A.PENGERTIAN
HAK ASASI MANUSIA
UDHR (Universal Declaration of Human Rights) memberikan pengertian hak asasi manusia (HAM)
sebagai perangkat hak-hak dasar
manusia yang tidak boleh
dipisahkan dari keberadaanya sebagai manusia. Dengan demikian,
martabat manusia merupakan sumber dari seluruh HAM. Martabat manusia
akan berkembang jika hak yang
paling dasar yaitu kemerdekaan dan persamaan dapat
dikembangkan.
Di Indonesia, misalnya konsep
HAM dapat ditemukan antara lain dalam UURI No.39 Tahun 1999 tentang HAM. Dalam
UU tersebut dikemukakan pengertian hak asasi manusia adalah “seperangkat hak
yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan dan
perlindungan harkat dan martabat manusia”. UURI No.39 Tahun 1999 juga
mendefinisikan kewajiban dasar manusia adalah “seperangkat kewajiban yang
apabila tidak dilaksanakan tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi
manusia”.
Dengan demikian hakekat HAM
dapat dinyatakan merupakan hak yang dimiliki setiap orang untuk menjamin harkat
dan martabatnya sebagai manusia dan merupakan pemeberian Tuhan Yang Maha Esa
bukan merupakan pemberian negara atau pihak lain, tidak dapat dipindahkan dan dihapus dengan
alasan apapun dan kewajiban semua pihak terutama negara untuk melindungi dan
menegakan HAM.
Kemudian
untuk memahami konsep HAM lebih mendalam berikut ini
disajikan penglihatan konsep HAM dari dimensi visi dan perkembangan
(generasi).
1.
Konsep HAM dalam Perspektif Dimensi Visi
Dilihat dari
dimensi visi, maka dikenal
visi filsafati, visi yuridis konstitusional dan visi
politik (Saafroedin Bahar, 1994: 82). Visi filsafati sebagian besar
berasal dari teologi agama-agama,
yang menempatkan jati diri manusia
pada tempat yang
tinggi sebagai makhluk Tuhan.
Visi yuridis-konstitusional, mengaitkan
pemahaman HAM itu dengan tugas, hak, wewenang
dan tanggung jawab negara sebagai suatu nation-state. Sedangkan visi politik memahami HAM dalam kenyataan hidup
sehari-hari, yang umumnya berwujud pelanggaran HAM, baik
oleh sesama warga masyarakat yang lebih kuat maupun oleh oknum-oknum
pejabat pemerintah.
Konsep hak
sering dibedakan dalam hak
sipil dan politik. Hak
politik merupakan hak yang
didapat oleh seseorang dalam
hubungan sebagai seorang anggota di
dalam lembaga politik, seperti: hak
memilih, hak dipilih, hak mencalonkan diri untuk menduduki
jabatan-jabatan politik, hak memegang jabatan-jabatan umum dalam
negara atau hak yang
menjadikan seseorang ikut serta
di dalam
mengatur kepentingan negara atau pemerintahan (Abdul Karim
Zaidan, 1983: 19). Dengan kata
lain lapangan hak-hak politik sangat luas, mencakup asas-asas
masyarakat, dasar-dasar negara, tata hukum, partisipasi rakyat didalamnya, pembagaian kekuasaan dan batas-batas kewenangan penguasa terhadap warga negaranya (Subhi
Mahmassani, 1993: 54). Selanjutnya hak-hak sipil dalam pengertian yang
luas, mencakup hak-hak ekonomi, sosial
dan kebudayaan merupakan hak yang
dinikmati oleh manusia dalam
hubungannya dengan warga negara
yang lainnya, dan tidak ada
hubungannya dengan
penyelenggaraan kekuasaan negara, salah
satu jabatan dan kegiatannya (Subhi, 1993:
236).
2.
Konsep HAM dalam Perspektif Dimensi Perkembangan (generasi)
Dilihat dari
perkembangan HAM, maka konsep HAM
mencakup generasi I, generasi II, generasi III, dan pendekatan
struktural (T. Mulya Lubis, 1987:
3–6). Generasi I konsep
HAM sarat dengan hak-hak yuridis, seperti tidak disiksa
dan ditahan, hak akan "equality
before the law", hak akan fair trial, praduga tak bersalah,
dan sebagainya. Generasi I ini merupakan
reaksi terhadap kehidupan kenegaraan yang totaliter dan fasistis yang mewarnai
tahun-tahun sebelum Perang Dunia II.
Generasi II konsep HAM merupakan perluasan
secara horizontal generasi I,
sehingga konsep HAM mencakup juga bidang sosial, ekonomi, politik dan budaya.
Generasi II merupakan terutama sebagai
reaksi bagi negara dunia ketiga yang
telah memperoleh kemerdekaan
dalam rangka mengisi kemerdekaannya setelah Perang Dunia
II.
Generasi III
konsep HAM merupakan ramuan dari hak hukum,
sosial, ekonomi, politik dan
budaya menjadi apa yang disebut hak akan pembangunan (the rigt
to development). HAM
dinilai sebagai totalitas
yang tidak boleh dipisah-pisahkan. Dengan demikian, HAM sekaligus menjadi satu
masalah antar disiplin yang
harus didekati secara interdisipliner.
Pendekatan
struktural dalam HAM seharusnya
merupakan generasi IV dari konsep
HAM. Karena dalam realitas
masalah-masalah pelanggaran HAM cenderung merupakan akibat kebijakan yang
tidak berpihak pada HAM. Misalnya berkembangnya sistem sosial yang memihak
keatas dan memelaratkan mereka yang
dibawah, suatu pola hubungan yang "repressive".
Sebab
jika konsep ini tidak dikembangkan, maka yang kita lakukan hanya memperbaiki
gejala, bukan penyakit. Dan perjuangan HAM akan berhenti sebagai "emotional outlet".
Apabila dianalisis antara Konsep HAM dilihat dari
perspektif dimensi visi dan perkembangan (generasi), maka konsep menurut pendekatan struktural dapat dinyatakan identik dengan konsep HAM dilihat dari dimensi
visi politik.
HAM di bidang politik, misalnya : (1) Hak berserikat,
berkumpul yang bertujuan damai, hak memilih untuk tidak terlibat dalam sebuah
perkumpulan; (2) Hak berpartisipasi dalam pemerintahan, termasuk hak terlibat
dalam pemerintahan di negaranya.
B. IMPLEMENTASI HAK ASASI MANUSIA
1. Pelanggaran HAM secara Dominan oleh Negara
Persoalan
klasik dalam implementasi HAM adalah
masalah pelanggaran yang secara
dominan dilakukan oleh negara, yang
mestinya justru bertugas
untuk melindunginya.
Misalnya di Perancis, "Pernyataan
hak-hak asasi manusia dan warga negara" (Declaration des droits de l'homme et du citoyen), merupakan
reaksi keras terhadap
kesewenang-wenangan Raja. Dewasa
ini diberbagai belahan dunia,
khususnya di negara-negara dunia
ketiga tampak jelas bahwa pelanggaran HAM banyak dilakukan oleh
para penguasa.
Richard
Falk, salah seorang pemerhati HAM mengembangkan suatu skala guna mengukur
derajat keseriusan pelanggaran hak – hak asasi manusia. Hasilnya adalah
disusunnya kategori – kategori pelanggaran hak – hak asasi manusia yang
dianggap kejam, yaitu :
a.
Pembunuhan
besar – besaran (genocide).
b.
Rasialisme
resmi.
c.
Terorisme
resmi berskala besar.
d.
Pemerintahan
totaliter.
e.
Penolakan
secara sadar untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhan dasar manusia.
f.
Perusakan
kualitas lingkungan (esocide).
g.
Kejahatan
– kejahatan perang.
Akhir – akhir ini di dunia
Internasional maupun di Indonesia, dihadapkan banyak pelanggaran hak asasi
manusia dalam wujud teror. Leiden & Schmit, mengartikan teror sebagai
tindakan berasal dari suatu kekecewaan atau keputusasaan, biasanya disertai
dengan ancaman – ancaman tak berkemanusiaan dan tak mengenal belas kasihan
terhadap kehidupan dan barang – barang dilakukan dengan cara-cara melanggar
hukum. Teror dapat dalam bentuk pembunuhan, penculikan, sabotase, subversiv,
penyebaran desas – desus, pelanggaran peraturan hukum, main hakim sendiri,
pembajakan dan penyanderaan. Teror dapat dilakukan oleh pemerintah mapun oleh
masyarakat (oposan).
Teror merupakan bentuk
pelanggaran hak asasi manusia yang kejam (berat), karena menimbulkan ketakutan
sehingga rasa aman sebagai hak setiap orang tidak lagi dapat dirasakan . Dalam
kondisi ketakutan maka seseorang/masyarakat
sulit untuk melakukan hak atau kebebasan yang lain, sehingga akan
menimbulkan kesulitan dalam upaya mengembangkan kehidupan yang lebih maju dan
bermartabat.
Penggolongan pelanggaran HAM di
atas merupakan contoh pelanggaran HAM berat. Disamping pelanggaran HAM berat
juga dikenal pelanggaran HAM tidak berat, misalnya antara lain: pemukulan,
penganiayaan, pencemaran nama baik, menghalangi orang untuk mengekspresikan
pendapatnya.
2. Kontradiksi antara Universalisme dan Partikularisme
Persoalan lain yang selalu muncul dalam implementasi HAM
adalah kontradiksi antara universalisme dan partikularisme. Di negara dunia
ketiga ada kecenderungan pemerintahnya menganut
partikularisme dengan alasan bahwa
HAM harus dipandang dari beragam
perspektif, karena masyarakat dunia juga beragam. Departemen Luar Negeri Indonesia
menyatakan:
Umat manusia
telah hidup dan sedang
hidup dalam masyarakat yang
berbeda-beda, yang terorganisasi berdasarkan cara hidup yang berlainan, dipandu oleh sejarah
dan pengalaman yang berbeda-beda, dan
didorong oleh oleh
kebutuhan-kebutuhan kondisi politik,
ekonomi, sosial dan keamanan khusus
mereka sendiri. Berangkat dari adanya
kenyataan ini, tentu saja tidak ada pemecahan tunggal bagi masalah implementasi
untuk semua negara di sepanjang masa .... Implementasi hak asasi manusia seharusnya diserahkankepada yuridiksi nasional, karena setiap bangsa
mengerti dan menyadari masalah-masalahnya
sendiri secara lebih baik...(Mulya,1993:438).
Selanjutnya Departemen Luar Negeri RI dalam
rangka membela RI di berbagai forum internasional, mengajukan prinsip-prinsip HAM,
yakni universalitas, pembangunan
nasional, kesatuan hak asasi manusia, obyektivitas atau nonselektivitas, keseimbangan, kompetensi
nasional, dan negara hukum
(Bahar, 1994: 93).
Manusia
hidup dalam pelbagai masyarakat yang
berlainan dengan nilai-nilai sosial dan budaya
yang berbeda memang tak
diragukan lagi. Meskipun demikian,
manusia adalah manusia dengan
semua hak manusiawi dasar
yang melekat padanya karena kemanusiaanya. Sehingga tentunya tidak dapat
dibenarkan karena alasan perbedaan
sosial budaya kemudian dalam implementasi HAM, justru
secara substansi merupakan pelanggaran HAM.
3. Dikotomi Individualisme dan Kolektivisme
Dikotomi
individualisme dan kolektivisme,
mestinya tidak dipandang secara kontradiktif, karena hal itu merupakan
fakta sosial dan masing-masing memiliki
tempatnya, bahkan ada hak-hak
yang memiliki dimensi individual dan kolektif. Seperti dinyatakan Theodore
C.Van Boven seorang ahli HAM terkemuka
dari Belanda,ia menyatakan :
Jika diadakan
pembedaan antara hak-hak individu dan
hak-hak kelompok, maka
perbedaan ini janganlah dipandang dalam peristilahan kontradiksi. Hal
ini tidak mengurangi fakta bahwa hak-hak tertentu bercirikan perorangan,
seperti hak privasi, kebebasan berpikir dan kemerdekaan suara hati, maupun hak-hak kebebasan pribadi dan keamanan diri,
sementara hak-hak yang lain pada
hakikatnya adalah hak-hak kolektif, seperti hak ekonomi dan hak sosial.
Ada
juga hak-hak yang memiliki
segi individual dan
kolektif. Hak
kebebasan beragama dan kebebasan mengemukakan gagasan termasuk hak
yang bercirikan demikian ini (Mulya, 1993: 442).
Dengan
demikian pada hakekatnya konsep dan
implementasi HAM bersifat universal. Pandangan yang
mengkontradiksikan antara individualisme dan
kolektivisme, dinilai kurang
tepat karena hal itu merupakan kenyataan sosial dan manusiawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar