Bahasa jurnalistik merupakan bahasa
yang digunakan oleh wartawan (jurnalis) dalam menulis karya-karya jurnalistik
di media massa (Anwar, 1991). Dengan demikian, bahasa Indonesia pada
karya-karya jurnalistiklah yang bisa dikategorikan sebagai bahasa jurnalistik atau
bahasa pers.
Bahasa
jurnalistik itu sendiri juga memiliki karakter yang berbeda-beda berdasarkan
jenis tulisan apa yang akan terberitakan. Bahasa jurnalistik yang digunakan
untuk menuliskan reportase investigasi tentu lebih cermat bila dibandingkan dengan
bahasa yang digunakan dalam penulisan features.
Bahkan bahasa jurnalistik pun sekarang sudah memiliki kaidah-kaidah khas
seperti dalam penulisan jurnalisme
perdamaian (McGoldrick dan Lynch, 2000). Bahasa jurnalistik yang digunakan
untuk menulis berita utama—ada yang menyebut laporan utama, forum utama-- akan berbeda dengan bahasa jurnalistik yang
digunakan untuk menulis tajuk dan features. Dalam menulis banyak faktor yang
dapat mempengaruhi karakteristik bahasa
jurnalistik karena penentuan masalah,
angle tulisan, pembagian tulisan, dan sumber (bahan tulisan). Namun
demikian sesungguhnya bahasa jurnalistik tidak meninggalkan kaidah yang
dimiliki oleh ragam bahasa Indonesia baku dalam hal pemakaian kosakata,
struktur sintaksis dan wacana (Reah, 2000). Karena berbagai keterbatasan yang
dimiliki surat kabar (ruang, waktu) maka bahasa jurnalistik memiliki sifat yang
khas yaitu singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas dan menarik.
Kosakata yang digunakan dalam bahasa jurnalistik mengikuti perkembangan bahasa
dalam masyarakat.
Sifat-sifat tersebut
merupakan hal yang harus dipenuhi oleh ragam bahasa jurnalistik mengingat surat
kabar dibaca oleh semua lapisan masyarakat yang tidak sama tingkat
pengetahuannya. Dengan kata lain bahasa jurnalistik dapat dipahami dalam ukuran
intelektual minimal. Hal ini dikarenakan tidak setiap orang memiliki cukup
waktu untuk membaca surat kabar. Oleh karena itu bahasa jurnalistik sangat
mengutamakan kemampuan untuk menyampaikan semua informasi yang dibawa kepada
pembaca secepatnya dengan mengutamakan
daya komunikasinya.
Dengan
perkembangan jumlah pers yang begitu pesat pasca pemerintahan Soeharto—lebih
kurang ada 800 pelaku pers baru—bahasa pers juga menyesuaikan pasar.
Artinya, pers sudah menjual wacana
tertentu, pada golongan tertentu, dengan isu-isu yang khas.
Pemakaian Bahasa Jurnalistik
Terdapat berbagai
penelitian yang terkait dengan bahasa, pikiran, ideologi, dan media
massa cetak di Indonesia. Anderson (1966, 1984) meneliti pengaruh bahasa dan budaya Belanda serta Jawa dalam
perkembangan bahasa politik Indonesia modern, ketegangan bahasa Indonesia yang
populis dan bahasa Indonesia yang feodalis.
Naina (1982) tentang perilaku pers Indonesia terhadap kebijakan pemerintah
seperti yang termanifestasikan dalam Tajuk Rencana. Hooker (1990) meneliti
model wacana zaman orde lama dan orde baru. Penelitian tabor Eryanto (2001)
tentang analisis teks di media massa. Dari puluhan penelitian yang breakout
dengan pers, tenyata belum terdapat penelitian yang secara khusus
memformulasikan karakteristik (ideal) bahasa jurnalistik berdasarkan induksi
karakteristik bahasa pers yang
termanifestasikan dalam kata, kalimat, dan wacana.
Di awal tahun 1980-an
terbersit berita bahwa bahasa Indonesia di media massa menyimpang dari kaidah
bahasa Indonesia baku. Roni Wahyono (1995) menemukan kemubaziran bahasa
wartawan di Semarang dan Yogyakarta pada aspek gramatikal (tata bahasa),
leksikal (pemilihan kosakata) dan ortografis (ejaan). Berdasarkan aspek
kebahasaan, kesalahan tertinggi yang dilakukan wartawan terdapat pada aspek
gramatikal dan kesalahan terendah pada aspek ortografi. Berdasarkan jenis
berita, berita olahraga memiliki frekuensi kesalahan tertinggi dan frekuensi
kesalahan terendah pada berita kriminal. Penyebab wartawan melakukan kesalahan
bahasa dari faktor penulis karena minimnya penguasaan kosakata, pengetahuan
kebahasaan yang terbatas, dan kurang
bertanggung jawab terhadap pemakaian bahasa, karena kebiasaan lupa dan
pendidikan yang belum baik. Sedangkan faktor di luar penulis, yang menyebabkan
wartawan melakukan kesalahan dalam menggunakan bahasa Indonesia karena
keterbatasan waktu menulis, lama kerja, banyaknya naskah yang dikoreksi, dan
tidak tersedianya redaktur bahasa dalam surat kabar.
Walaupun di dunia penerbitan telah ada buku-buku
jurnalistik praktis karya Rosihan Anwar (1991), Asegaf (1982), Jacob Oetama
(1987), Ashadi Siregar, dll, namun masih perlu dimunculkan petunjuk akademik
maupun teknis pemakaian bahasa jurnalistik. Dengan mengetahui karakteristik
bahasa pers Indonesia—termasuk sejauh mana mengetahui penyimpangan yang
terjadi, kesalahan dan kelemahannya,-- maka akan dapat diformat pemakaian
bahasa jurnalistik yang komunikatif.
Terdapat beberapa penyimpangan bahasa jurnalistik
dibandingkan dengan kaidah bahasa Indonesia baku:
1. Peyimpangan
morfologis. Peyimpangan ini sering terjadi dijumpai pada judul berita surat
kabar yang memakai kalimat aktif, yaitu pemakaian kata kerja tidak baku dengan
penghilangan afiks. Afiks pada kata kerja yang berupa prefiks atau awalan
dihilangkan. Kita sering menemukan judul berita misalnya, Polisi Tembak Mati Lima Perampok Nasabah Bank. Israil Tembak Pesawat
Mata-mata. Amerika Bom Lagi Kota Bagdad.
2. Kesalahan
sintaksis. Kesalahan berupa pemakaian tatabahasa atau struktur kalimat yang
kurang benar sehingga sering mengacaukan pengertian. Hal ini disebabkan logika
yang kurang bagus. Contoh: Kerajinan
Kasongan Banyak Diekspor Hasilnya Ke Amerika Serikat. Seharusnya Judul
tersebut diubah Hasil Kerajinan Desa
Kasongan Banyak Diekspor Ke Amerika. Kasus
serupa sering dijumpai baik di koran lokal maupun koran nasional.
3.
Kesalahan kosakata. Kesalahan ini sering dilakukan
dengan alasan kesopanan (eufemisme) atau meminimalkan dampak buruk pemberitaan.
Contoh: Penculikan Mahasiswa Oleh Oknum Kopasus itu Merupakan Pil Pahit bagi
ABRI. Seharusnya kata Pil Pahit
diganti kejahatan. Dalam konflik Dayak- Madura, jelas bahwa yang bertikai
adalah Dayak dan Madura, tetapi wartawan tidak menunjuk kedua etnis secara
eksplisit. Bahkan di era rezim Soeharto banyak sekali kosakata yang diekspose merupakan kosakata yang
menekan seperti GPK, subversif, aktor intelektual, ekstrim kiri, ekstrim kanan,
golongan frustrasi, golongan anti pembangunan, dll. Bahkan di era kebebasan
pers seperti sekarang ini, kecenderungan pemakaian kosakata yang bias makna
semakin banyak.
4.
Kesalahan ejaan. Kesalahan ini hampir setiap kali
dijumpai dalam surat kabar. Koran Tempo yang terbit 2 April 2001yang lalu tidak
luput dari berbagai kesalahan ejaan. Kesalahan ejaan juga terjadi dalam
penulisan kata, seperti: Jumat ditulis Jum’at, khawatir ditulis hawatir, jadwal
ditulis jadual, sinkron ditulis singkron, dll.
5.
Kesalahan pemenggalan. Terkesan setiap ganti garis
pada setiap kolom kelihatan asal penggal saja. Kesalahan ini disebabkan
pemenggalan bahasa Indonesia masih menggunakan program komputer berbahasa
Inggris. Hal ini sudah bisa diantisipasi dengan program pemenggalan bahasa
Indonesia.
Untuk menghindari beberapa kesalahan seperti diuraikan di atas
adalah melakukan kegiatan penyuntingan baik menyangkut pemakaian kalimat,
pilihan kata, dan ejaan. Selain itu, pemakai bahasa jurnalistik yang baik
tercermin dari kesanggupannya menulis paragraf yang baik. Syarat untuk menulis
paragraf yang baik tentu memerlukan persyaratan menulis kalimat yang baik pula.
Paragraf yang berhasil tidak hanya lengkap pengembangannya tetapi juga
menunjukkan kesatuan dalam isinya. Paragraf menjadi rusak karena penyisipan-penyisipan yang tidak
bertemali dan pemasukan kalimat topik kedua atau gagasan pokok lain ke
dalamnya.
Oleh
karena itu seorang penulis seyogyanya memperhatikan pertautan dengan (a)
memperhatikan kata ganti; (b) gagasan yang sejajar dituangkan dalam kalimat
sejajar; manakala sudut pandang terhadap isi kalimat tetap sama, maka
penempatan fokus dapat dicapai dengan pengubahan urutan kata yang lazim dalam
kalimat, pemakaian bentuk aktif atau pasif, atau mengulang fungsi khusus.
Sedangkan variasi dapat diperoleh dengan (1) pemakaian kalimat yang
berbeda menurut struktur gramatikalnya;
(2) memakai kalimat yang panjangnya berbeda-beda, dan (3) pemakaian urutan
unsur kalimat seperti subjek, predikat, objek, dan keterangan dengan
selang-seling. Jurnalistik “gaya Tempo” menggunakan kalimat-kalimat yang pendek
dan pemakaian kata imajinatif. Gaya ini banyak dipakai oleh berbagai wartawan
yang pernah bersentuhan dengan majalah Tempo.
Agar
penulis mampu memilih kosakata yang tepat mereka dapat memperkaya kosakata
dengan latihan penambahan kosakata dengan teknik sinonimi, dan antonimi. Dalam
teknik sinonimi penulis dapat mensejajarkan kelas kata yang sama yang nuansa
maknanya sama atau berbeda. Dalam teknik antonimi penulis bisa mendaftar
kata-kata dan lawan katanya. Dengan cara ini penulis bisa memilih kosakata yang
memiliki rasa dan bermakna bagi pembaca. Jika dianalogikan dengan makanan,
semua makanan memiliki fungsi sama, tetapi setiap orang memiliki selera makan
yang berbeda. Tugas jurnalis adalah melayani selera pembaca dengan jurnalistik
yang enak dibaca dan perlu. (Slogan
Tempo).
Goenawan
Mohamad pada 1974 telah melakukan “revolusi putih” (Istilah Daniel Dhakidae)
yaitu melakukan kegiatan pemangkasan sekaligus pemadatan makna dan substansi
suatu berita. Berita-berita yang sebelumnya cenderung bombastis bernada
heroik--karena pengaruh revolusi—dipangkas habis menjadi jurnalisme sastra yang
enak dibaca. Jurnalisme semacam ini setidaknya menjadi acuan atau model koran
atau majalah yang redakturnya pernah mempraktikkan model jurnalisme ini. Banyak
orang fanatik membaca koran atau majalah
karena gaya jurnalistiknya, spesialisasinya, dan spesifikasinya. Ada
koran yang secara khusus menjual rubrik opini, ada pula koran yang
mengkhususkan diri dalam peliputan berita. Ada pula koran yang secara khusus
mengkhususkan pada bisnis dan iklan. Jika dicermati, sesungguhnya, tidak ada
koran yang betul-betul berbeda, karena biasanya mereka berburu berita pada
sumber yang sama. Jurnalis yang bagus, tentu akan menyiasati selera dan pasar
pembacanya.
Dalam hubungannya
dengan prinsip penyuntingan bahasa jurnalistik terdapat beberapa prinsip yang
dilakukan (1) balancing, menyangkut
lengkap-tidaknya batang tubuh dan data tulisan, (2) visi tulisan seorang
penulis yang mereferensi pada penguasaan atas data-data aktual; (3) logika
cerita yang mereferensi pada kecocokan; (4) akurasi data; (5) kelengkapan data,
setidaknya prinsip 5wh, dan (6) panjang pendeknya tulisan karena keterbatasan
halaman.
Prinsip Dasar Bahasa Jurnalistik
Bahasa
jurnalistik merupakan bahasa komunikasi massa sebagai tampak dalam
harian-harian surat kabar dan majalah. Dengan fungsi yang demikian itu bahasa
jurnalistik itu harus jelas dan mudah
dibaca dengan tingkat ukuran intelektual minimal. Menurut JS Badudu (1988)
bahasa jurnalistik memiliki sifat-sifat khas yaitu singkat, padat, sederhana,
lugas, menarik, lancar dan jelas. Sifat-sifat itu harus dimiliki oleh bahasa
pers, bahasa jurnalistik, mengingat surat kabar dibaca oleh semua lapisan
masyarakat yang tidak sama tingkat pengetahuannya. Oleh karena itu beberapa
ciri yang harus dimiliki bahasa jurnalistik di antaranya:
1.
Singkat, artinya bahasa
jurnalistik harus menghindari penjelasan yang panjang dan bertele-tele.
2.
Padat, artinya bahasa jurnalistik yang singkat itu
sudah mampu menyampaikan informasi yang lengkap. Semua yang diperlukan pembaca
sudah tertampung didalamnya. Menerapkan prinsip 5 wh, membuang kata-kata
mubazir dan menerapkan ekonomi kata.
3.
