Liberalisme
adalah sebuah jargon ideologi di luar agama dan memenuhi wacana kehidupan
ekonomi, sosial maupun politik. Namun, belakangan liberalisme juga memasuki
wacana keagamaan, dan bahkan juga muncul gerakan liberalisme pemikiran dalam
tubuh umat Islam di Indonesia. Gerakan ini pada intinya menghendaki pembebasan
diri dari berbagai belenggu pemikiran sempit dalam pemikiran dan pemahaman atas
ajaran agama.
Eksponen
gerakan ini sangat memuja pentingnya "kemerdekaan" manusia. Manusia
haruslah terbebas dari berbagai penjara, termasuk "penjara" pemikiran
orang-orang terdahulu. Oleh karena itu, penganut perspektif liberal memandang
bahwa pemahaman dan juga pengamalan atas ajaran agama haruslah dibebaskan dari
semua bentuk penafsiran yang pernah ada, dan sebaliknya mengedepankan kemampuan
subyektif masing-masing individu dalam memahami ajaran di tengah kehidupan
sejarah —kapan dan di mana mereka hidup. Pemahaman atas ajaran yang dilakukan
oleh pemikir-pemikir terdahulu boleh diambil sebagai inspirasi, dan bukan
sebagai bingkai yang mendekte serta membatasi ruang gerak.
Perspektif
liberal mengakui adanya "hystrocal
bloc" atau pemetaan tahapan sejarah, dan masing-masing bloc atau tahapan sejarah memiliki
identitasnya (hystorical identity) masing-masing.
Setiap identitas sejarah, memiliki karakter pertanyaan, persoalan dan cara
memahami, menjawab serta memecahkannya. Oleh karena itu pemahaman atas ajaran
agama haruslah memiliki konteks yang kuat dengan perjalanan sejarah, sesuai
dengan tingkat perkembangan kultural, sosial maupun politis yang melatar
belakanginya. Dengan demikian keanekaragaman sejarah diakui, dan sebagai
implikasinya juga tolerans terhadap berbagai perbedaan pemahaman keagamaan.
Eksponen
gerakan ini, dalam upaya menegakkan "kerajaan Tuhan" atau dalam
menjalankan fungsi "khalifatullah fil ardl," tidak terlalu mementingkan faktor-faktor
simbolik-formalistik, melainkan menekankan segi-segi substantifistik. Oleh karena itu, gerakan ini sering dikatakan sebagai
penganut perspektif pemikiran substansialistik.
Salah satu prinsip Liberalisme adalah penghormatan kepada kemanusiaan, dan
oleh karena itu kemudian mengedepankan pentinganya kesetaraan dan kesedarajatan
(equality). Eksponen pergerakan ini memandang semua manusia sama kedudukannya.
Tidak boleh ada klaim dari lapisan atas sebagai komunitas atau individu yang
memiliki nilai lebih dan sembari mengklim lapisan bawah adalah masyarakat yang
sarat kelemahan. Kelebihan hanya bisa dilakukan dengan cara mengenakan standart
keimanan dan ketaqwaaan. Semua manusia sama, hanya keimanan dan ketaqwaaan saja
yang boleh membedakan. Keimanan dan ketaqwaan dalam hal ini bukanlah sesuatu
yang bersifat askribtif (diterima begitu saja sebagaimana sebuah warisan)
melainkan sebuah capaian (achivement) yang memerlukan kerja keras
(baca: ikhtiar)..
Kritik yang bisa diberikan atas liberalisme, kiranya adalah bahwa perspektif ini
mengedepankan pengakuan atas kemampuan individual. Sementara dalam praktek
kemampuan individual sangatlah beragam. Ada individu yang memiliki kemampuan
tinggi, baik karena potensi internal maupun karena dukungan
eksternal-struktural, namun tidak jarang yang tidak berdaya, baik karena faktor
internal maupun faktor struktural.
Perbedaan-perbedaan kapasitas tersebut secara tak terelakkan memunculkan
batas-batas hirarkis atas-bawah, dan hirarki semacam inilah yang kemudian
melahirkan pola hubungan dominasi. Mereka yang di atas mendominasi dan bahkan
tak jarang mengeksplotasi yang bawah. Mereka yang lebih tinggi kompetensinya
memandang secara pejoratif terhadap mereka yang lemah dan tidak lebih
beruntung. Prinsip atau semangat equality, dalam praktek hanya bisa mengurangi
praktek dominasi yang kuat atas yang lemah, dan bukan menghapuskan. Tidak
jarang dominasi itu dilakukan dengan cara-cara yang canggih, tidak dengan cara
represif, melainkan persuasif sehingga yang terdominasi tidak sadar berada
dalam posisi terdominasi dan bahkan tereksplotasi. Mereka yang terdominasi
bukan tidak sadar melainkan mengalami false-consciousness
—kesadaran semu, sehingga klaim-klaim yang mereka buat senyatanya tidak
seperti klaimnya itu sendiri. Oleh karena itu banyak orang yang hidup dalam
dunia "seolah-olah." Dalam politik sering dijumpai istilah government but not governing —seolah-olah
ada pemerintah padahal tidak memerintah, atau
dalam pendidikan memunculkan istilah "sekolah tetapi tidak sekolah,"
dan dalam agama "shalat tetapi sesungguhnya tidak shalat." Barangkali
inilah yang dimaksudkan Alqur'an "fawailullil
musholliin alladziinahum 'an shalaatihim saahuun." Dalam
praktek sering agama, bukan untuk pencerahan spiritual dan pembebasan manusia,
melainkan untuk kepentingan-kepentingan dominasi.
Tidak
puas dengan perspektif liberal seperti itu maka muncul perspektif anti-liberal,
yang antara lain melahirkan pemikiran-pemikiran radikal. Eksponen perespektif radikal ini cenderung memfokuskan kepada pentingnya
pembentukan identitas diri. Oleh karena itu simbol-simbol formal dan eksternal
yang mudah dipakai untuk mengkomunikasikan identitas diri kepada orang lain
(otherness) menjadi sangat
penting.
Autentisitas sangat dipentingkan, dan sumber auntentik ajaran ada pada
kitab suci. Praktek keagamaan hanya autentik jika sesuai dengan pesan yang ada
dalam teks ajaran dalam kitab suci. Pemahaman teks dengan demikian harus diberi
jarak yang cukup dari konteks sejarah, karena konteks sejarah dapat
mempengaruhi autentisitas pemahaman teks ajaran. Oleh karena itulah maka
perspektif ini juga sering dikenal sebagai penganut pemikiran tekstual atau
skripturalistik.
Berbeda dengan perspektif liberal, dalam pergerakannya penganut perspektif
tekstual ini cenderung sensitif terhadap keunikan atau partikularitas dalam
sejarah. Partikularitas sejarah harus ditundukkan kepada pesan teks ajaran atau
kitab suci. Sensitifitas itulah yang kemudian lebih cenderung untuk memilih
cara-cara pemecahan masalah hubungan sejarah dengan teks kitab suci secara
"radikal." Dengan demikian radikal di sini memiliki dua konteks
pemahaman, pertama, radikal dalam arti menjaga kemurnian teks dari campuran
praktek partikularitas sejarah, dan kedua, radikal dalam arti cara-cara
menghadapi persepktif atau eksponen pemikiran lain (otherness).
Kelebihan dari persepktif ini adalah dalam menjaga autentisitas pesan kitab
suci, sehingga memungkinkan orang untuk memahami sumber original atau
pesan-pesan autentik dari kitab suci. Pemahaman atas ajaran agama yang ada
dalam kitab suci bisa dicegah dari kemungkinan tercemari oleh bias kultur,
partikularitas atau kenisbian sejarah. Namun dengan penekanan yang kuat kepada
teks seperti itu, menjadikan perspektif ini mudah terpisah dari konteks sejarah
di mana pemahaman keagamaan itu dipahami dan hendak dilaksanakan. Sehingga,
pemahaman dan pelaksanaan ajaran agama berpeluang besar untuk tercerabut dari
akar sejarah atau sering disebut orang sebagai a-hystoric. Agama yang a-hystoric
Akhirnya karena tercerabut dari akar sejarah, maka pemahaman keagamaan
seperti ini tidak memiliki kepekaan sejarah, sehingga problema masyarakat
sebagai produk sejarah menjadi tidak terantisipasi dengan baik. Pemahaman
keagamaan yang diperoleh kemudian tidak mampu digunakan untuk menjawab problema
sejarah masyarakat dalam berbagai bloc sejarah
dengan berbagai karakteristik tuntutannya masing-masing.
Tidak puas dengan kedua pemikiran tersebut di atas, maka memunculkan
eksponen yang cenderung memilih perspektif konstruksionis. Eksponen perspektif
ini mencoba memahami teks kitab suci maupun konteks sejarah secara interaktif.
Teks kitab suci itu sendiri adalah sesuatu yang bersifat eksternal (di luar
diri manusia) dan bersifat determinatif (mempengaruhi tindakan manusia), yang
mau tidak mau menjadi referensi individu dalam mengkonstruk dunianya.
Pesan-pesan teks yang ada dalam kitab suci itu mempengaruhi cara seseorang
beragama, memahami serta mengkonstruk dunianya. Namun teks kitab suci itu tetap
saja tidak bisa di"reifikasi" atau lepas dari cara individu
memahaminya. Cara individu memahami dipengaruhi oleh faktor sejarah, politik,
tingkat pendidikan, ekonomi, pengalaman, serta dorongan-dorongan subyektif
lainnya.
Muhammadiyah, dalam
pergerakannya lebih cenderung mencitrakan diri sebagai kaum reformis, yang
sensitif terhadap kemungkinan masuknya faktor sejarah yang nisbi dalam
pemahaman agama. Kenisbian sejarah bisa mendistorsi kemurnian ajaran. Oleh
karena itulah Muhammadiyah sering disebut sebagai wadah bagi pergerakan kaum
puritanis, yang ingin menjaga autentisitas ajaran sebagaimana yang dimaksud
dalam teks kitab suci serta mencegah sedapat mungkin kemungkinan terjadinya
distorsi pesan kitab suci. Oleh karena itu Muhammadiyah termasuk kurang
berminat untuk memahami ajaran agama seperti yang dikembangkan oleh eksponen
liberalis, yang lebih menekankan pentingnya konteks sejarah dan partikularitas
kultural dalam pemahaman ajaran agama. Namun yang menarik adalah Muhammadiyah
tidak tertarik untuk memilih gerakan radikal dalam mengimplementasikan
ide-idenya. Muhammadiyah lebih cenderung "mendeprivatisasi"
pesan-pesan ajaran agama ke ruang publik, kendati demikian strategi yang
dikenakannya melalui pendekatan-pendekatan dakwah yang sejuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar