Pendahuluan
Dunia saat ini
sedang menghadapi krisis global. Eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan
demi akumulasi laba dan kapital sektor bisnis telah memicu terjadinya berbagai
bentuk problem publik seperti krisis
lingkungan ,sosial, pangan dan energi. Problem publik semacam ini tidak lagi
efektif ditangani dalam lingkup lokal atau nasional tapi telah menjadi problem
publik global (global public goods).
Negara
yang selama ini dipandang sebagai organisasi pemegang otoritas dan peran dalam
menangani problem publik menjadi tidak berdaya mengatasi problem publik,
terlebih problem publik global. Globalisasi dan lemahnya
kapasitas sektor publik (Negara) untuk menangani masalah publik telah mendorong
meningkatnya peran serta aktor non-negara
dalam bidang sosial.
Mencermati
penanganan bencana alam yang banyak terjadi di Indonesia beberapa tahun
terakhir dapat diamati gejala menarik yakni semakin besarnya peran serta
masyarakat dalam tanggap darurat terhadap para korban gempa. Bahkan dapat
dikatakan aktor non negara memberi
respon tanggap darurat lebih cepat
dibanding lembaga atau aparatur pemerintah. Begitu tersiar kabar terjadinya
bencana, berbondong-bondong organisasi masyarakat dan perusahaan mengupayakan
penggalangan bantuan finansial maupun nonfinansial dan disalurkan dengan
mekanisme yang lebih cepat dan efektif dibanding penyaluran bantuan lewat
lembaga pemerintah.
Saat ini di Indonesia, semakin
banyak perusahaan besar yang terlibat dalam kegiatan non bisnis atau social.
Perusahaan merasa memiliki tanggungjawab sosial terhadap kesejahteraan
stakeholder-nya (customer, pegawai, masyarakat luas) maupun kesehatan
lingkungannya. Ada gejala kegiatan sosial yang dilakukan oleh perusahaan besar
tidak lagi sekedar kegiatan karitatif atau filantrofis yang bersifat darurat
atau temporer tapi sudah dikelola secara lebih serius dan menyatu sebagai
bagian dari manajemen bisnis. Kegiatan
ini yang akhir-akhir ini dikenal dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR).
Di tengah berbagai terpaan krisis
global saat ini, penerapan CSR sebagai
sebuah standar beroperasinya perusahaan dapat menjadi salah satu jalan atau
upaya untuk turut mengurangi dampak krisis. Dari sisi studi administrasi publik, perkembangan
CSR menjadi isu yang menarik. Persoalan problem publik seperti masalah bencana
alam, kemiskinan, kesenjangan pendidikan, dan sebagainya selama ini dikenal
sebagai domain administrasi publik. Namun adanya tanggung jawab social
perusahaan (CSR) telah menempatkan organisasi bisnis menjadi salah satu aktor yang
berkontribusi dalam pemecahan masalah publik. Keikutsertaan sektor bisnis dalam
memecahkan problem sosial menunjukkan bahwa organisasi bisnis tidaklan identik
dengan usaha mengejar keuntungan atau akumulasi kapital semata. Kebijakan CSR
membuktikan komitmen dunia usaha untuk ikut memikul segala dampak yang
ditimbulkan oleh aktivitas industri terhadap lingkungan maupun komunitas dimana
ia beroperasi. CSR merupakan bentuk pertanggungjawaban perusahaan pada
stakeholders atau pemangku kepentingan yang terkait dengan aktivitas bisnisnya.
Lebih jauh penelitian ini
hendak mengkaji implementasi CSR sebagai bentuk pertanggungjawaban publik
sektor bisnis di Indonesia dan bagaimana implikasinya terhadap studi
administrasi publik.
Tinjauan Pustaka
Istilah Corporate Social Responsibility (CSR) atau Tanggungjawab Sosial
Perusahaan akhir-akhir ini semakin banyak dibicarakan seiring dengan semakin
meningkatnya perhatian dan tuntutan terhadap
tanggung jawab sosial perusahaan, baik di lingkup local, nasional maupun
global. Menurut Wikipedia, Corporate Social
Responsibility (CSR) yang
juga disebut dengan berbagai istilah seperti corporate responsibility,
corporate citizenship, responsible business, sustainable responsible business (SRB)
and corporate social performance pada dasarnya merupakan suatu bentuk
regulasi diri perusahaan (corporate self-regulation) yang terintegrasi ke dalam
suatu model bisnis.
Menurut ISO 26000, tanggungjawab sosial (social responsibility) menjadi
tanggungjawab semua organisasi : pemerintah, perusahaan dan organisasi sipil.
Definisi kerja Social Responsility
menurut ISO 26000 Working Group on Social Responsibility, Sydney,
February 2007 (Paul Hohnen, 2007) adalah tanggungjawab suatu organisasi
atas dampak keputusan dan
aktivitasnya terhadap masyarakat dan
lingkungan melalui perilaku yang transparan dan beretika serta konsisten dengan
pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat ; dengan
mempertimbangkan harapan stakeholder; sesuai dengan hukum dan norma perilaku internasional; dan
terintegrasi ke seluruh organisasi (Social
responsibility (is the) responsibility of an organisation for the impacts of
its decisions and activities on society and the environment through transparent
and ethical behaviour that is consistent with sustainable development and the
welfare of society; takes into account the expectations of stakeholders; is in
compliance with applicable law and consistent with international norms of
behaviour; and is integrated throughout the organisation ).
Corporate
Social Responsibility (CSR) secara spesifik menunjuk pada tanggungjawab sosial perusahaan atau dunia
bisnis terhadap dampak aktivitas bisnis terhadap lingkungan, konsumer, pegawai,
komunitas, stakeholder dan semua anggota yang berada dalam ranah publik. Lebih
lanjut, organisasi bisnis secara proaktif mempromosikan kepentingan publik
dengan mendorong pertumbuhan dan pembangunan komunitas, dan secara sukarela
meminimalisir praktek-praktek yang
mengganggu wilayah publik. Pada prinsipnya, CSR merupakan upaya memasukkan
faktor kepentingan publik dalam pengambilan keputusan perusahaan (Wikipedia)
Konsep CSR dikenal sejak
tahun 1970an sebagai kumpulan kebijakan yang berhubungan dengan stakeholder,
nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum, penghargaan masyarakat dan lingkungan,
serta komitmen badan usaha untuk berkontribusi dalam pembangunan berkelanjutan.
Hardinsyah (dalam Mahmudisiwi , http://www.dikti.org), mengutip World Business Counsil for Sustainable
Development (WBCSD), merumuskan CSR sebagai komitmen untuk berkontribusi
terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan; bekerja dengan para karyawan
dan keluarganya, masyarakat setempat dan masyarakat secara luas dalam
meningkatkan kualitas hidup mereka.
Shauki dan
Djakman (http://www.unisa.edu.au ) merumuskan CSR sebagai bentuk perhatian organisasi (perusahaan) pada kepentingan masyarakat dengan cara
mengambil tanggungjawab atas dampak aktivitas perusahaan terhadap customer,
supllier, pekerja, pemegang saham, komunitas dan stakeholder lainnya
termasuk aktivis lingkungan dan
regulator (Corporate social responsibility (CSR) is where organizations consider the interests of society
by taking responsibility for the impact of their operation activities on customers, suppliers, employees, shareholders, communities and other
stakeholders, including the environmentalists and the regulators).
Dalam komunitas bisnis, CSR disebut sebagai “corporate citizenship” yang artinya
perusahaan harus menjadi tetangga yang baik di lingkungan masyarakat tempatnya bekerja.
Tamam Achda (2006) menyatakan CSR dapat didefinisikan
sebagai tanggung jawab moral suatu perusahaan terhadap para strategic-stakeholdersnya,
terutama komunitas atau masyarakat di sekitar wilayah kerja dan operasinya. CSR memandang perusahaan sebagai agen moral.
Dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah perusahaan harus menjunjung tinggi
moralitas. Parameter keberhasilan suatu perusahaan dalam pandangan CSR adalah pengedepanan
prinsip moral dan etis, yakni menggapai suatu hasil terbaik , dengan paling
sedikit merugikan kelompok masyarakat lainnya. Salah satu prinsip moral yang
sering digunakan adalah golden-rules, yang mengajarkan agar seseorang
atau suatu pihak memperlakukan orang lain sama seperti apa yang mereka ingin diperlakukan.
Dengan begitu, perusahaan
yang bekerja dengan mengedepankan prinsip moral dan etis akan memberikan manfaat
terbesar bagi masyarakat.
Dari
beberapa definisi tentang CSR dapat disimpulkan intinya CSR merupakan
bentuk praktek bisnis yang transparan yang berlandaskan pada nilai etika,
ketaatan hukum, dan penghargaan pada
manusia, komunitas, dan lingkungan. Dengan kata lain, Tanggung Jawab Sosial
Perusahaan menunjukkan bahwa bentuk akuntabilitas publik sektor bisnis tidak hanya terbatas pada akuntabilitas
ekonomis kepada konsumen, karyawan dan pemegang saham saja, tapi juga tanggung
jawab sosial perusahaan terhadap komunitas dan lingkungannya.
Rochman Achwan (2006)
menyatakan CSR bukanlah sekadar gagasan namun juga institusi sosial yang
berhubungan dengan persoalan hubungan bisnis dan masyarakat. Karena itu CSR
dapat dipandang sebagai discourse ;
pertempuran antar mazhab pemikiran , school
of thought, masing-masing ditopang oleh jaringan kekuasaan. Penguatan CSR
saat ini tidak terlepas dari gejala gelombang demokratisasi berskala global
yang terjadi selepas berakhirnya Perang
Dingin. Gelombang demokratisasi telah
melahirkan tiga perkembangan penting : runtuhnya pemerintahan otoriter,
kemunculan sistem ekonomi pasar dan LSM berskala global. Ketiga perkembangan
ini telah mengubah tata hubungan antara negara, dunia bisnis dan masyarakat.
Bila di masa lalu, negara cenderung mengabaikan hak masyarakat dalam melindungi
beroperasinya perusahaan multinasional, di masa kini, masyarakat lokal dan LSM
memiliki peran semakin penting dalam mendorong perilaku perusahaan melindungi
lingkungan dan menghormati hak asasi manusia.
Sepanjang dasawarsa 1990-an,
rentetan litigasi dilakukan oleh pengacara public
interest di Amerika Serikat, mewakili korban di berbagai negara berkembang
atas tuduhan perusahaan multinasional melakukan pelanggaran hak asasi manusia.
Sungguh pun tuduhan ini banyak ditolak pengadilan, namun peristiwa hukum ini
membawa pengaruh besar dalam membawa perubahan besar dalam arah perkembangan
CSR. Rentetan peristiwa hukum ini merupakan awal perdebatan mengenai perlu
tidaknya negara merumuskan UU yang
mewajibkan perusahaan multinasional memraktekkan CSR. Dua ide dasar yang
saling bertentangan dalam perdebatan ini adalah pertama, self-regulation and voluntarism dan kedua, obligatory and norm binding. Ide pertama dicetuskan Uni Eropa dan
PBB dan ide kedua oleh LSM Internasional seperti Christian Aid dan Oxfam.
Sebagai reaksi atas pertikaian kedua ide tersebut, muncul ide ketiga yang
menolak kedua ide terdahulu : the
business of business is business. Dengan demikian ada tiga ideologi yang mendominasi definisi dan praktek
CSR di arena publik yakni : the business
of business is business, corporate voluntarism dan corporate involuntarism.(Ibid)
Asumsi dasar the
business of business is business adalah bahwa perusahaan pada hakekatnya
merupakan institusi pencipta kesejahteraan masyarakat. Setiap perusahaan
memiliki tujuan tunggal memaksimalkan keuntungan untuk pemiliknya dan
menciptakan lapangan pekerjaan. Para penyokong
aliran pemikiran ini berpendapat bahwa kedermawanan , community development ataupun donasi bukan saja bertentangan dengan
hakekat perusahaan, namun juga tidak etis dilakukan perusahaan. Semua kegiatan
filantrop pada dasarnya merupakan pencurian uang milik pemegang saham yang
dilakukan direktur perusahaan. Kegiatan
semacam itu tidak boleh diambil alih oleh perusahaan mengingat ini merupakan
domain negara.
Berbeda dengan aliran pertama, corporate voluntarism lebih menekankan
aspek kabajikan, virtue, dalam
mengejar keuntungan perusahaan. Asumsi dasar dari aliran pemikiran ini ,
pertama, adalah bahwa setiap perusahaan dengan suka rela dapat mengembangkan
dan menjalankan CSR. Penyokong aliran ini menolak campur tangan negara dalam
mengatur CSR di perusahaan. Kedua, kepedulian terhadap masyarakat atau konsumen
dapat mendorong keuntungan ekonomi suatu perusahaan. Ketiga, keberadaan
perusahaan tidak dapat dilepaskan dari masyarakat tempat perusahaan tersebut
beroperasi. Enlightment Self Interest
atau kepentingan perusahaan yang tercerahkan , berarti memasukkan dimensi
masyarakat tanpai mengabaikan tujuan utama yaitu mengejar keuntungan yang
maksimal.
Berbeda dengan corporate voluntarism, dasar pemikiran aliran corporate
involuntarism adalah setiap perusahaan memiliki kewajiban menjalankan tanggung
jawab sosial. Kewajiban ini harus dituangkan dalam bentuk UU. Para
penyokong aliran ini berpendapat bahwa dalam kondisi ketika perusahaan
multinasional jauh lebih berpengaruh dibanding
dengan negara bangsa , self
regulation dan voluntarism
tidaklah mencukupi.
Perdebatan antar paradigma CSR diawali dengan
perdebatan politik dan moral mengenai dua isu yang saling bertentangan :” voluntary and self regulation” dengan “obligatory
and norm binding” atau perdebatan antara penyokong corporate voluntarism dan corporate
involuntarism. Dengan dukungan berbagai kalangan profesional dan organisasi
internasional seperti Uni Eropa dan PBB, paradigma voluntarism berhasil
melakukan transformasi CSR dari gagasan politik menjadi kenyataan akademik. Standarisasi dan pengukuran
lewat seperangkat indikator berbagai aspek CSR telah muncul di pasar akademik
internasional. Karena itu corporate
voluntarism bukan hanya berhasil berkembang menjadi mainstream paradigm , tapi juga menjadi lahan “industri” baru bagi
perusahaan keuangan, universitas dan LSM.
Hasil dan Pembahasan
- Penerapan CSR : Implementasi dan Paradigma
Saat ini konsep Corporate Social
Responsibility (CSR) atau Tanggung jawab Sosial Perusahaan di Indonesia bukan
merupakan wacana yang baru lagi tapi telah dilaksanakan oleh sebagian besar
perusahaan besar dan menengah , swasta maupun BUMN, domestik, nasional maupun
internasional. Kalau dulu implementasi CSR kebanyakan masih sebatas pada
pemberian beasiswa suatu perusahaan kepada siswa sekolah mulai dari Sekolah
Dasar hingga Sarjana. Tapi kini, bentuk implementasi CSR bisa bermacam-macam,
dari memberi bantuan kepada para korban bencana alam hingga penghijauan. Standard
Charter Bank (SCB) Indonesia
misalnya, tidak hanya menanam pohon bakau, tetapi juga melakukan kampanye
penyadaran bahaya virus HIV/AIDS dan
juga melakukan operasi katarak bagi masyarakat tidak mampu. Sebagai bentuk
komitmen perusahaan untuk melaksanakan CSR, SCB
mengalokasikan dana US$ 22,4 juta atau 0,86% dari keuntungannya pada
2005 untuk program CSR bagi kantornya yang tersebar di 50 negara.
Sementara itu, Sampoerna Foundation (SF)
mengalokasikan dana sebesar Rp 50 miliar untuk program perluasan akses dan
peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia . Sejak tahun 2001 SF
telah memberikan lebih dari 32,000 beasiswa dari tingkat SD hingga S2, baik di
dalam maupun luar negeri, kepada siswa yang memiliki kemampuan terbaik namun
mengalami kesulitan keuangan. Sejak tahun 2005, SF juga mengolah program
pengembangan sekolah dengan mengadopsi 17 sekolah dan 5 madrasah di
Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Bali .
Program ini memiliki tujuan positif yang tidak hanya ditujukan untuk siswa,
tetapi ditujukan juga untuk guru, kepala sekolah dan sistem pendidikan.
Sampoerna
Foundation didirikan sebagai lembaga nirlaba yang mandiri, terpisah dari PT HM
Sampoerna, dan didedikasikan untuk memperbaiki sektor pendidikan di Indonesia
dan memberikan kesempatan bersekolah bagi generasi muda Indonesia yang memiliki
prestasi akademis baik. Untuk itu, manajemen Sampoerna memutuskan memberikan
dua persen dari laba bersih perusahaan setiap tahunnya kepada Sampoerna
Foundation. Sebagai gambaran, laba
bersih HM Sampoerna tahun 2005 sebesar Rp 2,38 triliun. Bisa dihitung sendiri,
dua persen dari jumlah itu diserahkan kepada Sampoerna Foundation.
Selain
menghibahkan dua persen laba bersih setiap tahun kepada Sampoerna Foundation,
PT HM Sampoerna juga mempunyai berbagai kegiatan CSR, seperti kemitraan
tembakau, kemitraan produksi sigaret, program bina warga, yaitu program
aktivitas sosial ekonomi pendidikan di sekitar pabrik, program bimbingan anak,
penyediaan perpustakaan, penghijauan, dan tim Sampoerna Rescue.
Program
kemitraan tembakau melibatkan 2.035 petani dengan luas lahan 4.820 hektar dan
menghasilkan 10.650 ton tembakau setiap tahun. Perusahaan menyediakan kebutuhan
bibit, pupuk, pestisida, serta memberi pelatihan penanaman dan pemeliharaan
tembakau sesuai standar kualitas perusahaan. Hasil panen dibeli perusahaan
dengan memperhitungkan harga bibit, pupuk, dan obat- obatan.
Program
kemitraan produksi sigaret saat ini mencakup 32 unit produksi di Jawa Timur,
Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Barat. Terdiri dari sembilan
koperasi, tiga pondok pesantren, dan 20 perusahaan kecil menengah, program ini
merekrut lebih dari 51.000 pelinting rokok. Bisa dibayangkan pergerakan ekonomi yang
dihasilkan di sekitar unit tersebut.
Adapun mengenai
model atau pola CSR, Zaim Saidi (http://www.ibl.or.id) menyatakan secara umum pelaksanaan CSR di Indonesia masih
sangat konvensional, berjangka pendek, dan didasari motivasi untuk menolong
anggota masyarakat yang dalam kesulitan; dengan kata lain menyelesaikan masalah
sesaat. Pendeknya perusahaan di Indonesia, pada umumnya, baru pada batas
menjalankan “kewajiban” bersedekah. Hasil
dari survey yang dilakukan Saidi terhadap 266 perusahaan (domestik dan
multinasional) di 10 (sepuluh) kota di Indonesia tahun 2002
menguatkan pendapat tersebut. Sebagian besar (86%) menganggap bahwa
memberi sumbangan adalah wujud nyata dari CSR. Tindakan lain yang dianggap
implementasi CSR adalah mensejahterakan pegawainya (77%0), membayar pajak
(70%).
Saat ini masih
banyak perusahaan di Indonesia
yang mengartikan Corporate
Social Responsibility (CSR) hanya sebagai kegiatan filantropis yang bersifat
sesaat atau jangka pendek. Sesungguhnya Kegiatan CSR tak sekadar memberi
sumbangan kepada masyarakat di sekitar perusahaan. Mereka juga melibatkan
masyarakat dalam kegiatan bisnis di perusahaan.
Misalnya,
ada suatu perusahaan yang membina petani di suatu daerah. Ia bukan cuma
mendidik petani berbudidaya tanaman secara tepat, tetapi juga membantu
penanganan pascapanennya. CSR memang bukan kegiatan yang semata-mata donasi (charity). CSR harus dipandang
sebagai investasi. Lewat CSR, perusahaan
seyogyanya mampu menjadi pemberi kail, bukan ikan. Ia membantu masyarakat menjaga
kesinambungan hidupnya. Sebaliknya, perusahaan pun perlu mendapat manfaat yang
berkesinambungan dari program CSR-nya. Inilah jalan baru dalam dunia bisnis.( http://www.latofienterprise.com
)
Adapun motivasi yang mendorong perusahaan untuk melakukan CSR ada
bermacam-macam. Menurut Saidi, kegiatan kedermawanan sosial
perusahaan dapat dikategorisasikan ke dalam tiga tahap atau paradigma yang
berbeda. Tahap pertama adalah corporate charity, tahap kedua corporate
philantrophy, dan tahap
ketiga adalah corporate citizenship. Motivasi dasar ketiga paradigma ini dapat
dibedakan dari motivasi agamis dan tradisi (charity) , norma dan etika
universal (pemerataan social), dan kontribusi atau keterlibatan social.
Paradigma corporate
citizenship dapat diketemukan dari pernyataan visi dan misi yayasan
Unilever Indonesia Perduli yang didirikan pada tahun 2000 (http://www.unilever.co.id). Tujuan pendirian
yayasan tersebut dinyatakan untuk tumbuh berkembang bersama masyarakat dan
lingkungan dengan cara yang sustainable (memperhatikan keberlangsungan
sumber daya alam). Visinya
adalah berbagi sumber daya demi kehidupan yang lebih baik. Adapun misinya
berbunyi sebagai berikut :” Our mission is to unlock society’s potential, add value to society,
synergise the strengths of our partners and become the inspiring catalyst for
building partnerships”
Untuk
mewujudkan visi dan misi tersebut yayasan Unilever Indonesia Perduli
berkonsentrasi pada empat program :
• Program-program Pengembangan Usaha Kecil
Menengah
• Program
Pemeliharaan Sumber Daya Air
• Program
Daur Ulang, dan
• Program
Pendidikan Kesehatan Masyarakat
Tentang
pentingnya CSR yayasan tersebut menyatakan demikian : Menurut kami CSR tidak
terbatas pada sumbangan sukarela tapi melekat pada tujuan perusahaan. Perspektif
kami tentang CSR dibangun di seputar keseluruhan operasi bisnis. Bisnis yang bertanggungjawab selayaknya
memberi kontribusi pada kesejahteraan masyarakat, ekonomi bangsa, dan
pengetahuan dasar masyarakat dan lingkungan. Untuk menjangkau tujuan yang tidak
sekedar corporate philanthropi, kami berbagi tehnologi dan ketrampilan,
bahkan jaringan rekanan, dalam bentuk kontribusi sukarela. Pada saat yang sama, kami memperluas pemikiran sampai menjangkau pada pasar
sosial. Dengan cara ini kami coba mempengaruhi para stakeholder untuk melihat segala sesuatu
tidak hanya dari perspektif bisnis, tapi juga dari sudut pandang sosial.
Menurut
Yanti T. Koestoer (http://www.aseanfoundation.org ) tidak semua
perusahaan mempunyai komitmen kuat untuk melaksanakan CSR yang baik. Banyak
perusahaan yang melihat CSR sekedar sebagai “kosmetik” untuk mendapatkan
legitimasi yang dapat mempengaruhi opini publik terhadap perusahaan. Untuk
perusahaan yang berorientasi mencari keuntungan , hakekat CSR yang sukarela
ditambah dengan lemahnya penegakan hukum di Indonesia membuat mereka mudah
untuk menghindari keharusan melaksanakan CSR. Sebaliknya, bagi perusahaan yang
sungguh-sungguh mempunyai komitmen untuk menjalankan tanggung jawab sosial,
lemahnya hukum membuat mereka frustasi. Berapa pun besarnya CSR yang mereka
salurkan untuk menyokong pembangunan komunitas, tetap saja ada protes, boikot,
atau pun ancaman fisik yang menempatkan
perusahaan pada situasi dilematis.
- Implikasi Penerapan CSR terhadap
Studi Administrasi Publik
Ilmu
administrasi Negara dikenal sebagai studi yang mempelajari bagaimana organisasi
publik mengelola dan memecahkan urusan dan masalah publik. Selama ini locus atau “where of the field” ilmu administrasi
publik identik dengan organisasi pemerintah atau birokrasi sebagai institusi
pengemban pelayanan publik.
Satu hal
mendasar yang mendorong keberadaan administrasi negara adalah menjalankan
urusan publik yakni segala urusan bersama yang tidak dapat diselesaikan atau
dilaksanakan secara individual (Shafritz dan Russell, 1997). Masalah publik atau kepentingan publik
menjadi landasan dari setiap tindakan dan kebijakan administrasi publik.
Keberadaan organisasi negara sebagai pengemban
amanat kepentingan publik menjadi goyah pada masa krisis. Ketidakberdayaan
negara dalam menangani krisis global tahun 1980an yang memuncak pada tahun
1990an menimbulkan gelombang tuntutan agar birokrasi mengurangi ukurannya yang
besar (big governemnt), sehingga era
ini dikenal sebagai era anti government, anti birokrasi, „governing without Government“ (Frederickson,1997).
Untuk mengatasi krisis, sektor publik mengundang sektor bisnis untuk
ikut terlibat dalam menangani problem-problem publik. Inilah yang menjadi akses
pembuka keterlibatan dunia bisnis dalam aktivitas sosial atau yang kemudian
dikenal sebagai corporate philanthropy
dan terakhir bergeser menjadi paradigma corporate
social responsibility atau CSR. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana implikasi
diterapkannya CSR terhadap studi administrasi negara? Apakah adanya CSR merubah
peran institusi publik (birokrasi) secara mendasar ? Bagaimana peran negara
dalam penerapan CSR? Apakah locus ilmu administrasi negara menjadi berubah
dengan adanya CSR?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas
terlebih dahulu perlu diketahui pemikiran yang berkembang tentang hubungan
negara dan CSR. Posisi dan peran Negara dalam pelaksanaan CSR ,menurut Moon dan
Vogel (2008), bisa dijelaskan melalui dua model. Pertama , model dikotomi yang
melihat CSR dan pemerintah sebagai dua bidang yang eksklusif. Menurut pandangan
ini ruang lingkup CSR bebas dari regulasi atau kebijakan publik. Model kedua memandang CSR sebagai bentuk
relasi antara aktor pasar dengan pemerintah.
Friedman (dalam Moon dan Vogel,2008 ) membedakan
tanggungjawab manajer bisnis dari manajer pemerintah, “Tanggungjawab bisnis
adalah meningkatkan laba”. Pandangan
Friedman berlandaskan pada pemikiran bahwa politisi dan birokrat
bertanggungjawab atau isu-isu publik sedangkan manajer bisnis terlatih dalam
manajemen organisasi bisnis.
Akuntabilitas manajer bisnis pada pemegang saham yang tentunya selalu
mengharapkan perusahaan mendapatkan laba.
Dikotomi tidak menggambarkan realitas kebijakan publik dan praktek
bisnis. Pemerintah mempengaruhi pelaku bisnis agar mendukung perwujudan tujuan
publik melalui regulasi dan insentif. Sebaliknya, kebijakan publik juga
dipengaruhi oleh kepentingan bisnis dan aktivitas lobi pelaku bisnis.
Pemerintah juga bekerja sama dengan organisasi bisnis dan kelompok kepentingan
lainnya dalam formulasi dan implementasi kebijakan.
Model kedua berpandangan meskipun dunia bisnis
terdiri dari indvidu dan perusahaan-perusahaan, namun mereka tidak terlepas
dari konteks sosial dan lingkungan kebijakan. Seperti kata Polanyi, pasar
melekat sebagai bagian dari masyarakat manusia dan diciptakan dan dipertahankan
oleh tindakan Negara, melalui rumusan kebijakan atau aturan hukum yang
melindungi hak property dan jaminan terhadap integritas transaksi pasar. Menurut Granovetter, tindakan ekonomi melekat
pada struktur relasi sosial dan juga hirarki yang membentuk insentif pasar dan
pilihan ekonomi. (Moon dan Vogel,2008).
Model yang membedakan sektor publik dan sektor
bisnis sebagai dua ranah yang eksklusif satu sama lain menggambarkan realitas
ekonomi politik pra-globalisasi yang sejalan dengan pemikiran paradigma
administrasi Negara lama (Old Public
Administration) yang melihat peran Negara sebagai penyedia layanan publik
secara langsung. Paradigma ‘negara kuat’ atau ‘statisme’ ini menguat sampai
tahun 1970an dan mengalami delegitimasi seiring dengan hancurnya ideology
sosialis-komunis.
Krisis ekonomi global , menguatnya demokrasi dan
liberalisasi ekonomi, ditambah dengan kemajuan tehnologi komunikasi informasi
merubah secara frontal tatanan sosial, ekonomi dan politik dunia. Abad 21
menghadirkan pola interaksi antar individu dan organisasi yang bersifat lintas
bangsa, multijaringan atau networking dan menuntut kemitraan multi stakeholder.
Negara bukan aktor dominan dalam manajemen urusan dan problem publik. Problem
publik saat ini tidak terbatas pada lingkup satu Negara, tapi lingkup global .
Problem pemanasan global, wabah penyakit seperti AIDS, virus flu burung, virus
flu babi, ancaman terorisme adalah beberapa contoh problem public berskala
global. Permasalahan ini hanya dapat dipecahkan melalui kerjasama banyak
stakeholders : individu maupun institusi; sektor publik, privat dan masyarakat
sipil; lingkup nasional,regional maupun internasional.
Tantangan masalah publik di era global inilah yang
menjadikan posisi dan peran sector bisnis menjadi semakin penting. Terlebih
dalam isu pemanasan global, korporasi multinasional menjadi pihak yang dituding
mempunyai andil atas kerusakan lingkungan di negara sedang berkembang . Tidak
heran bila sasaran kegiatan CSR banyak yang diarahkan pada kegiatan pelestarian
dan pemeliharan lingkungan alam. Hal ini sesuai dengan Commission of the European Communities (2001) yang merumuskan CSR
sebagai konsep dimana perusahaan mengintegrasikan pertimbangan sosial dan
lingkungan dalam operasi bisnisnya dan dalam interaksinya dengan stakeholders
atas dasar prinsip kesukarelaan.
Adanya CSR menjadikan paradigma dikotomi sektor
publik dan sektor privat menjadi kabur. Manajemen problem dan kepentingan
publik tidak lagi hanya menjadi kewajibannya administrasi negara, tapi dalam
kasus tertentu juga melibatkan sektor non-government yakni sektor bisnis dan
sektor ketiga (LSM dan organisasi non-profit).
Agar perusahaan dapat menjalankan tanggung jawab
sosialnya dengan baik, maka pemerintah atau organisasi public harus dapat
berfungsi menyediakan ‘enabling environment” bagi CSR. World
Bank (2002) mengklasifikasikan empat peran sector public dalam CSR : mandating , facilitating, partnering,
endorsing.
Dalam menjalankan peran “mandating”, badan pemerintah merumuskan standar minimal kinerja
bisnis yang tertuang dalam kerangka hukum. Misal menetapkan aturan nilai batas
emisi untuk instalasi industri tertentu, atau menetapkan persyaratan agar
faktor-faktor tertentu menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan yang
diambil oleh direktur perusahaan.
Dalam menjalankan peran „facilitating“, badan pemerintah menumbuhkan kondisi, memfasilitasi,
atau memberi insentif agar perusahaan mau melaksanakan agendan CSR atau ikut
terlibat dalam program perbaikan sosial dan lingkungan. Peran pemerintah disini
adalah sebagai catalytic atau pemberi dukungan (supporting role), misalnya dengan menyediakan dana bagi riset
,penyebaran informasi, pelatihan ataupun kampanye penyadaran.
Peran sebagai „partnership“
merupakan peran penting dalam agenda CSR. Kemitraan strategis menjadi sarana
berbagi skills dan input dari sektor publik, privat dan masyarakat sipil dalam
mengatasi problem sosial dan lingkungan yang kompleks. Dalam hal ini, pemerintah
dapat menjalankan peran sebagai partisipan, penyelenggara konperensi (convenor), atau fasilitator.
Peran keempat adalah peran memberi dukungan
politik dan pengesahan (endorsement)
atau legitimasi terhadap CSR. Peran pengesahan dapat mengambil berbagai bentuk,
dapat melalui dokumen kebijakan, praktek manajemen sektor publik, penghargaan
terhadap perusahaan yang menjalankan CSR, misalnya menyelenggarakan acara CSR Award.
Secara terperinci berikut ini ruang lingkup
aktivitas atau fungsi sektor publik
dalam CSR menurut World Bank (2002):
• Menetapkan standar minimal bagi aktivitas bisnis.
• Mendorong dan menjamin kepatuhan
• Menetapkan kerangka kerja bagi partisipasi sektor bisnis dalam kebijakan
publik.
• Mendukung aksi warganegara dalam
melawan perusahaan yang berkinerja buruk.
• Menciptakan
insentif fiscal bagi aktivitas pro- CSR
• Terlibat dalam inisiatif, konvensi, dan (penyusunan) petunjuk
antar instansi
pemerintah maupun internasional
• Menetapkan tujuan kebijakan dan keseluruhan kerangka strategis bagi
tindakan
sektor privat.
• Sebagai katalisator inisiatif CSR sukarela.
• Merumuskan prioritas
sosial ekonomi sebagai dasar pengembangan bisnis perusahaan.
• Mempromosikan CSR melalui koordinasi antar departemen.
• Mengkoordinir kegiatan industri dan masyarakat sipil.
• Memimpin dengan keteladanan
(melalui penetapan kebijakan dan manajemen publik)
•
Mempromosikan pilihan konsumen yang pro-CSR.
•
Promosi ekspor yang pro-CSR
•
Mengembangkan, mendukung, dan
melaksanakan aturan CSR.
•
Melakukan stimulasi pasar yang pro-CSR
• Mempromosikan
kepentingan stakeholders tertentu (yang pro-CSR)
• Merumuskan
batas-batas agenda CSR d-untuk konteks local maupun nasional.
•
Menjalin kemitraan : antarpemerintah dan/atau dengan bisnis dan masyarakat
sipil.
•
Mengkaitkan aktivitas CSR dengan pembiayaan sektor publik
•
Mendorong investasi dan pinjaman yang bertanggungjawab.
• Melakukan penilaian tentang
hal-hal yang mendukung praktek (CSR) terbaik secara formal maupun informal.
•
Diseminasi informasi tentang praktek CSR yang baik
•
Menjelaskan tentang CSR pada perusahaan dan stakeholders lainnya.
• Megembangkan tehnik yang berbasis
ilmu pengetahun kepada bisnis-bisnis yang pro-CSR
• Pengembangan kapasitas untuk
membantu perusahaan agar dapat memenuhi persyaratan CSR eksternal
•
Mendukung masyarakat sipil untuk menggerakkan CSR
• Memberi informasi dan mendidik
pelaku bisnis, consumer, pegawai, investor, dan regulator.
•
Memfasilitasi dialog di kalangan stakeholders
•
Memberi dukungan politik bagi inisiatif CSR
•
Memberi penghargaan pada perusahan yang menerap CSR terbaik
Deskripsi peran pemerintah dalam CSR sebagaimana
dilansir oleh World Bank menggambarkan bahwa pada tataran praktek tidak bisa
dipisahkan secara tegas antara peran sektor bisnis di aktivitas ekonomi yang
berorientasi profit dan sektor publik di aktivitas sosial politik yang
berorientasi pada kepentingan publik. Pemerintah berperan penting dalam
menciptakan kondisi yang kondusif bagi kegiatan bisnis yang sehat maupun dalam
menfasilitasi tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Peran negara idealnya
adalah menyediakan “enabling environment”
bagi terselenggaranya CSR bukan sebagai pihak yang memberi komando atau kontrol
melalui regulasi yang bersifat memaksa.
CSR di
Indonesia saat ini menjadi isu yang hangat dengan diaturnya kegiatan CSR dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (UU PT) khususnya pasal
74 yang menyebutkan :
1. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya
di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
2. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang
dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya
dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
3. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
4.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Peraturan yang mewajibkan CSR diatas
mengundang polemik di kalangan praktisi bisnis dan para pakar. Mereka yang
setuju menyebutkan bahwa sudah seharusnya perusahaan mengalokasikan anggaran
khusus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Yang tidak setuju
berdalih kesejahteraan masyarakat adalah tanggung jawab negara, bukan
perusahaan.
Notaris senior Partomuan Pohan ,salah
satu konseptor UU PT, mendukung pengaturan CSR dalam undang-undang dengan pertimbangan masih banyak perusahaan kakap yang setengah
hati menjalankan CSR (http://www.hukumonline.com). Partomuan , menyitir data yang
disodorkan oleh Griffhs dalam buku yang berjudul Human and Environmental
Rights: The Need for Corporate Accountability, menyatakan di Inggris dari 350 perusahaan besar yang tergabung
dalam The Financial Times Stock Exchanges (FTSE), hanya 79 perusahaan yang
membikin laporan tentang dampak sosial dan lingkungan dari praktek bisnisnya. Di
tingkat global, ada 61 ribu perusahaan transnasional serta 900 ribu perusahaan
afiliasinya. Namun hanya dua ribu alias 3,2% yang melaporkan dampak sosial
lingkungan.
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Hariyadi
B Sukamdani (Kompas.com, 19 Februari 2009) berpendapat bahwa bentuk CSR tidak bisa
diatur dengan suatu UU yang membakukan bentuk dari CSR. " CSR itu kan
sifatnya sukarela, jadi bentuknya juga beda-beda di tiap perusahaan sesuai
dengan kebijakan perusahaan dan kebutuhan masyarakat sekitar ".
Senada dengan Hariyadi, pengamat ekonomi Faisal
Basri mengatakan bahwa CSR ini tidak bisa diregulasi sebagai kewajiban hukum (legal obligation). "CSR itu kalau
sudah diwajibkan is not CSR anymore, " ujar Faisal (Kompas.com,19 Februari 2009). Faisal Basri
mengharapkan agar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
jangan dijadikan alat untuk pengalihan tanggung jawab pemerintah untuk
mengentaskan kemiskinan kepada perusahaan-perusahaan swasta. "Ingat, tugas mengentaskan orang
miskin tuh tugasnya pemerintah. Silakan swasta melakukan
tindakan-tindakan komplemen. Jadi, CSR ini bukan substitusi dari tugas-tugas
pemerintah, " ujar Faisal.
Lebih lanjut Faisal Basri menjelaskan bahwa tugas
pengentasan kemiskinan bukanlah tugas utama perusahaan-perusahaan swasta,
tetapi tugasnya pemerintah. "Jadi kalau perusahaan ingin mengentaskan
kemiskinan di daerah sekitarnya, silakan tapi itu bukan kewajiban, karena itu
lebih bersifat tanggung jawab sosial," ujar Faisal.
Polemik tentang apakah CSR itu bersifat wajib atau
sukarela menggambarkan perdebatan klasik antara paradigma corporate voluntarism dan corporate
involuntarism. Memang pada substansinya CSR merupakan tanggungjawab sosial
yang bersifat sukarela. Namun “sukarela” disini tidak berarti perusahaan boleh
untuk menghindar dari kewajiban sosial (CSR) tersebut. Dampak yang ditimbulkan
oleh praktek bisnis perusahaan besar, terutama yang bergerak dalam industri
ekstratif sumber daya alam, terhadap kelestarian alam dan lingkungan sekitar
sangatlah luar biasa sehingga setiap bentuk dampak negatif yang ditimbulkannya
tidak bisa dipertanggungjawabkan hanya secara “sukarela”. Dampak eksternalitas
semacam ini, merupakan salah satu problem publik yang harus ditangani administrasi negara. Menurut Caiden (1982) tanggungjawab
penanganan masalah eksternalitas menjadi salah satu tugas dalam fungsi
manajemen ekonomi yang dijalankan
administrasi negara. Jadi adanya CSR sesungguhnya tidak merubah secara
substansial fungsi administrasi negara.
Terkait dengan polemik UU PT pasal 74 perlu
ditekankan bahwa yang diwajibkan melaksanakan CSR adalah perusahaan yang
bergerak dalam industri alam. Menurut UUD 45 industri pengolahan sumber daya
alam merupakan industri strategis karena kekayaan alam yang menguasai hajat
hidup orang banyak seharusnya dikelola negara. Eksternalitas atau dampak
ekternal aktivitas bisnis yang tidak diperhitungkan dalam perhitungan cost-benefit perusahaan harus menjadi
tanggungjawab bersama negara dan pelaku bisnis. Kasus lumpur Lapindo di
Sidoarjo menjadi alasan kuat perlunya kebijakan publik yang mengatur tentang
CSR. Pelaku bisnis tidak bisa berteriak protes saat negara dianggap mengatur
usaha bisnis mereka, namun saat ada kasus seperti bencana lumpur Sidoarjo
mereka lari ke pemerintah untuk ikut bertanggungjawab dengan dalih bahwa
bencana itu sebagai bencana alam.
Menurut Lily Afiah (http:www. fe.elcom.umy.ac.id)
adanya undang-undang yang mewajibkan CSR dapat dipahami sebagai tuntutan agar
perusahaan benar-benar menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam
menjalankan aktivitas bisnisnya. Prinsip transparansi menuntut perusahaan untuk
memaparkan dan mengkomunikasikan kebijakan dan praktik-praktik yang
dijalankannya, terutama yang berdampak pada karyawan, masyarakat dan
lingkungan. Sedangkan dalam akuntabilitas, pemangku kepentingan mengharapkan
perusahaan memiliki kinerja yang baik dalam bidang non-finansial seperti dalam
hak asasi manusia, peningkatan kapasitas, kebijakan lingkungan dan lain-lain.
Targetnya yakni membuat seluruh praktik bisnis tidak hanya bertanggung jawab
secara sosial, tapi juga akuntabel dan transparan dengan membuat standar audit
sosial atas praktik bisnis.
Untuk mendukung implementasi CSR sebagai bagian
dari praktek bisnis yang akuntabel, negara harus membuat aturan pelaksanaan
yang jelas dan transparan bagaimana mekanisme pemungutan dan pertanggungjawaban
CSR. Jangan sampai negara berperan seperti preman yang memungut sekian persen
dari para pedagang tanpa ada transparansi tujuan dan pemanfatannya.
CSR juga tidak boleh menjadi bentuk privatisasi
kewajiban sektor publik. Jalal, Pamadi Wibowo dan Sonny
Sukada (Lingkar Studi CSR, A+ CSR Indonesia) menyatakan CSR tidak boleh menjadi sarana untuk memindahkan apa yang menjadi beban pemerintah
ke pundak swasta. Ketika pemerintah gagal memenuhi kewajibannya, swasta dipilih
untuk menanggung beban itu. Contoh sangat gamblangnya adalah permintaan SBY
baru-baru ini agar perusahaan menyisihkan dana untuk pendidikan, padahal
pemerintahannya sendiri belum lagi memenuhi kewajiban konstitusi untuk
menyediakan 20% APBN untuk pendidikan
Dalam implementasi CSR negara tidak boleh lepas
tangan, keempat peran administrasi
negara (mandating, fasilitating,
partnership, dan endorsing) harus
dijalankan secara maksimal. Dampak eksternalitas dunia usaha merupakan problem
yang berdampak pada orang banyak sehingga tidak bisa dirumuskan sebagai
problemnya sektor bisnis semata. Efektivitas pelaksanaan CSR menuntut peran
serta seluruh sektor khususnya pendampingan dan kontrol lembaga negara.
Konsep CSR menunjukkan masalah publik saat ini
berkembang semakin kompleks. Problem publik tidak lagi bisa dibedakan secara
tegas dengan problem privat atau bisnis. Apa yang menjadi problem di ranah privat atau bisnis bisa berdampak secara
publik. Apa yang dirumuskan sebagai masalah publik bisa berdampak besar pada
aktivitas privat atau bisnis.. Karena itu paradigma dikotomi sektor bisnis dan
sektor publik tidak bisa diterapkan dalam memahami fenomena CSR.
Di era globalisasi sektor bisnis tidak lagi hanya
sebagai organisasi yang mengejar
pertumbuhan kekayaan material semata. Seperti
dinyatakan oleh Peter Sutherland (dalam Asmin Fransiska ), “Business is the motor for the creation of
prosperity. Business creates revenues, jobs, salaries, dividends, and trade for
their suppliers. They develop skills. They innovate to produce new products and
services. Business can do all of these things in places and in ways that help
to alleviate human suffering and help to resolve global problems”.
Karena
itu, Georg Kell - Executive Head dari Global Compact - menggunakan
istilah unnecessary dichotomy untuk menjelaskan hubungan sektor bisnis
dan sektor publik. Menurutnya, orang harus keluar dari diskusi manakah yang
lebih superior: sukarela atau wajib, melainkan pendekatan mana yang memiliki
dampak paling besar dan dalam kondisi apa. Ia juga menekankan bahwa keduanya
bersifat komplementar, jadi tidak perlu dipilih salah satunya.
Dengan
demikian, perdebatan tentang apakah suatu masalah itu menjadi tanggungjawab di
ranah publik atau ranah privat tidak lagi relevan dalam studi administrasi
publik. Masalah apapun - baik individu, bisnis, publik - sepanjang masalah itu
menimbulkan dampak kepada masyarakat luas
bisa dikategorikan sebagai masalah publik. Implikasi dari paradigma unnecessary dichotomi membuat locus
studi administrasi negara tidak lagi berada di kelembagaan negara (birokrasi)
tapi pada semua lembaga – negara, bisnis
dan non-profit – sejauh lembaga-lembaga itu terlibat dalam menangani masalah
yang berdampak terhadap kepentingan publik.
Kesimpulan
Corporate Social Responsibility (CSR) adalah suatu
konsep yang menggambarkan tanggungjawab perusahaan terhadap tindakan dan
kebijakan perusahaan yang berdampak terhadap lingkungan alam dan komunitas
dimana perusahaan itu beroperasi. Kegiatan CSR
yang dilakukan oleh beberapa perusahaan besar di Indonesia, sebagian
besar masih bersifat karitatif, tidak diselenggarakan secara terencana dan
bersifat temporer atau berorientasi jangka pendek. CSR masih dianggap sebagai
bentuk kegiatan amal perusahaan. Dengan demikian, motivasi untuk menjalankan
CSR lebih didorong oleh kesadaran sosial spiritual. Belum banyak perusahaan
yang menjadikan CSR sebagai bagian dari strategi bisnis jangka panjang atau
sebagai bentuk pertanggungjawaban sosial atau etika bisnis perusahaan.
Fenomena CSR merupakan bukti bahwa perumusan
problem atau kepentingan publik tidaklah mudah. Aktivitas dan keputusan lembaga apapun yang berdampak pada
kepentingan orang banyak dapat dipandang sebagai problem atau kepentingan public.
Adanya CSR berimplikasi pada locus studi administrasi publik. Locus studi administrasi negara tidak lagi
pada kelembagaan negara yang memegang mandat kepentingan publik, tapi mencakup
semua lembaga – negara, privat/bisnis maupun non profit - sepanjang
lembaga-lembaga ini melaksanakan kepentingan publik atau tindakannya berdampak
kepada kepentingan publik. Corporate Social Responsibility (CSR) dipahami oleh
sebagian besar perusahaan di Indonesia sebagai tanggungjawab sosial yang
bersifat sukarela Karena itu adanya
aturan yang menjadikan CSR sebagai kewajiban mendapat tantangan dari para
pelaku bisnis. Untuk mengeliminir prasangka negatif dunia usaha, negara harus
mengefektifkan perannya sebagai penyedia “enabling
environment’ . Pemerintah jangan hanya memposisikan diri sebagai pemberi
komando, regulator atau pengawas CSR.
Pemerintah harus banyak menjalankan aktivitas nonregulatori seperti penyelenggarakan pelatihan atau pendampingan
CSR, koordinasi pelaksanaan CSR antardepartemen maupun antar stakeholder,
membiayai penelitian-penelitian tentang CSR, memberikan insentif untuk
perusahaan-perusahaan yang memiliki kinerja CSR yang baik dan memberi
disinsentif bagi mereka yang berkinerja buruk.
Agar tidak terjadi penyalahgunaan CSR perlu
dikembangkan standard penilaian dan mekanisme pengawasan yang transparan, adil
dan akuntabel. Untuk itu perlu adanya lembaga pengawas CSR yang independent
yang terdiri dari para pakar CSR, pakar lingkungan, pemerintah dan masyarakat
setempat
Yang terpenting ,
pemerintah jangan sekali-kali menjadikan CSR sebagai alat untuk menambah
pundi-pundi pendapatan negara atau daerah ataupun media untuk mengalihkan
sebagian tanggungjawab negara ke sektor bisnis. Lembaga negara juga tidak boleh berperan sebagai agen CSR. Lembaga negara
harus netral, peran negara sebatas sebagai mediator dan fasilitator CSR.
Pelaksana dan otoritas implementasi diserahkan sepenuhnya pada sektor bisnis
atau sektor ketiga (NGO non-profit). Kesediaan lembaga negara sebagai agen
pelaksana CSR akan membuka peluang kolusi antara korporasi dan negara.
Daftar Pustaka
Achda, B. Tamam. 2006. Konteks Sosiologis Perkembangan Corporate
Social Responsibility (CSR)
dan Implementasinya di
Indonesia.
Disampaikan pada
Seminar Nasional: A Promise of Gold Rating: Sustainable CSR, di Hotel Hilton, Jakarta , 23 Agustus 2006
- www.menlh.go.id/serbaserbi
/csr/ sosiologi.pdf.
Achwan, Rochman . 2006. Corporate
Social Responsibility : Pertikaian Paradigma dan Arah Perkembangan. GALANG,
Jurnal Filantropi dan Masyarakat Madani. Volume 1 No.2, Januari
Afiah, Lily. Kontraversi Kewajiban CSR
bagi Perusahaan . http :www. fe.elcom. umy.ac.id /.../ Lily_Afiah_20050410007_GCG_ Kontraversi_Kewajiban_ _bagi_
Perusahaan.doc
Frederickson,
George H. 1997. The Spirit of Public Administration. Jossey-Bass Publisher. San
Fransisco
Fox, Tom. ,
Halina Ward, dan Bruce Howard (World Bank). 2002. Public
Sector Roles in Strengtening
Corporate Social Responsibility :
A Baseline Study. http://www.ifc.org/ifcext/economics.nsf/AttachmentsByTitle/CSR-CSR_interior.
pdf/ $FILE/CSR-CSR_interior.pdf
Fransiska, Asmin. The Need of Human Security
Protection in Indonesia :
The Role of Bussiness Sector
Hohnen , Paul. 2007.
Corporate
Social Responsibilty, Implementation Guide for Business. < www.iisd.org/pdf/2007/csr_guide.pdf - >
Jalal, Pamadi Wibowo dan Sonny Sukada. Regulasi CSR dalam Hasil Sinkronisasi UU Perseroan Terbatas: Masukan
untuk Meninjau Ulang.
Koestoer, Yanti Triwadiantini. www.aseanfoundation.org/.../Yanti%20 Koestoer %20%20Paper%202007.pdf
Miles, Matthew dan A.`Michael Huberman.
1992. Analisis Data Kualitatif. UI Press. Jakarta
Moon,
Jeremy dan David Vogel. 2008. Corporate
Social Responsibility, Government, and Civil Society - www.haas.berkeley.edu/faculty/pdf/vogel_ oxford_ chapter.pdf
Saidi, Zaim. Membangun CSR dan Filantrofi yang Aplikatif
http://www.ibl.or.id/en/ibl/html/data/File/PPF/filan_perus/Membangun_CSR_dan_Filantropi_yang
_Aplikatif.pdf
Shafritz, Jay.M
dan EW. Russel, 1997, Introducing Public
Administration, Longman,
New York.1997
Shauki, Elvia
dan Chaerul D. Djakman. Corporate Social
Responsibility and Poverty Allevation : Social Performance Indicators in The
Indonesian Companies. http://www.
unisa.edu.au/ commerce/ events/ docs/2008/poverty.doc
menarik artikelnya, namun sepertinya saya pernah membaca beberapa bagian dan alinea dari artikel saudara yang copas [karena persis per kata] dari Jurnal jejaring administrasi publik Th. IV. Nomor 1, Januari - Juni 2012 berjudul Administrasi Negara dan CSR: sebuah enabling environment yang di tulis oleh Bintoro Wardiyanto Mahasiswa program Doktoral PSDM, Pascasarjana Unair. dan jurnal tersebut tidak ditulis dalam daftar pustaka artikel anda.
BalasHapus