Senin, 19 November 2012

Suatu Pandangan Tentang Pentingnya Pendekatan Multikultur dalam Pendidikan di Indonesia


Sebagai sebuah negara yang masyarakatnya majemuk, Indonesia terdiri dari berbagai suku, ras, adat-istiadat, golongan , kelompok dan agama, dan strata sosial. Kondisi dan situasi seperti ini merupaka suatu kewajaran sejauh perbedaan-perbedaan ini disadari keberadaannya dan dihayati. Namun ketika perbedaan-perbedaan tersebut mengemuka dan kemudian menjadi sebuah ancaman untuk kerukunan hidup, maka perbedaan tersebut menjadi masalah yang harus diselesaikan.
Beberapa peristiwa amuk massa di beberapa daerah di Indonesia, terlihat jelas pemicunya adalah perbedaan-perbedaan tersebut, dimana salah satunya adalah perbedaan agama. Seperti kerusuhan di lampung, tahun 1989; kerusuhan di Timor-Timur, tahun 1985, kerusuhan di Rengasdengklok, tahun 1997; kerusuhan di makassa, tahun 1997, Kerusuhan di Ambon, 1998, di Poso, kerusuhan Ketapang dan  Kupang serta beberapa daerah lainnya.
Perubahan sosial yang terjadi di Indonesia sekarang ini, memungkinkan sekali untuk terjadinya konflik antar agama atau konflik antar umat beragama. Walaupun sebenarnya secara laten konflik-konflik tersebut telah ada jauh sebelum era reformasi berembus. Banyak sekali kejadian yang bernuansa perbedaan agama terjadi. Seperti peristiwa pembakaran kantor Tabloid Monitor di Jakarta, yang disangka mendiskreditkan Nabi Muhammad Saw, begitu juga Tabloid Senang. Lain dari itu, brosur-brosur , leaflet-leaflet yang mendiskreditkan agama tertentu, serta materi-materi dakwah yang memicu dan memacu kemungkinan  terjadinya konflik antar agama juga kerap sekali terjadi. Banyak pemuka agama yang dengan dalih sedang melakukan konsolidasi umat, mereka rela dan berani  mendiskreditkan umat penganut  agama lainnya. Terakhir isue tentang pendidikan agama di sekolah yang mewajibkann setiap sekolah menyediakan pengajar agama bagi siswa-siswi yang beragama tertentu.
Konflik yang bernuansa agama berkorelasi kuat dengan faktor non agama. Beberapa konflik yang terjadi membuktikan hal tersebut, termasuk konflik Ketapang. Agama biasanya merupakan faktor pemicu kerusuhan, yang sebelumnya didahului dengan konflik yang bernuansa ekonomi, seperti rebutan lahan parkir, rebutan wilayah dan faktor lainnya yang lebih ekonomis dari pada politis. Dengan kata lain, sebenarnya, konflik kecil acap terjadi.
Dalam melihat konflik dan potensi konflik antar kelompok, golongan dan agama di Indonesia, perlu dipahami sebagai suatu hal yang dinamis. Perubahan sosial dan politik yang terjadi di Indonesia yang begitu cepat, terutama setelah era reformasi, juga turut memperkuat polarisasi konflik sosial termasuk konflik antar kelompok umat beragama. Kesenjangan yang makin menganga  antar kelompok sosial dan biasanya kelompok sosial ini juga acap dilekatkan dengan penganut agama mayoritas. Keterbelakangan dan pembaruan yang tidak simultan dapat memperkeruh suasana disharmoni, serta dapat merusak tatanan sosial atau tatanan hubungan antar kelompok sosial dan antar kelompok umat beragama.
Masyarakat Indonesia yang multikultur, multi ras dan multi agama, memiliki potensi yang besar untuk terjadinya konflik antar kelompok, ras, agama dan suku bangsa. Indikasi ke arah itu terlihat dari tumbuh suburnya berbagai organisasi kemasyarakatan , profesi, dan organisasi lainnya. Contoh seperti FPI, Laskar Jihad, FBR dan kelompok lainnya yang berjuang dan bertindak atas nama kepentingan kelompoknya atau kepentingan lainnya. Lain dari itu muncul juga berbagai macam aliran keagamaan.
Beragam kelompok ini secara sosial menyebabkan tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai baru melalui berbagai proses yang menuntut adanya institusionalisasi kepentingan. Tapi juga dapat berupa munculnya konflik-konflik baru, karena kelompok lain, golongan lain, agama lain, merasa bahwa kehadiran mereka menjadi ancaman bagi tatanan masyarakat yang sudah ada dan ajeg serta kepentingan dari kelompok lainnya. Yang berkembang adalah sikap etnosentrisme, yang menganggap hanya kelompoknya saja, golongannya saja yang paling baik dan sempurna, sementara yang lain jelek, salah, dan berbagai kekurangan lainnya(Zastrow, 2000, 157);  serta  stereotipe, yang mengembangkan gambaran tentang tipe-tipe masyarakat tertentu dengan  karakteristik tertentu. Misalnya orang Batak itu kasar; orang Padang itu licik, orang Sunda itu lelet dan lain-lain.
Perbedaan-perbedaan kepentingan, pandangan, nilai akan menimbulkan perbedaan persepsi atas sesuatu yang kemungkianan besar akan menyebabkan munculnya reaksi berdasarkan persepsi tersebut terhadap sesuatu itu. Hal ini dapat dan menimbulkan konflik yang mungkin akan bermuara pada kerusuhan. Beberapa peristiwa konflik antar kelompok, golongan, ras dan agama, menunjukkan hal-hal tersebut. Lihat saja konflik Ketapang  yang kemudian melebar ke beberapa tempat di Jakarta, Bekasi bahkan Ambon , Kupang dan Poso.
Hal itu menunjukkan bahwa sentimen dan kepercayaan yang berlebihan tentang keyakinan masyarakat terhadap salah satu kelompok, golongan dan atau agama akan menimbulkan konflik, baik yang bernuansa sosil-ekonomi, politik maupun agama. Bukti ini juga sekaligus menunjukkan  bahwa potensi konflik itu ada diberbagai bidang. Oleh karena itu  perlu adanya upaya yang simultan  dilakukan agar konflik yang potensial tersebut  dikelola secara seksama , baik oleh pemerintah daerah, masyarakat maupun aparat penegak hukum. Yang tidak kalah pentingnya adalah peranan lembaga pendidikan dan proses pembelajaran yang terjadi di dalamnya. Bahkan kita semua perlu bertanya ada apa dengan sistem pendidikan kita ? Mengapa sebagaian masyarakat Indonesia mudah sekali untuk melakukan kerusuhan ? Bagaimana model pendidikan yang dapat menghindari terjadinya konflik sosial 

Sebuah masyarakat yang majemuk didalamnya akan terkandung berbagai kelompok masyarakat yang memiliki latar belakang adat istiadat, budaya, agama dan kepentingan . Seperti yang disampaikan oleh Furnival bahwa masyarakat majemuk (plural societies) adalah suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu dengan lainnya di dalam suatu kesatuan politik (Nasikun, 1986, hal 31). Masyarakat yang majemuk biasanya menghadapi tantangan ketidakharmonisan dan perubahan yang terus menerus. Sedangkan menurut Piere L. van Berghe, masyarakat majemuk memiliki sifat dasar sebagai berikut  (Nasikun, 1985, hal 67-68 dan Nitibaskara, 2002, hal 7) :
1.      Terjadi segmentasi ke dalam bentuk kelompok –kelompok  yang sering kali memiliki kebudayaan, atau lebih tepat sub-kebudayaan, yang  berbeda satu sama lain.
2.      Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-komplementer.
3.      Di antara anggota masyarakat kurang mengembangkan konsensus atas nilai-nilai sosial dasar.
4.      Secara reaktif sering kali terjadi konflik di antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.
5.      Secara reaktif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi
6.      Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok yang lain.

Melihat definisi Furnival dan karakteristik yang diajukan oleh Berghe, telihat bahwa masyarakat Indonesia memilki karakteristik seperti itu. Memang secara vertikal maupun horizontal, masyarakat kita masyarakat yang paling majemuk di Dunia, selain Amerika  Serikat dan India. Kemajemukan ini menurut Nasikun (1985, hal 38-44) terjadi karena : Keadaan geografis, dengan beribu-ribu pulau; Indonesia terletak di antara Samudra Indonesia dan Pasifik, sangat mempengaruhi terciptanya pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia; Iklim yang berbeda dan struktur tanah yang tidak sama diantara berbagai daerah di kepulauan Nusantara ini.
Dalam masyarakat yang majemuk, seperti Indonesia, yang terdiri dari bebagai suku bangsa, ras, agama, kelompok dan golongan , masalah pengintergrasian kelompok-kelompok tersebut merupakan masalah yang pelik. Oleh karena itu diperlukan kemampuan untuk memenej konflik tersebut, supaya dapat menghasilkan perubahan sosial ke arah yang lebih baik dan tidak destruktif. 
Konflik dapat terjadi melalui beberapa fase. Fase-fase  terjadinya konflik kekerasan adalah sebagai berikut (Nitibaskara, 2002, hal 50-53) :
Fase pertama, tahap pendahuluan. Pada fase ini, faktor struktural telah menjadi lahan subur yang kondusif untuk meledaknya konflik kekerasan antar-etnis. Hanya seidikit orang yang memahami secara sadar keadaan yang berkembang …Jika tahap ini gagal ditanggulangi maka realitas sosial memasuki fase kedua . Tahap kedua adalah tahap titik didih. Pada tahap ini, faktor struktural penyebab konflik kekerasan telah benar-benar kondusif bagi meledaknya konfrontasi terbuka antar-etnis  yang saling memendam rasa permusuhan. Tindakan saling melecehkan simbol-simbol etnis semakin lebih terbuka. Budaya mulai sering dieksploitasi perbedaannya… Bilamana tahap kedua tersebut gagal diturunkan tensinya, maka akan menginjak babak berikutnya, yakni konflik kekerasan anatar-etnis  secara terbuka… Akhirnya sampai ke tahap  atau faase keempat, yaitu  tahap peredaan konflik, pada tahap ini setiap hal yang mengarah kepada timbulnya konflik baru harus segera ditangkal sedini mungkin…

Mencermati apa yang telah diuraikan tentang fase-fase konflik terlihat bahwa  pada setiap fase dimungkinkan untuk terjadinya peneyelesaian konflik. Gambaran tentang fase ini juga menunjukkan bahwa  konflik etnis mungkin akan dapat berhenti dengan sendirinya tanpa harus melalui keempat fase tersebut.  Yang penting dari itu semua adalah bagaimana mencegah konflik sosial baik yang berlatar belakang agama, etnis, politik maupun ekonomi.  Cara yang bisa dilakukan adalah dengan memenej konflik atau potensi konflik. Salah satu bentuk manajemen konflik yang dapat dilakukan adalah melalui proses pembelajaran di lembaga pendidikan (sekolah).
Dalam hal ini terlihat bahwa  terdapat beban yang sangat berat bagi pendidikan kita terutama pendidikan moral atau proses sosialisasi tentang keberagamaan dan makna dari keberagaman tersebut bagi kehidupan. Oleh karena itu sudah seharusnya kita mulai memikirkan pendidikan multikultur yang  mengembangkan konsep toleransi, saling menghargai, saling menghormati dan saling menyadari tentang sebuah perbedaan. Para pendidik harus bekerja keras untuk melakukan reorientasi pembelajaran agama kepada para peseta didik dengan tetap mensosialisasikan nilai-nilai dan norma agama dari masing-masing agama yang diajarkan tetapi dengan mengembangkan konsep multiculturalism education /learning. Karena dengan begitu mekanisme manajemen konflik akan bisa dilaksanakan. Tentunya dengan didukung kebijakan pemerintah tentang pendidikan moral,  agama dan sosial.

Antara Pendidikan Multikultural dan Pendidikan Berbasis Masyarakat

Undang-undang Pendidikan Nasional menyuratkan tentang pendidikan berbasis masyarakat (Community Based Education, lihat Soedijarto, 2000, hal 77) yang didalamnya disebutkan bahwa Pendidikan Berbasis Masyarakat adalah :
Penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh dan untuk masyarakat.

Lebih lanjut dalam Bagian Kedua Pasal 55 tentang pendidikan berbasis masyarakat diuraikan :
(1)               Masyarakat berhak meneyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan  kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.
(2)               Penyelenggara pendididkan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan  kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan
(3)               Dana penyelenggaraan pendidikan  berbasis masyarakat dapat  bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, Pemerintah Paerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4)               Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan  merata dari Pemerintah  dan/atau pemerintah Daerah
(5)               Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana  dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan pemerintah.

Dari ketentuan yang tersurat dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terlihat bahwa pendidikan berbasis masyarakat ditujukan untuk memperoleh output pendidikan  yang dapat berperan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Namun penulis kuatir, keberadaan dari pendidikan  berbasis masyarakat ini justru akan menajamkan friksi  kemajemukan masyarakat bangsa Indonesia, karena dengan penyelenggaraan pendidikan yang  diselenggarakan berdasarkan karakteristik wilayah, sosial dan budaya masayarakat Indonesia maka ego kedaerahan akan semakin  tinggi dan ini sangat berbahaya.
Namun bila pendidikan berbasis masyarakat tersebut ditujukan untuk menyelesaikan masalah krisis ekonomi di Indonesia yang kemudian mempengaruhi kemampuan negara untuk menyediakan dana pendidikan, hal ini dapat diterima. Tetapi bila model penddidikan ini akan terus dikembangkan, saya yakin akan terus dikembangkan sebab terligitimasi dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003. Maka yang perlu diantisipasi adalah kemungkinann  adanya  keberagaman dalam mutu pendidikan, yang disatu sisi hal ini akan mendukung otonomi daerah dan juga otonomi pendidikan, tetapi di sisi lain memiliki kemungkinan yang besar dalam mengancam intergrasi nasional serta mempengaruhi keberhasilan dari pembangunan karakter manusia Indonesia.

Lain dari itu terlihat juga adanya kemungkinan negara, melepas tanggung jawab dalam pembiayaan penyelenggaraan  pendidikan dimasing-masing wilayah penyelenggara, hal ini akan sangat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, perubahan  keempat tentang diharuskannya negara menyediakan dana pendidikan sekuarang-kurangnya sebesar 20 % dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah(APBN dan APBD). Seperti terlihat pada penyempurnaan pasal 31 dann 32, yang natara lain (Soedijarto, 2003, hal 2):
“mewajibkan pemerintah untuk membiayai sepenuhnya pendidikan wajib  belajar (0asal  31 ayat (2))”, “mewajibkan negara menyediakan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari APBN dan APBD (pasal 31 ayat (4)).”
Dugaan itu ternyata memang tidak salah, sebab tujuan utama dari penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat adalah  untuk mengatasi dampak krisis ekonomi  terhadap pendidikan (Soedijarto, ibid, hal 77)
Sementara pendidikan multi-kultural  tersurat dalam beberapa pasal Undang-Undang Sisdiknas, antara lain pasal 3 yang menyatakan bahwa :
“pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulai, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Kalimat menjadi warga negara yang demokratis  serta bertanggung jawab menunjukkan adanya tekad untuk melaksanakan pendidikan multikultur. Lebih lanjut dalam pasal 4 Undang-undang ini diuraikan bahwa :
(1)                Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
(2)                Pendidikan diselenggarakan sebgai suatu kesatuan yang sitemik dengan sistem terbuka dan multimakna.
Kedua ayat dalam pasal empat tersebut menyuratkan dan menyiratkan tentang pentingnya pendidikan multikultur dalam rangka mendukung proses demokratisasi dan dalam rangka terciptanya integrasi nasional.
Apa itu pendidikan multikultural (multicultural education) ? Ada banyak pengertian tentang ini, diantaranya adalah :
1.               Multicultural education is a process through which individuals’ development ways of perceiving, evaluation in behaving within cultural systems, are different from their own (Gibson 1984, in Hernadez, 2001 in Semiawan 2003, pp 6)
2.               we may define multicultural education as the process whereby a person “develops competencies in multiple systems of standards for perceiving, evaluating, believeing and doing “(Saifuddin based on Goodenough definition, 2003, pp. 4)
3.               Muticultural education is a progresseve approach for transforming education that holistically critiques and addresses current shortcomings, failings, and discriminatory practices in education. It is grounded in ideals of social justice, education equity, and a dedication to facilitating educational experiences in which all students reach their full potential as learners and as socially aware and active beings, locally, nationall, and globally. Multicutural education acknowledges that schools are essensial to laying the foundation foor transformation of society and the elimination off oppression and justice.(Budianta, 2003, pp. 8)
4.               Multicultural education as ‘a philosophy, a methodology for educational reform” or “just a set of teaching materials with pedagogical program.” (Gay dalam Budianta, 2003, hal 8)
Dari beberapa definisi tentang multicultural education terlihat bahwa  multi cultural education  sangat relevan dilaksanakan dalam mendukung proses demokratisasi, dimana adanya pengakuan hak asasi manusia,  tidak adanya diskriminasi dan  diupayakannya keadilan sosial. Disamping itu dengan pendidikan multikultural ini dimungkinkan  seseorang  dapat hidup dengan tenang di lingkungan kebudayaan yang berbeda dengan yang dimilikinya.
Seperti telah diuraikan di muka bahwa masyarakat kita ini masyarakat majemuk dan bahkan paling majemuk di dunia. Karena itu agar kemajemukan ini tidak berkembang menjadi ancaman disintegrasi harus diupayakan untuk dikelola. Bagaimaana pengelolaannya ? Pendidikan  salah satu jawaban utamanya.   Proses pembelajaran tentang manusia Indonesia harus merupakan mata pelajaran wajib di seluruh tingkatan  jenjang pendidikan. Guru, kurikulum, sarana- prasarana, gbpp dan berbagai hal yang diperlukan untuk suatu proses pembelajaran yang mendukung multikulturalisme harus disediakan oleh negara. Mengapa negara ? Negara adalah otoritas tertinggi dalam penyelenggaraan pendidikan.  Untuk membentuk manusia Indonesia yang bercirikan ke-Indonesiaan diperlukan adanya penyeragaman dalam beberapa mata pelajaran yang bersifat umum seperti Bahasa Indonesia, Sosia-Budaya Indonesia, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), Perbandingan Agama. Mata pelajaran ini adalah mata pelajaran yang mutlak harus diberikan untuk membentuk karakter manusia Indonesia. Selain tentunya mata pelajaran olah raga dan kesenian. Selama ini proses pembelajaran lebih cenderung mengupayakan penyeragaman, dan kurang memperhatikan keragaman masyarakat bangsa Indonesia.
Berbeda dengan pendidikan berbasis masyarakat, dimana  model seperti ini akan lebih banyak menimbulkan friksi-friksi dalam masyarakat  karena yang ditonjolkan justru ciri kedaerahan  yang justru berbeda dengan daerah lainnya. Model ini juga  akan  banyak menimbulkan masalah ketika kita membicarakan standar kualitas. Walaupun disebutkan bahwa standar kualitas yang digunakan adalah standar nasional, tetapi  dengan kemungkinan penyelenggaran evaluasi sendiri dan penentuan kurikulum sendiri serta  sarana dan prasanan pembelajaran sendiri  dan kesejahteraan guru juga sendiri, maka penulis sangat kuatir bahwa pendidikan model ini justru akan semakin mempersulit terwujudnya integrasi nasional dan sekaligus akan mempersulit terwujudnya  manusia Indonesia seutuhnya, dengan karakteristik Indonesia yang berbudaya Indonesia dan hidup dalam sistem sosial dan politik Indonesia.  Ini tantangan bagi dunia pendidikan  dimana pendidikan dihadapkan pada konteks desentralisasi dan integrasi nasional, yang menuntut pemikiran yang cermat dalam menentukan strategi pendidikan sebagai upaya untuk membangun karakter bangsa yang diwarnai dengan kemajemukan.

Empat Pilar Pendidikan dan Masalah Kemajemukan
Dalam buku laporannya ke UNESCO, Jacques Delors, et. al., (1996, hl. 85-97) mengemukkan bahwa ada empat buat sendi/pilar pendidikan, yaitu :
1.      Learning to know (belajar untuk mengetahui)
2.      Learning to do (belajar untuk berbuat)
3.      Learning to live togather, learning to live with others (belajar untuk hidup bersama)
4.      Learning to be ( belajar untuk menjadi seseorang)

Dalam Pointers and Recommendations, Delors et.al.(hal. 97) mengemukakan  bahwa :
Learning to know, dengan memadukan pengetahuan umum yang cukup luas dengan  keseempatan untuk mempelajari secara mendalam pada sejumlkah kecil mata pelajaran. Pilar ini juga berarti juga learning to learn (belajar untuk belajar), sehingga memperoleh keuntungan dari kesempatan-kesempatan pendidikan yang disediakan sepanjang hayat.
Learning to do, untuk memperoleh  bukan hanya suatu keterampilan kerja tetapi juga lebih luas sifatnya, kompetensi untuk berurusan dengan banyak situasi dan bekerja dalam tim. Ini juga belajar berbuat dalam konteks pengalaman kaum muda dalam berbagai kegiatan sosial dan pekerjaan yang mungkin bersifat informal, sebagai akibat konteks lokal atau nasional, atau bersifat formal melibatkan kursus-kursus, program  bergantian antara belajar dan bekerja.
Learning to live together, learning to live with others , dengan jalan mengembangkan pengertian  akan orang lain dan apresiasi atas interdependensi—melaksanakan proyek-proyek bersama dan belajar memenej konflik—dalam semangat menghormati nilai-nilai kemajemukan, saling memahami dan perdamaian.
Learning to be, sehingga dapat mengembangkan kepribadian lebih baik dan mampu bertindak mandiri, membuat pertimbangan  dan rasa tanggung jawab pribadi yang semakin besar, ingatan, penalaran, rasa estetika, kemampuan fisik, dan keterampilan berkomunikasi.
Dari keempat pilar pendidikan di atas terlihat bahwa pilar learning to live toggether, learning to live with others, dalam konteks kemajemukan merupakan suatu pilar yang  sangat penting. Pilar ini sekaligus juga menjadi pembenar pentingnya pendidikan multikultur yang berupaya untuk mengkondisikan supaya peserta didik mempunyai kemampuan untuk bersikap toleran terhadap orang lain, menghargai orang lain, menghormati orang lain dan sekaligus yang bersangkutan mempunyai tanggunga jawab terhadap dirinya serta orang lain. Sehingga bila proses pembelajaran di sekolah diarahkan tidak hanya pada learning to know, lerning to do dan leraning to be, tetapi juga diarahkan ke learning to live together,  masalah kemajemukan akan dapat teratasi dengan melakukan manajemen konflik dan dengan demikian akan juga diikuti oleh tumbuhnya kebudayaan nasional yang tidak melupakan kebudayaan daerah, tumbuhnya bahasa nasuonal dengan tidak melupakan bahasa daerah, tumbuhnya  sistem politik nasional dengan tanpa mengabaikan sistem politik daerah, (pemerintahan daerah). Secara umum akan tumbuh dan berkembang Sistem Sosial Indonesia, yang berbeda dari Sistem Sosial Amerika, Sistem Sosial Jepang, Sistem Sosial negara-negara lainnya. It is Indonesia so we are Indonesians. Go for it !!!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar