Kesadaran hidup bersama dalam “kebinekaan tetapi tetap satu”
menjadi salah satu momentum pembentukan negara Republik Indonesia. Jauhnya
sebelum adanya imajinasi tentang negara Indonesia, pada dasarnya keberadaan
bangsa ini sudah plural, yaitu dari segi etnis, agama, warna kulit, dan
bahasa.. kenyataan pluralitas bangsa ini kemudian diimajinasikan oleh para founding
fathers sebagai satu bangsa, Satu tanah air, satu bahasa, dan satu
tumpah darah, pada “Sumpah Pemuda” tanggal 28 Oktober 1928. Dorongan untuk
hidup bersama dalam kepelbagaian terus berproses, hingga tiba pada satu
kesadaran bahwa kita memiliki nasib yang sama dan cita-cita yang sama, yaitu
melepaskan diri dari kolonialisme. Tanpa membedakan latar belakang SARA para founding
fathers negara ini secara berani dan sadar bersepakat untuk hidup bersama
di dalam satu negara Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus
1945. Keberanian itu tercermin pada kenyataan bahwa Indonesia itu sangat
plural, yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Secara sosiologis memiliki
tingkat kerumitan yang sangat tinggi untuk ditata sebagai satu negara, untuk
itu pula menyimpan potensi konflik yang sangat besar. Sedangkan sikap yang
sadar adalah adanya itikad baik dan positive thinking bahwa kepelbagian
yang ada pada bangsa Indonesia merupakan karunia Tuhan, oleh karena itu dapat
dirajut dalam kebersamaan.
Hanya saja proses menjadi Indonesia ini lebih dominan bersifat politis
serta masih berada pada klaim teritori, sedangakan secara kultural Indonesia
belum selesai. Akibatnya keberanian dan kesadaran untuk hidup bersama yang
sudah diimajinasikan dan diproklamasikan itu, belakangan ini sedang mengalami
tantangan disintegrasi sosial yang cukup signifikan, untuk tidak menyebut
kesadaran sebagai satu bangsa Indonesia ini telah mengalami distorsi.
Serangkaian konflik yang bernuansa SARA (suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan)
yang telah menelan banyak korban jiwa dan harta benda yang hingga kini masih
menyimpan luka nurani yang dalam, bahkan untuk beberapa daerah di negara ini
kekerasan tersebut masih berlanjut--seakan menegasikan keberanian dan kesadaran
tersebut. Bahkan yang lebih ironi lagi bahwa tindak kekerasan belakangan ini
cenderung membentuk spiral of violence (lingkaran kekerasan) yang
mengitari hubungan antar agama dan etnis yang diboncengi kepentingan politik
dan ekonomi. Seperti di Maluku, Poso, Sambas, Kupang, Aceh dll. Salah satu
faktor mendasar yang menjadi penyebab munculnya berbagai konflik dan kekerasan
tersebut yaitu adanya kebijakan politik pembangunan lebih menegaskan –
mendahulukan “ke – Ika- aan” daripada “ke - Bhineka-an“ kita. Dalam banyak kasus di Indonesia, sebelum dan
sesudah konflik, penanganannya sering menonjolkan “ke – Ika – aan“. Kurang
menyentuh realitas masyarakat yang plural. Konflik dan kekerasan di Maluku
merupakan salah satu contoh dari rapuhnya tatanan pluralitas bangsa kita.
Pertanyaanya adalah mengapa konflik dan
kekerasan di Maluku yang terjadi sejak tahun 1999 itu bisa terjadi dalam skala
yang begitu besar dan kompleks? padahal masyarakat Maluku sebelumnya dikenal
sangat toleran di dalam kehidupan bersama yaitu Salam (Komunitas Islam) dan
Sarane (Komunitas Kristen) basudara – Ikatan persaudaraan pela, gandong, dan
larvul ngabal.
Untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan ini memerlukan sebuah analisis yang dalam
konprehensif terhadap fakta-fakta yang ada. Akan tetapi secara garis besar
dapat kemukakan bahwa :
Pertama;
Posisi Pela, Gandong dan Larvul Ngabal telah lama mengalami proses penghilangan
spirit dan penghancuran oleh kekuasaan Orde Baru yang ditandai dengan proyek
desaisasi dan penghancuran negeri-negeri adat. Padahal Pela, Gandong, dan
Larvul Ngabal selama ini eksis bukan pada desa atau lurah, tetapi pada aman,
hena, Ina / uru, dan negeri. Pada empat kategori inilah Pela, dan Larvul Ngabal
menemukan spirit dan konteksnya.
Kedua; tantangan
neo – Liberalisme dan kapitalisme yang ditandai dengan cara berfikir
strukturalis dan pragmatis membuat relasi - relasi sosial yang bersifat
kolegial terpinggirkan dan yang dominan adalah hubungan – hubungan yang lebih
bersifat mekanistik. Agresi neo – liberalisme dan kapitalisme sebagai realitas
global tidak saja mendominasi bidang ekonomi, tetapi juga menkonstruksi cara
hidup masyarakat dunia dengan pola hidup yang individualis, strukturalis dan
pragmatis – sekaligus menghancurkan identitas masyarakat dunia. terutama pada
negara – negara miskin dan negara-negara ketiga. Masyarakat Maluku sebagai
bagian dari komponen masyarakat dunia pun mendapatkan efek higemoni neo - liberalisme dan kapitalisme tersebut, tak
pelak lagi atas nama modernisasi dan pembangunan, local wisdom seperti
pela, gandong dan larvul ngabal mengalami disfungsi di dalam masyarakat.
Ketiga; agama
sebagai fenomena sosial – terdapat gerakan purifikasi yang mau membersihkan
agama dari nilai-nilai yang dianggap bukan agama. Fenomena agama seperti
ini juga merupakan sebuah problem bagi
agama – agama di dalam menghadapi tantangan golabalisasi dan akulturasi antar
budaya, tetapi dalam penerapannya sering bersifat ambigu. Maka yang sering
menjadi tertuduh dan dikorbankan adalah kebudayaan-kebudayaan local (local
wisdom). Dalam konteks ini agama dibersihkan dari unsur – unsur budaya yang
dianggap mengotori kemurniaan agama dan keyakinan. Apalagi spirit budaya itu
dianggap lebih mendominasi praktek hidup masyarakat. Furifikasi agama ini turut
membuat pela, Gandong, dan Larvul Ngabal kehilangan spirit dan konteksnya.
Kalaupun perekat – perekat sosial seperti ini ada dan dilaksanakan oleh
masyarakat, dianggap bukan urusan iman atau agama baik Islam maupun Kristen,
melainkan urusan budaya yang bersifat keduniaan saja. Padahal peran perekat-perekat sosial tersebut – secara substansial
sejalan dengan pesan-pesan universalitas semua agama.
Keempat; Politik Identitas –
politisasi agama untuk kepentingan ekonomi dan politik (kekuasaan) membuat
masyarakat menjadi masyarakat yang tersegregasi menurut kelompok agama dan
etnisnya. Dalam konteks Maluku muncul Isu Kristenisasi dan Islamisasi sebagai
“Musuh Imajiner” – efeknya persaudaraan di Maluku lebih dikondisikan pada
persaudaraan dalam kepentingan politik, bukan persaudaraan sebagai orang
Maluku. Realitas seperti ini lebih dikondisikan pada persaudaraan dalam
kepentingan politik, bukan persaudaraan sebagai orang Maluku.
Untuk merehalibilitasy dan merecovery Maluku pasca Konflik, secara
sosiologis dan antropologis Pela, Gandong dan Larvul ngabal merupakan
identitas kultural yang masih relevan dan siginifikan bagi masyarakat Maluku.
Permasalahannya adalah identitas kultural seperti pela, gandong, dan larvul
ngabal perlu ditranformasikan agar relevan dengan realitas yang semakin
kompleks dewasa ini.
Pertama; melakukan
pengkajian dan penerapan kebijakan pembangunan yang berbasis antropologi dan
budaya orang Maluku (masyarakat lokal). Sebab selama ini proses pembangunan
telah mencerabuti dan mengaleniasi masyarakat dari identitas kulturalnya.
Masyarakat dibangun menurut budaya dan antropologi masyarakat lain. Di mana
takaran baik dan tidak baik atau etis dan tidak etis selalu menggunakan
parameter kekuasaan. Padahal identitas kultural tersebut merupakan hak
primordial yang terniscaya untuk dipelihara dan dan dihargai. Pembangunan recoveri
yang berbasis antropologi dan budaya orang Maluku akan menemukan konteks dan
spiritnya.
Kedua; perekat-perekat
sosial tersebut mesti dikontekstualisasikan seiring dengan tantangan masyarakat
yang semakin multikultural, individualis dan mondial tantangan-tantangan
tersebut membutuhkan sebuah integrasi multikultural yang lebih holistik dan
komprehensif. Sebab pela dan gandong sebagai kontrak sosial yang dibuat oleh
para leluhur orang Maluku Tengah saat itu, masih terbatas pada kebutuhan dan
tantangan masyarakat yang homogen dan terbatas pada dua buah negeri adat saja.
Adapun Larvul ngabal di Maluku Tenggara walaupun mengikat komunitas yang lebih
luas, tetapi ke depan juga memiliki tantangan yang cukup besar, karena
perkembangan masyarakat plural yang semakin kompleks serta tingkat dinamika
sosial ekonomi makin tinggi. Dimana factor-faktor ini
memiliki efek yang cukup signifikan bagi ikatan-ikatan cultural. Oleh karena
itu sebagai identitas kultural yang telah eksis beratus – ratus tahun, pela,
gandong, larvul ngabal sangat penting untuk ditransformasikan agar tetap
kontekstual dan tidak kehilangan perannya didalam masyarakat Maluku. Karena
masyarakat Maluku untuk konteks kekinian adalah masyarakat multikultural
mementingkan persentuhan budaya yang sangat kompleks stereotype pendatang
negeri non adat, anak adat dan negeri adat secara vis-à-vis dewasa ini
semakin membuat masyarakat menjadi segmentaris dan tersegregasi bukan hanya
pada masalah agama tetapi juga pada masalah etnis. Jika identitas kultural masyarakat
Maluku ini tidak ditransformasikan menjadi kekuatan perekat dan kekuatan
resolusi konflik dalam masyarakat multikultural maka masyarakat akan menjadi
strukturalis – mekanik dan akan selalu tunduk kepada aturan - aturan formal
yang sangat top down dan militeristik melemahnya identitas – identitas
kultural dan diganti dengan peran – peran negara yang sangat struktural dan
mekanistik akan mengakibatkan pendarahan pada ranah kebudayaan. Implikasinya
akan menghancurkan masa depan civil society diwilayah ini. Sebaliknya
penguatan identitas kultural tersebut, akan sangat berarti bagi terbangunnya civil
society. Untuk itu, rekayasa sosial pada ranah kebudayaan dengan
mentransformasikan identitas – identitas kultural seperti pela, gandong dan
larvul ngabal merupakan suatu keniscayaan bagi masa depan peradaban Maluku yang
multikultural, bukan dengan cara agresor yang melakukan politik identitas dna
penghancuran terhadap identitas kultural tersebut atas dalih moderenisasi.
Ketiga; agama mestinya dipahami
sebagai kekuatan etik – profetik yaitu rahmat bagi kemanusiaan universal
(rahmatanlilalamin). Beragama dalam konteks ini akan mampu mengakomodasi
kehidupan yang multikultural, karena konsep agama sebagai rahmat bagi semesta
alam mengakui realitas multikultural sebagai desain Tuhan atau : given,
bukan pilihan manusia (Q.S. Al-Hujarat 13) “Wahai manusia sesungguhnya kami
(Tuhan) telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan,
agar menjadikan kamu bersuku-suku berbangsa-bangsa agar kalian saling
mengenal”. Beragama
yang mengakui dan menerima realitas yang plural akan mampu membina dan
menciptakan harmoni kehidupan. Sedangkan beragama yang menolak realitas plural
akan menjadi kekuatan yang destruktif. Pengakuan dan penerimaan terhadap multikulturalisme tidak terbatas pada
pluralitas etnis dan agama yang ada, tetapi dalam konteks yang lebih luas yaitu
mengakui dan menerima identitas-identitas kultural yang tumbuh dan melekat pada
masyarakat tersebut sebagai hasil karsa akal budi manusia itu sendiri. apabila
agama mampu dintransformasikan pada level aksi yang mengakui dan menerima
realitas multikulturalisme seperti diatas, maka pela gandong dan larvul ngabal
akan mendapat sprit dari agama sehingga agama dan budaya bukan lagi menjadi
kekuatan yang bersifat vis-à-vis, tetapi menjadi kekuatan yang
integratif bagi transformasi masyarakat yang multikultural.
Dengan demikian, upaya-upaya rehabilitasi dan recovery yang berpijak
pada peace biulding yang sementara digalakan oleh pemerintah dan masyarakat
Maluku, sangat penting menggunakan identitas kultural bersifat transformatif. Pendekatan
– pendekatan secara politis dan struktural semata justru akan melemahkan posisi
masyarakat dalam membangun kesadaran multikulturalisme. Semoga upaya-upaya
rehabilitasi dan recoveri yang secara signifikan dapat membawa pencerahan bagi
perdamaian dan masa depan Maluku. Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar