Abstrak
Menyikapi persoalan dana
perimbangan, peraturan tentang keuangan daerah ini titik beratnya masih tetap
pada pembagian proporsi bukan kepada pemberian kewenangan yang luas sehingga penekanan
lebih besar pada bagi hasil sumberdaya alam (SDA) dinilai lebih menguntungkan
daerah yang kaya (SDA) dan tidak menguntungkan daerah yang bukan penghasil
kekayaan alam Sementara sumber dana alokasi umum, meskipun didasarkan formula
yang lebih objektif dan transparan, tetapi cenderung lebih mengutamakan
pemerataan dan kurang memperhatikan sisi keadilan.
Keberhasilan pemerintah untuk
mengatasai masalah keuangan daerah sebenarnya merupakan langkah penting dalam menggerakkan
roda pemerintahan di daerah, tetapi dampak yang ditimbulkannya akan berpotensi
kepada tuntutan pembagian keuangan yang lebih tepat,
tuntutan federalisasi, sampai ke ancaman disintegrasi ketika pemerintah pusat dinilai mempertahankan perimbangan
keuangan pusat-daerah secara tidak adil karena tidak memperhitungkan kontribusi daerah
kepada pendapatan pusat.
Dari beberapa pemikiran terungkap
bahwa untuk mengantisipasi munculnya dampak negatif di atas maka setiap desain
perimbangan keuangan selain perlu dirancang lebih cermat dan memperhitungkan pemerataan
daerah juga hendaknya kebijakan dana perimbangan pusat senantiasa bersendikan
elemen potensi kapasitas penerimaan daerah (menilai kontribusi daerah kepada
pendapatan pusat) serta menjamin otonomi daerah dan akuntabilitas lokal.
A. Pendahuluan
Indonesia, selain dituntut agar segera keluar dari
krisis ekonomi saat ini menghadapi beragam tuntutan dari daerah baik yang
menyangkut tuntutan otonomi luas, otonomi khusus sampai kepada tuntutan
pembagian keuangan yang lebih adil, tuntutan federalisasi hingga terdapat juga tuntutan
kemerdekaan. Kebijakan pemerintah pusat yang dianggap tidak adil oleh
masyarakatnya di daerah pada waktu tertentu dianggap masalah yang memunculkan kritik tersendiri karena selain
hasil pembangunannya dianggap tidak memuaskan masyarakat juga dampak dari pembangunannya dapat memperparah kesenjangan sosial. Keadaan
ini dalam pelaksanaannya baik berdasarkan perspektif teknologi, pertumbuhan,
dan kemajuan tidak melahirkan kesejahteraan masyarakat, sehingga situasi ini
memberi peluang besar bagi munculnya ancaman yang
melemahkan eksistensi negara dan bangsa Indonesia sebagai negara kesatuan dalam
ideologi, politik, sosial, budaya, pertahanan serta keamanan dan dapat berkembang
menjadi gerakan disintegrasi negara dan bangsa. Ancaman terbesar bagi integrasi nasional
cenderung datang dari akumulasi kekecewaan daerah terhadap pusat, atau konflik
yang bersifat vertikal. Munculnya bibit-bibit disintegrasi bangsa
terjadi antara lain ketika pemerintah pusat dinilai mempertahankan perimbangan
keuangan pusat-daerah secara tidak adil dan menimbulkan ketergantungan.
Pemberlakuan otonomi daerah
yang dapat menimbulkan distorsi dan
high cost ekonomi pada pasca reformasi
perlu segera diatasi sejalan dengan transisi demokrasi lokal yang saat ini sedang
melakukan konsolidasi politik agar
proses desentralisasi membawa perubahan pada tatanan ekonomi daerah
untuk mengembangkan dan memobilisasi PADnya. Setelah pilkada dilaksanakan, maka pelaksanaan demokrasi
dan otonomi suatu pemerintah daerah telah memberikan kewenangan membuat
keputusan maupun kewenangan keuangan yang semakin besar melalui proses politik
khas lokal di daerahnya. Dalam kondisi tersebut proses demokratisasi dan
politik lokal muncul di daerah disertai dengan peran elitnya yang secara
intensif berkembang dengan dinamika sosial politiknya.
Seharusnya sesuai konteks
undang-undang, berdasarkan UU No. 22/1999 dan UU No.25/1999 adalah untuk
memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah (Hardjosoekarto,
2002:9) yang kini dirubah dengan UU No.32 dan 33 Tahun 2004, namun intinya misi
yang dikandung belum bergeser dari undang-undang sebelumnya. Padahal mengatur mobilisasi pendapatan daerah
tidak sekedar berorientasi pada kepentingan memaksimalkan pendapatan daerah,
tetapi lebih kepada kepentingan mendukung pemberdayaan dan penciptaan ruang
yang lebih besar bagi peran serta masyarakat dan stakeholder dalam
pengembangan ekonomi daerah.
Berdasarkan realitas tersebut masalah penting untuk
dikaji adalah bagaimana perilaku politik (Pemerintah Pusat) dapat menghargai
aspirasi daerah atau bagaimana agar kebijakan dana perimbangan pusat dapat
dipadukan (matching) dengan
penguatan demokrasi lokal.
Tulisan ini mencoba mengungkapkan
beberapa prespektif dan argumentasi dengan pendekatan pengulasan dan telaahan
kritis (review article) terhadap
masalah yang dihadapi berdasarkan tinjauan teori administrasi publik, sehingga
pembahasan yang diungkapkannya dapat menjelaskan dan membandingkan beberapa
penafsiran dan solusi yang sesuai dengan keadaan dan masalah yang dihadapi.
Secara umum sasaran penulisan pada intinya berupaya untuk mengeloborasi masalah atau isu yang berkembang dari tiga
sudut pandang antara disintegrasi, pemerintahan lokal kebijakan dana
perimbangan pusat yang bertujuan mengembangkan demokrasi di aras lokal,
sehingga kemampuan dan pemberdayaan ekonomi daerah bisa segera diwujudkan untuk
mempercepat kesejahteraan masyarakatnya.
B. Disintegrasi
Proses
demokratisasi yang bertumpu pada otonomi daerah ternyata tidak selalu berjalan
mulus dan menyisakan sejumlah persoalan-persoalan baru. Selain munculnya
raja-raja kecil di daerah, proliferasi korupsi di daerah, perebutan sumber
daya, sentimen putra daerah dan non putra daerah dalam kontelasi politik lokal,
muncul berbagai organisasi masa (ormas) yang mengusung sentimen identitas
lokal. Hal ini sempat menyulut konfliks kekerasan di banyak daerah yang
disebabkan oleh tokoh etnis lokal yang bersaing memperebutkan kekuasaan politik
dan akses terhadap sumber daya materil (Van Klinken 2001).
Hingga
kini masih adanya simpul yang menterminologi putra daerah kerap
diintrepretasikan secara longgar dan tidak bijak serta tidak hanya mengacu
kepada aspek etnisitas, melainkan juga kepada domisili dan tempat kelahiran
untuk memberikan ruang bagi tampilnya elit nasional yang mengincar posisi
strategis di daerah.
Bila dicermati,
adanya konfliks kekerasan di Indonesia bukanlah hal yang baru dalam episode
sejarah nasional. Dinamika konflik kekerasan selalu mengiringi perjalan bangsa
ini. Karenanya, Indonesianis seperti Ben Anderson tak segan-segan berpendapat
bahwa kultur kekerasan bukanlah monopoli penguasa orde baru, tetapi sudah sejak
lama melekat semua lapisan masyarakat (Anderson 2001). Namun demikian,
dahsyatnya tingkat konflik dan kekerasan atas nama agama, kepentingan etnis dan
kelompok di berbagai pelosok negeri serta isu disintegrasi menuntut penjelasan
yang lebih luas ketimbang sekedar faktor kultural ataupun dampak dari euphoria
politik dari proses demokratisasi.
Di
era orde baru, ancaman terbesar bagi integrasi nasional cenderung datang dari
akumulasi kekecewaan daerah terhadap pusat, atau konflik yang bersifat
vertikal, maka dewasa ini, kekerasan dan konflik horizontal menjelma menjadi
ancaman serius bagi integrasi nasional. Ted Gurr, seorang ilmuwan yang
mendalami masalah konflik etnis-agama menyimpulkan bahwa sentimen identitas
suatu kelompok dapat mengalami pasang surut, sesuai dengan derajat kepentingan
anggota suatu kelompok (Gurr 1993).
Identitas
kolektif akan menguat secara drastis manakala kelompok tersebut mengalami
diskriminasi dan ketidakadilan. Sebaliknya, identitas kolektif suatu kelompok
akan melemah ketika terjadi proses asimilasi atau keanggotaan yang berlapis
dari anggota suatu kelompok dengan kelompok-kelompok lain di masyarakat. Namun
demikian, pada kasus negara - negara demokrasi baru, kerapkali para pemimpin
kelompoklah yang memanipulasi pasang surut identitas kelompoknya. Para pemimpin
tersebut mengeksploitasi faktor sejarah clan simbol-simbol kultural untuk
memobilisasi dukungan politik.
Menariknya, Samuel Huntington menyatakan bahwa
krisis identitas ini bukan saja monopoli negara-negara demokrasi baru,
melainkan telah menjadi fenomena global dan melanda negara-negara demokrasi
mapan. Merosotnya otoritas negara sebagai penjamin keamanan rakyatnya telah
memberikan insentif bagi rakyat untuk menolak mengidentifikasikan diri dengan
negara dan mempromosikan identitas kelompok yang bersifat sub nasional maupun
trans nasional (Huntington 2004). Di berbagai belahan dunia tumbuh gerakan -
gerakan yang kuat yang berusaha untuk melakukan proses redefinisi identitas
negara dalam terminologi keagamaan sebagai upaya adaptasi dengan perubahan pada
tataran global dan membangun rasa aman dan nyaman. Menurut Huntington, jika
pada abad ke 19 dan 20 para elit politik dan intelektual memobilisasi
kebangkitan identitas nasional dan memelopori gerakan-gerakan nasionalisme,
saat ini justru kita menyaksikan manuver para elit yang tengah melakukan proses
denasionalisasi di banyak negara.
Dalam konteks di Indonesia, manuver elit untuk
memanipulasi identitas kultural adalah gerakan pemekaran daerah yang marak
dilakukan sejak lahirnya Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah. Elit politik lokal, birokrat lokal dan pengusaha lokal memainkan peran
penting dalam mengolah emosi masa untuk menciptakan kesadaran kolektif mengenai
urgensi dari pembentukan wilayah adminsitratif baru di daerah kelahiran
mereka sejak kurun waktu 1999 hingga 2004.
Bagaimana agar segera keluar
dari konflikasi dalam permasalahan yang menyangkut konflik dan integrasi
nasional? Setidaknya diperlukan penelisikan sisi lain dari konfliks, sebagaimana dikatakan Dahrendorf bahwa konfliks juga dapat
dilihat sebagai mekanisme alamiah dalam konteks rekonstruksi sosial untuk
mencari keseimbangan baru dan menghilangkan unsur-unsur disintegratif dalam
masyarakat. Karenanya, jika mengacu kepada sisi tersebut 1) cara melakukan
proses transformasi konflik, yaitu menyalurkan energi negatif konflik kepada
saluran-saluran alternatif yang akan mengelola konflik tersebut. 2) Dalam
mengatasinya antara konflik kekerasan dan integrasi nasional, politik identitas
dan konsolidasi demokrasi, diperlukan komitmen politik dari para elit politik
untuk memulai suatu proyek jangka panjang, merumuskan mengenai strategi dan
taktik proses nation building untuk membangun kultur baru bangsa yang
mengapresiasi perbedaan sebagai modal sosial dan mencetak generasi baru di masa
datang.
C.
Pemerintahan Lokal
Politik lokal menurut Surbakti
(1992) yaitu: (a) Usaha yang di tempuh warga negara untuk mengatasi masalah
yang dihadapi masyarakatnya di daerah tertentu; (b) Segala hal yang berkaitan
dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan; (c) Segala kegiatan yang
diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat; (d)
Kegiatan yang berkaiatan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum; (e)
Sebagai konflik dalam rangka mencari atau mempertahankan sumber yang dinilai
penting. Selain itu ada yang didefinisikan Heinelt dan Wollmann (1991)
menyatakannya sebagai suatu sense dalam pembagunan dan penghargaan
secara sosial yang berupa keputusan-kepurusan dalam sistem interaksi
berdasarkan fisik dan ruang sosial.
Memahami bagaimana itu politik
lokal tentunya akan terkait dengan kekuasaan yang digunakan untuk memimpin
suatu masyarakat tertentu. Artinya, kekuasaan itu tidak hanya berdasarkan pada
kemampuan tetapi juga ditentukan oleh faktor lain yang memiliki hubungan dengan
kondisi daerah bersangkutan. Sebab itu, ada dua faktor yang akan mempengaruhi
kehidupan politik lokal dalam masyarakat Indonesia yaitu 1) sistem kultural dan
2) kepercayaan (Sjamsudin, 1989).
Namun yang perlu diperhatikan
dalam konteks politik lokal ini adalah bagaimana memadukan antara keinginan
pusat dan aspirasi lokal yang muncul di daerah yang tidak lepas dari peran
birokrasi pada aras lokal. Sebab dinamika kehidupan pemerintahan lokal yang
akan dibangun tersebut, kondisinya akan terus berubah oleh pengaruh perubahan
konteks ekonomi dan sosial, selain oleh konfliks ideologi dan politik lokal
yang terjadi disekitar pemerintahan lokal (John and Gerry, 1989).
Perlu juga dipahami bahwa aras
pemerintahan lokal tersebut memiliki karateristik yang berbeda di setiap daerah
sehingga diperlukan penyesuaian dengan pemerintah pusat. Di samping itu,
diperlukan pula perubahan struktur pemerintahan lokal yang akan berdampak pada
perubahan perluasan program ekonomi, sosial, dan pembaharuan ideologi.
Boleh jadi, upaya yang perlu
dilakukan adalah menghadapi tantangan yang ditekankan pada keuangan untuk
kemudian diperluas perhatiannya pada peran, organisasi, kelembagaan, dan
manajemen. Oleh karena itu, dalam pemerintahan lokal penataan kehidupan
bernegara untuk melakukan interaksi dengan pemerintah pusat secara optimal
perlu dilakukan. Untuk itu, ada tiga hal yang mesti dikaji dalam status
pemerintahan lokal yaitu: fungsi, struktur, dan keuangan (Martin, 1986).
Semua itu, diperlukan guna
memberikan arti bernegara bahwa kehidupan tradisional sudah mulai disinergiskan
dengan aktivitas yang mengarah kepada kepentingan nasional di era globalisasi,
sehingga mau tak mau, suka atau tak suka telah masuk ke dalam arena
globalisasi, berhenti sedikit saja akan tergerus arus tersebut. Artinya, dalam
program pembangunan lokal maupun nasional harus diintegrasikan, kemudian harus
berdampak pada stabilitas internal. Hal ini, tentunya memerlukan peran dari
pemerintah pusat, dan pada saat yang sama peran pemerintah daerah (propinsi
ataupun kabupaten dan kota) sangat dibutuhkan. Karena kurangnya sumber yang
tersedia ditingkat lokal, maka pemerintah lokal pada saat ini mendapat peran
penting dan akses dari struktur pemerintah pusat.
Semua itu, dapat diwujudakan
melalui kebijakan pemerintah pusat yang akan didesentralisasikan pada
pemerintah lokal yang merupakan otoritas daerah untuk menyatukan berbagai
kepentingan, tujuan dan kemampuan dalam pembangunan daerah melalui program
pembangunan. Sehingga dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah
diharapkan dapat meningkatkan kesadaran pemerintah lokal akan alokasi
sumber-sumber daya dan tidak bergantung kepada pemerintah pusat semata.
Dampak dari itu semua tentunya
memiliki arti penting bagi pembangunan memandirian pemerintahan lokal, meski
yang muncul berbagai agenda pemekaran wilayah namun itu semua merupakan ekses
dari demokrasi yang tengah dibangun bangsa ini. Sangat kontras, ketika hegemoni
negara yang dipraktikkan masa Orde Baru yang memarginalkan masyarakat lokal.
Dengan demikian, diperlukan revitalisasi (diberi penguatan kembali) sehingga
dapat diakomodasi dan diakses dalam pelaksanaan pembangunan.
Penguatan politik lokal atau
identitas lokal harus dipahami sebagai salah satu kekuatan perekat integrasi
nasional dan kekuatan yang memperlancar pembangunan. Revitalisasi identitas
lokal dilakukan dalam tataran institusi, status, dan peran seperti Krama adat,
lembaga dapat yang ditopang oleh aturan-aturan adat secara arif dan bijaksana.
Jadi dapat dipahami bahwa dengan munculnya agenda pemekaran wilayah atas dasar
asumsi-asumsi etnisitas yang lebih spesifik salah satu indikasi penguatan
identitas terhadap wacana demokrasi lokal. Masyarakat Indonesia kaya akan
identitas kelompok etnis, membutuhkan pemahaman yang serius dalam membangun
kerangka interaksi politik yang toleran, yang dalam potensinya bisa memperkuat
pluralisme (Abdilah, 2002). Sementara Giddens (2000) menjelaskan bahwa
heterogenitas itu sendiri bukan merupakan suatu halangan. Dia merupakan bagian
terpenting yang tak dapat dipisahkan dari arti “berbangsa dan bernegara” yang
sesungguhnya.
Secara politik, bagaimana
memanfaatkan pintu pemberian otonomi daerah tersebut sehingga menjadi sebuah
jalan masuk bagi demokratisasi dan partisipasi rakyat, agar sejajar antara
pemerintahan lokal dengan pertumbuhan otoritas pemerintah pusat yang melakukan
stabilitas ekonomi, sosal dan politik serta meningkatkan partisipasi dalam
program pembangunan (Mac Andrew, 1986). Oleh karena itu sebagaimana dikatakan
Morfit, (1995) bahwa usaha yang dilakukan pemerintah pusat dalam menangani
masalah yang ada di daerah adalah memperkuat posisi pemerintah daerah, ini
semua terkait dengan desentralisasi yang dilakukan. Dengan demikian, akan menunjukkan
betapa pentingnya peran pemerintah di aras lokal/daerah dalam melaksanakan
pembangunan di daerahnya masing-masing.
Ketika konteks demokrasi lokal
diwujudkan, maka semakin besar otonomi suatu pemerintah daerah, baik dalam arti
kewenangan membuat keputusan maupun kewenangan keuangan, akan makin besar pula
derajat proses politik yang khas lokal (local politics). Maka dengan
kondisi tersebut, dapat disimpulkan yakni; Pertama, makin besar otonomi
lokal yang diberikan, maka semakin besar pula proses demokratisasi dan politik
lokal yang muncul di daerah. Kedua, semakin intesif peran elit
masyarakat, maka semakin berkembang pula dinamika sosial politik di daerah yang
bersangkutan. Ketiga, semakin dinamis proses demokratisasi maka semakin
dinamis pula perkembangan politik lokal di daerah.
D. Kebijakan Dana Perimbangan
Davey (1988) mengatakan
hubungan antara keuangan pusat dan daerah, prinsipnya lebih pada persoalan
tentang pembagian kue kekuasaan. Terutama hak mengambil keputusan mengenai
anggaran, yaitu bagaimana memperoleh dan membelanjakannya. Semua itu bertujuan
untuk menggapai kesesuaian dengan peranan yang dimainkan pemerintah daerah
(Devas, 1989:179). Dia juga mengidentifikasikan dua bentuk utama peranan
pemerintah lokal/daerah yang masing-masing membutuhkan dukungan format
kebijakan keuangan yang berbeda. Kedua peranan dan format kebijakan keuangan
yang sesuai dengan masing-masing peranan tersebut yakni: Pertama,
pandangan yang menekankan peranan pemerintah sebagai ungkapan kemauan dan
indentitas masyarakat setempat. Pemerintah lokal/daerah merupakan wadah bagi
penduduk setempat untuk mengemukakan aspirasinya sesuai dengan keinginan dan
prioritas mereka. Kedua, pandangan yang menekankan peranan pemerintah
lokal/daerah sebagai lembaga yang menyelenggarakan layanan-layanan publik dan
sebagai alat untuk menebus biaya memberikan layanan yang bermanfaat untuk
daerah.
Apa yang diungkapkan Davey dan
Devas, intinya adalah menekankan pentingnya keseimbangan antara beban urusan
yang menjadi tanggungjawab pemerintah lokal/daerah dan kewenangan finansialnya.
Semakin luas urusan yang menjadi tanggungjawab pemerintah lokal/daerah, semakin
besar pula kewenangan finansial yang dibutuhkannya. Sebagai
konsekuensinya, seperti ditegaskan Hun Cho dan Meinardus (1996) “If
decentralizacion of power is the aim, then logically decentralization public
finances must go with it (Hun Cho dan Meinardus, 1996:175). Argumen
tersebut, tentunya berdasar pada mendorong munculnya prinsip baru dalam politik
pembiayaan desentralisasi. Prinsip baru ini tercemin pada adagium no mandate
wihtout funding atau money follow functions menggantikan prinsip kuno yang
dikemukan Wayong (1956) yaitu functions follow money yang dinilai tidak
realistik (Gaffar,dkk, 2002:189).
Undang-undang No. 32 Tahun
2004) tentang Pemerintahan Daerah pada dasarnya mengatur tentang pelaksanaan
desentralisasi yang berlandaskan pada prinsip keseimbangan. Ditegaskan bahwa
kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dalam rangka
desentralisasi, harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan,
sarana dan prasarana, serta sumberdaya manusia sesuai dengan kewenangan yang
diserahkan tersebut, meski dalam tataran implementasinya masih banyak
mengundang kontroversi.
Gaffar, dkk (2002) menilai
bahwa peraturan tentang masalah keuangan daerah yang ada masih bersifat
setengah hati, karena titik beratnya masih tetap pada pembagian proporsi, bukan
kepada pemberian kewenangan yang luas sebagaimana yang dinyatakan dalam UU
No.22/1999 yang kemudian direvisi menjadi UU No.32/2004 (Gaffar, dkk,
2002:203). Uang memang merupakan sesuatu yang mutlak, namun uang bukan
satu-satunya alat menggerakkan roda pemerintahan. Otonomi adalah kewenangan,
dengan kewenangan, maka uang akan dapat dicari (Gaffar, dkk, 2002: 213).
Menyikapi persoalan dana
perimbangan, dapat gali dari sisi kebijakan bagi hasil, pola bagi hasil masih
dilakukan basis per basis pajak dan belum mencakup setiap sumber pendapatan
pusat yang ada di daerah. Penekanan lebih besar pada bagi hasil sumberdaya alam
(SDA), dinilai lebih menguntungkan daerah yang kaya SDA dan tidak menguntungkan
daerah yang bukan penghasil kekayaan alam tersebut (Pratikno, 2002:66).
Sementara sumber dana alokasi umum, meskipun didasarkan formula yang lebih
objektif dan transparan, tetapi cenderung lebih mengutamakan pemerataan dan
kurang memperhatikan sisi keadilan. Bahkan cenderung bersifat disinsentif
karena tidak memperhitungkan kontribusi daerah kepada pendapatan pusat.
Demikian pula pendekatan 25 persen dari pendapatan dalam negeri, belum
dikembangkan untuk mencapai sufficiency pembiayaan daerah.
Jadi secara umum, transfer
keuangan intra-pemerintahan hendaknya mampu mendorong peningkatan manajemen
fiskal yang baik dan menghidari parktek yang tidak efisien (Shah, 1994:71).
Bahkan mampu mengurangi beban perpajakan lokal yang relatif tinggi (Bailey,
1999:207). Upaya seperti ini akan dapat dilakukan pemerintah lokal/daerah,
apabila pemerintah lokal/daerah memiliki kewenangan memadai di bidang
pengelolaan sumberdaya ekonomi. Terutama kewenangan pemerintahan lokal/daerah
dalam mengendalikan tarif pajak daerah (local tax power) (Bird dan
Vaillancourt, 2000:49). Pemerintah lokal/daerah perlu memiliki dana memadai,
sehingga memiliki fleksibilitas untuk lebih menekankan pada intensifikasi.
Bahkan kemungkinan memberikan tax holiday demi merangsang investasi di
daerahnya (Mardiasmo, 2002:153).
Melihat hasil studi de Mello
dan Berenstein (2002) yang menunjukkan semakin besar bagian dana yang
dibelanjakan daerah, semakin besar keterkaitan positif antara desentralisasi
dan perwujudan governance (Abed and Gupta, 2002:360). Agar tidak terjadi
pelemahan upaya fiskal daerah, setiap desain perimbangan keuangan harus
bersendikan elemen potensi kapasitas penerimaan daerah (Bird dan Vaillancourt,
2000:45). Misalnya di Spanyol, 25 persen dana perimbangan daerah dialokasikan
menurut penerimaan pajak daerah dan 70 persen menurut jumlah penduduk. Sebagai
perbandingan Denmark dan Swedia, Kanada dan Australia, secara eksplisit
mengkalkulasikan dana perimbangan dengan mengasumsikan penerapan tarif pajak
daerah menurut rata-rata nasional. Daerah yang menetapkan tarif pajak di atas
rata-rata tarif pajak daerah, tidak diberi sanksi dengan pengurangan dana
perimbangan. Sementara yang menerapkan tarif di bawah rata-rata, diberi
insentif kenaikan dana perimbangan yang diterimanya.
Demikian pula, keuangan intra
pemerintahan tidak seharusnya mengandung kompleksitas yang tidak perlu. Di
semua negara, kompleksitas hunbungan fiskal antar pemerintahan tidak dapat
dihindari dan biasanya tidak memuaskan bagi pihak-pihak yang terkait. Jika apa
yang dikerjakan pusat adalah mesukseskan suatu tujuan khusus, dilakukan tanpa
menambah kerumitan atas keuangan intra-pemerintahan. Bilamana mungkin, transfer
langsung ke kelompok masyarakat miskin lebih baik daripada transfer tidak
langsung melalui daerah.
Kebijakan keuangan intra
pemerintah, karenanya perlu dirancang lebih cermat. Devas (1988) mengemukakan
tujuh kriteria dasar yang perlu diperhitungkan yaitu: simplicity
(kesederhanaan, formula alokasi mudah dimengerti), adequacy (cukup untuk
membiayai kebutuhan dasar daerah), elasticity (menyesuaikan diri
terhadap inflasi, dll), stability and predictability (jumlah alokasi
relatif stabil dan mudah diprediksi), equity (unsur pemerataan daerah), economic
efficiency (menjamin efisiensi penggunaan dana), serta decentralization and
local accountability (menjamin otonomi daerah dan akuntabilitas lokal)
(Pratikno, 2002:61). Kriteria serupa ditegaskan oleh Shah (1994) yang
mengemukakan sejumlah kriteri dasar yang perlu dipertimbangkan dalam merancang
transfer keuangan intra-pemerintahan yaitu: autonomy, revenue adequacy,
equity, predictability, efficiency (neutrality), simplicity, incentive, and
safeguard of grantor’s objectives (Shah, 1994:30).
Disamping PAD dan DAU/DAK dari
Pemerintah Pusat, sumber dana pemerintah lokal/daerah lainnya yang potensial
adalah “pinjaman daerah” (local borrowing). Berdasarkan undang-undang,
daerah diberikan kewenangan melakukan pinjaman. Baik itu pinjaman pada pusat,
bank komersial, dan institusi keuangan lainnya. Termasuk melakukan pinjaman ke
luar negeri. Akan tetapi melalui peraturan No.107/2000, kewenangan ini oleh
pusat diatur sangat ketat sekali yang pada akhirnya justru mempersulit
kemungkinan pemerintah lokal/daerah untuk melakukan pinjaman.
Larangan pemerintah
lokal/daerah untuk melakukan pinjaman ini, dapat menimbulkan kondisi kurang
mendukung bagi percepatan perbaikan kinerja pemerintah lokal/daerah. Bahkan
merupakan bentuk patronase lama untuk melindungi kinerja pemerintah
lokal/daerah yang tidak efektif. Seperti dikemukakan Bird dan Vaillancourt
(2000): “Pemberlakuan batasan utang untuk mencegah kesalahan fiskal pada pemda
dapat berakibat buruk. Karena dapat membendung terjadinya sangsi pasar secara
alamiah. Kreditur potensial pemerintah, dapat memiliki kemampuan dan motivasi
untuk membuat evaluasi kemungkinan risiko pada uangnya.
Dari perspektif ini,
kekhawatiran atas keteledoran pemerintah lokal/daerah yang dapat menyebabkan
mereka terjebak dalam posisi sulit, merupakan contoh lain dari paternalisme
yang tidak tepat atau keliru, yang umum terjadi pada pemerintah pusat dalam
menghadapi kemungkinan tidak enaknya kehilangan kontrol akibat desentralisasi.
Pemerintah lokal/daerah sulit berkinerja dengan baik jika mereka selalu
diamankan dari kemungkinan berbuat salah dengan memberlakukan batasan yang
sembarang atau jika mereka yakin bahwa pusat selalu siap memberikan bantuan.
Jika pusat ingin menghidari permasalahan, dapat dilakukan dengan tidak
memberikan subsidi atas utang pemerintah lokal/daerah dan merelakannya dililit
utang terlalu banyak dan bangkrut seperti terjadi di Maroko” (Bird dan
Vaillancourt, 2000:10).
Ilustrasi di atas tersebut,
menandakan adanya sejumlah persoalan krusial yang ditengarai telah menjadi
faktor penting guna mendorong otonomi seolah-olah identik dengan automoney.
Meningkatkan PAD dengan cara menambah jenis dan meningkatkan tarif
pajak/retribusi. Munculnya berbagai konflik perebutan sumber pendapatan antar
pemerintahan. Seperti kengototan sejumlah Pemkab/Pemkot untuk mendapatkan bagi
hasil lebih besar dari pajak kendaraan bermotor. Tuntutan pengalihan kewenangan pengelolaan uji kir
kendaraan yang selama ini tangani Pemprov, hal serupa juga ditujukan pada
sumber pajak yang selama ini dikuasai pusat. Seperti cukai rokok, bandara,
pelabuhan, BUMN dan sebagainya.
E. Penutup
Dana perimbangan pusat untuk daerah
tetap harus sebanding dengan yang diserap pusat dari daerah tersebut agar
pemanfaatan dana tersebut dapat memaksimalkan kesejahteraan rakyatnya di
daerah. Tanpa ada good governance,
dana tersebut akan menguap dan tidak bisa menyejahterakan rakyat daerah dan
akan menjadi ancaman
terbesar bagi integrasi nasional karena hal itu cenderung menimbulkan kekecewaan daerah terhadap pusat hingga
menyebabkan adanya konflik yang bersifat
vertikal. Bila ancaman
tersebut tidak segera diatasi, disintegrasi bangsa akan terus membayangi
negeri ini, karena selain perjuangan dan gerakan ke arah otonomi daerah yang
luas dan bertanggung jawab, hal itu merupakan kepentingan pemerintah lokal
dalam memperjuangkan kemerdekaan bagi wilayahnya. Otonomi daerah yang
dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, memberikan kewenangan
yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang
diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional
serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Sebagaimana dalam penjelasan UU No.25 Tahun 1999
tentang perimbangan Keuangan Pemerintah
pusat dan Daerah bahwa dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan, pelayanan
masyarakat dan pembangunan, maka pemerintah suatu negara pada hakekatnya
mengemban tiga fungsi utama yaitu fungsi-fungsi alokasi, distribusi dan
stabilisasi. Fungsi alokasi antara lain meliputi sumber-sumber ekonomi dalam
bentuk barang dan jasa pelayanan masyarakat. Fungsi distribusi meliputi antara
lain, pendapatan dan kekayan masyarakat, pemerataan pembangunan. Dan fungsi
stabilisasi yang meliputi, antara lain, pertahanan-keamanan, ekonomi dan
moneter.
Pembagian ketiga fungsi tersebut
adalah sangat penting sebagai landasan dalam penentuan dasar-dasar perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah secara jelas dan tegas. Dengan adanya dana perimbangan yang meliputi bagi
hasil pusat-daerah, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus itu mencerminkan
upaya dan asas keadilan perimbangan antara pusat dan daerah, disamping upaya
dan asas pemerataan alokasi dana untuk berbagai kegiatan dan pembangunan di
Daerah-daerah.
Kebijakan alokasi anggaran yang
relatif meningkat besar ke arah daerah-daerah yang memiliki potensi SDM yang
besar dan menguntungkan akan banyak merubah kemampuan daerah yang bersangkutan
untuk membangun. Namun kondisi ini perlu diimbangi dengan dana perimbangan
khususnya melalui dana alokasi umum (DAU), terutama bagi daerah yang miskin SDA
dan potensi sumber pendapatan daerahnya agar tidak menimbulkan kesenjangan yang
baru. Sehingga selain aspek keadilan dan pemerataan dalam sumber pembiayaan
pembangunan juga diharapkan kemajuan dan pembangunan akan berjalan dengan
berimbang antar daerah, sehingga ketimpangan pendapatan (dan pembangunan) akan
menjadi semakin berkurang, dalam arti akan terjadi pemerataan antar daerah
dalam pembangunan dan hasil-hasilnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdilah S., Ubed, 2002. Politik Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa Identitas, Magelang:
Indonesiatera.
Anderson, Benedict, ed (2001), Violence and the
State in Suharto's Indonesia, Ithaca: Southeast Asia Program, Cornell
University.
Abed, George T., and
Gupta, Sanjeev, 2002,
Governance, Corruption & EconomicPerformance, IMF: Washington, D.C.
Bailey, Stephen J.,
1999, Local Government
Economics: Principles and Practice,Macmillan Press Ltd.: London.
Bird, Richard
M. dan Vaillancourt, Francois, 2000, Desentralisasi Fiskal di
Negara-negara Berkembang, PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Cho, Chang-hyun, and
Meinardus, 1996, Local
Autonomy and Local Finance, CLAHanyang University: South Korea.
Davey, K.J.,
1988, Pembiayaan Pemerintah Daerah: Praktek-praktek
Internasional dan Relevansinya Bagi Dunia Ketiga, UI Press: Jakarta.
Devas, Nick., dkk., 1989, Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia, UI-Press: Jakarta.
Davies (ed) When Men Revolt and Why. New York:
Transaction Snyder, Jack (2000) From Voting to Violence: Democratization and
Nationalist Conflict, New York: Norton.
Dahrendorf, Ralf (1976) "The Modern Social
Conflict: an Essay to the Politics of Liberty. London: Weidenfeld and
Nicholson.
Gidden, Anthony, 2000.
Jalan Ketiga, Pembaruan Demokrasi Sosial, terj. Ketut Arya Mahardika, Jakarta:
Gramedia Pustaka.
Gaffar, Afan, dkk,
2002, Otonomi Daerah dalam
Negara Kesatuan, Pustakan Pelajar :Yogyakarta.
Gurr, Ted (1993) Minorities, Nationalist, and
Ethnipolitical Conflict Higley, John dan Richard Gunther (ed) (1992) Elite and
Democratic Consolidation in Latin America abd Southern Europe, Cambridge:
Cambridge University Press.
Hardjosoekarto,
2002, Hubungan Pusat dan Daerah dalam
Kerangka Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Jurnal Administrasi Negara Vol. II No. 2.
Heinelt, Hubert and
Wollmann, 2003. Local
Politics Research In Germany: Developments and Characteristics In Comparative
Perspective. London: Sage Publications.
Huntington, Samuel (2005) "Who Are We? America's Great Debate" Free Press, London.
John, Steward & Gerry Stoker, 1989. The Future of Local Government, London: Macmillan.
Katzenstein, Peter
(1996) The Culture of
National Security: Norms and Identity in World Politics, New York: Colombia
University Press. Hal. 59.
Morfit, M., Strengthening the Capacities of Local
Government : Policies and Constraints, in Mac Andrew (ed) 1986. Central Government
and Development in Indonesia, Singapore: Oxford University Press.
Mardiasmo, 2002,
Otonomi & Manajemen Keuangan Daerah, ANDI: Yogyakarta.
Pratikno, 2002, Keuangan Daerah: Manajemen dan
Kebijakan, MAP-UGM: Yogyakarta. (Pointers Kuliah).
Surbakti,
Ramlan, 1992. Memahami Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia.
Sjamsudin,
Nazarudin, 1989. Integrasi Politik di Indonesia, Jakarta: Gramedia.
Shah, Anwar, and Qureshi, Zia, 1994,
Intergovernmental Fiscal Relations in Indonesia, The World Bank: Washington, D.C.
Tornquist, 011e (2002) Popular Development and
Democracy: Case Studies with Rural Dimensions in the Philippines, Indonesia and
Kerala, Oslo: Centre for Development and the Envoronment.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar