BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia paska-kemerdekaan telah
silih berganti mengalami perubahan sistem pemerintahan sesuai dengan
bergantinya elit-elit yang memerintah, meskipun mengalami perubahan terus
menerus dari periode orde lama, orde baru hingga reformasi, namun secara umum
sistem pemerintahan yang digunakan tetap memiliki benang merah yaitu demokrasi.
Pada setiap periode pemerintahan istilah demokrasi yang digunakan juga berbeda,
jika pada periode orde lama lebih senang menggunakan istilah demokrasi
terpimpin maka orde baru memilih untuk menggunakan terminologi demokrasi untuk
disandingkan dengan pancasila.
Demokrasi menurut Linz, Diamond &
Lipset dalam studi mereka terhadap demokrasi di negara-negara berkembang adalah
sebagai sebuah sistem pemerintahan yang memenuhi 3 kondisi mendasar: pertama, adanya kompetisi yang bermakna
untuk memperoleh kekuasaan diantara para individu dan kelompok-kelompok yang
terorganisir; kedua, adanya
partisipasi inklusif dalam pemilihan para pemimpin dan kebijakan, setidaknya
melalui pemilihan umum yang bebas dan adil, serta ketiga, adanya tingkat kebebasan politik dan sipil yang cukup
menjamin integritas dari kompetisi dan partisipasi politik tersebut.
Pada masa demokrasi terpimpin ala orde lama sebetulnya tiga kondisi tersebut
sudah terjadi hal ini dibuktikan dengan adanya pemilu 1955 yang begitu
demokratis hingga puluhan partai politik berbondong-bondong untuk berkompetisi
untuk mendapatkan kekuasaan dan begitu pula partisipasi masyarakat yang begitu
antusias untuk memilih. Namun kepemimpinan tunggal oleh Soekarno tidak dapat di
negasikan sehingga kompetisi hanya terbatas hingga level parlemen.
Pada era demokrasi pancasila, ketiga
kondisi demokrasi itu dihilangkan sama sekali dibatasinya jumlah partai
politik, pemilu yang diselenggarakan oleh eksekutif hingga menyebabkan Golkar
menjadi satu-satunya ruling party
pada saat itu. Dalam hubungannya dengan pemikiran Korten mengenai model empire dan model earth community pada kedua era itu (orde baru, orde lama) memiliki
kecenderungan untuk dikategorikan kedalam bentuk empire karena dominasi yang kuat dari elite dalam orde lama dan
orde baru menyebabkan ilusi akan keteraturan dan keamanan stabilitas
menyebabkan masyarakat yang hidup dari hostile
dan kompetitif. Sementara paska orde baru atau era reformasi kecenderungan itu terlihat secara common sense berubah, dibukanya keran
partisipasi politik seluas-luasnya menyebabkan partisipasi politik berubah dari
inklusif ke ekslusif.
BAB II
THE GREAT TURNING FROM
EMPIRE TO EARTH COMMUNITY
Dalam
buku “The Great Turning from Empire to Earth Community”, David C. Korten
memberikan model dikotomo dalam membahas perubahan social masyarakat di dunia,
yaitu dari Empire menuju Earth Community. Empire yang dimaksud oleh Korten disini menggunakan focus utama
dominasi dan kekuasaan, dimana dalam masyarakat terdapat organisasi
yang kekuasaannya ditentukan oleh dominasi dan bersifat monarki. Fitur dari masyarakat manusia yang paling
kuat dan berpengaruh untuk beberapa lima ribu tahun, menyisihkan banyak surplus
produktif masyarakat untuk mempertahankan sistem dominator kekuasaan dan
persaingan elit. Sementara Earth
Community lebih menekankan sebuah sistem yang menumbuhkan kemitraan
(partnership) dan merilis
manusia yang potensial untuk kerjasama kreatif
dan mengalokasikan surplus produktif masyarakat
dengan pekerjaan.
Dalam kata lain Korten menjelaskan bahwa Empire dan Earth Community merupakan
dua buah model yang menjelaskan hubungan relasi antar manusia dalam level
apapun. Empire dan Earth Community merupakan
kedua hal yang kontras satu sama lainnya.
Tabel 1
Perbandingan
antara Empire dan Earth Community
Empire
|
Earth
Community
|
Life
is hostile and competitive
|
Life
is supportive and cooperative
|
Humans
are flawed and dangerous
|
Humans
have many possibilities
|
Order
by dominator hierarchy
|
Order
through partnership
|
Compete
or die
|
Cooperate
and live
|
Love
power
|
Love
life
|
Defend
the rights of the self
|
Defend
the rights of all
|
Masculine
dominant
|
Gender
balanced
|
A.
Choosing
Our Future
Korten
memulai dengan menceritakan sebuah cerita tentang pertenakan sapi di Nikaragua,
pada awalnya ketika sang pemilik Juan Ricardo mengambil alih pada awal 1970-an
keadaan peternakan tidak lebihnya seperti neraka bagi para pekerja. Sabaneros
(peternak) dan Peones (pekerja manual) sebutan bagi
orang yang bekerja di sebuah peternakan berada pada standar hidup yang tidak
layak. Sabaneros hidup di sebuah
bangunan kayu yang rusak begitu pula para Peones. Namun Juan Ricardo melakukan perubahan dengan
memberikan standar kehidupan yang lebih layak dengan meningkatkan kesehatan
makanan dan menaikan gaji para pekerja mereka.
Menurut Korten, Juan Ricardo telah men-demonstrasikan sebuah perubahan
dengan menggantikan sistem yang empire dengan
sistem yang berdasarkan partnership sehingga
potensi-potensi para pekerja dapat dikembangkan secara utuh karena kreatifitas
dan inovasi berjalan tanpa adanya tekanan dari sistem empire. Dari situlah Korten
melihat bahwa pada dasarnya manusia memiliki pilihan (choice) dalam menentukan masa depannya secara kolektif.
Korten
menilai bahwa manusia telah secara tidak langsung melakukan blok terhadap
potensi yang dimilikinya namun bukan secara alamiah melainkan relasi ala empire yang menyebabkannya. Menurut Korten penting dalam perjalanan
membangun apa yang dinamakan kesadaran penuh (awakening consciousness) dalam sebuah sistem Earth Community yang dengan kesadaran itu manusia memiliki
kemampuan untuk membedakan apa itu sifat diri dan bukan sifat diri atau “I” dan “not I” . Korten menjelaskan
5 tahap development pada individu
yang pada puncaknya akan mengantarkan individu pada kedewasaan penuh yang
memberikan kesadaran: (1) Magical
Consciousness tahap ini berjalan ketika manusia berumur 2-6 tahun dimana
individu belum mampu membedakan antara fantasi dengan realitas, sehingga santa
claus, peri gigi, atau hal-hal yang
bersifat “other world” seolah-olah
benar hadir. Pada tahap ini individu
belum dapat mengenal apa itu konsekuensi dan tidak dapat menerima tanggung
jawab. (2) Imperial Consciousness tahap
ini muncul pada usia 7 tahun, individu bukan lagi mempercayai hal-hal magis,
melainkan paham atas hubungan kausal dan konsekuensi untuk diri sendiri (My World). Pada usia ini dimana anak mulai bersekolah,
dimana ia diajarkan bahwa orang lain memiliki sudut pandang yang saling
berbeda, sehingga dibutuhkan hubungan yang bersifat timbal-balik. (3) Socialized Consiciousness tahap ini
dimulai pada usia 12 tahun atau remaja awal, saat individu berada pada tahap
transisi yang menjadikan mereka pemberontak terhadap otoritas orangtua.
Individu pada tahap ini membentuk jati diri mereka lewat kesamaan seperti
etnisitas, ras, agama atau hobi. Pada
tahap ini individu memiliki kesadaran bahwa dunia itu adalah Small World yang sebatas hanya pada
identitas peer group mereka
saja. (4) Cultural Consiciusness tahap
ini muncul ketika individu memasuki usia 30 tahun dan menyadari bahwa
kebudayaan adalah konstruksi social.
Budaya memiliki logika, norma, serta ekspektasinya yang berbeda dan itu
menjadi pilihan masing-masing individu.
Maka, mereka pun telah menyadari kebutuhan akan sanksi legal untuk
mengamankan keteraturan sosial dan keadilan, bukan hanya untuk individu, peer
group atau golongannya dengan kata lain narsistik,
tetapi untuk bersama (inclusive world). (5) Spiritual
Consiciusness merupakan puncak dari tahapan development dari manusia, pada tahapan ini individu menyadari
sepenuhnya mereka hidup di dunia yang kompleks dan harus mengembangkan dunia
yang terintegrasi (integral world)
dan menyadari adanya creator dunia
dan mereka hanya sebagai co-creator. Pada
tahap Magical dan Imperial individu masih berada pada pola
relasi yang empire, dua tahap
terakhir individu telah berada pada pola relasi yang earth community, sedangkan Social Consciousness merupakan tahap
transisi.
Korten sangat pesimis atas
perkembangan masyarakat yang bersifat imperative (Empire), yang menimbulkan berbagai kekacauan di dunia, sehingga
mereka harus melakukan perubahan.
Ketergantungan ekonomi oleh manusia menimbulkan dampak pada alam, di
antaranya menghabiskan SDA seperti minyak, menimbulkan perubahan iklim, dan
sebagainya. Untuk aspek social, manusia
melakukan perang yang berakibat pada banyak korban dan kehancuran. Ditambah lagi, terbentuknya kesenjangan yang
lebih besar antara masyarakat yang kaya dan miskin. Permasalahan-permasalahan tersebut pada
akhirnya memaksakan munculnya kesempatan bagi masyarakat untuk “memilih”
kembali arah perkembangannya. Menurut
Korten kesempatan itu muncul lebih besar pada era sekarang dimana perkembangan
institusi dan teknologi dapat mendukungnya.
Pada era empire informasi
merupakan suatu hal yang harus dijaga konten agar tidak menyebarkan isu-isu
yang dapat mendistorsi elit atau malah memunculkan paham anarkhi. Sehingga pada era ini kesempatan manusia
untuk lebih menemukan dirinya dan mengembangkan potensinya seharusnya lebih
terbuka didalam masyarakat yang mengedepankan relasi yang seimbang, bahkan
tidak tertutup kemungkinan masyarakat dunia dapat membentuk global civil society yang berdasarkan partnership dan akan
menghancurkan relasi-relasi empire yang
terjadi.
B.
Sorrows
of Empire
Pendidikan manusia tradisional
dipusatkan pada 3 tantangan: pembangunan seni pembicaraan yang rumit untuk
memfasilitasi proses komunikasi, penemuan teknologi yang dapat meningkat
kemampuan pikiran dan tubuh manusia, dan pembangunan seni tempat tinggal dalam
unit organisasi yang lebih luas untuk mengatasi pertumbuhan populasi
manusia. Ketiga usaha ini, menurut ahli
sejarah kebudayaan, Eslier, merupakan karakter dari great partnership society menuju Earth Community yang melibatkan
kaum perempuan. Hal tersebutlah yang selama ini menjadi terabaikan karena
Empire yang condong pada dominasi maskulin.
Masa awal peradaban, manusia tidak
dapat dibedakan berdasarkan pekerjaan, status, dan kekuatan. Salah satu peran
yang dapat diidentifikasi pada masa pre-agrikultur yaitu Sharman, seseorang yang memiliki kekuatan untuk menyembuhkan dengan
dunia spiritual. Kemudian, kuil, di mana ibadah ditujukan pada sosok dewi,
menjadi unit organisasi awal yang mengatur kegiatan komunitas. Ciri yang
menonjol dari komunitas seperti ini yaitu terciptanya masyarakat egaliter,
seperti yang terlihat dari bentuk rumah, dll.
Penundukan dan perebutan kekuasaan
menjadikan eksistensi perempuan dalam posisi sakral dalam kuil menjadi
tergantikan oleh sosok dewa sebagai ciri maskulinitas dan posisi laki-laki
menjadi dominan. Hal ini menjadi tanda awal dari kehadiran kerajaan dan raja.
Keadaan lain yang mengiringi kelahiran sebuah kerajaan adalah perubahan pola
distribusi dan pekerjaan menjadi bentuk kegiatan publik. Perubahan itu turut
berdampak pada peningkatan standar hidup, walaupun tanah dan sumber daya
lainnya masih dimiliki secara bersama-sama. Namun di sisi lain, ikatan antar
satu anggota masyarakat dengan anggota lainnya masih begitu kuat dan erat. Satu
sama lain masih dapat saling mengenal. Pemerintahan pun masih dijalankan secara
informal melalui pertemuan antar sesama warga, bukan melalui aturan hukum.
Kepercayaan dan identitas kelompok
menjadi kunci utama dalam mempertahankan kondisi tersebut. Namun, seiring
dengan peningkatan populasi manusia, keduanya menjadi inefektif sehingga
mendorong diciptakannya aturan dan otoritas kekuasaan yang dapat menjaga kestabilan
masyarakat. Hal itu turut mendorong timbulnya diferensiasi dan spesifikasi
kerja dalam berbagai sektor kehidupan. Kondisi ini menurut Jare Diamond, dapat
dijadikan sebagai ketegori untuk membedakan antara statemanship dan kliptocracy.
Keduanya dibedakan dari penggunaan kekuasaan dan sumber daya yang ada, apakah
digunakan untuk kepentingan umum atau untuk mempertahankan kekuasaan pribadi.
Pandangan Diamond menggunakan perspektif tingkatan bahwa pertumbuhan populasi
diimbangi oleh pengaturan organisasi yang lebih kompleks.
Negara-kota,
bentuk kedaulatan kuno, seperti Mesopotamia dan Mesir sebagai icon model kerajaan dalam aspek struktur
dan dinamika institusi kebudayaan, ekonomi, dan politik, atau Kerajaan Roma
yang sangat terkesan elitis dan menjadi rujukan Amerika Serikat. Roma tercatat
sebagai kerajaan pertama yang mengubah bentuknya menjadi republik pada tahun
500 SM. Pada perkembangannya, Kerajaan Roma tergantikan oleh kekuasaan yang
berlandaskan agama, di mana gereja menjadi basis kekuatan yang besar dalam
mengendalikan masyarakat. Akan tetapi, masa ini dianggap pula sebagai masa
kegelapan yang diperburuk oleh dominasi feodalisme di abad pertengahan.
Akhir
dari suasana ini ditandai oleh beberapa peristiwa, di antaranya revolusi gereja
dan masyarakat berganti memasuki masa pencerahan. Kondisi ini menjadi tantangan
terhadap monopoli kekuasaan oleh kerajaan dan pada akhirnya banyak kerajaan
yang terjatuh atau berubah menjadi negara demokrasi. Namun, kejatuhan ini
justru menciptakan dominasi lain, di mana negara-negara kerajaan melakukan
ekspansi ke berbagai wilayah dan membentuk negara-negara koloni untuk menopang
kekuasaan negara kerajaan. Di sisi lain, ekspansi yang dijalankan oleh negara
kerajaan yang telah menerapkan demokrasi menjadi ancaman bagi kerajaan yang
masih menganut sistem monarki.
Sekarang ini, dominasi yang
dilancarkan oleh negara-kerajaan tersebut telah beradaptasi bukan lagi dalam
bentuk politik, tetapi cenderung pada kekuasaan ekonomi dalam aspek global.
Misi kapitalisme ini dilancarkan melalui kendaraan ideologi demokrasi yang
berusaha disebarkan dan ditanamkan pada negara-negara bekas koloni maupun
non-koloni. Perang Dunia II turut memberikan pengaruh yang dominan dalam
menentukan kekuatan dominan yang menjalankan misi kapitalisme ini, yaitu
Amerika Serikat. Namun demikian, terdapat negara-negara yang melakukan
pertahanan atau perlawanan terhadap dominasi kekuatan Amerika Serikat. Dewasa
ini, perlawanan tersebut terwujud dalam kekuatan ekonomi regional, seperti
Masyarakat Uni Eropa.
C.
The
Great Turning
Dalam rangka melakukan perubahan peradaban manusia
menuju Earth Community, banyak yang harus dilakukan oleh masyarakat
global. Pertama, manusia harus
memperhatikan aspek agama dan ilmu pengetahuan sebagai dua sumber yang
mendefinisikan manusia, nilai dan norma, serta tujuan dari hidupnya. Sejak berkembangnya revolusi ilmu
pengetahuan, agama dan pengetahuan selalu bersaing untuk memberi interpretasi
terbaik bagi manusia, terutama saat manusia berada pada era modern seperti
sekarang ini. Dalam rangka
mempertahankan dinamika Empire, kedua hal tersebut bersaing untuk memberikan
kepastian atas kebenaran. Bahkan, hal
itu menyebabkan manusia terbagi menjadi masyarakat yang condong kepada agama
dan kepada ilmu pengetahuan. Maka dari
itu, untuk mencapai Earth Community, masyarakat harus mampu mempertemukan kedua
hal tersebut, tidak tertutup atau eksklusif terhadap salah satu di antaranya.
Selanjutnya, dalam rangka mencapai kesadaran
kedewasaan spiritual (Spiritual Consciousness), manusia harus mencapai self-discovery. Manusia harus memulai dengan memperhatikan
konsepsi Creation atau Tuhan dalam menanggapi ilmu pengetahuan. Dengan sendirinya, manusia akan memahami
bahwa hidup lebih dari sekedar mekanisme material dan kesempatan. Hidup hanya hadir dalam komunitas yang
beragam dan saling bergantung antar spesies—termasuk dengan hewan dan
tanaman. Sehingga, keberadaan kemitraan
atau partnership menjadi signifikan bagi manusia dan mereka sadar akan itu.
Terakhir, perubahan dari Empire
menuju Earth Community harus melalui dua elemen, yakni mengubah orientasi nilai
dari uang menjadi kehidupan dan mengubah relasi dominasi menjadi relasi
kemitraan yang berbasis healthy living
system. Empire telah membuat manusia
teralienasi dari kehidupan, ditutupi dengan fantasi kekuasaan serta dominasi,
sehingga manusia memiliki tujuan yang tidak dapat ditemukan ujungnya
(kekerasan, dominasi, dan akumulasi materi).
Teralienasi dari kehidupan membuat manusia tertutup terhadap kebenaran
dan tujuan yang telah direncanakan oleh Sang Pencipta. Maka, The Great Turning atau Perubahan Besar
memaksakan manusia untuk mempelajari kembali bagaimana cara untuk hidup sebagai
Earth Community.
D.
Birthing
Earth Community
Kehidupan
masa kini dihantui oleh kecemasan akan masa depan, baik itu isu lingkungan yang
tidak berkelanjutan, keadaan ekonomi yang memperburuk masyarakat kelas bawah,
atau bahkan perang dimana-mana terjadi, sehingga yang mendominasi kehidupan
adalah mereka yang memiliki modal dan dapat menguasai berbagai bentuk dominasi.
Perubahan sosial diharapkan mampu membentuk komunitas yang mampu meredam setiap
permasalah yang terjadi dalam masyarakat, sehingga tidak mengedepankan
kepentingan kelompok, melainkan kepentingan bersama.
Usaha
seperti ini tentu tidak lagi berharap penuh pada peran negara dalam mengatur
kehidupan masyarakat yang setara dan adil, namun memerlukan peran serta
masyarakat dan pihak lembaga non pemerintah setempat dengan berbagai peran yang
dapat dimaksimalkan. Dalam membentuk komunitas dan mewujudkan perubahan ini
sangat diharapkan peran dari masyarakat, sehingga civil society sangat besar guna menjadi pelopor dalam berbagai
gerakan sosial yang dibangun.
Terdapat
beberapa strategi guna melahirkan kembali komunitas yang mengedepankan
nilai-nilai persaudaraan seperti jaman nenek moyang dahulu. Strategi pertama
ialah dengan menyadarkan kembali, nilai-nilai sosial-budaya di masing-masing
kelompok guna melahirkan kembali semangat budaya. Dialog antar budaya dirasa
mampu untuk saling mengetahui dan menjadi pembelajaran bagi bangsa. Berikutnya
ialah dengan menentang nilai-nilai kerajaan yang otoritarian dan menuju
masyarakat lebih demokrasi dan menolak kekerasan, sehingga mampu mengajak
setiap lapisan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan perubahan.
Strategi
selanjutnya ialah dengan mengkoneksikan berbagai komunitas yang hadir untuk
memiliki nilai-nilai yang seragam guna menjadi perpanjangan tangan perubahan
yang lebih baik, sehingga setiap komunitas mampu menjadi kelompok acuan dalam
masyarakat. Dan berikutnya ialah membentuk kekuatan politik dengan mayoritas
kelompok dan mampu mempengaruhi setiap kebijakan yang terkait dengan isu sosial
dalam masyarakat. Berbagai strategi tersebut guna untuk membangkitkan semangat
dan kesadaran akan budaya dan spiritualitas dari kelompok tertentu.
Hasil
dari terbentuknya komunitas tersebut akan membawa dampak terhadap perubahan
dalam bidang ekonomi, politik dan budaya itu sendiri. Pada ekonomi, perubahan
yang utama ialah bagaimana mewujudkan kegiatan ekonomi yang adil dan
bertanggungjawab pada lingkungan sekitar, hal ini mengacu pada tanggung jawab
sosial dan peran serta dalam isu-isu lingkungan. Sedangkan pada bidang politik,
perubahan yang terjadi pada sistem pemerintahan yang bersih dan lebih baik
(demokratisasi), sehingga partisipasi masyarakat sangat diharapkan dalam
membangun bangsa ini.
Sedangkan
perubahan selanjutnya ialah pada aspek budaya masyarakat, seperti mengedepankan
kesetaraan gender dalam kepemimpinan komunitas ataupun mengembalikan ajaran
agama sehingga mampu menjadi dasar dalam berperilaku sehari-hari. Pada beberapa
laporan penelitian disebutkan bahwa kepemimpinan disekolah dan universitas
banyak di dominasi oleh perempuan sedangkan laki-laki cenderung untuk fokus
pada kegiatan-kegiatan atletik. Dalam mewujudkan perubahan budaya ini,
diharapkan para tokoh-tokoh masyarakat mampu menjadi mentor bagi generasi
penerus yaitu anak-anak, untuk dapat diteruskan setiap nilai-nilai budaya yang
ada dan akhirnya mampu membentuk identitas pada kelompok tersebut.
BAB
III
DEMOKRASI
DI INDONESIA
Sebuah perjalanan yang panjang dan
penuh perjuangan bagi bangsa Indonesia untuk dapat sampai seperti saat ini. Di
awali dengan perjuangan untuk mendapatkan kemerdekaan sampai pada tahap
mempertahankan dan memaksimalkan kemerdekaan yang dimiliki bangsa Indonesia.
Seperti yang kita ketahui butuh ratusan tahun bagi bangsa ini untuk mendapatkan
kemerdekaanya, setelah merdeka tantangan utama bagi bangsa ini adalah membuat
dan merencanakan bentuk pemerintahan yang akan di gunakan sampai pada akhirnya
system pemerintahan yang demokratis-lah yang paling sesuai dengan kondisi dari
bangsa Indonesia.
A.
Demokrasi Pada Periode 1945 – 1957
Demokrasi pada masa ini dikenal
dengan demokrasi parlementer. Sistem parlemanter yang mulai berlaku sebulan
setelah kemerdekaan di prokalmasikan dan kemudian diperkuat dalam UUD 1945 dan
1950, ternyata kurang cocok untuk Indonesia. Persatuan yang dapat digalang
selama menghadapi musuh bersama dan tidak dapat dibina menjadi kekuatan
konstuktif sesudah kemerdekan dicapai. Karena lemahnya benih demokrasi sistem
perlementer menberi peluang untuk mendominasi partai politik dan dewan
perwakilan rakyat.
UUD 1950 menetapkan berlakunya
sistem parlementer dimana badan eksekutif terdiri dari presiden sebagai kepala
negara berserta menterinya yang mempunyai tanggung jawab politik. Karena partai
politik usia kabinet pada masa ini tidak bertahan cukup lama. Koalisi yang
dibangun enggan gampang pecah. Hal ini mengakibatkan destabilisasi politik
nasional. Disamping itu ternyata ada beberapa kekuatan sosial dan politik yang
tidak memperoleh saluran dan tempat yang realitis dalam konstelasi politik
padahal kekuatan yang penting yaitu presiden yang tidak lain bertindak sebagai
“rubber stamp president” yang bertanggung jawab untuk turut menyelesaikan
persoalan yang dihadapi masyarakat Indonesia pada umumnya. Faktor yang semacam
ini, ditambah dengan tidak mampunya anggota partai yang tergabung dalam konsituante
untuk mencapai konsensus menegenai dasar negara untuk UU baru, mendorong Ir. Soekarno
untuk mengeluarkan dekrit presiden 5 juli yang menentukan berlakunya kembali
UUD 1945, dengan demikian masa demokrasi berdasarkan sistem parlemanter.
B.
Demokrasi pada Periode 1957-1965
Pada saat itu, system politik
disebut sebagai Demokrasi Terpimpin. Ciri
demokrasi ini adalah dominasi dari presiden, terbatasnya peranan partai politik
berkembang pengaruh komunisme dan meluasnya peran ABRI sebagai unsur politik
dekrit presiden 5 juli merupakan usaha jalan keluar dari kesamaan politik
melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat. UUD 1945 membuka kesempatan bagi presiden
untuk bertahan selama lima tahun. Akan tetapi MPRS NO.III/1963 mengakat Soekarno
sebagai presiden seumur hidup. Selain itu tindakan yang menyimpang dari
ketentuan UUD. Misal Ir. Soekarno membubarkan DPR ditahun 1960, padahal dalam
UUD 1945 secara eksplisit bahwa presiden tidak punya wewenang berbuat demikian.
DPR berperan sebagai pembantu
pemerintah sedangkan fungsi kontrol ditiadakan, lagi pula DPR di jadikan
menteri yang bertugas membantu presiden disamping fungsi wakil rakyat. Hal ini
mencerminkan telah ditinggalkannya doktrin trias politika. Selain itu di bidang
eksekutif misalnya presiden punya wewenang untuk campur tangan di bidang yudikatif
berdasarkan UU No.19/1964, dan legislatif berdasarkan peraturan presiden No.14/
1960, berarti DPR tidak mencapai manfaat. Dengan demikian kekeliruan yang
sangat besar dalam demokrasi terpimpin Soekarno adalah adanya pengingkaran
terhadap nilai demokrasi yaitu absolutisme dan terpusatnya kekuasan hanya pada
diri pemimpin, sehingga tidak ada ruang kontrol sosial dan check and balances dari legislatif terhadap eksekutif.
Selain itu terjadi penyelengaraan di
bidang UU tindakan pemerintah dilaksanakan melalui penetapan presiden yang
memakai dekrit 5 Juli sebagai sumber hukum. Selain itu partai politik dan pers
yang sedikit menyimpang dari “rel revolusi” tidak dibenarkan dan di brendel
sedang politik mercusuar di hubungan luar negari dan ekonomi dalam negari
menyebabkan keadaan ekonomi menjadi seram, G.30S/PKI telah mengakhiri periode
ini dan membuka peluang masa demokrasi pancasila.
C.
Demokrasi pada periode 1965-1998
Landasan formil dari periode ini
adalah pancasila, UUD 1945, serta ketetapan MPRS. Usaha untuk meluruskan
kembali penyelangaraan pada demokrasi terpimpin, dengan mengadakan tindakan
untuk korektif. Ketetapan sebelumnya yang menetapkan Soekarno sebagai presiden
seumur hidup di batalkan menjadi jabatan efektif lima tahun sekali. Kemudian
terbentuknya ketetapan baru yang menetapkan kembali asas “kebebasan badan-badan
pengadilan”. DPR diberi hak kontrol, dan tetap berfungsi membantu pemerintah.
Begitu pula tata tertib pasal yang diberikan wewenang kepada presiden untuk
memutuskan permasalahan yang tidak dapat dicapai mufakat antara badan legislatif.
ABRI di beri landasan kostitusional. Selain itu pers diberi kebebasan untuk
menyampaikan pendapat, dan partai politik bergerak untuk menyusun kekuatan,
menjelang pemilu 1979. Dengan ini diharapkan terbinanya partisipasi dan
diadakan pembangunan ekonomi secara teratur. Secara umum dapat dijelaskan bahwa
watak demokrasi pancasila sama dengan demokrasi pada umumnya. Karena pada
demokrasi pancasila memandang kedaulatan begitu pula partisipasi politik,
perlindungan dan jaminan bagi warga negara dalam menjalankan politik adalah
sama.
Beberapa perumusan tentang demokrasi
pancasila sebagai berikut:
- Demokrasi dalam bidang politik
pada hakekatnya adalah menegakkan
- Kembali azas negara hukum dan
kepastian hukum.
- Demokrasi dalam bidang ekonomi
pada hakekatnya adalah kehidupan yang layak bagi semua warga negara.
- Demokrasi dalam bidang hukum
pada hakekatnya membawa pengakuan dan perlindungan HAM, peradilan yang
bebas tidak memihak.
Namun “Demokrasi Pancasila” dalam
rezim orde baru hanya sebagai retorika dan belum sampai pada tatanan prasis
atau penerapan. Karena dalam pratek kenegaraan dan pemerintahan rezim ini tidak
memberikan ruang bagi kehidupan demokrasi, yang ditandai:
1. Dominanya peranan ABRI
2. Birokratisasi dan sentralisasi
pemgembalian keputusan politik.
3. Pesebirian peran dan fungsi partai
politik.
4. Campur tangan pemerintah dalam
berbagai urusan politk.
5. Masa mengembang.
6. Monolitisasi ideologi negara.
7. Info porsi lembaga non pemerintah.
D.
Demokrasi Pada Periode 1998-sekarang
Runtuhnya orde baru membawa harapan baru
bagi tumbunya demokrasi di Indonesia yaitu tahap awal bagi transisi demokrasi
Indonesia. Tansisi merupakan fase krusral yang kritis, karena menentukan arah
dan negara yang akan dibangun atau bisa saja terjadi pembalikan arah perjalanan
bangsa dan negara yang akan menghantar Indonesia kembali memasuki masa otoriter
sebagaimana yang terjadi pada periode orde lama dan baru.
Pengalaman
negara demokrasi yang sudah estabilished memperlihatkan bahwa institusi
demokrasi bisa berjalan dan tetap berfungsi walaupun jumlah pemilihnya kecil.
Karena itu untuk megukur tingkatan kepercayaan publik terhadap institusi
demokrasi tidak terletak pada partisipasi warga. Untuk melihat itu sebenarnya adalah apakah partisipasi warga dilakukan degan suka rela
atau karena di bayar dan digerakkan. Harapan lain dalam
susksesnya trasisi demokrasi Indonesia adalah peran civil
ocienty untuk menguasai plarisasi politik dan menciptakan
kulur toleransi.
Masalah paling mendasar yang dihadapi negara yang sedang mengalami transisi menuju demokrasi adalah ketidakmampuan membentuk tata pemenrintahan
baru yang bersih, transparan dan akuntabel tanpa legitimasi yang
kuat, rezim demokrasi baru akan kehilangan daya tariknya
teori “hilangnya legimitasi” ini juga menjelaskan asal
mulanya keruntuhan rezim otoritarian. Hal ini disebabkan` setiap rezim mmbutuhkan legitimasi, dukungan atau paling tidak persetujuan
tanpa akan jatuhnya dan teori ini meramalkan hadirnya kekuatan masa atau paling tidak
ketidak patuhan masa sebelum lahirnya liberalisme,
Demokrasi yang baru tumbuh di Indonesia adalah pengolahan
yang efektif dibidang ekonomi,
selain dibidang pemerintahan. Dengan demikian demokrasi tidak hanya diarea politik malaikan dibidang ekonomi, sosial dan budaya.
Jika demokrasi yang baru tumbuh dapat mengelola
pembangunan ekonomi secara efektif,
maka mereka juga dapat menata rumah tangga politik mereka
dengan baik. Tapi ketegangan yang secara timbul akibat
pertumbuhan ekonomi bisa jadi menggrogoti stabilitas
demokrasi dalam jangka panjang.
Bisa aj
dengan memilih desain internasional seperti desain struktural,kultural, dan kebangaan yang dapat menghantarkan pada
demokrasi. Tetapi hasilnya tergantung kontek tertentu.
Ketegangan etnik atau lainnya. Berbagai pro dan kontra memperngaruhi
demokrasi, tetapi itu tidak dapat menentukan hasil akhirnya apakah berhasil
atau gagal sehingga tetap bergantung pada pilihan dan prilaku para pemimpin dan
elite poitik.
Proses suksesi kepresidenan dengan
jelas menandai berlansungnya proses trasisi ke arah demokrasi, setelah demokrasi
terpenjarakan sekitar 32 tahun pad rezim Soeharto dengan demokrasi pancasilanya
dan 10 tahun pada masa Soekarno dengan demokrasi terpimpinya dengan demikian
secara empitik demokrasi yang sesunguhnya di Indonesia belum dapat terwujud
kerena itu demokrasi pekerjaan rumah dan agenda yang sangat berat bagi
pemerintah.
Demokrasi di Indonesia tiga tahun
terahir merupakan proses yang sangat lama dan kompleks karena melibakan
beberapa tahap pertama tahap persiapan yang di tandai denan pergulatan unsur
penegak demokrasi dibagun dan di kembangkan. Ketiga konsolidasi, dimana
demokrasi baru di kembangkan lebih lanjut sehingga praktek demokrasi menjadi
bagian yang mapan dan budaya politik. Dalam kaitanya dengan trasisi demokratis.
Indonesia saat ini tengah berada dalam fase kedua dan ketiga
Indikasi
kearah terwujudnya kehidupan demokratis dalam era transisi di Indonesia antara
lain adanya reposisi dan redefenisi TNI dalam kaitanya dengan keberadannya pada
sebuah negara yang demokrasi. Di amandemennya pasal-pasal dalam konstitusi RI
(amandemen I-IV) adanya kebebasan pers, dijadikannya kebijakan otonomi daerah
dan sebagainya. Akan tetapi sampai saat ini pun masih dijumpai indikasi kembali
kekerasan status yang ingin memudarkan arah demokrasi Indonesia kembali keperiode
sebelum orde refornasi oleh karena itu kondisi transisi demokrasi Indonesia
untuk saat ini masih berada di persimpanganjlan yang belum jelas
kemana arah pelabuhanya, perubahan sistem politik melalui paket amandemen
konstitusi (amandemen I-IV) dan pebuatan paket perundang –
undangan politik (UU partai politik, UU pemilu, UU
pemilihan presiden dan wakil presiden, UU susunan dan
kedudukan DPR,DPRD dan DPD) mampu mengawal menuju demokrasi, masih menjadi pertanyaan besar.
BAB
IV
ANALISIS
Sebagai awal dari proses demokrasi di
Indonesia, masyarakat yang berada di bawah tekanan kolonialisme semakin lama
menimbulkan rasa untuk memberontak. Pada
masa ini, demokrasi masih sangat rendah dan menunjukkan model Empire, di mana masyarakat Indonesia
tertindas akibat dominasi hirarki para koloni Jepang, Belanda, dan
sebagainya. Relasi sosial antar
masyarakat pun berbasis pada persaingan dan permusuhan dalam rangka
memperebutkan posisi tertinggi dalam struktur.
Kaum kolonial memanfaatkan kekuasaannya sebagai alat untuk
mempertahankan dominasi di Indonesia maupun negara-negara lain yang juga mereka
jajah. Tetapi selama berjalannya waktu, pemberontakan yang dilaksanakan
masyarakat Indonesia semakin berkembang dan menghasilkan segala yang telah
mereka perjuangkan, yaitu kemerdekaan yang diakui secara hukum internasional.
Setelah kemerdekaan, Indonesia berada
pada kondisi yang tidak stabil, dan masyarakat memiliki kesempatan untuk
memilih sistem politik yang akan diberlakukan.
Saat itu, para pemimpin dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, seperti
Soekarno, Hatta, dan Sjahrir—disebut sebagai Orde Lama—berkumpul untuk
menentukan pilihan yang terbaik bagi negara baru tersebut. Akhirnya, setelah berada di bawah
kolonialismenya, Belanda menjadi contoh bagi Indonesia untuk memilih sistem
parlementer. Sistem ini mungkin menunjukkan karakteristik dalam demokrasi yang
tergolong dalam transisi dari Empire menuju Earth Community. Sebab, negara yang baru saja terbentuk
mengakibatkan masih banyak permasalahan yang muncul pada masyarakat, seperti
kemiskinan. Tetapi, dengan diberlakukannya sistem parlementer dan pemilihan
umum yang pertama dilaksanakan pada tahun 1950 membuat demokrasi di masyarakat
terangkat. Partai-partai politik seperti
PNI, Masyumi, NU, PKI, PSSI, Parkindo, Partai Katolik, PSI, Murba, dan
sebagainya mencoba menarik dukungan melalui ideology yang mereka anut. Namun, terdapat kerja sama antara
lembaga-lembaga pemerintahan (eksekutif, legislative, dan yudikatif) sehingga
bersama-sama bertujuan untuk membangun Indonesia dengan menuntaskan sisa-sisa
kolonialisme.
Sebagai negara yang baru lahir, Indonesia
membutuhkan system yang dapat membangun negara, maka daslam penerapan demokrasi,
Indonesia masih mengandai-andaikan dan mengharapkan pertumbuhan negara yang
maju. Daslam kondisi ini, Indonesia berada dalam magical Consciousness, di mana penerapan demokrasi dengan standar
barat belum mampu membedakan antara fantasi akan keberhasilan penerapan
demokrasi dengan realitas masyarakat Indonesia yang memiliki kultur berbeda
dengan masyarakat barat. Sebagian besar hal-hal yang bersifat “other world” yakni Amerika sebagai
negara penyebar demokrasi, seolah-olah keberhasilan demokrasi akan benar
hadir. Pada tahap ini Indonesia belum
dapat mengetahui konsekuensi dan tanggung jawab seperti apa yang akan diterima
dari penerapan demokrasi yang belum mencirikan kultur masyarakat Indonesia.
System parlementer ini tidak bertahan
lama, dan berubah menjadi system Demokrasi Terpimpin yang menunjukkan golongan
Empire dibawah ke-“terpimpin”-an Soekarno.
Kekuasaan dan dominasi sangat berperan dalam masa ini, yang dipegang
penuh oleh presiden sampai membatasi fungsi partai-partai politik. Bahkan, melalui kekuasaannya, presiden
Soekarno berhasil memanfaatkan MPRS untuk mengangkatnya sebagai “presiden
seumur hidup”—membuat Soekarno miris seperti diktator. Selain MPRS, DPR juga dibubarkan oleh
Soekarno karena merasa bahwa hanya akan mengganggu kekuasaannya, maka
selanjutnya mempunyai fungsi sebagai mentri yang bertugas membantu
presiden. Hal tersebut menunjukkan ciri
Empire yaitu “love power”. Soekarno
beserta para asosiasi atau pemimpin lainnya berhasil mempertahankan posisi
sentralnya selama 8 tahun lamanya.
Selain itu, dari sisi masyarakat pun, konsep demokrasi yang berbentuk
partisipasi politik menjadi sangat terbatas.
Pada periode demokrasi terpimpin Indonesia,
masyarakat masih pada tahapan Imperial
Consciousness. Pertama, mereka
memegang harapan bagi para pemimpinnya seakan-akan seperti mengidolakan
pemimpinnya, khususnya Soekarno yang dapat dikatakan sebagai seorang
charismatic leader. Dalam hal ini,
Soekarno bersama pemimpin lainnya menjadi sosok “superheroes” karena mereka
telah merealisasikan kemerdekaan bagi masyarakat Indonesia. Sehingga, masyarakat mendukung para
pemimpinnya, dan sangatlah bangga atas kemerdekaan yang telah diakui oleh
kalangan internasional, atau cenderung narcisstic.
Selain itu, dengan diberlakukannya
system demokrasi untuk pertama kalinya, maka masyarakat mulai sadar akan konsep
reward yang diberikan untuk mereka. Setelah bertahun-tahun mengalami penindasan
dan eksploitasi, mereka ingin terlepas dari bayang-bayang itu dan
mengekspektasikan keuntungan dari hasil yang mereka lakukan. Seperti halnya anak yang berusia 6 tahun dan sudah mulai bersekolah, mereka
ingin mendapatkan reward atas hal-hal baik yang mereka lakukan, misalnya
puasa. Ketika mereka berhasil
menjalankan puasa sehari penuh, mereka mengekspektasikan reward dalam bentuk
uang jajan contohnya dan itu akan meningkatkan motivasi mereka untuk melakukannya
lagi dan lagi. Begitu pula dengan
masyarakat Indonesia, setelah berada dalam penindasan selama puluhan tahun,
mereka sangat berharap kali ini dapat mendapatkan balasan dari apa yang telah
mereka lakukan. Pekerjaan tani yang
sebelumnya dibawah kebijakan tanam paksa, mereka tidak merasakan hasilnya. Sebaliknya,
setelah kemerdekaan, mereka dengan sepuasnya mendapatkan keuntungan dari hasil
jerih payahnya. Itupun memberikan dampak
secara makro, yakni pembangunan perekonomian di Indonesia yang drastic.
Memasuki periode Orde Baru, arah perkembangan dan
pembangunan Indonesia diarahkan pada demokrasi sebagaimana standar global
dengan mempertahankan ‘cita rasa’ lokal, yakni Demokrasi Pancasila. Beberapa perumusan tentang demokrasi
pancasila dapat dianggap telah mendekati demokrasi pada umumnya. Karena pada
demokrasi pancasila memandang kedaulatan begitu pula partisipasi politik,
perlindungan dan jaminan bagi masyarakat negara dalam menjalankan politik
adalah sama. Begitu pula dengan kebebasan, masyarakat memiliki kebebasan dalam
aspek politik dan sipil yang terlepas dari intervensi pemerintah secara
langsung. Namun, sejumlah praktek yang dijalankan oleh Rezim Orde Baru dalam “Demokrasi
Pancasila” hanya sebagai retorika dan belum sampai pada tatanan praksis atau penerapan.
Rezim Orde Baru menjalankan demokrasi yang semu, demokrasi
yang telah dirancang menjadi sistem yang ideal, nyatanya menjadi senjata secara
implisit yang digunakan oleh Rezim berkuasa di tangan Soeharto untuk
mengukuhkan kekuasaan pribadi. Strategi ini diwujudkan dalam bentuk otoritas
sentralistik terhadap berbagai segi kehidupan. Selain itu, walaupun berbagai
sumber daya semakin dapat dimanfaatkan secara optimal, namun hasil yang
diperoleh dari penggunaan sumber daya yang ada justru terlebih dahulu
dikalkulasi dan dipertimbangkan atas dasar kemapanan kekuasaan. Maka tidak
salah jika timbul berbagai potensi resistensi di berbagai daerah luar pulau
Jawa yang merasa menjadi ‘sapi perah’ bagi kekuasaan pemerintah pusat.
Partisipasi sosial yang menjadi salah satu tolak ukur
berjalannya demokrasi menjadi tidak berkembang, bahkan cenderung dimatikan oleh
tekanan represif Orde Baru, karena partisipasi masyarakat cenderung dianggap
sebagai potensi yang akan meruntuhkan dominasi kekuasaan Orde Baru. Akses terhadap
berbagai bidang kehidupan makin menyempit terhadap keseluruhan warga negara,
tetapi makin melebar terhadap elit-elit tertentu yang berada di sekitar
lingkaran kekuasaan Soeharto sebagai pemegang kekuasaan. Artinya, terjadi
kompetisi yang tidak seimbang dan manipulatif. Dalam pemikiran yang dikemukakan
oleh Korten, Demokrasi Pancasila merupakan sebuah konsensus yang telah mengarah
pada kriteria earth community. Akan
tetapi, konsep demokrasi ala Indonesia itu menjadi mengawang di langit dan
menunjukkan dirinya melalui praktek nyata sebagai sebuah Empire.
Dari sudut pandang tahapan kesadaran, kondisi ini
menggambarkan bahwa demokrasi di Indonesia berada pada tahap ketiga, yaitu Socialized
Consiciousness. Namun demikian, individu tidak
dapat menunjukkan resistensinya secara terbuka terhadap pola kekuasaan rezim
orde baru, sehingga mereka berada pada kondisi yang tertekan dan tak mampu
melawan. Perlawanan berarti kekerasan dari militer yang menjadi senjata
penguasa.
Kondisi tersebut
ternyata bukan suatu harga mati, rezim orde baru nyatanya dapat diruntuhkan
dengan perlawanan kekuatan bersama dari warga negara karena memiliki rasa
kesamaan sebagai bentuk small world
walaupun di saat yang sama hal itu justru menjadi isu krusial yang menimbulkan
pertikaian yakni antara kaum pribumi dan etnis Tionghoa, seperti yang terlihat
pada hari-hari terakhir kejatuhan rezim Orde Baru pada bulan Mei tahun 1998.
Hal ini ternyata menjadi modal dan kebangkitan pola demokrasi yang menciptakan
reorientasi praktek demokrasi Pancasila menjadi hal yang nyata dengan moto
“reformasi”.
Runtuhnya orde baru membawa harapan baru bagi tumbunya
demokrasi di Indonesia yaitu tahap awal bagi transisi demokrasi Indonesia.
Transisi merupakan fase krusial yang kritis, karena menentukan arah dan negara
yang akan dibangun atau bisa saja terjadi pembalikan arah perjalanan bangsa dan
Negara. Keempat faktor yang mendorong berjalannya demokrasi secara sinergis dan
berkeadilan sebagaimana modal untuk mengonsolidasikan demokrasi. Kondisi ini
dapat digambarkan sebagai usaha yang telah mengarah pada tahap keempat
kesadaran yaitu Cultural
Consiousness. Keterbukaan, partisipasi, dan
kompetisi dalam berbagai bidang kehidupan sebagai tolak ukur demokrasi ideal
mulai tumbuh dan beranjak menuju kedewasaan. Warga negara, terutama kelompok
intelektual, telah memiliki kebebasan dan akses yang luas untuk membangun
kesadaran dan mereproduksi wacana demokrasi yang sedang berjalan. Mereka pun
telah menyadari kebutuhan akan sanksi legal untuk mengamankan keteraturan sosial
dan keadilan, bukan hanya untuk individu, peer group atau golongannya dengan
kata lain narsistik, tetapi untuk
bersama (inclusive world). hal ini
dapat dilihat dari pembentukan institusi birokrasi yang secara khusus menangani
gejala kegagalan demokrasi, seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Akan tetapi,
proses ini pada nyatanya justru menjadi ranah pertikaian dan terkadang
dimanipulasi untuk kepentingan pribadi, seperti yang tergambar dalam
pelaksanaan desentraslisasi. Kebijakan politik tersebut justru memunculkan
‘raja-raja kecil’ di berbagai daerah yang dahulu justru tidak memiliki
kekuasaan. Demokrasi justru menjadi sarana korporatisme bagi kekuasaan pribadi.
Dengan demikian, demokrasi di Indonesia masih jauh untuk melangkah pada tahap
puncak kesadaran, yaitu spiritual
Consiciousness, di mana individu menyadari sepenuhnya mereka hidup di dunia
yang kompleks dan harus mengembangkan dunia yang terintegrasi (integral world) dan menyadari adanya creator dunia dan mereka hanya sebagai co-creator.
Pada dasarnya,
dapat dikatakan bahwa sebenarnya, demokrasi yang terjadi di Indonesia atau
dimana pun juga, memang sulit untuk mencapai pada model yang diidealkan sebagai
earth community. Kondisi demokrasi sulit
untuk mencapai tahapan kedewasaan yang murni, yakni Spiritual
Consciousness. Nyatanya, politik selalu
akan terdapat kepentingan di dalamnya yang sebatas kepentingan individu maupun
kelompok. Hal tersebut bertolak belakang dengan konsep Earth Community yang
menekankan bahwa manusia di seluruh bumi harus bersatu padu di bawah satu
tujuan hidup, yaitu menuju kehidupan yang lebih besar daripada sebatas
manusiawi. Konsep Earth Community
mendorong manusia untuk melihat pada tingkat spiritual, untuk menanamkan
persepsi mengenai Sang Pencipta dan hidup setelah dunia ini, maka hal tersebut
akan mempersatukan manusia di bawah tujuan yang sama, bukan seperti aspek
politik yang membuat manusia sangat duniawi. Alhasil, masyarakat dapat mencapai
pada tahapan kesadaran cultural, namun sangatlah sulit untuk meningkat pada
tahapan kesadaran spiritual. Sedangkan konsep Spiritual Consciousness bertolak
belakang dengan itu dan hanya mungkin terjadi jika masyarakat mengangkatnya
lebih tinggi yaitu menghubungkan proses demokrasi yang memperhatikan Sang
Pencipta dan yang mendukung kondisi sesama manusia dan spesies lainnya.
Daftar Pustaka
Diamond,
Carry ; Linz, Juan J. ; Lipset, Seymour Martin ; Politics in developing countries: comparing experiences with democracy;
London : Lynne Rienner Publishers, 1995.
Korten,
David C. 2006. The Great Turning: From
Empire to Earth Community. Amerika Serikat: Barrett-Koehler Publishers,
Inc. dan Kumarian Press.
Riclefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern:
1200-2008. Jakarta: Serambi. 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar