Senin, 05 November 2012

Corporate Social Responsibility (CSR) : Pertanggungjawaban Publik Sektor Bisnis dan Implikasinya bagi Studi Administrasi Publik


Pendahuluan

Dunia saat ini sedang menghadapi krisis global. Eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan demi akumulasi laba dan kapital sektor bisnis telah memicu terjadinya berbagai bentuk problem publik seperti  krisis lingkungan ,sosial, pangan dan energi. Problem publik semacam ini tidak lagi efektif ditangani dalam lingkup lokal atau nasional tapi telah menjadi problem publik global (global public goods).
            Negara yang selama ini dipandang sebagai organisasi pemegang otoritas dan peran dalam menangani problem publik menjadi tidak berdaya mengatasi problem publik, terlebih  problem publik global. Globalisasi dan lemahnya kapasitas sektor publik (Negara) untuk menangani masalah publik telah mendorong meningkatnya peran serta aktor non-negara  dalam bidang sosial.
            Mencermati penanganan bencana alam yang banyak terjadi di Indonesia beberapa tahun terakhir dapat diamati gejala menarik yakni semakin besarnya peran serta masyarakat dalam tanggap darurat terhadap para korban gempa. Bahkan dapat dikatakan aktor non negara  memberi respon tanggap darurat  lebih cepat dibanding lembaga atau aparatur pemerintah. Begitu tersiar kabar terjadinya bencana, berbondong-bondong organisasi masyarakat dan perusahaan mengupayakan penggalangan bantuan finansial maupun nonfinansial dan disalurkan dengan mekanisme yang lebih cepat dan efektif dibanding penyaluran bantuan lewat lembaga pemerintah.
           Saat ini di Indonesia, semakin banyak perusahaan besar yang terlibat dalam kegiatan non bisnis atau social. Perusahaan merasa memiliki tanggungjawab sosial terhadap kesejahteraan stakeholder-nya (customer, pegawai, masyarakat luas) maupun kesehatan lingkungannya. Ada gejala kegiatan sosial yang dilakukan oleh perusahaan besar tidak lagi sekedar kegiatan karitatif atau filantrofis yang bersifat darurat atau temporer tapi sudah dikelola secara lebih serius dan menyatu sebagai bagian dari manajemen bisnis. Kegiatan ini yang akhir-akhir ini dikenal dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR).       
Di tengah berbagai terpaan krisis global saat ini,  penerapan CSR sebagai sebuah standar beroperasinya perusahaan dapat menjadi salah satu jalan atau upaya untuk turut mengurangi dampak  krisis. Dari sisi studi administrasi publik, perkembangan CSR menjadi isu yang menarik. Persoalan problem publik seperti masalah bencana alam, kemiskinan, kesenjangan pendidikan, dan sebagainya selama ini dikenal sebagai domain administrasi publik. Namun adanya tanggung jawab social perusahaan (CSR) telah menempatkan organisasi bisnis menjadi salah satu aktor yang berkontribusi dalam pemecahan masalah publik. Keikutsertaan sektor bisnis dalam memecahkan problem sosial menunjukkan bahwa organisasi bisnis tidaklan identik dengan usaha mengejar keuntungan atau akumulasi kapital semata. Kebijakan CSR membuktikan komitmen dunia usaha untuk ikut memikul segala dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas industri terhadap lingkungan maupun komunitas dimana ia beroperasi. CSR merupakan bentuk pertanggungjawaban perusahaan pada stakeholders atau pemangku kepentingan yang terkait dengan aktivitas bisnisnya.
Lebih jauh penelitian ini hendak mengkaji implementasi CSR sebagai bentuk pertanggungjawaban publik sektor bisnis di Indonesia dan bagaimana implikasinya terhadap studi administrasi publik.


Tinjauan Pustaka
Istilah Corporate Social Responsibility (CSR) atau Tanggungjawab Sosial Perusahaan akhir-akhir ini semakin banyak dibicarakan seiring dengan semakin meningkatnya perhatian dan tuntutan terhadap  tanggung jawab sosial perusahaan, baik di lingkup local, nasional maupun global. Menurut Wikipedia, Corporate Social Responsibility (CSR) yang juga disebut dengan berbagai istilah seperti corporate responsibility, corporate citizenship, responsible business, sustainable responsible business (SRB) and corporate social performance pada dasarnya merupakan suatu bentuk regulasi diri perusahaan (corporate self-regulation) yang terintegrasi ke dalam suatu model bisnis.
Menurut ISO 26000, tanggungjawab sosial (social responsibility) menjadi tanggungjawab semua organisasi : pemerintah, perusahaan dan organisasi sipil. Definisi kerja  Social Responsility menurut ISO 26000 Working Group on Social Responsibility, Sydney, February 2007 (Paul Hohnen, 2007) adalah tanggungjawab suatu organisasi atas  dampak keputusan dan aktivitasnya  terhadap masyarakat dan lingkungan melalui perilaku yang transparan dan beretika serta konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat ; dengan mempertimbangkan harapan stakeholder; sesuai dengan hukum  dan norma perilaku internasional; dan terintegrasi ke seluruh organisasi (Social responsibility (is the) responsibility of an organisation for the impacts of its decisions and activities on society and the environment through transparent and ethical behaviour that is consistent with sustainable development and the welfare of society; takes into account the expectations of stakeholders; is in compliance with applicable law and consistent with international norms of behaviour; and is integrated throughout the organisation ).
Corporate Social Responsibility (CSR) secara spesifik menunjuk pada tanggungjawab sosial perusahaan atau dunia bisnis terhadap dampak aktivitas bisnis terhadap lingkungan, konsumer, pegawai, komunitas, stakeholder dan semua anggota yang berada dalam ranah publik. Lebih lanjut, organisasi bisnis secara proaktif mempromosikan kepentingan publik dengan mendorong pertumbuhan dan pembangunan komunitas, dan secara sukarela meminimalisir praktek-praktek  yang mengganggu wilayah publik. Pada prinsipnya, CSR merupakan upaya memasukkan faktor kepentingan publik dalam pengambilan keputusan perusahaan (Wikipedia)



Konsep CSR dikenal sejak tahun 1970an sebagai kumpulan kebijakan yang berhubungan dengan stakeholder, nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum, penghargaan masyarakat dan lingkungan, serta komitmen badan usaha untuk berkontribusi dalam pembangunan berkelanjutan. Hardinsyah (dalam Mahmudisiwi , http://www.dikti.org), mengutip World Business Counsil for Sustainable Development (WBCSD), merumuskan CSR sebagai komitmen untuk berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan; bekerja dengan para karyawan dan keluarganya, masyarakat setempat dan masyarakat secara luas dalam meningkatkan kualitas hidup mereka.

Shauki dan Djakman (http://www.unisa.edu.au ) merumuskan CSR sebagai  bentuk perhatian organisasi (perusahaan)  pada kepentingan masyarakat dengan cara mengambil tanggungjawab atas dampak aktivitas perusahaan terhadap customer, supllier, pekerja, pemegang saham, komunitas dan stakeholder lainnya termasuk  aktivis lingkungan dan regulator (Corporate social responsibility (CSR) is where organizations consider the interests of society by taking responsibility for the impact of their operation activities on customers, suppliers, employees, shareholders, communities and other stakeholders, including the environmentalists and the regulators).

Dalam komunitas bisnis, CSR disebut sebagai “corporate citizenship” yang artinya perusahaan harus menjadi tetangga yang baik di lingkungan masyarakat tempatnya bekerja. Tamam Achda (2006) menyatakan CSR dapat didefinisikan sebagai tanggung jawab moral suatu perusahaan terhadap para strategic-stakeholdersnya, terutama komunitas atau masyarakat di sekitar wilayah kerja dan operasinya.  CSR memandang perusahaan sebagai agen moral. Dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah perusahaan harus menjunjung tinggi moralitas. Parameter keberhasilan suatu perusahaan dalam pandangan CSR adalah pengedepanan prinsip moral dan etis, yakni menggapai suatu hasil terbaik , dengan paling sedikit merugikan kelompok masyarakat lainnya. Salah satu prinsip moral yang sering digunakan adalah golden-rules, yang mengajarkan agar seseorang atau suatu pihak memperlakukan orang lain sama seperti apa yang mereka ingin diperlakukan. Dengan begitu, perusahaan yang bekerja dengan mengedepankan prinsip moral dan etis akan memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat.
Dari  beberapa definisi tentang CSR dapat disimpulkan intinya CSR merupakan bentuk praktek bisnis yang transparan yang berlandaskan pada nilai etika, ketaatan  hukum, dan penghargaan pada manusia, komunitas, dan lingkungan. Dengan kata lain, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan menunjukkan bahwa bentuk akuntabilitas publik sektor bisnis  tidak hanya terbatas pada akuntabilitas ekonomis kepada konsumen, karyawan dan pemegang saham saja, tapi juga tanggung jawab sosial perusahaan  terhadap komunitas dan lingkungannya.
Rochman Achwan (2006) menyatakan CSR bukanlah sekadar gagasan namun juga institusi sosial yang berhubungan dengan persoalan hubungan bisnis dan masyarakat. Karena itu CSR dapat dipandang sebagai discourse ; pertempuran antar mazhab pemikiran , school of thought, masing-masing ditopang oleh jaringan kekuasaan. Penguatan CSR saat ini tidak terlepas dari gejala gelombang demokratisasi berskala global yang   terjadi selepas berakhirnya Perang Dingin. Gelombang demokratisasi  telah melahirkan tiga perkembangan penting : runtuhnya pemerintahan otoriter, kemunculan sistem ekonomi pasar dan LSM berskala global. Ketiga perkembangan ini telah mengubah tata hubungan antara negara, dunia bisnis dan masyarakat. Bila di masa lalu, negara cenderung mengabaikan hak masyarakat dalam melindungi beroperasinya perusahaan multinasional, di masa kini, masyarakat lokal dan LSM memiliki peran semakin penting dalam mendorong perilaku perusahaan melindungi lingkungan dan menghormati hak asasi manusia.
Sepanjang dasawarsa 1990-an, rentetan litigasi dilakukan oleh pengacara public interest di Amerika Serikat, mewakili korban di berbagai negara berkembang atas tuduhan perusahaan multinasional melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Sungguh pun tuduhan ini banyak ditolak pengadilan, namun peristiwa hukum ini membawa pengaruh besar dalam membawa perubahan besar dalam arah perkembangan CSR. Rentetan peristiwa hukum ini merupakan awal perdebatan mengenai perlu tidaknya negara merumuskan UU yang  mewajibkan perusahaan multinasional memraktekkan CSR. Dua ide dasar yang saling bertentangan dalam perdebatan ini adalah pertama, self-regulation and voluntarism dan kedua, obligatory and norm binding. Ide pertama dicetuskan Uni Eropa dan PBB dan ide kedua oleh LSM Internasional seperti Christian Aid dan Oxfam. Sebagai reaksi atas pertikaian kedua ide tersebut, muncul ide ketiga yang menolak kedua ide terdahulu : the business of business is business. Dengan demikian ada tiga ideologi yang mendominasi definisi dan praktek CSR di arena publik yakni : the business of business is business, corporate voluntarism dan corporate involuntarism.(Ibid)
Asumsi dasar the business of business is business adalah bahwa perusahaan pada hakekatnya merupakan institusi pencipta kesejahteraan masyarakat. Setiap perusahaan memiliki tujuan tunggal memaksimalkan keuntungan untuk pemiliknya dan menciptakan lapangan pekerjaan. Para penyokong aliran pemikiran ini berpendapat bahwa kedermawanan , community development ataupun donasi bukan saja bertentangan dengan hakekat perusahaan, namun juga tidak etis dilakukan perusahaan. Semua kegiatan filantrop pada dasarnya merupakan pencurian uang milik pemegang saham yang dilakukan direktur perusahaan.  Kegiatan semacam itu tidak boleh diambil alih oleh perusahaan mengingat ini merupakan domain negara.
Berbeda dengan aliran pertama, corporate voluntarism lebih menekankan aspek kabajikan, virtue, dalam mengejar keuntungan perusahaan. Asumsi dasar dari aliran pemikiran ini , pertama, adalah bahwa setiap perusahaan dengan suka rela dapat mengembangkan dan menjalankan CSR. Penyokong aliran ini menolak campur tangan negara dalam mengatur CSR di perusahaan. Kedua, kepedulian terhadap masyarakat atau konsumen dapat mendorong keuntungan ekonomi suatu perusahaan. Ketiga, keberadaan perusahaan tidak dapat dilepaskan dari masyarakat tempat perusahaan tersebut beroperasi. Enlightment Self Interest atau kepentingan perusahaan yang tercerahkan , berarti memasukkan dimensi masyarakat tanpai mengabaikan tujuan utama yaitu mengejar keuntungan yang maksimal.
Berbeda dengan corporate voluntarism, dasar pemikiran aliran corporate involuntarism adalah setiap perusahaan memiliki kewajiban menjalankan tanggung jawab sosial. Kewajiban ini harus dituangkan dalam bentuk UU. Para penyokong aliran ini berpendapat bahwa dalam kondisi ketika perusahaan multinasional jauh lebih berpengaruh dibanding  dengan negara bangsa , self regulation dan voluntarism tidaklah mencukupi.
Perdebatan antar paradigma CSR diawali dengan perdebatan politik dan moral mengenai dua isu yang saling bertentangan :” voluntary and self regulation” dengan “obligatory and norm binding” atau perdebatan antara penyokong corporate voluntarism dan corporate involuntarism. Dengan dukungan berbagai kalangan profesional dan organisasi internasional seperti Uni Eropa dan PBB, paradigma voluntarism berhasil melakukan transformasi CSR dari gagasan politik menjadi kenyataan akademik. Standarisasi dan pengukuran lewat seperangkat indikator berbagai aspek CSR telah muncul di pasar akademik internasional. Karena itu corporate voluntarism bukan hanya berhasil berkembang menjadi mainstream paradigm , tapi juga menjadi lahan “industri” baru bagi perusahaan keuangan, universitas dan LSM.
Para penyokong the business of business is business mengecam praktik CSR  dewasa ini. Kedermawanan bukan saja menyalahi esensi dari rasionalitas lembaga ekonomi namun juga tidak etis dilakukan oleh pimpinan perusahaan. Kedermawanan hanyalah “kosmetik” untuk menutupi kelemahan manajemen perusahaan.


Hasil dan Pembahasan

  1. Penerapan CSR : Implementasi dan Paradigma

Saat ini konsep Corporate Social Responsibility (CSR) atau Tanggung jawab Sosial Perusahaan di Indonesia bukan merupakan wacana yang baru lagi tapi telah dilaksanakan oleh sebagian besar perusahaan besar dan menengah , swasta maupun BUMN, domestik, nasional maupun internasional. Kalau dulu implementasi CSR kebanyakan masih sebatas pada pemberian beasiswa suatu perusahaan kepada siswa sekolah mulai dari Sekolah Dasar hingga Sarjana. Tapi kini, bentuk implementasi CSR bisa bermacam-macam, dari memberi bantuan kepada para korban bencana alam hingga penghijauan. Standard Charter Bank (SCB) Indonesia misalnya, tidak hanya menanam pohon bakau, tetapi juga melakukan kampanye penyadaran  bahaya virus HIV/AIDS dan juga melakukan operasi katarak bagi masyarakat tidak mampu. Sebagai bentuk komitmen perusahaan untuk melaksanakan CSR, SCB  mengalokasikan dana US$ 22,4 juta atau 0,86% dari keuntungannya pada 2005 untuk program CSR bagi kantornya yang tersebar di 50 negara.
Sementara itu, Sampoerna Foundation (SF) mengalokasikan dana sebesar Rp 50 miliar untuk program perluasan akses dan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Sejak tahun 2001 SF telah memberikan lebih dari 32,000 beasiswa dari tingkat SD hingga S2, baik di dalam maupun luar negeri, kepada siswa yang memiliki kemampuan terbaik namun mengalami kesulitan keuangan. Sejak tahun 2005, SF juga mengolah program pengembangan sekolah dengan mengadopsi  17 sekolah  dan 5 madrasah di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Bali. Program ini memiliki tujuan positif yang tidak hanya ditujukan untuk siswa, tetapi ditujukan juga untuk guru, kepala sekolah dan sistem pendidikan.
Sampoerna Foundation didirikan sebagai lembaga nirlaba yang mandiri, terpisah dari PT HM Sampoerna, dan didedikasikan untuk memperbaiki sektor pendidikan di Indonesia dan memberikan kesempatan bersekolah bagi generasi muda Indonesia yang memiliki prestasi akademis baik. Untuk itu, manajemen Sampoerna memutuskan memberikan dua persen dari laba bersih perusahaan setiap tahunnya kepada Sampoerna Foundation.  Sebagai gambaran, laba bersih HM Sampoerna tahun 2005 sebesar Rp 2,38 triliun. Bisa dihitung sendiri, dua persen dari jumlah itu diserahkan kepada Sampoerna Foundation.
Selain menghibahkan dua persen laba bersih setiap tahun kepada Sampoerna Foundation, PT HM Sampoerna juga mempunyai berbagai kegiatan CSR, seperti kemitraan tembakau, kemitraan produksi sigaret, program bina warga, yaitu program aktivitas sosial ekonomi pendidikan di sekitar pabrik, program bimbingan anak, penyediaan perpustakaan, penghijauan, dan tim Sampoerna Rescue.
Program kemitraan tembakau melibatkan 2.035 petani dengan luas lahan 4.820 hektar dan menghasilkan 10.650 ton tembakau setiap tahun. Perusahaan menyediakan kebutuhan bibit, pupuk, pestisida, serta memberi pelatihan penanaman dan pemeliharaan tembakau sesuai standar kualitas perusahaan. Hasil panen dibeli perusahaan dengan memperhitungkan harga bibit, pupuk, dan obat- obatan.
            Program kemitraan produksi sigaret saat ini mencakup 32 unit produksi di Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Barat. Terdiri dari sembilan koperasi, tiga pondok pesantren, dan 20 perusahaan kecil menengah, program ini merekrut lebih dari 51.000 pelinting rokok. Bisa dibayangkan pergerakan ekonomi yang dihasilkan di sekitar unit tersebut.
            Adapun mengenai model atau pola CSR, Zaim  Saidi (http://www.ibl.or.id)  menyatakan  secara umum pelaksanaan CSR di Indonesia masih sangat konvensional, berjangka pendek, dan didasari motivasi untuk menolong anggota masyarakat yang dalam kesulitan; dengan kata lain menyelesaikan masalah sesaat. Pendeknya perusahaan di Indonesia, pada umumnya, baru pada batas menjalankan “kewajiban” bersedekah. Hasil dari survey yang dilakukan Saidi terhadap 266 perusahaan (domestik dan multinasional)  di 10 (sepuluh) kota di Indonesia tahun 2002 menguatkan  pendapat tersebut. Sebagian besar (86%) menganggap bahwa memberi sumbangan adalah wujud nyata dari CSR. Tindakan lain yang dianggap implementasi CSR adalah mensejahterakan pegawainya (77%0), membayar pajak (70%).
             Saat ini masih banyak perusahaan di Indonesia yang mengartikan Corporate Social Responsibility (CSR) hanya sebagai kegiatan filantropis yang bersifat sesaat atau jangka pendek. Sesungguhnya Kegiatan CSR tak sekadar memberi sumbangan kepada masyarakat di sekitar perusahaan. Mereka juga melibatkan masyarakat dalam kegiatan bisnis di perusahaan.
            Misalnya, ada suatu perusahaan yang membina petani di suatu daerah. Ia bukan cuma mendidik petani berbudidaya tanaman secara tepat, tetapi juga membantu penanganan pascapanennya. CSR memang bukan kegiatan yang semata-mata donasi (charity). CSR harus   dipandang sebagai  investasi. Lewat CSR, perusahaan seyogyanya mampu menjadi pemberi kail, bukan ikan. Ia membantu masyarakat menjaga kesinambungan hidupnya. Sebaliknya, perusahaan pun perlu mendapat manfaat yang berkesinambungan dari program CSR-nya. Inilah jalan baru dalam dunia bisnis.( http://www.latofienterprise.com )
            Adapun motivasi yang mendorong perusahaan untuk melakukan CSR ada bermacam-macam.  Menurut Saidi, kegiatan kedermawanan sosial perusahaan dapat dikategorisasikan ke dalam tiga tahap atau paradigma yang berbeda. Tahap pertama adalah corporate charity, tahap kedua corporate philantrophy, dan tahap ketiga adalah corporate citizenship.  Motivasi dasar ketiga paradigma ini dapat dibedakan dari motivasi agamis dan tradisi (charity) , norma dan etika universal (pemerataan social), dan kontribusi atau keterlibatan social.
Paradigma corporate citizenship dapat diketemukan dari pernyataan visi dan misi yayasan Unilever Indonesia Perduli yang didirikan pada tahun 2000 (http://www.unilever.co.id). Tujuan pendirian yayasan tersebut dinyatakan untuk tumbuh berkembang bersama masyarakat dan lingkungan dengan cara yang sustainable (memperhatikan keberlangsungan sumber daya alam). Visinya adalah berbagi sumber daya demi kehidupan yang lebih baik. Adapun misinya berbunyi sebagai berikut :” Our mission is to unlock society’s potential, add value to society, synergise the strengths of our partners and become the inspiring catalyst for building partnerships
Untuk mewujudkan visi dan misi tersebut yayasan Unilever Indonesia Perduli berkonsentrasi pada empat program :
• Program-program Pengembangan Usaha Kecil Menengah
• Program Pemeliharaan Sumber Daya Air
• Program Daur Ulang, dan
• Program Pendidikan Kesehatan Masyarakat
Tentang pentingnya CSR yayasan tersebut menyatakan demikian : Menurut kami CSR tidak terbatas pada sumbangan sukarela tapi melekat pada tujuan perusahaan. Perspektif kami tentang CSR dibangun di seputar keseluruhan operasi bisnis.  Bisnis yang bertanggungjawab selayaknya memberi kontribusi pada kesejahteraan masyarakat, ekonomi bangsa, dan pengetahuan dasar masyarakat dan lingkungan. Untuk menjangkau tujuan yang tidak sekedar  corporate philanthropi, kami berbagi tehnologi dan ketrampilan, bahkan jaringan rekanan, dalam bentuk kontribusi sukarela. Pada saat yang sama, kami  memperluas pemikiran sampai menjangkau pada pasar sosial. Dengan cara ini kami coba mempengaruhi para  stakeholder untuk melihat segala sesuatu tidak hanya dari perspektif bisnis, tapi juga dari sudut pandang sosial.
Menurut Yanti T. Koestoer (http://www.aseanfoundation.org ) tidak semua perusahaan mempunyai komitmen kuat untuk melaksanakan CSR yang baik. Banyak perusahaan yang melihat CSR sekedar sebagai “kosmetik” untuk mendapatkan legitimasi yang dapat mempengaruhi opini publik terhadap perusahaan. Untuk perusahaan yang berorientasi mencari keuntungan , hakekat CSR yang sukarela ditambah dengan lemahnya penegakan hukum di Indonesia membuat mereka mudah untuk menghindari keharusan melaksanakan CSR. Sebaliknya, bagi perusahaan yang sungguh-sungguh mempunyai komitmen untuk menjalankan tanggung jawab sosial, lemahnya hukum membuat mereka frustasi. Berapa pun besarnya CSR yang mereka salurkan untuk menyokong pembangunan komunitas, tetap saja ada protes, boikot, atau pun ancaman fisik  yang menempatkan perusahaan pada situasi dilematis.

  1. Implikasi Penerapan CSR terhadap Studi Administrasi Publik

   Ilmu administrasi Negara dikenal sebagai studi yang mempelajari bagaimana organisasi publik mengelola dan memecahkan urusan dan masalah publik. Selama ini  locus atau “where of the field” ilmu administrasi publik identik dengan organisasi pemerintah atau birokrasi sebagai institusi pengemban pelayanan publik. 
Satu hal mendasar yang mendorong keberadaan administrasi negara adalah menjalankan urusan publik yakni segala urusan bersama yang tidak dapat diselesaikan atau dilaksanakan secara individual (Shafritz dan Russell, 1997). Masalah publik atau kepentingan publik menjadi landasan dari setiap tindakan dan kebijakan administrasi publik.
Keberadaan organisasi negara sebagai pengemban amanat kepentingan publik menjadi goyah pada masa krisis. Ketidakberdayaan negara dalam menangani krisis global tahun 1980an yang memuncak pada tahun 1990an menimbulkan gelombang tuntutan agar birokrasi mengurangi ukurannya yang besar (big governemnt), sehingga era ini dikenal sebagai era anti government, anti birokrasi, „governing without Government“ (Frederickson,1997).
Untuk mengatasi krisis,  sektor publik mengundang sektor bisnis untuk ikut terlibat dalam menangani problem-problem publik. Inilah yang menjadi akses pembuka keterlibatan dunia bisnis dalam aktivitas sosial atau yang kemudian dikenal sebagai corporate philanthropy dan terakhir bergeser menjadi paradigma corporate social responsibility atau CSR. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana implikasi diterapkannya CSR terhadap studi administrasi negara? Apakah adanya CSR merubah peran institusi publik (birokrasi) secara mendasar ? Bagaimana peran negara dalam penerapan CSR? Apakah locus ilmu administrasi negara menjadi berubah dengan adanya CSR?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas terlebih dahulu perlu diketahui pemikiran yang berkembang tentang hubungan negara dan CSR. Posisi dan peran Negara dalam pelaksanaan CSR ,menurut Moon dan Vogel (2008), bisa dijelaskan melalui dua model. Pertama , model dikotomi yang melihat CSR dan pemerintah sebagai dua bidang yang eksklusif. Menurut pandangan ini ruang lingkup CSR bebas dari regulasi atau kebijakan publik. Model kedua memandang CSR sebagai bentuk relasi antara aktor pasar dengan pemerintah. 
Friedman (dalam Moon dan Vogel,2008 ) membedakan tanggungjawab manajer bisnis dari manajer pemerintah, “Tanggungjawab bisnis adalah meningkatkan laba”. Pandangan Friedman berlandaskan pada pemikiran bahwa politisi dan birokrat bertanggungjawab atau isu-isu publik sedangkan manajer bisnis terlatih dalam manajemen organisasi  bisnis. Akuntabilitas manajer bisnis pada pemegang saham yang tentunya selalu mengharapkan perusahaan mendapatkan laba.  Dikotomi tidak menggambarkan realitas kebijakan publik dan praktek bisnis. Pemerintah mempengaruhi pelaku bisnis agar mendukung perwujudan tujuan publik melalui regulasi dan insentif. Sebaliknya, kebijakan publik juga dipengaruhi oleh kepentingan bisnis dan aktivitas lobi pelaku bisnis. Pemerintah juga bekerja sama dengan organisasi bisnis dan kelompok kepentingan lainnya dalam formulasi dan implementasi kebijakan.
Model kedua berpandangan meskipun dunia bisnis terdiri dari indvidu dan perusahaan-perusahaan, namun mereka tidak terlepas dari konteks sosial dan lingkungan kebijakan. Seperti kata Polanyi, pasar melekat sebagai bagian dari masyarakat manusia dan diciptakan dan dipertahankan oleh tindakan Negara, melalui rumusan kebijakan atau aturan hukum yang melindungi hak property dan jaminan terhadap integritas transaksi pasar. Menurut Granovetter, tindakan ekonomi melekat pada struktur relasi sosial dan juga hirarki yang membentuk insentif pasar dan pilihan ekonomi. (Moon dan Vogel,2008).
Model yang membedakan sektor publik dan sektor bisnis sebagai dua ranah yang eksklusif satu sama lain menggambarkan realitas ekonomi politik pra-globalisasi yang sejalan dengan pemikiran paradigma administrasi Negara lama (Old Public Administration) yang melihat peran Negara sebagai penyedia layanan publik secara langsung. Paradigma ‘negara kuat’ atau ‘statisme’ ini menguat sampai tahun 1970an dan mengalami delegitimasi seiring dengan hancurnya ideology sosialis-komunis.
Krisis ekonomi global , menguatnya demokrasi dan liberalisasi ekonomi, ditambah dengan kemajuan tehnologi komunikasi informasi merubah secara frontal tatanan sosial, ekonomi dan politik dunia. Abad 21 menghadirkan pola interaksi antar individu dan organisasi yang bersifat lintas bangsa, multijaringan atau networking dan menuntut kemitraan multi stakeholder. Negara bukan aktor dominan dalam manajemen urusan dan problem publik. Problem publik saat ini tidak terbatas pada lingkup satu Negara, tapi lingkup global . Problem pemanasan global, wabah penyakit seperti AIDS, virus flu burung, virus flu babi, ancaman terorisme adalah beberapa contoh problem public berskala global. Permasalahan ini hanya dapat dipecahkan melalui kerjasama banyak stakeholders : individu maupun institusi; sektor publik, privat dan masyarakat sipil; lingkup nasional,regional maupun internasional.
Tantangan masalah publik di era global inilah yang menjadikan posisi dan peran sector bisnis menjadi semakin penting. Terlebih dalam isu pemanasan global, korporasi multinasional menjadi pihak yang dituding mempunyai andil atas kerusakan lingkungan di negara sedang berkembang . Tidak heran bila sasaran kegiatan CSR banyak yang diarahkan pada kegiatan pelestarian dan pemeliharan lingkungan alam. Hal ini sesuai dengan Commission of the European Communities (2001) yang merumuskan CSR sebagai konsep dimana perusahaan mengintegrasikan pertimbangan sosial dan lingkungan dalam operasi bisnisnya dan dalam interaksinya dengan stakeholders atas dasar prinsip kesukarelaan.
Adanya CSR menjadikan paradigma dikotomi sektor publik dan sektor privat menjadi kabur. Manajemen problem dan kepentingan publik tidak lagi hanya menjadi kewajibannya administrasi negara, tapi dalam kasus tertentu juga melibatkan sektor non-government yakni sektor bisnis dan sektor ketiga (LSM dan organisasi non-profit).
Agar perusahaan dapat menjalankan tanggung jawab sosialnya dengan baik, maka pemerintah atau organisasi public harus dapat berfungsi  menyediakan ‘enabling environment” bagi CSR. World Bank (2002) mengklasifikasikan empat peran sector public dalam CSR : mandating , facilitating, partnering, endorsing.
Dalam menjalankan peran “mandating”, badan pemerintah merumuskan standar minimal kinerja bisnis yang tertuang dalam kerangka hukum. Misal menetapkan aturan nilai batas emisi untuk instalasi industri tertentu, atau menetapkan persyaratan agar faktor-faktor tertentu menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang diambil oleh  direktur perusahaan.
Dalam menjalankan peran „facilitating“, badan pemerintah menumbuhkan kondisi, memfasilitasi, atau memberi insentif agar perusahaan mau melaksanakan agendan CSR atau ikut terlibat dalam program perbaikan sosial dan lingkungan. Peran pemerintah disini adalah sebagai catalytic atau pemberi dukungan (supporting role), misalnya dengan menyediakan dana bagi riset ,penyebaran informasi, pelatihan ataupun kampanye penyadaran.
Peran sebagai „partnership“ merupakan peran penting dalam agenda CSR. Kemitraan strategis menjadi sarana berbagi skills dan input dari sektor publik, privat dan masyarakat sipil dalam mengatasi problem sosial dan lingkungan yang kompleks. Dalam hal ini, pemerintah dapat menjalankan peran sebagai partisipan, penyelenggara konperensi (convenor), atau fasilitator.
Peran keempat adalah peran memberi dukungan politik dan pengesahan (endorsement) atau legitimasi terhadap CSR. Peran pengesahan dapat mengambil berbagai bentuk, dapat melalui dokumen kebijakan, praktek manajemen sektor publik, penghargaan terhadap perusahaan yang menjalankan CSR, misalnya  menyelenggarakan acara CSR Award.
Secara terperinci berikut ini ruang lingkup aktivitas atau fungsi  sektor publik dalam CSR menurut World Bank (2002):
• Menetapkan standar minimal bagi aktivitas bisnis.
• Mendorong dan menjamin kepatuhan
• Menetapkan kerangka kerja bagi partisipasi sektor bisnis dalam kebijakan publik.
• Mendukung aksi warganegara  dalam melawan perusahaan yang berkinerja buruk.
• Menciptakan insentif fiscal bagi aktivitas pro- CSR
• Terlibat dalam inisiatif, konvensi, dan (penyusunan)  petunjuk  antar instansi
   pemerintah maupun internasional
• Menetapkan tujuan kebijakan dan keseluruhan kerangka strategis bagi tindakan
   sektor privat.
• Sebagai katalisator inisiatif CSR sukarela.
• Merumuskan prioritas sosial ekonomi sebagai dasar pengembangan bisnis perusahaan.
• Mempromosikan CSR melalui koordinasi antar departemen.
• Mengkoordinir kegiatan industri dan masyarakat sipil.
• Memimpin dengan keteladanan (melalui penetapan kebijakan dan manajemen publik)
• Mempromosikan pilihan konsumen yang pro-CSR.
• Promosi ekspor yang pro-CSR
• Mengembangkan, mendukung, dan  melaksanakan aturan CSR.
• Melakukan stimulasi pasar yang pro-CSR
• Mempromosikan kepentingan stakeholders tertentu (yang pro-CSR)
• Merumuskan batas-batas agenda CSR d-untuk konteks local maupun nasional.
• Menjalin kemitraan : antarpemerintah dan/atau dengan bisnis dan masyarakat sipil.
• Mengkaitkan aktivitas CSR dengan pembiayaan sektor publik
• Mendorong investasi dan pinjaman yang bertanggungjawab.
• Melakukan penilaian tentang hal-hal yang mendukung praktek (CSR) terbaik secara  formal maupun informal.
• Diseminasi informasi tentang praktek CSR yang baik
• Menjelaskan tentang CSR pada perusahaan dan stakeholders lainnya.
• Megembangkan tehnik yang berbasis ilmu pengetahun kepada bisnis-bisnis yang pro-CSR
• Pengembangan kapasitas untuk membantu perusahaan agar dapat memenuhi persyaratan CSR eksternal
• Mendukung masyarakat sipil untuk menggerakkan CSR
• Memberi informasi dan mendidik pelaku bisnis, consumer, pegawai, investor, dan regulator.
• Memfasilitasi dialog di kalangan stakeholders
• Memberi dukungan politik bagi inisiatif CSR
• Memberi penghargaan pada perusahan yang menerap CSR terbaik
Deskripsi  peran pemerintah dalam CSR sebagaimana dilansir oleh World Bank menggambarkan bahwa pada tataran praktek tidak bisa dipisahkan secara tegas antara peran sektor bisnis di aktivitas ekonomi yang berorientasi profit dan sektor publik di aktivitas sosial politik yang berorientasi pada kepentingan publik. Pemerintah berperan penting dalam menciptakan kondisi yang kondusif bagi kegiatan bisnis yang sehat maupun dalam menfasilitasi tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Peran negara idealnya adalah menyediakan “enabling environment” bagi terselenggaranya CSR bukan sebagai pihak yang memberi komando atau kontrol melalui regulasi yang bersifat memaksa.
CSR di Indonesia saat ini menjadi isu yang hangat dengan diaturnya kegiatan CSR dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT)  khususnya pasal 74 yang menyebutkan :
1.   Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
2.   Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
3.   Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4.   Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Peraturan yang mewajibkan CSR diatas mengundang polemik di kalangan praktisi bisnis dan para pakar. Mereka yang setuju menyebutkan bahwa sudah seharusnya perusahaan mengalokasikan anggaran khusus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Yang tidak setuju berdalih kesejahteraan masyarakat adalah tanggung jawab negara, bukan perusahaan.
Notaris senior Partomuan Pohan ,salah satu konseptor UU PT, mendukung pengaturan CSR dalam undang-undang dengan pertimbangan  masih banyak perusahaan kakap yang setengah hati menjalankan CSR (http://www.hukumonline.com). Partomuan , menyitir data yang disodorkan oleh Griffhs dalam buku yang berjudul Human and Environmental Rights: The Need for Corporate Accountability, menyatakan di Inggris dari 350 perusahaan besar yang tergabung dalam The Financial Times Stock Exchanges (FTSE), hanya 79 perusahaan yang membikin laporan tentang dampak sosial dan lingkungan dari praktek bisnisnya. Di tingkat global, ada 61 ribu perusahaan transnasional serta 900 ribu perusahaan afiliasinya. Namun hanya dua ribu alias 3,2% yang melaporkan dampak sosial lingkungan.
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Hariyadi B Sukamdani (Kompas.com, 19 Februari 2009) berpendapat bahwa bentuk CSR tidak bisa diatur dengan suatu UU yang membakukan bentuk dari CSR. " CSR itu kan sifatnya sukarela, jadi bentuknya juga beda-beda di tiap perusahaan sesuai dengan kebijakan perusahaan dan kebutuhan masyarakat sekitar ".
Senada dengan Hariyadi, pengamat ekonomi Faisal Basri mengatakan bahwa CSR ini tidak bisa diregulasi sebagai kewajiban hukum (legal obligation). "CSR itu kalau sudah diwajibkan is not CSR anymore, " ujar Faisal (Kompas.com,19 Februari 2009). Faisal Basri mengharapkan agar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas jangan dijadikan alat untuk pengalihan tanggung jawab pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan kepada perusahaan-perusahaan swasta. "Ingat, tugas mengentaskan orang miskin tuh tugasnya pemerintah. Silakan swasta melakukan tindakan-tindakan komplemen. Jadi, CSR ini bukan substitusi dari tugas-tugas pemerintah, " ujar Faisal.
Lebih lanjut Faisal Basri menjelaskan bahwa tugas pengentasan kemiskinan bukanlah tugas utama perusahaan-perusahaan swasta, tetapi tugasnya pemerintah. "Jadi kalau perusahaan ingin mengentaskan kemiskinan di daerah sekitarnya, silakan tapi itu bukan kewajiban, karena itu lebih bersifat tanggung jawab sosial," ujar Faisal.
Polemik tentang apakah CSR itu bersifat wajib atau sukarela menggambarkan perdebatan klasik antara paradigma corporate voluntarism dan corporate involuntarism. Memang pada substansinya CSR merupakan tanggungjawab sosial yang bersifat sukarela. Namun “sukarela” disini tidak berarti perusahaan boleh untuk menghindar dari kewajiban sosial (CSR) tersebut. Dampak yang ditimbulkan oleh praktek bisnis perusahaan besar, terutama yang bergerak dalam industri ekstratif sumber daya alam, terhadap kelestarian alam dan lingkungan sekitar sangatlah luar biasa sehingga setiap bentuk dampak negatif yang ditimbulkannya tidak bisa dipertanggungjawabkan hanya secara “sukarela”. Dampak eksternalitas semacam ini, merupakan salah satu problem publik yang  harus ditangani  administrasi negara. Menurut Caiden (1982) tanggungjawab penanganan masalah eksternalitas menjadi salah satu tugas dalam fungsi manajemen ekonomi yang dijalankan  administrasi negara. Jadi adanya CSR sesungguhnya tidak merubah secara substansial fungsi administrasi negara.
Terkait dengan polemik UU PT pasal 74 perlu ditekankan bahwa yang diwajibkan melaksanakan CSR adalah perusahaan yang bergerak dalam industri alam. Menurut UUD 45 industri pengolahan sumber daya alam merupakan industri strategis karena kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak seharusnya dikelola negara. Eksternalitas atau dampak ekternal aktivitas bisnis yang tidak diperhitungkan dalam perhitungan cost-benefit perusahaan harus menjadi tanggungjawab bersama negara dan pelaku bisnis. Kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo menjadi alasan kuat perlunya kebijakan publik yang mengatur tentang CSR. Pelaku bisnis tidak bisa berteriak protes saat negara dianggap mengatur usaha bisnis mereka, namun saat ada kasus seperti bencana lumpur Sidoarjo mereka lari ke pemerintah untuk ikut bertanggungjawab dengan dalih bahwa bencana itu sebagai bencana alam.
Menurut Lily Afiah (http:www. fe.elcom.umy.ac.id) adanya undang-undang yang mewajibkan CSR dapat dipahami sebagai tuntutan agar perusahaan benar-benar menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam menjalankan aktivitas bisnisnya. Prinsip transparansi menuntut perusahaan untuk memaparkan dan mengkomunikasikan kebijakan dan praktik-praktik yang dijalankannya, terutama yang berdampak pada karyawan, masyarakat dan lingkungan. Sedangkan dalam akuntabilitas, pemangku kepentingan mengharapkan perusahaan memiliki kinerja yang baik dalam bidang non-finansial seperti dalam hak asasi manusia, peningkatan kapasitas, kebijakan lingkungan dan lain-lain. Targetnya yakni membuat seluruh praktik bisnis tidak hanya bertanggung jawab secara sosial, tapi juga akuntabel dan transparan dengan membuat standar audit sosial atas praktik bisnis.
Untuk mendukung implementasi CSR sebagai bagian dari praktek bisnis yang akuntabel, negara harus membuat aturan pelaksanaan yang jelas dan transparan bagaimana mekanisme pemungutan dan pertanggungjawaban CSR. Jangan sampai negara berperan seperti preman yang memungut sekian persen dari para pedagang tanpa ada transparansi tujuan dan pemanfatannya.
CSR juga tidak boleh menjadi bentuk privatisasi kewajiban sektor publik. Jalal, Pamadi Wibowo dan Sonny Sukada (Lingkar Studi CSR, A+ CSR Indonesia) menyatakan CSR tidak boleh menjadi sarana untuk memindahkan apa yang menjadi beban pemerintah ke pundak swasta. Ketika pemerintah gagal memenuhi kewajibannya, swasta dipilih untuk menanggung beban itu. Contoh sangat gamblangnya adalah permintaan SBY baru-baru ini agar perusahaan menyisihkan dana untuk pendidikan, padahal pemerintahannya sendiri belum lagi memenuhi kewajiban konstitusi untuk menyediakan 20% APBN untuk pendidikan
Dalam implementasi CSR negara tidak boleh lepas tangan,  keempat peran administrasi negara (mandating, fasilitating, partnership, dan endorsing) harus dijalankan secara maksimal. Dampak eksternalitas dunia usaha merupakan problem yang berdampak pada orang banyak sehingga tidak bisa dirumuskan sebagai problemnya sektor bisnis semata. Efektivitas pelaksanaan CSR menuntut peran serta seluruh sektor khususnya pendampingan dan kontrol lembaga negara.
Konsep CSR menunjukkan masalah publik saat ini berkembang semakin kompleks. Problem publik tidak lagi bisa dibedakan secara tegas dengan problem privat atau bisnis. Apa yang menjadi problem di ranah  privat atau bisnis bisa berdampak secara publik. Apa yang dirumuskan sebagai masalah publik bisa berdampak besar pada aktivitas privat atau bisnis.. Karena itu paradigma dikotomi sektor bisnis dan sektor publik tidak bisa diterapkan dalam memahami fenomena CSR. 
Di era globalisasi sektor bisnis tidak lagi hanya sebagai organisasi yang  mengejar pertumbuhan kekayaan material semata. Seperti dinyatakan oleh Peter Sutherland (dalam Asmin Fransiska ), Business is the motor for the creation of prosperity. Business creates revenues, jobs, salaries, dividends, and trade for their suppliers. They develop skills. They innovate to produce new products and services. Business can do all of these things in places and in ways that help to alleviate human suffering and help to resolve global problems”.
Karena itu, Georg Kell - Executive Head dari Global Compact - menggunakan istilah unnecessary dichotomy untuk menjelaskan hubungan sektor bisnis dan sektor publik. Menurutnya, orang harus keluar dari diskusi manakah yang lebih superior: sukarela atau wajib, melainkan pendekatan mana yang memiliki dampak paling besar dan dalam kondisi apa. Ia juga menekankan bahwa keduanya bersifat komplementar, jadi tidak perlu dipilih salah satunya.
Dengan demikian, perdebatan tentang apakah suatu masalah itu menjadi tanggungjawab di ranah publik atau ranah privat tidak lagi relevan dalam studi administrasi publik. Masalah apapun - baik individu, bisnis, publik - sepanjang masalah itu menimbulkan dampak kepada masyarakat luas  bisa dikategorikan sebagai masalah publik. Implikasi dari paradigma unnecessary dichotomi membuat locus studi administrasi negara tidak lagi berada di kelembagaan negara (birokrasi) tapi  pada semua lembaga – negara, bisnis dan non-profit – sejauh lembaga-lembaga itu terlibat dalam menangani masalah yang berdampak terhadap kepentingan publik.


Kesimpulan

Corporate Social Responsibility (CSR) adalah suatu konsep yang menggambarkan tanggungjawab perusahaan terhadap tindakan dan kebijakan perusahaan yang berdampak terhadap lingkungan alam dan komunitas dimana perusahaan itu beroperasi. Kegiatan CSR  yang dilakukan oleh beberapa perusahaan besar di Indonesia, sebagian besar masih bersifat karitatif, tidak diselenggarakan secara terencana dan bersifat temporer atau berorientasi jangka pendek. CSR masih dianggap sebagai bentuk kegiatan amal perusahaan. Dengan demikian, motivasi untuk menjalankan CSR lebih didorong oleh kesadaran sosial spiritual. Belum banyak perusahaan yang menjadikan CSR sebagai bagian dari strategi bisnis jangka panjang atau sebagai bentuk pertanggungjawaban sosial atau etika bisnis perusahaan.
Fenomena CSR merupakan bukti bahwa perumusan problem atau kepentingan publik tidaklah mudah. Aktivitas dan keputusan  lembaga apapun yang berdampak pada kepentingan orang banyak dapat dipandang sebagai problem atau kepentingan public. Adanya CSR berimplikasi pada locus studi administrasi publik.   Locus studi administrasi negara tidak lagi pada kelembagaan negara yang memegang mandat kepentingan publik, tapi mencakup semua lembaga – negara, privat/bisnis maupun non profit - sepanjang lembaga-lembaga ini melaksanakan kepentingan publik atau tindakannya berdampak kepada kepentingan publik. Corporate Social Responsibility (CSR) dipahami oleh sebagian besar perusahaan di Indonesia sebagai tanggungjawab sosial yang bersifat sukarela  Karena itu adanya aturan yang menjadikan CSR sebagai kewajiban mendapat tantangan dari para pelaku bisnis. Untuk mengeliminir prasangka negatif dunia usaha, negara harus mengefektifkan perannya sebagai penyedia “enabling environment’ . Pemerintah jangan hanya memposisikan diri sebagai pemberi komando, regulator atau pengawas CSR.  Pemerintah harus banyak menjalankan aktivitas nonregulatori  seperti penyelenggarakan pelatihan atau pendampingan CSR, koordinasi pelaksanaan CSR antardepartemen maupun antar stakeholder, membiayai penelitian-penelitian tentang CSR, memberikan insentif untuk perusahaan-perusahaan yang memiliki kinerja CSR yang baik dan memberi disinsentif bagi mereka yang berkinerja buruk.
          Agar tidak terjadi penyalahgunaan CSR perlu dikembangkan standard penilaian dan mekanisme pengawasan yang transparan, adil dan akuntabel. Untuk itu perlu adanya lembaga pengawas CSR yang independent yang terdiri dari para pakar CSR, pakar lingkungan, pemerintah dan masyarakat setempat         
           Yang terpenting , pemerintah jangan sekali-kali menjadikan CSR sebagai alat untuk menambah pundi-pundi pendapatan negara atau daerah ataupun media untuk mengalihkan sebagian tanggungjawab negara ke sektor bisnis. Lembaga negara juga tidak boleh  berperan sebagai agen CSR. Lembaga negara harus netral, peran negara sebatas sebagai mediator dan fasilitator CSR. Pelaksana dan otoritas implementasi diserahkan sepenuhnya pada sektor bisnis atau sektor ketiga (NGO non-profit). Kesediaan lembaga negara sebagai agen pelaksana CSR akan membuka peluang kolusi antara korporasi dan negara.


Daftar Pustaka


Achda, B. Tamam. 2006. Konteks Sosiologis Perkembangan Corporate Social Responsibility  (CSR) dan  Implementasinya  di  Indonesia. Disampaikan pada Seminar Nasional: A Promise of Gold Rating: Sustainable CSR, di Hotel Hilton, Jakarta , 23 Agustus 2006 - www.menlh.go.id/serbaserbi /csr/ sosiologi.pdf.

Achwan, Rochman . 2006. Corporate Social Responsibility : Pertikaian Paradigma dan Arah Perkembangan. GALANG, Jurnal Filantropi dan Masyarakat Madani. Volume 1 No.2, Januari
Afiah, Lily. Kontraversi Kewajiban CSR bagi Perusahaan . http :www. fe.elcom. umy.ac.id  /.../ Lily_Afiah_20050410007_GCG_  Kontraversi_Kewajiban_ _bagi_ Perusahaan.doc
Frederickson, George H. 1997. The Spirit of Public Administration. Jossey-Bass Publisher. San Fransisco
Fox, Tom. ,  Halina Ward, dan Bruce Howard (World Bank). 2002. Public Sector Roles in Strengtening  Corporate  Social Responsibility : A Baseline Study. http://www.ifc.org/ifcext/economics.nsf/AttachmentsByTitle/CSR-CSR_interior. pdf/ $FILE/CSR-CSR_interior.pdf
Fransiska, Asmin. The Need of Human Security Protection in Indonesia: The Role of Bussiness Sector
Hohnen , Paul. 2007.  Corporate Social Responsibilty, Implementation Guide for Business. < www.iisd.org/pdf/2007/csr_guide.pdf - >
Jalal, Pamadi Wibowo dan Sonny Sukada. Regulasi CSR dalam Hasil Sinkronisasi UU Perseroan Terbatas: Masukan untuk Meninjau Ulang.
Koestoer, Yanti Triwadiantini. www.aseanfoundation.org/.../Yanti%20 Koestoer %20%20Paper%202007.pdf
Miles, Matthew dan A.`Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. UI Press. Jakarta
Moon, Jeremy dan David Vogel. 2008. Corporate Social Responsibility, Government, and Civil Society - www.haas.berkeley.edu/faculty/pdf/vogel_ oxford_ chapter.pdf
Saidi, Zaim. Membangun CSR dan Filantrofi yang Aplikatif
http://www.ibl.or.id/en/ibl/html/data/File/PPF/filan_perus/Membangun_CSR_dan_Filantropi_yang _Aplikatif.pdfhttp://www.ibl.or.id/en/ibl/html/data/File/PPF/filan_perus/Membangun_CSR_dan_Filantropi_yang_Aplikatif.pdf
Shafritz, Jay.M dan EW. Russel, 1997, Introducing Public Administration, Longman,
 New York.1997
Shauki, Elvia dan Chaerul D. Djakman. Corporate Social Responsibility and Poverty Allevation : Social Performance Indicators in The Indonesian Companies. http://www.  unisa.edu.au/ commerce/ events/ docs/2008/poverty.doc

1 komentar:

  1. menarik artikelnya, namun sepertinya saya pernah membaca beberapa bagian dan alinea dari artikel saudara yang copas [karena persis per kata] dari Jurnal jejaring administrasi publik Th. IV. Nomor 1, Januari - Juni 2012 berjudul Administrasi Negara dan CSR: sebuah enabling environment yang di tulis oleh Bintoro Wardiyanto Mahasiswa program Doktoral PSDM, Pascasarjana Unair. dan jurnal tersebut tidak ditulis dalam daftar pustaka artikel anda.

    BalasHapus