Sederhana, artinya bahasa pers sedapat-dapatnya
memilih kalimat tunggal dan sederhana, bukan kalimat majemuk yang panjang,
rumit, dan kompleks. Kalimat yang efektif, praktis, sederhana pemakaian
kalimatnya, tidak berlebihan pengungkapannya (bombastis)
4.
Lugas, artinya bahasa jurnalistik mampu menyampaikan
pengertian atau makna informasi secara langsung dengan menghindari bahasa yang
berbunga-bunga .
5.
Menarik, artinya dengan menggunakan pilihan kata
yang masih hidup, tumbuh, dan berkembang. Menghindari kata-kata yang sudah
mati.
6.
Jelas, artinya informasi yang disampaikan jurnalis
dengan mudah dapat dipahami oleh khalayak umum (pembaca). Struktur kalimatnya
tidak menimbulkan penyimpangan/pengertian makna yang berbeda, menghindari
ungkapan bersayap atau bermakna ganda (ambigu). Oleh karena itu, seyogyanya
bahasa jurnalistik menggunakan kata-kata yang bermakna denotatif. Namun
seringkali kita masih menjumpai judul berita: Tim Ferrari Berhasil Mengatasi Rally Neraka Paris-Dakar. Jago Merah Melahap Mall Termewah di
Kawasan Jakarta. Polisi Mengamankan
Oknum Pemerkosa dari Penghakiman Massa.
Dalam
menerapkan ke-6 prinsip tersebut tentunya diperlukan latihan berbahasa tulis yang
terus-menerus, melakukan penyuntingan yang tidak pernah berhenti. Dengan
berbagai upaya pelatihan dan penyuntingan, barangkali akan bisa diwujudkan
keinginan jurnalis untuk menyajikan ragam bahasa jurnalistik yang memiliki rasa
dan memuaskan dahaga selera pembacanya.
Dipandang dari fungsinya, bahasa jurnalistik merupakan perwujudan
dua jenis bahasa yaitu seperti yang disebut Halliday (1972) sebagai fungsi ideasional dan fungsi tekstual
atau fungsi referensial, yaitu wacana yang menyajikan fakta-fakta. Namun,
persoalan muncul bagaimana cara mengkonstruksi bahasa jurnalistik itu agar
dapat menggambarkan fakta yang sebenarnya. Persoalan ini oleh Leech (1993) disebut retorika tekstual yaitu kekhasan
pemakai bahasa sebagai alat untuk
mengkonstruksi teks. Dengan kata lain prinsip ini juga berlaku pada bahasa
jurnalistik.
Terdapat empat
prinsip retorika tekstual yang
dikemukakan Leech, yaitu prinsip prosesibilitas, prinsip kejelasan, prinsip
ekonomi, dan prinsip ekspresifitas.
- Prinsip
prosesibilitas, menganjurkan agar teks disajikan sedemikian
rupa sehingga mudah bagi pembaca untuk memahami pesan pada waktunya. Dalam
proses memahami pesan penulis harus menentukan (a) bagaimana membagi
pesan-pesan menjadi satuan; (b) bagaimana tingkat subordinasi dan seberapa
pentingnya masing-masing satuan, dan (c) bagaimana mengurutkan
satuan-satuan pesan itu. Ketiga macam itu harus saling berkaitan satu sama
lain.
Penyusunan bahasa jurnalistik dalam surat
kabar berbahasa Indonesia, yang menjadi fakta-fakta harus cepat dipahami oleh
pembaca dalam kondisi apa pun agar tidak melanggar prinsip prosesibilitas ini.
Bahasa jurnalistik Indonesia disusun dengan struktur sintaksis yang penting
mendahului struktur sintaksis yang tidak penting
Perhatikan
contoh berikut:
(1)
Pangdam VIII/Trikora Mayjen TNI
Amir Sembiring mengeluarkan perintah tembak di tempat, bila masyarakat yang
membawa senjata tajam, melawan serta tidak menuruti permintaan untuk
menyerahkannya. Jadi petugas akan meminta dengan baik. Namun jika bersikeras
dan melawan, terpaksa akan ditembak di tempat sesuai dengan prosedur (Kompas,
24/1/99)
(2)
Ketua Umum PB NU KH Abdurahman
Wahid (Gus Dur) mengadakan kunjungan
kemanusiaan kepada Ketua Gerakan Perlawanan Timor (CNRT) Xanana Gusmao
di LP Cipinang, Selasa (2/2) pukul 09.00 WIB. Gus Dur didampingi pengurus PBNU
Rosi Munir dan staf Gus Dur, Sastro. Turut juga Aristides Kattopo dan Maria
Pakpahan (Suara Pembaruan, 2/2/99)
Contoh (1) terdiri dari dua kalimat, yaitu kalimat pertama
menyatakan pesan penting dan kalimat kedua menerangkan pesan kalimat pertama.
Contoh (2) terdiri dari tiga kalimat, yaitu kalimat pertama menyatakan pesan
penting dan kalimat kedua serta kalimat ketiga menyatakan pesan yang
menerangkan pesan kalimat pertama.
2.
Prinsip kejelasan, yaitu agar teks itu
mudah dipahami. Prinsip ini menganjurkan agar bahasa teks menghindari ketaksaan
(ambiguity). Teks yang tidak mengandung ketaksaan akan dengan mudah dan cepat
dipahami.
Perhatikan Contoh:
(3)
Ketika mengendarai mobil dari
rumah menuju kantornya di kawasan Sudirman, seorang pegawai bank, Deysi Dasuki,
sempat tertegun mendengar berita radio. Radio swasta itu mengumumkan bahwa
kawasan Semanggi sudah penuh dengan mahasiswa dan suasananya sangat mencekam
(Republika, 24/11/98)
(4)
Wahyudi menjelaskan, negara
rugi karena pembajak buku tidak membayar pajak penjualan (PPN) dan pajak
penghasilan (PPH). Juga pengarang, karena mereka tidak menerima royalti atas
karya ciptaannya. (Media Indonesia, 20/4/1997).
Contoh
(3) dan (4) tidak mengandung ketaksaan. Setiap pembaca akan menangkap pesan
yang sama atas teks di atas. Hal ini disebabkan teks tersebut dikonstruksi oleh
kata-kata yang mengandung kata harfiah, bukan kata-kata metaforis.
3.
Prinsip ekonomi. Prinsip ekonomi
menganjurkan agar teks itu singkat tanpa harus merusak dan mereduksi pesan.
Teks yang singkat dengan mengandung pesan yang utuh akan menghemat waktu dan
tenaga dalam memahaminya. Sebagaimana wacana dibatasi oleh ruang wacana
jurnalistik dikonstruksi agar tidak melanggar prinsip ini. Untuk mengkonstruksi
teks yang singkat, dalam wacana jurnalistik dikenal adanya cara-cara mereduksi
konstituen sintaksis yaitu (i) singkatan; (ii) elipsis, dan (iii)
pronominalisasi. Singkatan, baik abreviasi maupun akronim, sebagai cara
mereduksi konstituen sintaktik banyak dijumpai dalam wacana jurnalistik
(5)
Setelah dipecat oleh DPR AS
karena memberikan sumpah palsu dan menghalang-halangi peradilan, Presiden Bill
Clinton telah menjadi presiden kedua sejak berdirinya Amerika untuk
diperintahkan diadili di dalam senat (Suara Pembaruan, 21/12/98)
(6)
Ketua DPP PPP Drs. Zarkasih
Noer menyatakan, segala bentuk dan usaha untuk menghindari disintegrasi bangsa
dari mana pun atau siapa pun perlu disambut baik (Suara Pembaruan, 21/12/98
Pada contoh (5) terdapat abreviasi DPR AS. Pada contoh (6) terdapat abreviasi
DPP PPP. Selain itu ada abreviasi lain seperti SARA, GPK, OTB, OT, AMD, SDM.
AAK, GPK, dll. Terdapat pula berbagai
bentuk akronim dengan variasi pembentukannya walaupun seringkali tidak
berkaidah. Misalnya. Curanmor, Curas, Miras, dll.
Elipsis
merupakan salah satu cara mereduksi konstituen sintaktik dengan melesapkan
konstituen tertentu.
(7)
AG XII Momentum gairahkan
olahraga Indonesia (Suara Pembaruan, 21/12/98)
(8)
Jauh sebelum Ratih diributkan,
Letjen (Pur) Mashudi, mantan Gubernur Jawa Barat dan mantan Ketua Umum Kwartir
Gerakan Pramuka telah menerapkan ide mobilisasi massa. Konsepnya memang berbeda
dengan ratih (Republika, 223/12/98)
Pada contoh ((7) terdapat pelepasan afiks me(N)- pada verba gairahkan. Pelepasan afiks seperti
contoh (7) di atas sering terdapat pada judul wacana jurnalistik. Pada contoh
(8) terdapat pelesapan kata mobilisasi masa pada kalimat kedua.
Pronominalisasi
merupakan cara mereduksi teks dengan menggantikan konstituen yang telah disebut
dengan pronomina. Pronomina Pengganti biasanya lebih pendek daripada konstituen
terganti.
(9)
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat
Partai Demokrasi Indonesia (DPP PDI) hasil kongres Medan Soerjadi dan Sekjen
Buttu Hutapea pada hari Minggu (23/8) sekitar pukul 18.30 Wita tiba di bandara
Mutiara, Palu Sulawesi Tengah, dengan diangkut pesawat khusus. Keduanya datang
untuk mengikuti Kongres V PDI, dengan pengawalan ketat langsung menunggu Asrama Haji dan menginap di
sana. (Kompas, 24/8/98)
(10)
Hendro Subroto bukan militer. Sebagai seorang
warga sipil, jejak pengalamannya dalam beragam mandala pertempuran merupakan
rentetan panjang sarat pengalaman mendebarkan. Ia hadir ketika Kahar Muzakar
tewas disergap pasukan Siliwangi di perbukitan Sulsel (Kompas, 24/8/98).
Pada contoh (9) tampak bahwa keduanya pada kalimat kedua merupakan
pronominalisasi kalimat pertama. Pada contoh (10) kata ia mempronominalisasikan
Hendro Subroto, sebagai warga sipil
pada kalimat pertama dan kedua.
4.
Prinsip ekspresivitas. Prinsip ini dapat
pula disebut prinsip ikonisitas. Prinsip ini menganjurkan agar teks
dikonstruksi selaras dengan aspek-aspek pesan. Dalam wacana jurnalistik, pesan
bersifat kausalitas dipaparkan menurut struktur pesannya, yaitu sebab
dikemukakan terlebih dahulu baru dikemukakan akibatnya. Demikian pula bila ada
peristiwa yang terjadi berturut-turut, maka peristiwa yang terjadi lebih dulu
akan dipaparkan lebih dulu dan peristiwa yang terjadi kemudian dipaparkan
kemudian.
(11)
Dalam situasi bangsa yang sedang kritis dan
berada di persimpangan jalan, karena adanya benturan ide maupun paham politik,
diperlukan adanya dialog nasional. “Dialog diperlukan untuk mengubur masa lalu,
dan untuk start ke masa depan”. Tutur
Prof. Dr. Nurcholis Madjid kepada Kompas di kediamannya di Jakarta Rabu (23/12)
(Kompas, 24/12/98).
Pada contoh (11) tampak bahwa kalimat
pertama menyatakan sebab dan kalimat kedua mendatangkan akibat.
Pemakaian Kata, Kalimat dan Alinea
Bahasa jurnalistik
juga mengikuti kaidah bahasa Indonesia baku. Namun pemakaian bahasa jurnalistik
lebih menekankan pada daya kekomunikatifannya. Para pembelajar BIPA tingkat
lanjut dapat mempotensikan penggunaan bahasa Indonesia ragam jurnalistik dengan
beberapa usaha.
1.
Pemakaian kata-kata yang
bernas. Kata merupakan modal dasar dalam menulis. Semakin banyak kosakata yang
dikuasai seseorang, semakin banyak pula gagasan yang dikuasainya dan sanggup
diungkapkannya.
Dalam penggunaan kata, penulis yang
menggunakan ragam BI Jurnalistik diperhadapkan pada dua persoalan yaitu
ketepatan dan kesesuaian pilihan kata. Ketepatan mempersoalkan apakah pilihan
kata yang dipakai sudah setepat-tepatnya, sehingga tidak menimbulkan
interpretasi yang berlainan antara penulis dan pembaca. Sedangkan kesesuaian
mempersoalkan pemakaian kata yang tidak merusak wacana.
2.
Penggunaan kalimat efektif.
Kalimat dikatakan efektif bila mampu membuat proses penyampaian dan penerimaan
itu berlangsung sempurna. Kalimat efektif mampu membuat isi atau maksud yang
disampaikan itu tergambar lengkap dalam pikiran si pembaca, persis apa yang
ditulis. Keefektifan kalimat ditunjang antara lain oleh keteraturan struktur
atau pola kalimat. Selain polanya harus benar, kalimat itu harus pula mempunyai
tenaga yang menarik.
3.
Penggunaan alinea/paragraf yang
kompak. Alinea merupakan suatu kesatuan pikiran, suatu kesatuan yang lebih tinggi
atau lebih luas dari kalimat. Setidaknya dalam satu alinea terdapat satu
gagasan pokok dan beberapa gagasan penjelas.
Pembuatan alinea bertujuan memudahkan pengertian dan pemahaman dengan
memisahkan suatu tema dari tema yang lain.
Beberapa Jenis Bahasa Indonesia Ragam Jurnalistik
1.
Berita.
Berita adalah peristiwa yang dilaporkan.
Segala yang didapat di lapangan dan sedang dipersiapkan untuk dilaporkan belum
disebut berita. Wartawan yang menonton dan menyaksikan peristiwa,
belum tentu telah menemukan peristiwa. Wartawan sudah menemukan
peristiwa setelah ia memahami prosesnya atau jalan cerita, yaitu tahu APA yang terjadi, SIAPA yang terlibat, kejadiannya BAGAIMANA,
KAPAN, dan DI MANA itu terjadi, dan MENGAPA sampai terjadi. Keenam itu yang
disebut unsur berita.
Suatu peristiwa dapat dibuat berita bila
paling tidak punya satu NILAI BERITA seperti berikut.
(a)
kebermaknaan (significance).
Kejadian yang berkemungkinan akan mempengaruhi kehidupan orang banyak atau
kejadian yang punya akibat terhadap pembaca. Contoh: Kenaikan BBM, tarif TDL,
biaya Pulsa telepon, dll.
(b)
Besaran (magnitude). Kejadian
yang menyangkut angka-angka yang berarti bagi kehidupan orang banyak. Misalnya:
Para penghutang kelas kakap yang mengemplang
trilyunan rupiah BLBI.
(c)
Kebaruan (timeliness). Kejadian
yang menyangkut peristiwa yang baru terjadi. Misalnya, pemboman Gereja tidak
akan bernilai berita bila diberitakan satu minggu setelah peristiwa.
(d)
Kedekatan (proximity). Kejadian
yang ada di dekat pembaca. Bisa kedekatan geogragfis atau emosional. Misalnya,
peristiwa tabrakan mobil yang menewaskan pasangan suami isteri, lebih bernilai
berita daripada Mac Dohan jatuh dari arena GP 500.
(e)
Ketermukaan/sisi manusiawi.
(prominence/human interest). Kejadian yang memberi sentuhan perasaan para
pembaca. Kejadian orang biasa, tetapi dalam peristiwa yang luar biasa, atau
orang luar biasa (public figure) dalam peristiwa biasa. Misalnya, anak kecil
yang menemukan granat siap meledak di rel kereta api, atau Megawati yang
memiliki hobby pada tanaman hias.
Berita jurnalistik dapat digolongkan menjadi (a) berita langsung
(straight/hard/spot news), (b) berita ringan (soft news), berita kisah
(feature) serta laporan mendalam (in-depth report).
Berita langsung digunakan untuk menyampaikan kejadian penting yang
secepatnya diketahui pembaca. Aktualitas merupakan unsur yang penting dari
berita langsung. Kejadian yang sudah lama terjadi tidak bernilai untuk berita
langsung. Aktualitas bukan hanya menyangkut waktu tetapi jug sesuatu yang baru
diketahui atau diketemukan. Misalnya, cara baru, ide baru, penemuan baru, dll.
Berita ringan tidak mengutamakan unsur penting yang hendak
diberitakan tetapi sesuatu yang menarik. Berita ini biasanya ditemukan sebagai
kejadian yang menusiawi dari kejadian penting. Kejadian penting ditulis dalam
berita langsung, sedang berita yang menarik ditulis dalam berita ringan. Berita
ringan sangat cocok untuk majalah karena tidak terikat aktualitas. Berita
ringan langsung menyentuh emosi pembaca misalnya keterharuan, kegembiraan,
kasihan, kegeraman, kelucun, kemarahan, dll.
2.
Berita Kisah (Feature)
Berita kisah adalah tulisan tentang kejadian yang dapat menyentuh
perasaan atau menambah pengetahuan pembaca lewat penjelasan rinci, lengkap,
serta mendalam. Jadi nilainya pada unsur manusiawi dan dapat menambah
pengetahuan pembaca.
Terdapat berbagai jenis berita kisah di antaranya (a) profile
feature, (b) How to do it Feature, (c) Science Feature, dan (d) human interest
feature.
Profile feature menceritakan perjalanan hidup seseorang, bisa pula
hanya menggambarkan sepak terjang orang tersebut dalam suatu kegiatan dan pada
kurun waktu tertentu. Profile feature tidak hanya cerita sukses saja, tetapi
juga cerita kegagalan seseorang. Tujuannya agar pembaca dapat bercermin lewat
kehidupan orang lain.
How to do It feature, berita yang menjelaskan agar orang melakukan
sesuatu. Informasi disampaikan berupa petunjuk yang dipandang penting bagi
pembaca. Misalnya petunjuk berwisata ke Pulau Bali. Dalam tulisan itu
disampaikan beberapa tips praktis rute perjalanan (drat, laut, udara), lokasi
wisata, rumah makan dan penginapan, perkiraan biaya, kualitas jalan, keamanan,
dll..
Science Feature adalah tulisan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
ditandai oleh kedalaman pembahasan dan objektivitas pandangan yang dikemukakan,
menggunakan data dan informasi yang memadai. Feature ilmu pengetahuan dan
teknologi dapat dimuat di majalah teknik, komputer, pertanian, kesehatan,
kedokteran, dll. Bahkan surat kabar pun sekarang memberi rubrik Science
Feature.
Human interest features , merupakan feature yang menonjolkan hal-hal
yang menyentuh perasaan sebagai hal yang menarik, termasuk di dalamnya adalah
hobby dan kesenangan. Misalnya, orang yang selamat dari kecelakaan pesawat
terbang dan hidup di hutan selama dua Minggu. Kakek berusia 85 tahun yang tetap
mengabdi pad lingkungan walaupun hidup terpencil dan miskin.
Tips Menulis Berita
1.
Tulislah berita yang menarik
dengan menerapkan gaya bahasa percakapan sederhana . Tulislah berita dengan
lead yang bicara. Untuk menguji lead anda “berbicara” atau “bisu” cobalah
dengan membaca tulisan yang dihasilkan. Jika anda kehabisan nafas dan
tersengal-sengal ketika membaca maka led anda terlalu panjang.
2.
Gunakan kata/Kalimat Sederhana.
Kalimat sederhana terdiri dari satu pokok dan satu sebutan. Hindari menulis
dengan kata keterangan dan anak kalimat. Ganti kata-kata yang sulit atau asing
dengan kata-kata yang mudah. Bila perlu ubah susunan kalimat atau alinea agar didapat tulisan yang “mengalir”. Ingat
KISS (Keep It Simple and Short)
3.
Hindari kata-kata berkabut.
Kata-kata berkabut adalah tulisan yang berbunga-bunga, menggunakan istilah
teknis, ungkapan asing yang tidak perlu dan ungkapan umum yang kabur. Yang
diperlukan BI ragam jurnalistik adalah kejernihan tulisan (clarity).
4.
Libatkan pembaca. Melibatkan
pembaca berarti menulis berita yang sesuai dengan kepentingan, rasa ingin tahu,
kesulitan, cita-cita, mimpi dan angan-angan. Tapi ingat: jangan sampai terjebak
menulis dengan gaya menggurui atau menganggap enteng pembaca. Melibatkan
pembaca berarti mengubah soal-soal yang sulit menjadi tulisan yang mudah
dimengerti pembaca. Melibatkan pembaca juga didapat dengan menulis sesuai rasa
keadilan yang hidup di masyarakat.
5.
Gantilah kata sifat dengan kata
kerja.
Baca kalimat ini: “Seorang perempuan tua
yang kelelahan bekerja di sawahnya!”
Bandingkan dengan: “Seorang perempuan tua
membajak, kepalanya merunduk, nafas
Nya tersengal-sengal!”
6.
Gunakan kosakata yang tidak
memihak
Baca kalimat ini: Seorang ayah memperkosa
anak gadisnya sendiri yang masih
Berusia 12
tahun
Bandingkan dengan: Perkosaan menimpa anak
gadis yang berusia 12 tahun.
7.
Hindari pemakaian eufemisme
bahasa.
Baca kalimat: Selama musim kemarau terjadi
rawan pangan di Gunung Kidul
Bandingkan dengan: Selama musim kemarau
terjadi kelaparan di Gunung Kidul.
Dengan paparan bahasa jurnalistik seperti yang telah diuraikan dapat
disimpulkan bahwa bahasa jurnalistik adalah bahasa yang digunakan oleh jurnalis
dalam menulis berita. Bahasa jurnalistik bersifat khas yaitu singkat, padat,
sederhana, lugas, menarik, lancar dan jelas.
Terdapat
empat prinsip retorika tekstual bahasa jurnalistik yaitu prinsip
prosesibilitas, mudah dipahami pembaca. Prinsip kejelasan yaitu menghindari
ambiguitas. Prinsip ekonomi, menggunakan teks yang singkat tanpa merusak dan
mereduksi pesan. Prinsip ekspresivitas, teks dikonstruksi berdasarkan
aspek-aspek pesan.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihan (1991). Bahasa
Jurnalistik dan Komposisi. Jakarta: Pradnya Paramita.
Anderson,
Benedick ROG. (1966). Bahasa
Politik Indonesia. Indonesia I, April : hal 89-116.
Anderson, Benedick ROG. (1984). Language and Power: Exploring Political
Cultures in Indonesia. London: Cornell University Pres.
Asegaf, Dja’far H. (1982) Jurnalistik Masa Kini: Pengantar ke Praktik
Kewartawanan. Jakarta: Ghalia Indonesia
Badudu, J.S. (1988). Cakrawala
Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Eriyanto. (2001). Analisis
Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS.
Halliday, MAK. (1972). “Language Function
and Language Structure” New Horizon of
Linguistics. London: Penguin Book.
Leech, Geoffrey. (1993). Prinsip-prinsip Pragmatik (Alih Bahasa
DD Oka). Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Oetama, Jacob. (1987).
Perspektif Pers Indonesia. Jakarta: LP3ES.
McGoldrick, Annabel dan Lynch, Jake
(2000). Jurnalisme Perdamaian Bagaimana
Melakukannya?. Sydney: Seri Workshop LSPP, November 2000.
Reah, Danuta (2000). The
Language of Newspaper. New York: Roudledge.
Sudaryanto (1995). Bahasa Jurnalistik dan Pengajaran Bahasa Indonesia. Semarang: Citra
Almamater.
Suroso (2001). Menuju Pers Demokratis: Kritik atas Profesionalisme Wartawan.
Yogyakarta: LSIP.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar