PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Lanjut usia merupakan istilah tahap akhir dari siklus kehidupan. Dalam
mendefinisikan batasan penduduk lanjut usia, menurut Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional ada tiga aspek yang perlu dipertimbangkan yaitu aspek
biologi, aspek ekonomi dan aspek sosial (BKKBN 1998). Secara biologis penduduk
lanjut usia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus menerus,
yang ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin rentannya
terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan
dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ.
Dalam masa
tersebut, orang tua biasanya akan disebut lansia (lanjut usia) kehidupan dari
lansia pasti akan jauh berbeda dengan masa-masa lain yang sebelumnya pernah
mereka jalani. Lansia mengalami banyak perubahan dalam kehidupannya. Usia yang
sudah tidak muda lagi menyebabkan kesehatan mereka menurun drastis. Kondisi
fisik yang sudah tidak sesehat dan sekuat ketika masih muda dahulu membuat
aktifitas mereka sehari-hari menjadi berubah sehingga mereka butuh orang lain untuk
mengurusnya. Interaksi yang dilakukan dengan orang-orang di sekitarnya juga
sudah tidak sebebas sebelumnya. Posisi-posisi mereka dalam sebuah pekerjaan
harus digantikan dengan orang lain yang usianya lebih muda, karena proses
regenerasi harus dijalankan.
Siklus
kehidupan seseorang dimulai ketika masa bayi ketika ia masih memerlukan orang
lain untuk memenuhi kebutuhan segari-harinya, kemudian tumbuh menjadi masa
kanak-kanak di masa ini seseorang individu sudah mulai meniru apa yang
dilakukan orang lain, kemudian masa remaja, awal kedewasaan, dewasa,
pertengahan umur, lanjut usia, dan umur tua. Dalam
proses penuaan terdapat tiga dimensi utama yaitu penuaan secara fisik, sosial,
dan psikis. Ciri-ciri penuaan fisik seperti yang dikemukakan oleh Kart diantaranya
adalah kulit menjadi keriput dan kasar, tubuh membungkuk, dan daya tanggap
melemah. Sementara itu, secara social adalah berubahnya peran seseorang dikarenakan usia
yang semakin lanjut berubahnya usia seseorang secara
berangsur–angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya. Dalam aspek
psikis berarti menurunnya kemampuan adapatasi seseorang terhadap
lingkngannya dan melemahnya kemampuan daya ingat, belajar, dan berpikir
seseorang.
Seperti yang diungkapkan oleh Cassel dan Cobb, dukungan
sosial (social support) dalam suatu
kehidupan masyarakat dapat menunjang organisme dengan jalan mempromosikan adaptasi organisme
terhadap pengaruh stress psikososial serta ancaman lain terhadap kesehatan. Dengan kata lain, bukan hanya lingkungan fisik yang mempengaruhi kondisi
kesehatan tapi juga lingkungan sosial yang dapat mempengaruhi kesehatan
individu, dalam hal ini yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah lansia. Oleh
karena itu, makalah ini akan berusaha menggambarkan kondisi lingkungan sosial yang digolongkan dalam aspek partisipasi
sosial, relasi sosial dan akses pelayanan kesehatan dalam pengaruhnya dengan
kesehatan lansia.
Pertanyaan
Penelitian
Bagaimana
hubungan antara lingkungan sosial (organisasi sosial, relasi sosial, dan akses
pelayanan kesehatan) terhadap kondisi kesehatan lansia.
Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara lingkungan sosial (organisasi sosial, relasi sosial, dan akses
pelayanan kesehatan) terhadap kondisi kesehatan lansia.
KERANGKA TEORI
Negara mengakui penduduk lansia (lanjut usia) dalam
peraturan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia,
sebagai “seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun keatas.” Sedangkan kesehatan mengacu pada “keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan
sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan
ekonomis.” Maka dari itu, lansia yang berusia 60 tahun
ke atas dianggap sehat jika keadaannya sejahtera, dalam arti ia mampu berperan
produktif secara sosial dan ekonomis.
Menurut Kamanto Sunarto, kondisi seorang
individu—termasuk kondisi kesehatannya—sangat dipengaruhi oleh lingkungannya,
yaitu lingkungan sosial ataupun lingkungan fisik. Konsep lingkungan sosial itu
sendiri mengacu pada kualitas hubungan dan interaksi sosial sehari-hari dengan
orang lain di sekitarnya. Artinya, jika hubungan dan interaksi sosial dengan orang sekitar menyenangkan,
hal itu dapat menunjang kesehatan. Sebaliknya jika tidak menyenangkan, maka
dapat membuat individu tersebut sakit. Begitu pula dengan lansia, lingkungan
sosial pun menjadi salah satu faktor yang menentukan kondisi kesehatan lansia.
Menurut Wolinsky,[8]
salah satu pendekatan yang digunakan untuk melihat proses penuaan adalah Teori
Pelepasan (The Disengagement Theory
Approach), yang dicetuskan pertama oleh Cumming. Pendekatan ini menjelaskan
bahwa ketika seorang individu melalui proses “normal aging” atau penuaan secara
normal, maka individu tersebut serta individu lain dalam sistem sosial yang
sama saling mundur atau melepaskan diri dari hubungan dengan satu sama
lain. Siapapun yang berinisiatif, proses
pelepasan ini akan berakibat pada dua hal, yaitu (1) antara individu yang menua
dengan individu lain semakin berjarak, dan (2) terdapat perubahan hubungan
solidaritas antar individu tersebut, bukan berdasarkan perannya masing-masing,
melainkan berdasarkan keterikatan perasaan atau emosi.
Dalam poin kedua, seorang individu yang masih dalam
tahap dewasa menjalankan solidaritas organik, kemudian setelah menjadi tua, ia
berubah menjadi solidaritas mekanik.
Sebab, seperti yang dijelaskan oleh Durkheim,
solidaritas organik merupakan solidaritas yang terjadi dalam masyarakat
industri dan perkotaan, dimana masyarakat menjadi semakin kompleks sehingga
terbentuklah pembagian kerja. Tetapi, pembagian
kerja mengakibatkan spesialisasi, sehingga antara satu individu dengan individu
lain memiliki ketergantungan yang tinggi, namun cenderung individualistis dan
tidak menekankan pada kesadaran kolektif.
Sedangkan untuk solidaritas mekanik, yang mengacu pada masyarakat di
pra-industri dan pedesaan, masyarakat tersebut cenderung menekankan pada
kesadaran kolektif (collective conscience)
sehingga terdapat tekanan yang besar untuk tercapainya konformitas dalam
masyarakat.
Dalam kasus lansia, individu yang berusia 60 ke atas ini
memang dalam tahapan “likely to die soon”,
dalam arti mereka diberi label sebagai orang yang tidak lama lagi akan
meninggal dunia. Saat mereka masih muda, mereka berada dalam kondisi
solidaritas organik sebab mereka masih dalam tahapan produktif, dan sangat
dibutuhkan dalam sistem sosialnya karena spesialisasinya itu. Tetapi, setelah
mencapai usia 60 ke atas, mereka harus terlepas dari sistem sosial dan
melepaskan spesialisasinya agar jika suatu saat mereka meninggal dunia, mereka
tidak akan mengganggu keseimbangan sistem sosial tersebut, walaupun akan
terdapat kesadaran kolektif yang memungkinkan orang sekitarnya untuk bersedih
saat kematiannya. Maka dari itu, untuk
menghindari gangguan terhadap sistem sosial, individu yang menua itu harus
perlahan-lahan terlepas (disengage)
dari perannya sehingga sistem sosial dapat bertahan.
Teori ini termasuk sebagai teori fungsionalis, dimana
penuaan dan kematian dianggap sebagai masalah terhadap sistem sosial, sehingga
harus dihindari dengan melepaskan individu tua itu dari peran-peran sosial yang
penting, disebutnya sebagai “saving” the
social system. Ini bukan hanya menguntungkan sistem sosial, tetapi juga menguntungkan
individu tua itu sendiri. Semakin banyak
peran sosial yang dilepasnya, semakin besar kebebasannya dari masyarakat dan
semakin sedikit tanggung jawab dan ekspektasi yang dituntut darinya. Sehingga, ia melepaskan peran-peran lain
kecuali satu peran tertentu yang berorientasi pada dirinya sendiri dan sebagai
kesibukan dalam sisa hidupnya. Maka dari
itu, pendekatan ini menegaskan bahwa jika individu tua semakin terlepas dari
masyarakat, ini merupakan hal yang wajar, tidak dapat dihindarkan, dan sangat
dibutuhkan untuk mencapai successful
aging.
DESKRIPSI DAN ANALISA
Penulis menggolongkan analisa
data informan ke dalam 2 bagian, pertama informan
yang berada dalam lingkungan sosial yang menunjang kondisi kesehatan berdampak
pada kondisi kesehatan lansia yang baik dan kedua
informan yang tinggal di lingkungan sosial yang kurang menunjang kondisi kesehatan
dan dampaknya pada kondisi kesehatan lansia yang kurang baik. Hal ini
dimaksudkan untuk mengetahui perbedaan lingkungan sosial yang menunjang kondisi
kesehatan (proses disengagement pada
lansia cenderung tidak sempurna) dan yang tidak atau kurang menunjang kondisi
kesehatan (terjadi proses disengagement
scara semurna pada lansia) serta dampaknya pada kondisi kesehatan dan usaha
lansia untuk tetap menjadi sehat.[12]
A. Lingkungan
sosial baik, kesehatan lansia juga baik
Informan pertama berinisial N3 berumur 65
tahun memiliki ciri penuaan diantaranya terlihat dari kulit keriput, kondisi
fisik serta daya ingat yang makin lemah, dan lain sebagainya.[13]
Aspek perilaku yang berhubungan dengan relasi maupun partisipasi sosialnya
mengkondisikan N3 masih memiliki ikatan dari lingkungan sosialnya. Beberapa kegiaan yaitu hingga saat ini N3 masih aktif mengikuti berbagai macam kegiatan seperti pengajian, arisan,
senam lansia yang baru-baru ini di adakan di sekitar rumahnya. Sewaktu muda, N3
aktif melakukan berbagai macam kegiatan
yang dapat menantang adrenalinnya, seperti beremain ke Dufan. N3 selalu meluangkan waktunya dua kali seminggu
untuk dapat mengikuti senam lansia. Untuk tetap menjaga kesehatannya, N3 berusaha makan sayuran dan lauk dan menghindari
makan makanan yang mengandung vetsin.
Saat ini N3
tinggal bersama suaminya dan masih sering berkumpul bersama cucu dan keluarga
sehingga dapat dikatakan tidak pernah merasa bosan menjalani hari tuanya saat
ini. N3 juga tidak pernah merasa
lelah atau sendirian karena selalu ditemani cucu perempuannya yang tinggal
tidak jauh dari rumahnya yang hampir setiap hari bermain ke rumah N3. Menurut informan, kondisi rumah miliknya telah
termasuk rumah sehat karena air selalu lancar (PAM), masalah sampah tidak
menjadi masalah karena setiap harinya ada petugas pengangkut sampah sehingga
menurutnya hal itu pula yang membuatnya jarang sakit. Kegiatan yang khusus
untuk lansia di sekitar rumah adalah senam lansia yang biasanya juga terdapat
perlombaan senam lansia.
Akses terhadap layanan kesehatan informan ini
cukup baik, tergambar dari adanya RS di sekitar tempat tinggal informan. Dulu
pernah ada organisasi pemerintahan/LSM didaerah tempat tinggal yang mengadakan
kegiatan-kegiatan seperti sosialiasi kesehatan orang tua, pengecekan kesehatan
lansia secara rutin, jaminan kesehatan, berobat gratis. Selain itu juga ada
kemudahan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari pemerintah tingkat desa/RT
ditempat tinggal, misalnya terdapat pelayanan kesehatan gratis yang dilakukan
oleh RT dengan syarat administrasi yang telah ditentukan (syarat golongan
keluarga miskin). Untuk besar pendapatan yang dialokasikan/dihabiskan untuk
pelayanan kesehatan tidak diketahui secara pasti karena semua yang mengurusi
adalah anak- anaknya.
Bertolak dari kondisi tersebut maka N3
diktegorikan sebagai lansia dimana ciri-ciri penuaan terlihat secara jelas
dalam aspek fisik maupun psikis. N3 dari sisi relasi sosial, partisipasi
sosial, dan akses pelayanan kesehatan diidentifikasi mengalami disengagement secara tidak sempurna. Terbukti
dengan kondisi kesehatan informan ini yang walaupun mengalami sakit serius
yaitu kanker namun masih baik kondisi psikologisnya karena relasi dan
partisipasi sosialnya yang masih baik.
Informan kedua yang
masuk kategori ini berinisial K2, berjenis kelamin laki-laki dan berumur 60
tahun. Informan telah memiliki ciri-ciri penuaan fisik dapat dilihat dari
beberapa hal seperti kulit keriput dan kasar, gerak tubuh melemah, daya ingat
serta kemampuan menghapal melemah. Relasi sosial informan masih tinggi, dilihat
dari hubungannya dengan keluarganya yang masih erat serta dengan tetangga
sekitar cukup sering untuk berkumpul. Bahkan informan masih sering berkumpul
dengan rekan-rekannya sesama lansia di toko jahitnya untuk sekedar bercengkrama
dan saling berbagi cerita. Lingkungan sosialnya cukup baik karena mudah
untuk mengakses layanan kesehatan,
dilihat dari daerah tempat tinggalnya
banyak terdapat tempat pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas,
klinik, dan praktek dokter. Menurut informan para lansia di daerahnya
memperoleh layanan pengecekan kesehatan gratis dari Pemerintah Depok setiap dua
bulan sekali. Namun partisipasinya terhadap akses layanan kesehatan masih
rendah, dalam satu tahun saja informan mengaku kalau hanya sekali pergi ke
dokter untuk memeriksakan kesehatannya, itupun jika ia sedang sakit. Apabila ia
sedang terkena penyakit ringan seperti demam, batuk, atau pilek hanya diatasi
dengan mengkonsumsi obat-obatan yang biasa dibeli di warung.
Saat masih berusia kurang dari
40 tahun informan aktif dalam kegiatan organisasi, salah satunya adalah menjadi
anggota partai politik Golkar. Selain itu juga sempat menjadi ketua RT di
daerah tempat tinggalnya. Namun saat ini karena sudah merasa tua dan tidak memiliki
kebugaran fisik seperti saat muda, informan tidak ikut berpartisipasi dalam
kegiatan-kegiatan sosial di lingkungan sekitarnya. Ia lebih memilih melanjutkan
pekerjaannya sebagai penjahit, disamping untuk memenuhi kebutuhan ekonomi istri
dan anak bungsunya juga untuk mengisi waktu luangnya. Secara psikis informan
masih memiliki harapan hidup cukup besar karena ia berharap dapat melihat
anak-anaknya sukses.
Kondisi kesehatan informan
dikategorikan tinggi karena beliau jarang mengalami sakit secara serius, sakit
yang dikeluhkannya adalah kemampuan matanya yang makin melemah. Dengan kondisi
informan K2 SDB saat ini dapat dilihat bahwa ia tidak terlalu terlepas dari
lingkungan sosialnya atau mengalami disengagement
tidak sempurna. Hal ini dapat dilihat
dari relasi sosialnya yang tinggi namun partisipasi sosialnya rendah, aspek
lingkungan sosial juga tinggi namun akses personalnya terhadap pelayanan
kesehatan masih rendah, serta aspek psikologi sedang, semua aspek tersebut pada
akhirnya telah memberikan pengaruh terhadap kondisi kesehatan informan karena
terbukti informan merasa belum memiliki penyakit serius dengan kata lain masih
merasa sehat dan bisa menjalani profesinya.
Informan ketiga
berinisial K3 berjenis kelamin laki-laki dan berusia 64 tahun. Informan ini
masih memiliki ciri fisik yang sehat dan bugar serta penuaan fisiknya hampir
tidak terlihat. Meskipun kulitnya sudah mulai mengeriput dan daya ingatnya
melemah, namun gerak tubuhnya tidak melemah bahkan masih mampu bermain
badminton secara rutin dua kali seminggu. Relasi sosial informan masih tinggi,
dapat dilihat dari rutinitasnya mengikuti olahraga bermain badminton setiap weekend bersama bapak-bapak di
lingkungan komplek tempat tinggal beliau. Selain itu informan masih menjalani
aktivitas sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi di Jakarta. Sedangkan
partisipasi sosial rendah karena informan tidak pernah mengikuti kegiatan
organisasi di daerah tempat tinggalnya. Lingkungan sosial informan baik karena
masih dekat dengan keluarganya, di rumahnya dihuni oleh istri, anak-anak, serta
cucunya sehingga ia tidak pernah merasa kesepian dan selalu terhibur dengan
kehadiran mereka. Akses pelayanan kesehatan secara personal juga tinggi karena
informan memiliki penghasilan yang cukup tinggi dan cukup untuk membiayai
kesehatan dan pengobatan dirinya apabila sakit.
Selain itu secara psikis informan juga masih memiliki harapan hidup yang
tinggi karena tidak terlalu merasa lelah dengan kondisi sirinya sebagai lansia
saat ini. Informan juga memiliki harapan di masa mendatang untuk melihat
anak-anaknya sukses.
Sesuai dengan penggambaran di
atas, penulis meyimpulkan bahwa informan ini mengalami disengagement tidak sempurna. Relasi sosial informan masih sangat
baik dilihat dari aktivitas dan interaksinya sehati-hari baik dengan keluarga
maupun teman-temannya. Akses pelayanan juga cukup maksimal namun hanya dari
sisi personal, karena lingkungan sosial tidak memberi pelayanan kesehatan yang memadai.
Hanya aspek partisipasi yang tidak dimiliki informan ini karena memang di lingkungannya
tidak terdapat kegiatan/organisasi yang dikhususkan untuk lansia. Dilihat dari
masih adanya 2 aspek lingkungan sosial yang cukup baik yang dimiliki informan,
maka informan hanya mengalami disengagement
tidak sempurna terbukti pula dengan kondisi kesehatan lansia yang masih
sangat baik.
B. Lingkungan
sosial buruk, kesehatan lansia juga buruk
Informan pertama yang masuk dalam kategori ini adalah N1 yang berjenis
kelamin perempuan dan berusia 67 tahun. Informan telah mengalami proses penuaan
fisik yang signifikan dengan beberapa cirinya adalah kulit keriput dan kasar,
daya ingat melemah, dan sistem pencernaan yang memburuk. Saat masih berusia
kurang dari 40 tahun, informan aktif dalam beberapa kegiatan masyarakat seperti
PKK dan Majelis Pengajian Desa, namun karena alasan usia dan kesehatan, saat
ini informan sudah tidak lagi berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan sosial
yang ada di lingkungan sekitarnya dan karena di sekitar tempat tinggal informan
juga tidak terdapat organisasi atau kegiatan yang ditujukan khusus bagi lansia.
Berjarak sekitar 20 meter dari rumah informan terdapat puskesmas namun menurut
pengakuan informan, tidak terdapat sosialisasi layanan kesehatan bagi lansia
dari pengurus daerah setempat maupun pihak-pihak lainnya seperti LSM. Informan
sendiri lebih memilih berobat ke dokter yang berjarak sekitar 5 km dari tempat
tinggalnya. Hal ini disebabkan penyakit-penyakit ‘tua‘ yang sudah cukup serius
dirasakannya, seperti darah tinggi, sering kali demam dan sesak napas. Setiap
bulannya, informan mengalokasikan dana sekitar 500-750 ribu untuk berobat dari
hasil sewa tanah garapan yang dimilikinya. Informan sendiri merasa sudah pasrah
dengan kehidupannya saat ini, beliau terkadang merasa lelah dengan kegiatan
sehari-hari karena sudah tidak memiliki kegiatan rutin dan hanya berharap
dirinya tidak merepotkan orang lain.
Dilihat dari relasi sosial, partisipasi sosial, dan akses
terhadap layanan kesehatan, informan ini telah mengalami proses disengagement tidak sempurna. Hal ini disebabkan relasi sosial
informan yang tinggal bersama kedua anak laki-laki dan satu orang cucunya walau
masih cukup baik namun informan merasa perhatian yang diberikan kurang begitu
maksimal. Buktinya informan lebih memilih anak perempuannya yang justru tidak
tinggal bersama dalam rumah itu untuk bertukar pikiran dan bercerita saat
informan memiliki masalah. Kondisi kesehatan informan walau memiliki penyakit
serius namun karena aspek layanan kesehetan terpenuhi dengan baik maka informan
ini dikategorikan mengalami disengagement
tidak sempurna.
Informan kedua adalah N2 yang berusia 68 tahun. Seperti informan N1,
informan ini juga telah memiliki ciri-ciri fisik signifikan sebagai orang yang
berusia lanjut. Untuk berjalan pun informan hanya bisa berjalan pelan-pelan
itupun dengan dipapah sehingga sudah tidak dapat lagi berjalan jauh. Relasi
sosial informan terbatas hanya dengan keluarga inti, dengan tetangga sekitar
sudah jarang berinteraksi karena keterbatasan yang dimiliki oleh informan.
Dengan keluarga inti pun informan sudah jarang bertukar pikiran, kalaupun ingin
menceritakan suatu masalah, informan lebih memilih bercerita pada cucunya
karena informan tinggal bersama suami, 5 orang anak, dan cucu-cucunya dalam
rumah yang dalam pandangan informan kecil dan tidak memiliki banyak ventilasi.
Di daerah sekitar tempat tinggal sebenarnya terdapat pengajian untuk ibu-ibu
termasuk yang sudah lanjut usia namun kembali karena alasan kondisi fisiknya
saat ini, informan tidak dapat berpartisipasi dalam pengajian tersebut, tidak
seperti saat informan masih sehat.
Di Kelurahan tempat informan tinggal terdapat puskesmas,
namun informan tidak pernah ke puskesmas karena menurutnya bukanlah tempat yang
tepat untuk mengobati penyakit yang ia derita. Mungkin bisa saja meminta
bantuan puskesmas, terutama dalam pembayaran pelayanan kesehatan, hanya
informan enggan karena khawatir prosesnya akan sulit dan berbelit-belit. Dengan
alasan biaya, informan juga tidak mau berobat ke rumah sakit sehingga saat ini
ia hanya minum obat/pil yang ia dapatkan di warung dan memijat kakiknya sendiri
sambil dioleskan dengan balsam. Informan pernah mencoba pengobatan alternatif
yaitu dari tukang pijat yang rutin dapang ke rumah informan setiap satu minggu
sekali namun belakangan tukang pijat itu tidak pernah datang lagi ke rumahnya,
informan tidak mengetahui apa alasannya.
Menurut informan, di daerahnya tidak ada layanan atau
informasi khusus mengenai lansia yang diberikan oleh pengurus setempat.
Informan pun sudah pasrah dengan kondisinya bahkan dalam wawancara dengan
penulis, informan berkali-kali mengatakan ‘tinggal menunggu waktu saja‘ (waktu
untuk dipanggil Tuhan). Dilihat dari relasi sosial, partisipasi sosial, dan
akses terhadap layanan kesehatan yang dimiliki oleh informan ini, sudah sangat
jelas informan mengalami proses disengagement
sempurna baik oleh keluarga inti dan lingkungan sosialnya sehingga kondisi
kesehatannya menjadi kurang baik. Relasi dan partisipasi sosial yang kurang
menyebabkan informan tidak memiliki jaringan untuk mendukung kesehatan informa.
Ditambah dengan akses pelayanan kesehatan dan kemampuan personal yang sangat
kurang, memperburuk pula kapasitas informan untuk mendapat akses pelayanan
kesehatan.
Informan
ketiga berinisial K1 yang
berusia 70 tahun adalah seorang lansia produktif karena masih berprofesi
sebagai tukang koran keliling di stasuin Depok Baru. Masih sama seperti kedua
informan sebelumnya, informan K1 AI ini juga telah memiliki ciri-ciri yang
signifikan dari lansia, terutama kulitnya yang keriput dan posturnya yang agak
bungkuk. Relasi sosial informan terutama terjalin dengan keluarga namun itupun
hanya saat malam hari dimana informan sudah pulang bekerja. Di sekitar tempat
tinggal informan tidak ada organisasi yang dikhususkan untuk lansia, sebenarnya
ada pengajian namun itu hanya untuk kaum perempuan. Para pengurus daerah
setempat pun dirasa tidak terlalu memperhatikan lansia karena tidak pernah ada
informasi atau pelayanan kesehatan untuk lansia. Namun, untuk urusan keamanan
di wilayah setempat meningkat karena Ketua RTnya saat ini adalah seorang
polisi. Informan sering kali merasa lelah karena pekerjaannya. Untuk
mengatasinya informan mengonsumsi ‘Revagan‘, sejenis obat untuk menjaga daya
tahan tubuh. Uang sejumlah 10-12 ribu -dari penghasilannya sekitar 30 ribu
perhari- informan alokasikan setiap 3 hari sekali untuk membeli obat termasuk
obat maag yang seringkali juga dikonsumsi informan karena informan juga
menderita maag akut.
Secara psikologis sendiri, walau
informan pernah merasa bosan dengan kehidupannya satat ini, informan mengaku
masih optimis dengan kehidupannya ke depan. Agar lebih terjamin kesehatannya,
informan mengaku sangat ingin mengikuti program asuransi kesehatan. Dengan
kondisi informan K1 AI ini, informan pada dasarnya sudah cukup terlepas dari
lingkungan sosialnya atau dengan kata lain mengalami disengagement tidak sempurna karena walaupun relasi sosial,
partisipasi sosial, dan akses layanan kesehatan informan terbatas namun
informan masih memiliki kegiatan rutin sehari-hari yang menghasilkan uang dan
secara psikologis juga cukup sehat karena informan ini memiliki sikap optimis
dalam menjalani kehidupan dan pada akhirnya mendukung kesehatan sosial informan
setidaknya secara psikologis.
KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan di atas
maka dapat disimpulkan bahwa lingkungan sosial memiliki pengaruh terhadap kondisi
kesehatan lansia. Apabila keadaan lingkungan sosialnya baik maka kondisi
kesehatan dari lansia pun akan cenderung baik, dan sebaliknya ketika keadaan
lingkungan sosial tidak baik maka kondisi kesehatan lansia pun tidak baik.
Lingkungan sosial sendiri yang dimaksud dilihat dari tiga aspek, yaitu
partisipasi sosial, relasi sosial, dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Hubungan
pengaruh antara lingkungan sosial dengan kesehatan ini berdasarkan atas proses disengagement, yaitu proses di mana
terlepasnya lansia dari sistem sosial.
Dari hasil penelitian ini
terlihat bahwa hubungan tersebut terbagi menjadi dua kategori, yaitu disengagement tidak sempurna dan disengagement
sempurna. Disengagement tidak sempurna ditandai dengan satu atau kedua atau
ketiga aspek dari lingkungan sosial tersebut memiliki keadaan yang baik bagi
lansia. Artinya apabila pertama partisipasi sosial informan berjalan baik,
yaitu dengan informan yang masih aktif di dalam berbagai kegiatan organisasi
masyarakat. Kemudian, relasi sosial dan partisipasi sosial informan berjalan
baik, yaitu informan masih dapat menjalin relasi sosial dengan baik dan masih
bisa berpartisipasi di lingkungan sosial, misalnya dengan keluarga, tetangga,
dan kegiatan disekitar tempat tinggal. Terakhir, akses terhadap pelayanan
kesehatan yang diusahakan secara pribadi maupun yang ditunjang oleh pihak luar
didaerah tempat tinggal informan secara baik, yaitu apabila informan sakit,
maka informan akan mendapatkan pengobatan bagi penyakitnya.
Sedangkan disengegament
sempurna merupakan proses terlepasnya sistem sosial dari seseorang secara utuh.
Hal ini dapat digambarkan dengan relasi sosial, partisipasi dari seorang lansia
yang sudah tidak berjalan dengan baik lagi, misalnya karena informan yang
memiliki keterbatasan fisik sehingga ia tidak dapat menjalankan kedua hal
tersebut dengan baik. Selain relasi dan partisipasi sosial yang kurang baik,
disengegament sempurna ini juga karena akses pelayanan kesehatan yang tidak
memadai. Ketika seorang informan atau lansia yang sudah mengalami sakit, tetapi
ia tidak medapatkan pengobatan yang maksimal terhadap penyakitnya.
DAFTAR PUSTAKA
Sunarto, Kamanto. 2001. Sosiologi Kesehatan. Jakarta: Pusat Penerbitan
Universitas Terbuka.
Turner, Jonathan H. 1998. The
Structure of Sociological Theory. Sixth Edition. U.S.A : Wadsworth
Publishing Company.
Wolinsky, Fredric D. 1980. The
Sociology of Health: Principles, Professions, and Issues. Boston: Little,
Brown and Company.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar