fungsional yang disarankan Hymes
tersebut, hakikat etnografi bagi Milroy (1987: 172) bertujuan menyelidiki
aturan-aturan berbicara (rules of
speaking). Aturan-aturan berbicara ini dianalisis berdasarkan faktor-faktor
situasional yang mempengaruhi pemilihan kode bahasa.
Aturan berbicara (rules of speaking) sebaiknya dibedakan
dengan norma bicara (norms of speaking).
Walaupun keduanya menjadi lahan pemerian sebuah pendekatan etnografi, namun
fungsinya bagi pemakai bahasa juga berbeda.
Norma berbicara sesuai namanya dapat dipahami sebagai etika yang
membatasi bagaimana komunikasi yang diinginkan, tepat atau tidak tepat, pantas
atau tidak pantas sesuai konteksnya. Oleh karena itu, norma berbicara
diperlukan pemakai bahasa sebelum berbicara, dan norma ini menjadi pengetahuan
praktis pemakainya. Di sisi lain, aturan berbicara merupakan hasil akhir kajian
terhadap aktivitas berbicara. Sebagaimana ditandaskan sebagai tujuan etnografi
bagi Milroy, norma menjadi bersifat teoretis dan ia berada di luar kemampuan
pemakaian bahasa. Dengan kata lain, norma berbicara adalah aspek internal
bahasa, sedangkan aturan atau kaidah bahasa merupakan aspek eksternal bahasa.
Disimak
dari teori fungsi yang banyak dikemukakan para ahli, fungsi bahasa terpokok dapat
diperas menjadi dua, yaitu fungsi interaksional dan fungsi ideasional, yang
pertama berfungsi untuk membina atau mempertahankan hubungan sosial dan yang
terakhir berfungsi untuk menyampaikan informasi atau gagasan. Sejalan dengan
dengan fungsi bahasa ini, aktivitas
berbicara seyogyanya pula dapat diformalkan dalam dua bentuk, yaitu bentuk
fatis dan bentuk pikiran. Klasifikasi dikotomis semacam ini tidak bertentangan
dengan pendapat Bronislaw Malinowski (1949) yang mengatakan bahwa aktivitas
berbicara yang pertama lebih menekankan pada modus aksi (mode of action), sedangkan aktivitas berbicara yang kedua cenderung
menekankan modus kognisi (mode of thought).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar