PENDAHULUAN
Di Jerman: Weber dan di Perancis: Durkheim adalah tokoh-tokoh yang
mendasari berdirinya sekolah. Menurut mereka pendidikan adalah untuk menjaga
kelangsungan hidup masyarakat kecil atau besar, pandangan mereka merupakan paham sturktural-fungsional. Salah
satu bukunya On Moral Education menyatakan bahwa, masyarakat itu berkembang karena
adanya differensiasi pekerjaan (devision of labor), perkembangannya dari
mekanik ke organik. Secara bertahap kondisi ini menyebabkan melemahnya
konsensus moral di dalam masyarakat, maka untuk dapat bertahan mereka harus
terus membangun konsensus tersebut.
Pertanyaannya kemudian adalah: Siapakah yang harus
membangun konsensus tersebut? Apakah tugas ini mampu diemban oleh gereja atau keluarga?
Jawabannya adalah: Tidak ! Dengan demikian yang
harus menjaga konsensus moral tidak lain adalah guru (atas nama negara) melalui sekolah.
Ketika masyarakat berkembang, maka konsensus sukar untuk dipertahankan. Peranan
guru menjadi sangat sentral dan sekolah merupakan wahana untuk itu. Ada 3
(tiga) hal penting yang merupakan core, yang
diperlukan untuk membangun konsensus moral yaitu:
- Disiplin
(orang yang dapat membangun internal moral)
- Freedom/kebebasan
(diberikan ruang untuk bergerak)
- Tanggungjawab
(Suyata, 2010)
Hal di atas banyak dikritik dengan argument, bahwa
negara dikuasai oleh kelompok tertentu yang mengatasnamakan negara; sedang Guru
bekerja atas nama pemerintah dan untuk kepentingan kelompok tertentu. Pada masa
lalu di Perancis, terjadi tarik-menarik antara Gereja dan Negara dalam hal pengelolaan sekolah. Ketika persekolahan diserahkan kepada gereja banyak muncul
persoalan,Oleh sebab itu, maka ada
asumsi bahwa negara harus ambil bagian atau turut campur dalam masalah persekolahan. Pada saat ini ada
kecenderungan otonomisasi, privatisasi, atau swastanisasi sekolah meskipun hal
ini masih menjadi perdebatan. Di Kanada, hampir semua sekolah dikelola swasta;
di Australia, hampir semua sekolah dikelola oleh negara. Di Indonesia, sebagian
sekolah-sekolah dikelola oleh negara dan sebagian lainnya dikelola oleh swasta dengan ciri khasnya
masing-masing.
Sejarah persekolahan di Indonesia sudah dimulai
sejak jaman penjajahan dengan segala permasalahannya. Sejak Indonesia merdeka,
ekspektasi negara, masyarakat, dan keluarga terhadap sekolah sedemikian besar, sehingga setiap pemerintahan di negara ini
selalu menjadikan isu pendidikan dan sekolah menjadi sentral untuk menunjukkan
kepada masyarakat bahwa negara sangat “concern” dalam rangka legitimasi
pemerintahannya. Dengan disahkannya UU Sisdiknas tahun 2003, terjadi pergeseran
paradigma pendidikan dari sentralistik menjadi desentralistik. Pasal 51 UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20//2003 menyatakan
bahwa “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan
prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah”. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan
konsep pengelolaan sekolah yang ditujukan untuk meningkatkan mutu pendidikan di
era desentralisasi pendidikan. Manajemen berbasis sekolah diharapkan mampu
menjawab tantangan jaman dan ekpektasi negara, masyarakat, serta keluarga
terhadap sekolah.
Untuk mewujudkan harapan
terhadap sekolah dan persekolahan tersebut, maka masih dibutuhkan beberapa
faktor pendukung lainnya, antara lain adalah faktor pemimpin atau kepemimpinan
yang mampu mengarahkan sebuah visi menjadi misi bersama. Pertanyaannya kemudian
adalah pemimpin atau kepemimpinan seperti apa yang mampu mengawal kebijakan
manajemen berbasis sekolah tersebut sampai ke tujuan yang diharapkan.
MANAJEMEN
BERBASIS SEKOLAH ( School Based Management)
Menurut Miftah Thoha
(1999), saat ini sedang berlangsung perubahan paradigma manajemen pemerintahan.
Beberapa perubahan tersebut antara lain:
a. Dari orientasi manajemen yang diatur oleh negara ke orientasi
pasar. Aspirasi masyarakat menjadi pertimbangan pertama dalam mengolah dan menetapkan
kebijaksanaan untuk mengatasi persoalan yang timbul.
b. Dari orientasi manajemen pemerintahan yang otoritarian ke
demokrasi. Pendekatan kekuasaan bergeser ke sistem yang mengutamakan peranan rakyat.
Kedaulatan rakyat menjadi pertimbangan utama dalam tatanan yang demokratis
c. Dari sentralisasi kekuasaan ke desentralisasi kewenangan.
Kekuasaan tidak lagi terpusat di satu tangan melainkan dibagi ke beberapa pusat
kekuasaan secara seimbang.
d. Sistem pemerintahan yang jelas batas dan aturannya
seakan-akan menjadi negara yang sudah tidak jelas lagi batasnya akibat pengaruh
dari tata-aturan global. Keadaan ini membawa akibat tata-aturan yang hanya menekankan
tata-aturan nasional saja dan kurang menguntungkan dalam percaturan global Fenomena
ini berpengaruh terhadap dunia pendidikan sehingga desentralisasi pendidikan
adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Tentu saja desentralisasi pendidikan
bukan berkonotasi negatif, yaitu untuk mengurangi wewenang atau intervensi
pejabat atau unit pusat melainkan lebih berwawasan keunggulan. Kebijakan umum
yang ditetapkan oleh pusat sering tidak efektif karena kurang mempertimbangkan
keragaman dan kekhasan daerah.Di samping itu membawa dampak ketergantungan
sistem pengelolaan dan pelaksanaan pendidikan yang tidak sesuai dengan
kebutuhan masyarakat setempat (lokal), menghambat kreativitas, dan menciptakan
budaya menunggu petunjuk dari atas.
Dengan demikian
desentralisasi pendidikan bertujuan untuk memberdayakan peranan unit bawah atau
masyarakat dalam menangani persoalan pendidikan di lapangan. Banyak persoalan
pendidikan yang sepatutnya bisa diputuskan dan dilaksanakan oleh unit tataran
di bawah atau masyarakat. Hal ini sejalan dengan apa yang terjadi di kebanyakan
negara. Faktor-faktor pendorong penerapan desentralisasi pendidikan terinci
sbb:
·
Tuntutan
orangtua, kelompok masyarakat, para legislator, pebisnis, dan perhimpunan guru
untuk turut serta mengontrol sekolah dan menilai kualitas pendidikan.
·
Anggapan
bahwa struktur pendidikan yang terpusat tidak dapat bekerja dengan baik dalam
meningkatkan partisipasi siswa bersekolah.
·
Ketidakmampuan
birokrasi yang ada untuk merespon secara efektif kebutuhan sekolah setempat dan
masyarakat yang beragam.
·
Penampilan
kinerja sekolah dinilai tidak memenuhi tuntutan baru dari masyarakat.
·
Tumbuhnya
persaingan dalam memperoleh bantuan dan pendanaan. (Nuril Huda, 1999)
Pada era otonomi daerah
dan desentralisasi pendidikan muncul kebijakan program dari Departemen
Pendidikan Nasional, yaitu Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Program ini
merupakan upaya peningkatan mutu
pendidikan melalui pendekatan pemberdayaan sekolah dalam mengelola
institusinya. Munculnya
gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan
pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk
dapat mengelola sekolah secara mandiri. Umumnya dipandang bahwa para kepala
sekolah merasa nirdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan
terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin
pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang
menumpulkan kreativitas berinovasi. Desentralisasi
pendidikan mencakup tiga hal, yaitu:
a. Manajemen berbasis lokasi
b. Pendelegasian wewenang
c. Inovasi kurikulum
Di
mancanegara, seperti Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang
cukup lama. Pada 1988 American Association of School Administrators, National
Association of Elementary School Principals, and National Association of
Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based
management, a strategy for better learning. Di Indonesia, gagasan penerapan
pendekatan MBS ini muncul belakangan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan
desentralisasi pendidikan sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah.
Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat
untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan.
Para pengelola
sekolah sama sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengoperasikan
sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di
sekolah umumnya diadakan di tingkat pemerintah pusat atau sebagian di instansi
vertikal dan sekolah hanya menerima apa adanya. Apa saja muatan kurikulum
pendidikan di sekolah adalah urusan pusat, kepala sekolah dan guru harus
melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya.
Anggaran pendidikan mengalir dari pusat ke daerah menelusuri saluran birokrasi
dengan begitu banyak simpul yang masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran
jika nilai akhir yang diterima di tingkat paling operasional telah menyusut
lebih dari separuhnya. Pada kenyataannya selama ini lebih dari separuh dana
pendidikan sebenarnya dipakai untuk hal-hal yang sama sekali tidak atau kurang
berurusan dengan proses pembelajaran di level yang paling operasional, sekolah
(Agus Dharma, 2003).
Lebih lanjut
dikatakan bahwa dalam pendekatan MBS ini, tanggung jawab pengambilan keputusan
tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat
sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat. Melalui keterlibatan guru,
orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting
itu, MBS dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para
murid. Dengan demikian, pada dasarnya MBS adalah upaya memandirikan sekolah
dengan memberdayakannya.
Dengan
kebijakan MBS tersebut, maka institusi sekolah sebagai unit operasional secara
langsung menangani segala hal yang berkaitan mempunyai peran yang sangat besar.
Seluruh komponen persekolahan yakni kepala sekolah, para guru, komite sekolah
dan masyarakat harus berbenah diri dan terlibat aktif dalam rangka meningkatkan
mutu pendidikan. Namun permasalahan yang muncul kemudian adalah siapakah yang
harus berperan memimpin dan bagaimanakah mengembangkan kepemimpinan untuk mewujudkan
konsep ideal kebijakan MBS tersebut. Desentralisasi dan otonomi merupakan suatu
given pada saat ini, sementara sebagian besar mind set para pemimpin di daerah
maupun unit sekolah kadang masih bersifat sentralistik.
KEPEMIMPINAN
(Leadership)
Definisi pengembangan kepemimpinan
(leadership development) adalah perluasan kapasitas sesorang untuk menjadi
efektif dalam peran dan proses kepemimpinan. Peran dan proses kepemimpinan
merupakan peran dan proses yang memungkinkan kelompok orang dapat bekerja
bersama dengan cara yang produktif dan bermanfaat. Ada tiga hal penting dalam definisi
pengembangan kepemimpinan ini, yaitu:
1. Pengembangan
kepemimpinan diarahkan pada pengembangan kapasitas inividu, atau tujuan
utamanya adalah kapasitas individu
2. Apa
yang membuat seseorang efektif dalam peran dan proses kepimimpinan. Setiap
orang dalam kehidupaannya harus mengambil peran dan berpartisipasi dalam proses
kepemimpinan agar dapat melaksanakan tanggung jawabnya dalam masyarakat
sekitarnya, oragnisasi dimana mereka bekerja, kelompok professional dimana
mereka diakui keberadaannya, tetangga dimana mereka bermasyarakat, dan
seterusnya.
3. Individu
dapat memperluas kapasitas kepemimpinannya. Kuncinya adalah bahwa setiap orang
bisa belajar, tumbuh dan berubah (Cynthia D. McCauley, Russ . Moxley, Ellen Van
Velsor, 1998:4)
Untuk lebih jelasnya, maka perlu kiranya
mencermati dialog antara the manager and the sage dalam buku “Handbook of
Leadership Development”, berikut:
“Is
experience the best teacher?” the bright young asked the sage. “Can I develop
as a leader from experience?”. “Some people have said that experience is the
best teacher,” replied the sage. “But some experiences don’t teach”. “So
experience is not the best teacher?”. “Not exaltly that, “ said the sage. “It
is just that not every experience offers important leadership lessons”. “So
where I do learn ? What experiences will be help to me ?”. “It is the
experiences that challenge you that are development,” the sage responded, “the
experiences that stretch you, that force you to develop new abilities if you
are going to survive and succeed” (1998:1).
Dialog di atas
menunjukkan bahwa pengalaman merupakan faktor yang penting dalam pengembangan
kepemimpinan, walaupun tidak semua pengalaman dapat menjadi guru yang baik. Berdasar
penelitian kunci utama pengembangan kepemimpinan adalah penilaian, tantangan,
dan dukungan. Faktor keturunan
ternyata hanya memberikan sumbangan yang kecil bagi kepemimpinan seseorang,
sebagian besar karena faktor pengalaman sesudah dewasa.
Banyak yang berpendapat bahwa sebuah organisasi akan
efektif, apabila dikelola dengan manajemen yang baik. Pendapat ini tidak salah seluruhnya,
akan tetapi sebenarnya faktor kepemimpinan-lah yang mampu menggerakkan
organisasi menjadi efektif, sementara para manajemen akan menjalankan tugasnya
agar lebih efisien. Selama
beberapa dekade, banyak orang yang menekankan manajemen karena lebih mudah
diajarkan dibanding dengan kepemimpinan. Dengan menekankan pada aspek
manajemen, banyak persoalan yang tidak terlacak dan akan menimbulkan arogansi.
Hal tersebut menyebabkan transformasi organisasi menjadi semakin sulit.
Manajemen adalah seperangkat proses yang dapat
menjaga sistem yang kompleks, terdiri dari orang dan teknologi dan berjalan
secara perlahan. Aspek-aspek terpenting dalam manajemen meliputi perencanaan,
penganggaran, organizing, staffing, pengawasan, dan pemecahan masalah.
Kepemimpinan adalah seperangkat proses yang menciptakan organisasi mampu
mengadaptasi pada lingkungan yang berubah secara signifikan. Kepemimpinan
mendefinisikan seperti apakah masa depan itu, membimbing orang sesuai dengan
visi tersebut, dan memberi inspirasi kepada mereka untuk membuat hal itu
terjadi meskipun banyak hambatan (John P. Kotter, 1996).
PENGEMBANGAN
KEPEMIMPINAN DALAM MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS)
Dengan diundangkannya
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
serta Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS,
maka seluruh institusi yang berkaitan dengan UU tersebut otomatis harus
melaksanakan sesuai dengan ketentuan yang termaktub di dalamnya. Sesuai dengan
amanat UU tersebut, maka paradigma pendidikan berubah dari yang bersifat
sentralistik menuju ke arah desentralistik.
Perubahan paradigma ini mempunyai
dampak yang luas di bidang pendidikan dan persekolahan di Indonesia.Seluruh
institusi pendidikan siap atau tidak harus mulai merubah dan berubah sesuai
dengan ketentuan undang-undang. Berlandaskan ketentuan UU No. 20 Tahun 2003
diluncurkan kebijakan tentang persekolahan, yakni Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS).
Sebelum desentralisasi, beberapa sekolah di
Indonesia sudah ada yang melaksanakan proses Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) secara mandiri dan mereka mampu
mengatasi banyak masalah-masalah yang berkaitan dengan pengembangan sekolah
secara internal.. Sekarang ini beberapa propinsi di Indonesia mulai mencoba menerapkan MBS karena dukungan
yang diberikan dari Pemerintah Daerah dan Dinas Pendidikan.. Pelaksanaan
MBS sekarang terbukti dapat mengubah kebudayaan
dan sistem, sehingga sekolah berkembang efektif dan "sustainable".
Terjadi transformasi yang sangat luar biasa bagi perkembangan sekolah
Seluruh komponen
persekolahan yakni kepala sekolah, para guru, komite sekolah dan masyarakat
harus berbenah diri. terlibat dan berperan dalam rangka meningkatkan kualitas
mutu sekolah. . Sesuai dengan etos MBS peran setiap
pihak sangat diperlukan dalam setiap pengambilan keputusan di sekolah, melalui proses
terbuka, diskusi dan saling tukar pikiran dalam rangka mendukung guru di
lapangan dan proses belajar-mengajar secara maksimal. Di dalam MBS, tidak ada peserta (stakeholder) yang dianggap
superior. Semua stakeholder, Dewan Pendidikan, guru baru, atau orang tua
yang petani, masing-masing membawa
input (pengalaman) dan kebutuhan mereka ke meja diskusi untuk mencari
jalan terbaik bagi keperluan mereka sendiri.
Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa kebijakan MBS adalah kebijakan yang mendorong kemandirian dan memberdayakan
potensi sekolah-sekolah di Indonesia. Keterlibatan maksimal dari berbagai
pihak, antara lain Kepala Sekolah, guru, orang tua, Dewan Pendidikan, dan Dinas
Pendidikan di daerah benar-benar diharapkan bagi suksesnya MBS dalam
meningkatkan kualitas pendidikan.
Namun pertanyaan selanjutnya
adalah bagaimana efektivitas institusi sekolah dalam menerapkan kebijakan MBS dalam rangka
meningkatkan kualitas pendidikan. Berdasar teori di atas, dikatakan bahwa efektivitas
organisasi tidak hanya tergantung dari kemampuan manajerial, melainkan faktor
kepemimpinan (leadership). Kemudian, siapakah yang paling berkepentingan dan
siapakah yang harus menjadi pemimpin (leader) agar kebijakan MBS mencapai
tujuannya?
Secara teoritis, semua pihak memang
harus terlibat aktif yakni kepala sekolah, para guru, komite sekolah dan
masyarakat yang peduli. Akan tetapi pada prakteknya, peran Kepala Sekolah dan
Komite Sekolah sangat menentukan; kepemimpinan Kepala Sekolah dan Ketua Komite
Sekolah paling menentukan kebijakan sekolah seperti tanggung jawab pengambilan
keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum.
Dengan melihat tanggung jawab
besar tersebut, maka pengembangan kepemimpinan dari Kepala Sekolah dan
Pemilihan Ketua Komite Sekolah perlu mendapat perhatian yang serius. Kepala
Sekolah dan Ketua Komite Sekolah perlu diperhadapkan pada serangkaian pengalaman belajar seperti yang mampu
pengembangkan kepemimpinannya. Dalam buku “Handbook Leadership Development” (1998)
diungkapkan bahwa hanya elemen pengalaman yang mengandung penilaian, tantangan,
dukungan merupakan pengalaman yang akan mengembangkan kepemimpinan seseorang.
Namun pada prakteknya, Kepala Sekolah sebenarnya merupakan aktor
yang paling diharapkan berperan sebagai pemimpin dalam MBS untuk mewujudkan
visi menjadi misi yang feasible bagi
peningkatan pelayanan dan kualitas sekolah. Pihak-pihak lain seperti, komite
sekolah, para guru, orangtua, dewan pendidikan dan dinas pendidikan diharapkan
menyumbang pada pengembangan kepemimpinan Kepala Sekolah dalam hal, penilaian,
tantangan, dan dukungan.
PENUTUP
Manajemen
Berbasis Sekolah (School-Based Management) merupakan kebijakan bidang
persekolahan di Indonesia. Kebijakan ini diambil sebagai konsekuensi berlakunya
undang-undang tentang otonomi daerah. Sejalan dengan itu terjadi perubahan di
bidang pendidikan dari sentralisasi menuju ke desentralisasi pendidikan. Perubahan paradigma pendidikan di Indonesia
ini, di satu sisi memberikan keleluasaan pada daerah tingkat II maupun sekolah
untuk mengatur dirinya sendiri, di lain sisi pemerintah daerah maupun sekolah
masih tertanam mind set sentralistik seperti yang selama ini berlangsung.
Kegamangan menjalankan kebijakan
ini menuntut kepemimpinan yang mampu mengarahkan serta mewujudkan visi menjadi
misi bersama yang feasible. Kepala Sekolah diharapkan mampu berperan sebagai
aktor yang memimpin demi tercapainya tujuan yang diharapkan. Namun, keberhasilan
dari Kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah ini dapat tercapai dengan baik
apabila didukung partisipasi stake holder, yakni pemerintah daerah tingkat II
melalui Dinas Pendidikan, Kepala Sekolah, Komite Sekolah, para guru, dan
masyarakat yang terpanggil untuk bersama-sama meningkatkan kualitas mutu
pendidikan di sekolah setempat.SEMOGA !
DAFTAR PUSTAKA
Agus Dharma. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah.
hhtp://www.ed. Manajemen Berbasis Sekolah.html
American Association of School
Administrators, National Association of Elementary School Principals, and
National Association of Secondary School Principals. 1988. School-Based Management: A Strategy for
Better Learning. Arlington, Virginia.
Cynthia D. McCauley, Russ S.
Moxley, Ellen Van Velsor. 1998. The Centre
For Creative Leadership: Handbook of Leadership Development. San
Francisco: Jossey-Bass Publisher
Kotter, John. 1996. Leading Change. Boston,
Massachusetts: Harvard Business School Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar