Sebagai sebuah negara yang masyarakatnya majemuk,
Indonesia terdiri dari berbagai suku, ras, adat-istiadat, golongan , kelompok
dan agama, dan strata sosial. Kondisi dan situasi seperti ini merupaka suatu
kewajaran sejauh perbedaan-perbedaan ini disadari keberadaannya dan dihayati.
Namun ketika perbedaan-perbedaan tersebut mengemuka dan kemudian menjadi sebuah
ancaman untuk kerukunan hidup, maka perbedaan tersebut menjadi masalah yang
harus diselesaikan.
Beberapa peristiwa amuk massa di beberapa daerah di
Indonesia, terlihat jelas pemicunya adalah perbedaan-perbedaan tersebut, dimana
salah satunya adalah perbedaan agama. Seperti kerusuhan di lampung, tahun 1989;
kerusuhan di Timor-Timur, tahun 1985, kerusuhan di Rengasdengklok, tahun 1997;
kerusuhan di makassa, tahun 1997, Kerusuhan di Ambon, 1998, di Poso, kerusuhan
Ketapang dan Kupang serta beberapa
daerah lainnya.
Perubahan
sosial yang terjadi di Indonesia sekarang ini, memungkinkan sekali untuk
terjadinya konflik antar agama atau konflik antar umat beragama. Walaupun sebenarnya secara laten
konflik-konflik tersebut telah ada jauh sebelum era reformasi berembus. Banyak
sekali kejadian yang bernuansa perbedaan agama terjadi. Seperti peristiwa
pembakaran kantor Tabloid Monitor di Jakarta, yang disangka mendiskreditkan
Nabi Muhammad Saw, begitu juga Tabloid Senang. Lain dari itu, brosur-brosur ,
leaflet-leaflet yang mendiskreditkan agama tertentu, serta materi-materi dakwah
yang memicu dan memacu kemungkinan
terjadinya konflik antar agama juga kerap sekali terjadi. Banyak pemuka
agama yang dengan dalih sedang melakukan konsolidasi umat, mereka rela dan
berani mendiskreditkan umat
penganut agama lainnya. Terakhir isue
tentang pendidikan agama di sekolah yang mewajibkann setiap sekolah menyediakan
pengajar agama bagi siswa-siswi yang beragama tertentu.
Konflik yang bernuansa agama berkorelasi kuat dengan
faktor non agama. Beberapa konflik yang terjadi membuktikan hal tersebut,
termasuk konflik Ketapang. Agama biasanya merupakan faktor pemicu kerusuhan,
yang sebelumnya didahului dengan konflik yang bernuansa ekonomi, seperti rebutan
lahan parkir, rebutan wilayah dan faktor lainnya yang lebih ekonomis dari pada
politis. Dengan kata lain, sebenarnya, konflik kecil acap terjadi.
Dalam melihat konflik dan potensi konflik antar
kelompok, golongan dan agama di Indonesia, perlu dipahami sebagai suatu hal
yang dinamis. Perubahan sosial dan politik yang terjadi di Indonesia yang
begitu cepat, terutama setelah era reformasi, juga turut memperkuat polarisasi
konflik sosial termasuk konflik antar kelompok umat beragama. Kesenjangan yang
makin menganga antar kelompok sosial dan
biasanya kelompok sosial ini juga acap dilekatkan dengan penganut agama
mayoritas. Keterbelakangan dan pembaruan yang tidak simultan dapat memperkeruh
suasana disharmoni, serta dapat merusak tatanan sosial atau tatanan hubungan
antar kelompok sosial dan antar kelompok umat beragama.
Masyarakat
Indonesia yang multikultur, multi ras dan multi agama, memiliki potensi yang
besar untuk terjadinya konflik antar kelompok, ras, agama dan suku bangsa.
Indikasi ke arah itu terlihat dari tumbuh suburnya berbagai organisasi
kemasyarakatan , profesi, dan organisasi lainnya. Contoh seperti FPI, Laskar
Jihad, FBR dan kelompok lainnya yang berjuang dan bertindak atas nama
kepentingan kelompoknya atau kepentingan lainnya. Lain dari itu muncul juga
berbagai macam aliran keagamaan.
Beragam kelompok ini secara sosial menyebabkan tumbuh
dan berkembangnya nilai-nilai baru melalui berbagai proses yang menuntut adanya
institusionalisasi kepentingan. Tapi juga dapat berupa munculnya
konflik-konflik baru, karena kelompok lain, golongan lain, agama lain, merasa
bahwa kehadiran mereka menjadi ancaman bagi tatanan masyarakat yang sudah ada
dan ajeg serta kepentingan dari kelompok lainnya. Yang berkembang adalah sikap
etnosentrisme, yang menganggap hanya kelompoknya saja, golongannya saja yang
paling baik dan sempurna, sementara yang lain jelek, salah, dan berbagai
kekurangan lainnya(Zastrow, 2000, 157);
serta stereotipe, yang mengembangkan
gambaran tentang tipe-tipe masyarakat tertentu dengan karakteristik tertentu. Misalnya orang Batak
itu kasar; orang Padang itu licik, orang Sunda itu lelet dan lain-lain.
Perbedaan-perbedaan kepentingan, pandangan, nilai akan
menimbulkan perbedaan persepsi atas sesuatu yang kemungkianan besar akan
menyebabkan munculnya reaksi berdasarkan persepsi tersebut terhadap sesuatu
itu. Hal ini dapat dan menimbulkan konflik yang mungkin akan bermuara pada
kerusuhan. Beberapa peristiwa konflik antar kelompok, golongan, ras dan agama,
menunjukkan hal-hal tersebut. Lihat saja konflik Ketapang yang kemudian melebar ke beberapa tempat di
Jakarta, Bekasi bahkan Ambon , Kupang dan Poso.
Hal itu menunjukkan bahwa sentimen dan kepercayaan yang
berlebihan tentang keyakinan masyarakat terhadap salah satu kelompok, golongan
dan atau agama akan menimbulkan konflik, baik yang bernuansa sosil-ekonomi,
politik maupun agama. Bukti ini juga sekaligus menunjukkan bahwa potensi konflik itu ada diberbagai
bidang. Oleh karena itu perlu adanya
upaya yang simultan dilakukan agar
konflik yang potensial tersebut dikelola
secara seksama , baik oleh pemerintah daerah, masyarakat maupun aparat penegak
hukum. Yang tidak kalah pentingnya adalah peranan lembaga pendidikan dan proses
pembelajaran yang terjadi di dalamnya. Bahkan kita semua perlu bertanya ada apa
dengan sistem pendidikan kita ? Mengapa sebagaian masyarakat Indonesia mudah
sekali untuk melakukan kerusuhan ? Bagaimana model pendidikan yang dapat
menghindari terjadinya konflik sosial
Sebuah
masyarakat yang majemuk didalamnya akan terkandung berbagai kelompok masyarakat
yang memiliki latar belakang adat istiadat, budaya, agama dan kepentingan .
Seperti yang disampaikan oleh Furnival bahwa masyarakat majemuk (plural
societies) adalah suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang
hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu dengan lainnya di dalam suatu
kesatuan politik (Nasikun, 1986, hal 31). Masyarakat yang majemuk biasanya
menghadapi tantangan ketidakharmonisan dan perubahan yang terus menerus.
Sedangkan menurut Piere L. van Berghe, masyarakat majemuk memiliki sifat dasar
sebagai berikut (Nasikun, 1985, hal
67-68 dan Nitibaskara, 2002, hal 7) :
1.
Terjadi segmentasi ke dalam
bentuk kelompok –kelompok yang sering
kali memiliki kebudayaan, atau lebih tepat sub-kebudayaan, yang berbeda satu sama lain.
2.
Memiliki struktur sosial yang
terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-komplementer.
3.
Di antara anggota masyarakat
kurang mengembangkan konsensus atas nilai-nilai sosial dasar.
4.
Secara reaktif sering kali
terjadi konflik di antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.
5.
Secara reaktif integrasi sosial
tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang
ekonomi
6.
Adanya dominasi politik oleh
suatu kelompok atas kelompok yang lain.
Melihat definisi Furnival dan karakteristik
yang diajukan oleh Berghe, telihat bahwa masyarakat Indonesia memilki
karakteristik seperti itu. Memang secara vertikal maupun horizontal, masyarakat
kita masyarakat yang paling majemuk di Dunia, selain Amerika Serikat dan India. Kemajemukan ini menurut
Nasikun (1985, hal 38-44) terjadi karena : Keadaan geografis, dengan
beribu-ribu pulau; Indonesia terletak di antara Samudra Indonesia dan Pasifik,
sangat mempengaruhi terciptanya pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia;
Iklim yang berbeda dan struktur tanah yang tidak sama diantara berbagai daerah
di kepulauan Nusantara ini.
Dalam masyarakat yang majemuk, seperti
Indonesia, yang terdiri dari bebagai suku bangsa, ras, agama, kelompok dan
golongan , masalah pengintergrasian kelompok-kelompok tersebut merupakan
masalah yang pelik. Oleh karena itu diperlukan kemampuan untuk memenej konflik
tersebut, supaya dapat menghasilkan perubahan sosial ke arah yang lebih baik
dan tidak destruktif.
Konflik dapat terjadi melalui beberapa fase.
Fase-fase terjadinya konflik kekerasan
adalah sebagai berikut (Nitibaskara, 2002, hal 50-53) :
Fase pertama, tahap pendahuluan.
Pada fase ini, faktor struktural telah menjadi lahan subur yang kondusif untuk
meledaknya konflik kekerasan antar-etnis. Hanya seidikit orang yang memahami
secara sadar keadaan yang berkembang …Jika tahap ini gagal ditanggulangi maka
realitas sosial memasuki fase kedua . Tahap kedua adalah tahap titik didih.
Pada tahap ini, faktor struktural penyebab konflik kekerasan telah benar-benar
kondusif bagi meledaknya konfrontasi terbuka antar-etnis yang saling memendam rasa permusuhan.
Tindakan saling melecehkan simbol-simbol etnis semakin lebih terbuka. Budaya
mulai sering dieksploitasi perbedaannya… Bilamana tahap kedua tersebut gagal
diturunkan tensinya, maka akan menginjak babak berikutnya, yakni konflik
kekerasan anatar-etnis secara terbuka…
Akhirnya sampai ke tahap atau faase
keempat, yaitu tahap peredaan konflik,
pada tahap ini setiap hal yang mengarah kepada timbulnya konflik baru harus
segera ditangkal sedini mungkin…
Mencermati apa yang telah diuraikan tentang
fase-fase konflik terlihat bahwa pada
setiap fase dimungkinkan untuk terjadinya peneyelesaian konflik. Gambaran tentang
fase ini juga menunjukkan bahwa konflik
etnis mungkin akan dapat berhenti dengan sendirinya tanpa harus melalui keempat
fase tersebut. Yang penting dari itu
semua adalah bagaimana mencegah konflik sosial baik yang berlatar belakang
agama, etnis, politik maupun ekonomi.
Cara yang bisa dilakukan adalah dengan memenej konflik atau potensi
konflik. Salah satu bentuk manajemen konflik yang dapat dilakukan adalah
melalui proses pembelajaran di lembaga pendidikan (sekolah).
Dalam hal
ini terlihat bahwa terdapat beban yang
sangat berat bagi pendidikan kita terutama pendidikan moral atau proses
sosialisasi tentang keberagamaan dan makna dari keberagaman tersebut bagi
kehidupan. Oleh karena itu sudah seharusnya kita mulai memikirkan pendidikan
multikultur yang mengembangkan konsep
toleransi, saling menghargai, saling menghormati dan saling menyadari tentang
sebuah perbedaan. Para pendidik harus bekerja keras untuk melakukan reorientasi
pembelajaran agama kepada para peseta didik dengan tetap mensosialisasikan nilai-nilai
dan norma agama dari masing-masing agama yang diajarkan tetapi dengan
mengembangkan konsep multiculturalism education /learning. Karena dengan begitu
mekanisme manajemen konflik akan bisa dilaksanakan. Tentunya dengan didukung
kebijakan pemerintah tentang pendidikan moral,
agama dan sosial.
Antara Pendidikan
Multikultural dan Pendidikan Berbasis Masyarakat
Undang-undang
Pendidikan Nasional menyuratkan tentang pendidikan berbasis masyarakat
(Community Based Education, lihat Soedijarto, 2000, hal 77) yang didalamnya
disebutkan bahwa Pendidikan Berbasis Masyarakat adalah :
Penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial,
budaya, aspirasi dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari,
oleh dan untuk masyarakat.
Lebih lanjut
dalam Bagian Kedua Pasal 55 tentang pendidikan berbasis masyarakat diuraikan :
(1)
Masyarakat berhak
meneyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan
nonformal sesuai dengan kekhasan agama,
lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.
(2)
Penyelenggara pendididkan
berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta
manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan
(3)
Dana penyelenggaraan
pendidikan berbasis masyarakat
dapat bersumber dari penyelenggara,
masyarakat, Pemerintah, Pemerintah Paerah dan/atau sumber lain yang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4)
Lembaga pendidikan berbasis
masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain
secara adil dan merata dari
Pemerintah dan/atau pemerintah Daerah
(5)
Ketentuan mengenai peran serta
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
pemerintah.
Dari
ketentuan yang tersurat dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional terlihat bahwa pendidikan berbasis masyarakat ditujukan
untuk memperoleh output pendidikan yang
dapat berperan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Namun penulis kuatir,
keberadaan dari pendidikan berbasis
masyarakat ini justru akan menajamkan friksi
kemajemukan masyarakat bangsa Indonesia, karena dengan penyelenggaraan
pendidikan yang diselenggarakan
berdasarkan karakteristik wilayah, sosial dan budaya masayarakat Indonesia maka
ego kedaerahan akan semakin tinggi dan
ini sangat berbahaya.
Namun bila
pendidikan berbasis masyarakat tersebut ditujukan untuk menyelesaikan masalah
krisis ekonomi di Indonesia yang kemudian mempengaruhi kemampuan negara untuk
menyediakan dana pendidikan, hal ini dapat diterima. Tetapi bila model
penddidikan ini akan terus dikembangkan, saya yakin akan terus dikembangkan
sebab terligitimasi dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003. Maka yang perlu
diantisipasi adalah kemungkinann
adanya keberagaman dalam mutu
pendidikan, yang disatu sisi hal ini akan mendukung otonomi daerah dan juga
otonomi pendidikan, tetapi di sisi lain memiliki kemungkinan yang besar dalam
mengancam intergrasi nasional serta mempengaruhi keberhasilan dari pembangunan
karakter manusia Indonesia.
Lain dari
itu terlihat juga adanya kemungkinan negara, melepas tanggung jawab dalam
pembiayaan penyelenggaraan pendidikan
dimasing-masing wilayah penyelenggara, hal ini akan sangat bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945, perubahan
keempat tentang diharuskannya negara menyediakan dana pendidikan
sekuarang-kurangnya sebesar 20 % dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah(APBN dan APBD). Seperti
terlihat pada penyempurnaan pasal 31 dann 32, yang natara lain (Soedijarto,
2003, hal 2):
“mewajibkan pemerintah untuk membiayai
sepenuhnya pendidikan wajib belajar
(0asal 31 ayat (2))”, “mewajibkan negara
menyediakan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari APBN dan APBD
(pasal 31 ayat (4)).”
Dugaan itu
ternyata memang tidak salah, sebab tujuan utama dari penyelenggaraan pendidikan
berbasis masyarakat adalah untuk
mengatasi dampak krisis ekonomi terhadap
pendidikan (Soedijarto, ibid, hal 77)
Sementara
pendidikan multi-kultural tersurat dalam
beberapa pasal Undang-Undang Sisdiknas, antara lain pasal 3 yang menyatakan
bahwa :
“pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulai, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.”
Kalimat menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab
menunjukkan adanya tekad untuk melaksanakan pendidikan multikultur. Lebih
lanjut dalam pasal 4 Undang-undang ini diuraikan bahwa :
(1)
Pendidikan diselenggarakan
secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan
kemajemukan bangsa.
(2)
Pendidikan diselenggarakan
sebgai suatu kesatuan yang sitemik dengan sistem terbuka dan multimakna.
Kedua ayat
dalam pasal empat tersebut menyuratkan dan menyiratkan tentang pentingnya
pendidikan multikultur dalam rangka mendukung proses demokratisasi dan dalam
rangka terciptanya integrasi nasional.
Apa itu
pendidikan multikultural (multicultural education) ? Ada banyak pengertian
tentang ini, diantaranya adalah :
1.
Multicultural education is a
process through which individuals’ development ways of perceiving, evaluation
in behaving within cultural systems, are different from their own (Gibson 1984,
in Hernadez, 2001 in Semiawan 2003, pp 6)
2.
we may define multicultural
education as the process whereby a person “develops competencies in multiple
systems of standards for perceiving, evaluating, believeing and doing
“(Saifuddin based on Goodenough definition, 2003, pp. 4)
3.
Muticultural education is a
progresseve approach for transforming education that holistically critiques and
addresses current shortcomings, failings, and discriminatory practices in
education. It is grounded in ideals of social justice, education equity, and a
dedication to facilitating educational experiences in which all students reach
their full potential as learners and as socially aware and active beings,
locally, nationall, and globally. Multicutural education acknowledges that
schools are essensial to laying the foundation foor transformation of society
and the elimination off oppression and justice.(Budianta, 2003, pp. 8)
4.
Multicultural education as ‘a
philosophy, a methodology for educational reform” or “just a set of teaching
materials with pedagogical program.” (Gay dalam Budianta, 2003, hal 8)
Dari
beberapa definisi tentang multicultural education terlihat bahwa multi cultural education sangat relevan dilaksanakan dalam mendukung
proses demokratisasi, dimana adanya pengakuan hak asasi manusia, tidak adanya diskriminasi dan diupayakannya keadilan sosial. Disamping itu
dengan pendidikan multikultural ini dimungkinkan seseorang
dapat hidup dengan tenang di lingkungan kebudayaan yang berbeda dengan
yang dimilikinya.
Seperti
telah diuraikan di muka bahwa masyarakat kita ini masyarakat majemuk dan bahkan
paling majemuk di dunia. Karena itu agar kemajemukan ini tidak berkembang
menjadi ancaman disintegrasi harus diupayakan untuk dikelola. Bagaimaana
pengelolaannya ? Pendidikan salah satu
jawaban utamanya. Proses pembelajaran
tentang manusia Indonesia harus merupakan mata pelajaran wajib di seluruh
tingkatan jenjang pendidikan. Guru,
kurikulum, sarana- prasarana, gbpp dan berbagai hal yang diperlukan untuk suatu
proses pembelajaran yang mendukung multikulturalisme harus disediakan oleh
negara. Mengapa negara ? Negara adalah otoritas tertinggi dalam penyelenggaraan
pendidikan. Untuk membentuk manusia
Indonesia yang bercirikan ke-Indonesiaan diperlukan adanya penyeragaman dalam
beberapa mata pelajaran yang bersifat umum seperti Bahasa Indonesia,
Sosia-Budaya Indonesia, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn),
Perbandingan Agama. Mata pelajaran ini adalah mata pelajaran yang mutlak harus
diberikan untuk membentuk karakter manusia Indonesia. Selain tentunya mata
pelajaran olah raga dan kesenian. Selama ini proses pembelajaran lebih
cenderung mengupayakan penyeragaman, dan kurang memperhatikan keragaman
masyarakat bangsa Indonesia.
Berbeda
dengan pendidikan berbasis masyarakat, dimana
model seperti ini akan lebih banyak menimbulkan friksi-friksi dalam
masyarakat karena yang ditonjolkan
justru ciri kedaerahan yang justru
berbeda dengan daerah lainnya. Model ini juga
akan banyak menimbulkan masalah
ketika kita membicarakan standar kualitas. Walaupun disebutkan bahwa standar
kualitas yang digunakan adalah standar nasional, tetapi dengan kemungkinan penyelenggaran evaluasi
sendiri dan penentuan kurikulum sendiri serta
sarana dan prasanan pembelajaran sendiri
dan kesejahteraan guru juga sendiri, maka penulis sangat kuatir bahwa
pendidikan model ini justru akan semakin mempersulit
terwujudnya integrasi nasional dan sekaligus akan mempersulit terwujudnya manusia Indonesia seutuhnya, dengan
karakteristik Indonesia yang berbudaya Indonesia dan hidup dalam sistem sosial
dan politik Indonesia. Ini tantangan
bagi dunia pendidikan dimana pendidikan
dihadapkan pada konteks desentralisasi dan integrasi nasional, yang menuntut
pemikiran yang cermat dalam menentukan strategi pendidikan sebagai upaya untuk
membangun karakter bangsa yang diwarnai dengan kemajemukan.
Empat Pilar Pendidikan dan Masalah Kemajemukan
Dalam buku laporannya ke UNESCO, Jacques Delors, et. al.,
(1996, hl. 85-97) mengemukkan bahwa ada empat buat sendi/pilar pendidikan, yaitu
:
1. Learning to know (belajar untuk mengetahui)
2. Learning to do (belajar untuk berbuat)
3. Learning to live togather, learning to live with
others (belajar untuk hidup bersama)
4. Learning to be ( belajar untuk menjadi
seseorang)
Dalam Pointers and
Recommendations, Delors et.al.(hal. 97) mengemukakan bahwa :
Learning to know, dengan memadukan pengetahuan umum yang
cukup luas dengan keseempatan untuk
mempelajari secara mendalam pada sejumlkah kecil mata pelajaran. Pilar ini juga
berarti juga learning to learn (belajar untuk belajar), sehingga memperoleh
keuntungan dari kesempatan-kesempatan pendidikan yang disediakan sepanjang
hayat.
Learning to do, untuk
memperoleh bukan hanya suatu
keterampilan kerja tetapi juga lebih luas sifatnya, kompetensi untuk berurusan
dengan banyak situasi dan bekerja dalam tim. Ini juga belajar berbuat dalam
konteks pengalaman kaum muda dalam berbagai kegiatan sosial dan pekerjaan yang
mungkin bersifat informal, sebagai akibat konteks lokal atau nasional, atau
bersifat formal melibatkan kursus-kursus, program bergantian antara belajar dan bekerja.
Learning to live together, learning
to live with others , dengan jalan mengembangkan pengertian akan orang lain dan apresiasi atas
interdependensi—melaksanakan proyek-proyek bersama dan belajar memenej
konflik—dalam semangat menghormati nilai-nilai kemajemukan, saling memahami dan
perdamaian.
Learning to be, sehingga dapat mengembangkan kepribadian
lebih baik dan mampu bertindak mandiri, membuat pertimbangan dan
rasa tanggung jawab pribadi yang semakin besar, ingatan, penalaran, rasa
estetika, kemampuan fisik, dan keterampilan berkomunikasi.
Dari
keempat pilar pendidikan di atas terlihat bahwa pilar learning to live
toggether, learning to live with others, dalam konteks kemajemukan merupakan
suatu pilar yang sangat penting. Pilar
ini sekaligus juga menjadi pembenar pentingnya pendidikan multikultur yang
berupaya untuk mengkondisikan supaya peserta didik mempunyai kemampuan untuk
bersikap toleran terhadap orang lain, menghargai orang lain, menghormati orang
lain dan sekaligus yang bersangkutan mempunyai tanggunga jawab terhadap dirinya
serta orang lain. Sehingga bila proses pembelajaran di sekolah diarahkan tidak
hanya pada learning to know, lerning to do dan leraning to be, tetapi juga diarahkan
ke learning to live together, masalah
kemajemukan akan dapat teratasi dengan melakukan manajemen konflik dan dengan
demikian akan juga diikuti oleh tumbuhnya kebudayaan nasional yang tidak
melupakan kebudayaan daerah, tumbuhnya bahasa nasuonal dengan tidak melupakan
bahasa daerah, tumbuhnya sistem politik
nasional dengan tanpa mengabaikan sistem politik daerah, (pemerintahan daerah).
Secara umum akan tumbuh dan berkembang Sistem Sosial Indonesia, yang berbeda
dari Sistem Sosial Amerika, Sistem Sosial Jepang, Sistem Sosial negara-negara
lainnya. It is Indonesia so we are Indonesians. Go for it !!!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar