MENGUKUR
KETIMPANGAN DAN KEMISKINAN
Kalau kita
merenungkan kembali krisis ekonomi yang kita alami 10 tahun lalu, tampaknya kita
mempunyai cukup alasan untuk mengatakan bahwa krisis tersebut telah menimbulkan
dampak sosial-ekonomi-politik yang luar biasa bagi Indonesia. Kendati kinerja
ekonomi pascakrisis cenderung membaik, indikator ketimpangan dan kemiskinan
menunjukkan bukti adanya eksklusi sosial-ekonomi bagi kebanyakan manusia
Indonesia. Eksklusi tersebut timbul karena redistribusi pendapatan dan tentunya
juga redistribusi kekuatan ekonomi-politik yang berlangsung secara tiba-tiba
dalam perekonomian kita, ketika krisis itu menghantam (Abdullah, 2007; Kuncoro,
2012). Eksklusi bagi mereka yang sudah miskin dan mereka yang menjadi miskin
karena krisis, tidaklah teatrikal, tapi amat kasat mata dan nyata. Hasil akhir
dari redistribusi tersebut masih terasa sangat menyesakkan bagi mereka yang
berada di bagian bawah dari piramida sosial-ekonomi.
Berikut ini akan
diuraikan beberapa indikator yang sering digunakan oleh para peneliti untuk
mengukur ketimpangan di suatau negara atau daerah.
- Size distributions (quintiles, deciles)
Ukuran ini secara langsung menghitung jumlah
penghasilan yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga. Cara
mendapatkan penghasilan itu tidak dipermasalahkan. Oleh karena itu para ekonom
cenderung mengurutkan semua individu berdasarkan pendapatan yang diterimanya,
lantas membagi total populasi kedalam beberapa nkelompok atau ukuran. Biasanya
populasi dibagi menjadi 5 kelompok atau kuantil dan 10 kelompok atau desil.
- Lorenz curves
Indeks gini seringkali ditampilkan bersamaan dengan
kurva Lorenz, yang menggambarkan hubungan antara pangsa kumulatif pendapatan
dan penduduk. G adalah indeks gini yang diturunkan dari kurva Lorenz dengan
cara membagi daerah yang dibatasi oleh garis diagonal dan kurva Lorenz dengan
total daerah pada segitiga yang lebih rendah
- Gini coefficients and aggregate measures of
inequality
Dari semua pengukur ketimpangan, indeks gini adalah
yang paling sering dipakai sebagai indikator ketimpangan. Salah satu yang
menarik dari indeks gini ialah pendekatannya yang sangat langsung terhadap
ukuran ketidakmerataan, memuat perbedaan di antara setiap pasangan pendapatan,
yang sejauh ini merupakan ukuran ketidakmerataan ekonomi yang paling populer.
Pada kenyataannya, pasangan-pasangan yang diobservasi yang dipakai dalam
penghitungan Indeks gini digunakan untuk menghasilkan Kurva Lorenz. Hal ini
dilakukan dengan mem-plot pasangan pangsa (kumulatif) pendapatan dan penduduk
dalam sebuah kotak.
Nilai dari indeks gini berkisar antara 0 sampai 1.
Nilai 0 menunjukkan bahwa seluruh pendapatan terbagi secara merata terhadap
seluruh unit masyarakat (perfect equality), sedang nilai 1 berarti seluruh
pendapatan hanya dimiliki oleh satu orang atau satu unit saja pada keseluruhan
distribusi (perfect inequality). Ketimpangan
yang rendah mempunyai nilai indeks gini sebesar 0,4 atau di bawahnya.
Ketimpangan yang tinggi apabila mempunyai indeks gini di atas 0,4 dalam
distribusinya.
- Functional distributions
Ukuran ini berfokus pada bagian dari pendapatan
nasional yang diterima oleh masing-masing faktor produksi. Relevansi teori
fungsional kurang tajam, karena tidak memperhitungkan peranan dan pengaruh
kekuatan diluar pasar.
KEMISKINAN,
KETIMPANGAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
Wacana tentang
ketimpangan dan kemiskinan sering dicampuradukkan meskipun kedua istilah ini
bukan sesuatu yang sama. Kemiskinan umumnya menunjukkan tingkat pendapatan di
bawah garis kemiskinan tertentu. Penduduk disebut miskin bila memiliki
rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.
Ketimpangan (inequality) mendeskripsikan mengenai jurang antara mereka yang
kaya (baca: pendapatan tinggi) dan miskin (baca: pendapatan rendah) (Taylor,
2012). Bisa jadi kemiskinan turun namun tingkat ketimpangan dalam suatu
masyarakat meningkat. Ini terjadi ketika suatu perekonomian membaik sehingga
mampu membantu si miskin sedikit lebih kaya namun membuat si kaya semakin kaya.
Sebaliknya ketika perekonomian baru menurun, ketika pasar modal turun drastis,
bisa saja si miskin membaik tingkat pendapatannya, namun banyak pemodal kaya
yang mengalami kerugian dari transaksi di pasar modal, sehingga ketimpangan
malah membaik.
Masalah ketimpangan
ini dalam praktik sering memicu kecemburuan sosial dan kekerasan yang sering
terjadi berbagai daerah di Indonesia. Sumber daya alam yang melimpah di
Indonesia seyogyanya mampu memberikan kesejahteraan masyarakat jika regulasi
berpihak kepada rakyatnya. Namun, yang terjadi sebaliknya kesenjangan terjadi
di mana-mana. Misalnya, di daerah yang miskin dan APBD-nya rendah, para pejabat
dan kepala dinasnya mengendarai mobil-mobil mewah. Tak ketinggalan para
kontraktor sebagai mitra kerja Pemda juga ikut menampilkan gaya hidup mewah di
tengah kesulitan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Belum lagi
perusahaan-perusahaan yang mengeksploitasi alam secara besar-besaran di daerah,
masyarakat di sekitarnya hanya bisa menjadi penonton, mendorong mulculnya
kecemburuan sosial, dan terus memicu kesenjangan. Akibatnya masyarakat
mengalami frustrasi sosial yang berujung pada perbuatan kriminal atau kekerasan
lainnya (Sismosoemarto, 2012: 478-484).
Selain ketimpangan
dan kecemburuan sosial, kekerasan pada hakekatnya merupakan persoalan pemenuhan
kebutuhan dasar. Studi beberapa ekonom dan sosiolog dunia tentang kekerasan
lebih sering terjadi di negara-negara Afrika dan negara berkembang. Mereka
melakukan kekerasan karena frustrasi akibat akses lapangan kerja yang sangat
minim. Akibatnya, mereka tidak bisa mendapatkan pemenuhan kebutuhan untuk
kehidupan sehari-hari. Pada gilirannya kekerasan muncul ketika masyarakat tidak
tahu lagi ke mana dan bagaimana caranya memenuhi kebutuhan hidup bahkan untuk
yang paling mendasar sekalipun. Oleh karena itu, pemerintah harus melihat
kekerasan sebagai persoalan yang berdiri sendiri dan sesegera mungkin
mengatasinya. Bukan tidak mungkin
ketimpangan dan kemiskinan yang akan dibahas dalam makalah ini merupakan
faktor utama pemicu kekerasan dan tindak kriminal lainnya.
Kemiskinan
Absolut: Cakupan dan Ukuran
Sebagian
besar proyeksi menyatakan bahwa jumlah orang yang hidup dalam kemiskinan akan
meningkat selama dekade berjalan sebelum menurun selama sisa abad, dengan
harapan akan hilang selamanya dengan bergantinya abad. Hasil ini sangat
tergantung pada dua faktor: pertama, tingkat pertumbuhan ekonomi—dengan syarat
bahwa hal ini berjalan secara berkesinambungan—dan kedua, jumlah sumber daya
yang dialokasikan untuk program-program pengentasan kemiskinan dan kualitas
dari program-program tersebut. Pertumbuhan yang cepat dan berkesinambungan,
serta pengentasan kemiskinan yang terancang baik dan dilaksanakan tepat waktu
benar-benar dapat mengurangi kemiskinan absolut dengan lebih cepat; namun tanpa
kedua faktor ini, tujuan tersebut tidak akan tercapai sama sekali.
Pertumbuhan
dan Kemiskinan
Ada
beberapa pendapat mengenai pertumbuhan dan kemiskinan. Biasanya banyak yang
berpendapat bahwa pertumbuhan yang cepat berakibat buruk kepada kaum miskin,
karena mereka akan tergilas dan terpinggirkan oleh perubahan struktural
pertumbuhan modern. Disamping itu, terdapat pendapat yang santer terdengar di
kalangan pembuat kebijakan bahwa pengeluaran publik yang digunakan untuk
menanggulangi kemiskinan akan mengurangi dana yang dapat digunakan untuk
mempercepat pertumbuhan. Pendapat yang mengatakan bahwa konsentrasi penuh untuk
mengurangi kemiskinan akan memperlambat tingkat pertumbuhan sebanding dengan
argumen yang menyatakan bahwa derajat ketimpangan yang rendah akan mengalami
tingkat pertumbuhan yang juga lambat.
Hubungan
yang dekat antara pertumbuhan ekonomi dengan kemajuan yang terjadi diantara
golongan miskin tidak begitu saja mengindikasikan hubungan sebab akibat.
Sebagian dari kemajuan yang dinikmati golongan miskin dapat saja berasal dari
pendapatan, pendidikan, dan kesehatan yang lebih baik diantara golongan miskin
untuk mempercepat pertumbuhan secara menyeluruh. Lebih lanjut, pengurangan
kemiskinan mungkin tanpa pertumbuhan yang tinggi. Namun apapun sebabnya, yang
jelas pertumbuhan dan pengangguran kemiskinan merupakan dua tujuan yang bisa
dicapai secara bersamaan.
Karakteristik
Ekonomi Kelompok Masyarakat Miskin
Perpaduan
tingkat pendapatan perkapita yang rendah dan distribusi pendapatan yang sangat
tidak merata akan menghasilkan kemiskinan absolut yang parah. Jelas bahwa pada
tingkat distribusi pendapatan tertentu, semakin tinggi pendapatan perkapita yang ada, akan semakin
rendah jumlah kemiskinan absolut. Akan tetapi, tingginya tingkat pendapatan
perkapita tidak menjamin lebih randahnya tingkat kemiskinan absolut. Namun
penggambaran kemiskinan absolut secara garis besar saja tidaklah cukup. Sebelum kita memuaskan
program dan kebijakan-kebijakan yang efektif untuk memerangi sumber-sumber kemiskinan,
perlu pengetahuan yang lebih mendalam mengenai siapa yang termasuk dalam
kelompok miskin itu, dan apa saja karakteristik ekonomi mereka.
Kemiskinan
dan Pedesaan
Biasanya
penduduk miskin bertempat tinggal di
daerah-daerah pedesaan, dengan mata pencaharian pokok di bidang-bidang
pertanian dan kegiatan-kegiatan lainnya yang erat hubungannya dengan sektor
ekonomi tradisional, mereka kebanyakan wanita dan anka-anak daripada laki-laki
dewasa, dan mereka sering terkonsentrasi diantara kelompok etnis minoritas dan
penduduk pribumi.
Yang
menarik walaupun sebagian besar penduduk dengan kemiskinan absolut tinggal di
daerah pedesaan, bagian terbesar dari pengeluaran sebagian besar pemerintahan
negara berkembang selama seperempat abad terakhir justru lebih tercurah ke
daerah-daerah perkotaan dan berbagai sektor ekonominya yakni sektor-sektor
manufaktur modern dan komersial. Pengeluaran pemerintah yang berupa investasi
langsung kedalam sektor ekonomi yang
produktif atau pengeluaran di bidang pendidikan, kesehatan, perumahan, dan
pelayanan masyarakat, tercurah berat sebelah ke sektor modern di perkotaan.
Kaum Wanita dan
Kemiskinan
Mayoritas
penduduk miskin di dunia adalah kaum wanita.
Yang paling menderita dalam kemiskinan serta kekurangan adalah kaum
wanita dan anak-anak, mereka juga kekurangan gizi, dan mereka pula yang paling
sedikit memerima pelayanan kesehatan, air bersih, sanitasi, dan berbagai bentuk
jasa sosial lainnya. Banyaknya wanita yang menjadi kepala rumah tangga,
randahnya kesempatan menikmati pendidikan, pekerjaan yang layak di sektor
formal, berbagai tunjangan sosial, dan program-program penciptaan lapangan
kerja yang dilancarkan oleh pemerintah. Kenyataan ini turut mempersempit sumber-sumber
keuangan bagi mereka, sehingga posisi mereka secara finansial kurang stabil
apabila dibandingkan dengan pria.
Dari
keseluruhan propinsi persentase terbanyak yang bekerja di perkotaan rata-rata
semuanya masih didominasi oleh laki-laki yang bekerja, hal tersebut
mangindikasikan bahwa kesempatan kerja bagi wanita masih relatif kurang. Mari
kita bandingkan dengan persentase pekerja rumah tangga yang berada di pedesaan.
Berbeda
dengan di perkotaan, tenaga kerja yang bekerja di pedeaan antara laki-laki dan
perempuan cenderung perbedaan persentasenya tidak begitu signifikan di beberapa
daerah seperti di propinsi Nusa Tenggara Timur, Maluku Utara, Sumatera Barat,
dan lain sebagainya. Hal tersebut mangindikasikan bahwa peluang kerja di
pedesaan untuk perempuan besar sekali, oleh karena itu kaum perempuan tidak
mempunyai kesempatan yang besar untuk bekerja di perkotaan yang kemudian
mengalami kemiskinan.
Etnik
Minoritas, Penduduk Pribumi, dan Kemiskinan
Dari
berbagai penelitian, sebagian besar penduduk pribumi itu sangat miskin dan
mengalami malnutrisi, buta huruf, hidup dalam lingkungan kesehatan yang buruk,
serta menganggur.
Cakupan
Pilihan Kebijakan: Beberapa Pertimbangan dan Pilihan Kebijakan
Negara-negara
berkembang yang berkeinginan untuk mengentaskan kemiskinan serta menanggulangi
ketimpangan distribusi pendapatan haruslah mengetahui segenap pilihan cara yang
tersedia, dan memilih yang terbaik diantaranya, untuk mencapai tujuan-tujuan
tersebut.
Bidang-bidang
intervensi
Dapat diidentifikasi empat bidang luas
yang terbuka bagi intervensi kebijakan pemerintah yang memungkinkan, yang
masing-masingnya berkaitan erat dengan keempat elemen pokok yang merupakan
faktor penentu utama atas baik tidaknya kondisi-kondisi distribusi pendapatan
di negara-negara berkembang. Adapun keempat elemen tersebut adalah:
1. Mengubah
distribusi fungsional—tingkat hasil yang diterima dari faktor-faktor produksi
tenaga kerja, tanah, dan modal yang sangat dipengaruhi oleh harga dari
masing-masing faktor produksitersebut, tingkat pendayagunaannya, dan bagian
atau persentase dan pendapatan nasional yang diperoleh oleh para pemilik masing-masing
faktor produksi.
2. Memeratakan
distribusi ukuran—distribusi pendapatan fungsional dari suatu perekonomian yang
dinyatakan sebagai distribusi ukuran, yang disandarkan pada kepemilikan dan
penguasaan atas aset produktif serta keterampilan sumber daya manusia yang
terpusat dan tersebar ke segenap lapisan masyarakat. Distribusi kepemilikan
aset dan keterampilan tersebut pada akhirnya akan menentukan merata atau
tidaknya distribusi pendapatan secara perorangan.
3. Meratakan
(mengurangi) distribusi ukuran golongan penduduk berpenghasilan tinggi melalui
pemberlakuan pajak progresif terhadap pendapatan dan kekayaan pribadi mereka.
4. Meratakan
(meningkatkan) distribusi ukuran golongan penduduk berpenghasilan rendah,
melalui pengeluaran publik yang dananya bersumber dari pajak untuk meningkatkan
pendapatan kaum miskin secara langsung maupun tidak langsung
Kesimpulan
Masalah kemiskinan dan
kesenjangan sosial merupakan masalah yang sangat penting untuk dicermati dalam
tatanan masyarakat yang beradab. Secara normatif hal tentang penghapusan ihwal
kemiskinan dan kesenjangan adalah termasuk hal yang harus dicermati dalam
perencanaan pembangunan Ekonomi.
Sebelum mengambil
kebijakan, terlebih dahulu pengambil kebijakan harus mengetahui bagaimana
kondisi kemiskinan dan kesenjangan terjadi di dalam wilayahnya. Salah satunya
yaitu dengan cara mengidentifikasi kedua hal tersebut dengan metode statistik
pengukur kesenjangan; yakni menggunakan metode statistik kuantil, desil, kurva
lorenz, gini, dan lainnya. Juga dalam mengukur kemiskinan, terdapat metode
berupa penghitungan pendapatan, kemiskinan absolut, dan yang lain.
Metode penghitungan
kemiskinan dalam perkembangannya juga mengalami banyak penyempurnaan dalam
teorinya. Hal ini karena masalah tentang kemiskinan juga ternyata melibatkan
banyak aspek yang multidimensional.
Selain itu juga masalah
kemiskinan dihadapkan dengan karakteristiknya yang spesifik pada berbagai jenis
masyarakat, seperti masyarakat desa, kota, ataupun golongan gender wanita.
Dalam jenis-jenis masyarakat yang berbeda, kemiskinan dapat ditafsirkan sesuai
konteks sosial yang dihadapi.
Dalam strategi pembangunan, diperlukan strategi
pertumbuhan yang inklusif. Inklusif berarti bahwa "trickle down
effect" dari pertumbuhan juga harus dapat dinikmati oleh mereka yang
berada dalam golongan income rendah. Dengan strategi itu diharapkan kemiskinan
dan kesenjangan bisa dihilangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar