Selasa, 06 November 2012

Saatnya Gerakan Mahasiswa Angkat Pena


Apa yang anda lakukan manakala aksi turun ke jalan, tak begitu mendapatkan tanggapan dari pemerintah? Adakah cara lain dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat itu? Kedua petanyaan itu patut kita ajukan, karena setiap perbuatan yang sudak kita anggap rutin, biasanay tak memberikan efek apa-apa. Malah kita terbiasa dengan pola tersebut.
Begitu pula dengan pemerintah. Maraknya aksi yang dilakukan oleh pelbagai gerakan mahasiswa tak membuat pengausa menjadi takut lagi dengan kedatangan kaum pelajar itu, terkadang para pejabat memandang sebelah mata terhadap segala bentuk tuntutan yang di lontarkan oleh generasi muda. Apalagi acapkali kita sering menemukan prilaku ganjil yang dilakuakan oleh sebagian gerakan mahasiswa demi nyambung hidup. Mulai dari melakuakn pengselingkuhan, bulan-madu dengan para penguasa, kepanjang tanganan kepentingan elit politik tertentu, broker, sampai menjadi makelar demontrasi. Sudah tentu, dengan tarif yang sangat tinggi bagi Orator, Korlap (Komando Lapangan), Danlap (Komandan Lapangan), Mobilisasai Massa. Sungguh kekeuatan sebagai pendobrak kemapanan itu dengan sendirinya agak lembek, bahkan nyaris hilang entah kemana!. Adakah yang salah dengan aksi protes yang dikomandoi oleh gerakan mahasiswa itu?
Padahal, dalam pelbagai lintasan sejarah, dapat disimpulkan bahwa ada dua model umum bagi kaum muda dalam menyampaikan kritiknya. Pertama, Melalui gerakan aksi turun ke jalan. Bentuk gerakan ini, mulai dari demonstrasi, mimbar bebas, sampai pada aksi berbaris massal mendatangi sejumlah intansi yang diperkirakan dapat menyelesaikan persolan yang dikeluhkan olah kaum pelajar. Meskupun, gerakan aksi turun ke jalan ini sering dikatakan oleh kalangan birokrat sebagai gerakan ekstra-parlementer. Cap semacam ini, sesungguhnya mencarmikan carut-marutnya keadaan politik bangsa Indonesia. Artinya, kritik-kritik dalam bingkai parlementer sudah terasa mandul, sehingga perlu ada gerakan-gerakan di luar parlementer guna menyuarakan aspirasi masyarakat.
Kedua, Gerakan Intelektual. Gerakan ini biasanya dilakukan oleh generasi muda melaui pelbagai kajian, diskusi, talk sow, seminar sehari, dan pertemuan ilmiah, baik di dalam maupun luar kampus. Namun, kegiatan itu, dinilai oleh sebagai mahasiswa gerakan lamban dan tak begitu membuahkan hasil yang memuaskan.
Nyatanya, tradisi turun ke jalan kerapkali menjadi pemandangan yang sering kita jumpai di berbadai media, baik media elektronik maupun cetak. Alih-alih heroisme perjuangan tanpa pamrih, kesadaran kolektifitas, tetesan darah dan air mata pun menajdi melekt di jiwa generasi bangsa.
Maraknya gelombang kritik mahasiswa terhadap penguasa zalim, membuat Hariman Siregar, tokoh Malari (1998;215-216) angkat bicara, Ia menjelaskan sebetulnya aksi protes tersebut tak mengikuti hukum perubahan sosial. Sebab mereka bukan gerakan revolusioner untuk mengubah tatan sosial dalam sekejap. Namun, hanya gerakan yang menyuarakan nurani rakyat dan bersifat normatif. Kalau kita lihat isu-isu yang dilontarkan mahasiswa sejak dulu selalu bersifat normatif; korupsi, keadilan, hukum, pemerataan, kesewenag-wenangan dan sebagainya.
Aksi protes mahasiswa sebetulnya tak perlu ditakuti, sebab tak akan meruntuhkan strutur. Kecuali kalau pemerintah merasa takut terhadap aksi protes mahasiswa; tegakanlah keadilan, berantas korupsi, kembaikan hak rakyat, ciptakan pemerataan, hilangkan kebiasaaan kongkalingkong dengan penguas dan jalankan demokrasi yang benar. Aksi mahasiswa tak bisa diredam dengan undang-undang, tindakan persuasif maupun refresif. Selama masih ada ketidak adilan, korupsi, penindasan hak asasi, otoriterian, aksi protes dari mahasowa maupun rakyat akan selalu bermuncul kendati dalam bentuk yang berbeda-beda.

Mahasiswa sebagai Gerakan Sosial
Dari waktu ke waktu, gerakan mahasiswa memang terpatri dalam lintasan sejarah, dengan menjungjung tinggi nilai-nilali kemanusiaan. Mereka berontak guna melawan rezim yang timpang di belahan bumi nusantara. Tak peduli, siapa yang melakukan ketidakadilan itu, yang pasti musuh mahasiswa. Lantas, muncul sederetan pertanyaan; sebenarnya gerakan mahasiswa itu berperan sebagai apa? Gerakan politik, moral atau sosial? Atau hanya berkutat di ranah pendobrak semata?
Keberhasilan gerakan mahasisawa, bisa kita ukur dari seberapa banyak pengarahan ide-ide sosial daripada kepentingan politik. Pandangan ini diamini oleh Denny JA, (Kompas 10/09/1989) setidaknya ada tiga pandangan mengenai gerakan ini. Pertama, Gerakan sosial itu, dilahairakan oleh kondisi yang memberikan kesempatan (politicl opportunity) bagi gerakan itu sendiri. Pemerintah moderat, misalnya memberikan kesempatan yang lebih besar bagi timbulnya gerakan sosial ketimbang pemerintah yang otoriter.
Kedua, Gerakan sosial karena meluasnya ketidakpuasa atas situasi yang ada. Perubahan dari msyarakat tradisional ke modern pun dapat mengakibatkan kesenjangn ekonomi yang semakian lebar. Selain itu, dapat menyebabkan kritis identitas dan lunturnya nilai-nilai sosial yang selama ini diagungkan.
Ketiga, Semata-mata karena masalaha kepemipinan (leadershif capability) dari tokoh pengerak. Adalah sang tokoh yang mampu memberikan inspirasi, membuat jaringan, membantu organisasi, yang menyebabkan sekelompok orang termotivasi terlibat dalam pergerakan tersebut.
Senada dengan Denny, Yudi Latif, Wakil Rektor Paramadina pun angkat bicara, (Panji, edisi 28 Maret 2001) dengan mengemukakan pertanyaan kasip semaca apakah gerakan mahasiswa itu, gerakan moral atau gerakan politik. Menyiratkan kekaburan pandangan kita tentang moralitas dan politik. Dalam penghadapan kedua istilah itu, terkesan bahwa gerakan politik tak mengandung muatan moral. Sementara gerakan moral tak mengandung gerakan politik.
Terlebih lagi bila mengacu pada pelbagai peristiwa, gerakan mahasisawa memang sangat identik dengan gerakan sosial. Apalagi mahasiswa merupakan calon para politik, sambil mengacu pada Danatella Porta dan Mario Diani (1999), akademisi dari pelbagai latar teritorial dan teoritis berbagai pemahaman yang ada mengenai karakteristik gerakan sosial; Pertama, Aksi bersamanya merupakan hasil dari jaringan intreraksi informal, yang melibatkan keragaman individu, golongan dan kelompok. Satu jaringan yang sanggup mempromosikan kerangka interpretasi (Meaning Sistem Of Meaning) serta sirkulasi sumber daya esensial bagi aksi bersama.
Kedua, Adanya solidaritas dan keyakinan yang sama sebagai sumber dari kehendak dan identitas bersama. Ketiga, Gerakan sosiala meceburkan pada situasi konflik baik sosial, poltitik, budaya, ekonomi, maupun agama dengan konflik hubungan opsional anatar aktor politik yang berusaha mengontrol hal (state). Keempat, Mengadopsi pola-pola ekpresi poltitik yang zalim. Berbeda dengan ekspresi partai tertentu yang struktural, artikulasi, kolektif dari gerakan sosial akan penuh inprovisasi, mempuni, dan batas konvensional.
Selain itu, Ia menambahkan, gerakan sosial harus membumikan kerangka-kerangka—meminjam istilah Eyerman dan Jamison (1991;56); Pertama, Tumbuhnya harus melalui semacam sirkulasi dari tahap persiapan, disusul oleh tahap pembentukan, menuju tahap konsolidasi. Artinya jaringan muncul secar sepontan, tapi memerlukan waktu. Kedua, Tak ada gerakan sisioal berhasil tanpa tersedianya kesempatan politik. Ketiga, Tak hanya dapat hadir, hingga adanya individu yang siap andil memperjuangkan kaum lemah di dalamnya.
Bagi Frans Magniz Suseno, menguarai dari sifat idealisme yang sering melekat pada diri gerakan mahasiswa (Basis No 09-10 Thn Ke-48 Sep-Okt 1999), Ia berkata, idealisme yang tak mau berkompromi dan membuktikan diri dengan kesediaan nyata untuk berkorban; dan seni berpolitik. Tak perlu dua-dua pada aktor yang sama. Kaum terpelajar tak perlu pintar berpolitik, mereka hanya akan lumpuh kalau main politik. Artinya, mereka hendaknya memahami gerakan sosial, tak seluruhnya dianggap gagal bila tujuan maksimal. Tapi keberhasil mereka baru bersifat pendobrakan--follow up—pada tataran politik guna terlakasana nuansa baru dalam ruang tersebut.
Namuan, dalam gerakan politik pun, tak hanya sebatas berpolitik-pragmatis, yang sama sekali tak ada idealismenya akan megancam cita-cita mulya pergerakan. Politisi tanpa prinsip akan bersedia menjual perjuangan demi kepentingan sendiri atau kelompoknya. Maka politisi harus mempunyai idealisme, cita-cita, keyakinan moral, keterlibatan rasional, kemanusiaan yang tak bias diatawar-tawar lagi. Hanya atas dasar itu, Ia tak akan menghianati perjuangan kaum idealisme.
Lain Frans, lain pula Endang Somalia, menggapi persoalan itu, (Jurnal Ilmu Dakwah Vol 1 No 3 Jan-Jul 2005)Gerakan mahasiswa bukan murni politik, melainkan hanya sebagai Moral Force dan Agent Sosial Of Cange, sambil mengutaip George Rude, seorang teoritis sosial-kritis dalam Ideology And Popular Protest (1995); sebuah gerakan sosial (revolusi) hanya akan berhasil manakala bisa mengkolaborasikan merger kuat antara Inherent Ideology Of Cammon People (ideologi masyarakat) dengan Radical Ideology Of Intelectual (ideologi radikal kaum intelektual) agar sebuah gerakan sosial berhasil.

Polarisasi Gerakan Mahasiswa
Meski begitu, zaman terus bergulir. Generasi demi generasi terus berganti. Sepak terjang kaum muda masa lalu kini tinggal sejarah. Gerakan kaum terpelajar menjadi sepi, terutama setelah tumbangnya rezim Soeharto. Pasalnya carut marutnya pemerintah korup pasca reformasi itu, memberikan fungsi bagi mahasiswa hanya sebagai pendobrak, kontrol sosial yang efektif dan promotor demokrasi telah menemukan lahan subur bagi lahirnya gerakan mahasiswa.
Kini, konflik vertikal berubah menjadi horizontal. Artinya, gerakan mahasiswa tak lagi berhadapan dengan penguasa otoriter, sebab telah lengser. Namun, perseteruan antar gerakan mahsiswa acapkali mewarnai. Bahkan nyaris terjadi pertumpahan darah. Tentunya perbedaan arah gerakan tiap masing-masing kelompok kaum pelajar yang menyulut perseteruan tersebut. Entah yang mengatasnamakan gerakan moral semata, politik saja atau sosial an sich. Yang jelas konflik-horizontal ini membuat gerakan mahasiswa lupa pada amanah sucinya.
Berkenaan dengan permasalahan itu, Anas Urbaningrum urun rembug dalam Ranjau-Ranjau Reformasi; Potret Konflik Politik Pasca Kejatuhan Soeharto (1999;180) Ada bebrapa faktor yang menyebabkan terjadinya polarisasi gerakan mahasiswa; Pertama, Ideologi politik yang menjadi insfirasi tiap-tiap kelmpok mahasiswa. Kedua, Pilihan tema besar dan wacan strategis gerakan yang menunjukan adanya skala prioritas gerakan. Ketiga, Pilihan-pilihan aliansi gerakan. Keempat, Faktor peencitraan terhadap gerakan mahasiswa.
Terkotak-kotakan yang terajdi pada generasi muda membuat posisi pergerakan menjadi lemah, sehingga perjalanan menuntut demokratisasi tersendat, bahkan sempat terkoyak-koyak. Kenadati demikian, kata Abdul Razak, selaku ketua dalam hasil penelitian Pemetaan Gerakan Mahasiswa (2003;27-29) menjelaskan kemunduran gerakan mahasiswa karena telah terjadi polarisasi yang akut dan pelik tersebut. Terdapat beberapa hikmah yang dapat kita ambil di antaranya; Pertama, Lemah dalam ideologi. Dari basisi historis, gerakan mahasiswa ’98 muncul karena adanya krisis ekonomi. Keadaddan ini secar langsung berdampak pada mahasiswa, maka tak heran bila kemudian gerakan ini tak hanya diikuti oleh para aktivis kampus, tapi oleh mereka yang dikategorikan apatis pun terlibat. Singkat kata, kesadaran ekonomi ini dapat digiring pada kesadaran politik.
Selain itu, dikerenakan memanggung beban sejarah sebagai frame gerakan moral. Peran mahasiswa, kata Arif Budiman, Mahasiswa Sebagai Kaum Intelegensi Muda, (Prisma No 11 Nov 1976) sering di analogikan bak seorang Resi yang sedang bertapa di gunung (kampus). Ketika terjadi kekecauan di masyarakat, maka Ia turun turun gunung guna menyelesaikan persoalan. Lalu pergi ke gunung kembali. Pandangan ini berdampak serius di tubuh pergerakan mahasiswa. Pasalnya acapkali menggapa dirinya sebagai gerakan moral. Artinya, mahasiswa hanya sebatas memberi saran tanpa harus terlibat langsung. Maka tidak heran apabila ada sebagain pihak yang mengatakan kaum pelajar hanya bisa menumbangkan semata, tanpa sanggup membagun suatu tatanan pengganti. Walhasil, dapat memberikan peluang besar bagi gerakan politisi-oportunis untuk bermain setelah mahasiswa.
Kedua, Akibat lemahnya ideologi pun bermuara patal pada penerapan strategi dan taktik. Gerakan menjadi kaku dalam menghadapi gerak sejarah. Akibatnya banyak momentum yang terlewatkan. Hingga menjadi pergerakan bersifat eklusif. Sudah tentu, hanaya berkutat ditingkat mahasiswa saja, tanpa melibatkann masyarakat luas. Singkatnya, membuat gerakan semakin asing dimata rakyat.
Ketiga, Sektarianisme gerakan. Perlakuan ini, dapat kita lihat dari menjamurnya gerakan-gerakan mahsiswa sekarang buah dari orde reformasi. Mulai dari perhimpunan yang mengatsnamakan primordial, alumni sekolah (Pondok Pesantren), sampai OTB (Organisasi Tanpa Bentuk)
Keempat, Kelemahan dalam organiasi. Akibat tidak adanya organisai yang tidak dapat menyatukan semua elemen gerakan, berdampak pada tidak adanya kesatuan aksi di antara gerakan mahasiswa yang ada. Masing-masing gerakan berjalan sendiri. Setiap pergerakan menjadi terfregmentasi, yang berbuntut pada ketidakjelas tujuan suatu organisasi. Apakah sebuah tuntunan atau bagian dari strategi dan taktik yang mengakibatkan sekaligus membingungkan masyarakat sendiri.
Kelima, Lemah dalam basis masa. Sebagian besar keterlibataan aksi mahasiaswa dikarenakan adanya ‘trend’ takut tidak disebut aktivis. Maka tak heran bila masa yang ada, bukan masa yang terorganisisr, melainkan masa yang termobilisasi. Ujung-ujungnya mengakibatkan lemahnya basis dalam kelompok pergerakan. Malah yang ada trend semata.
Dengan demikian, adanya tipologi gerakan ini, membuat tugas generasi muda sebagai Moral Force, Agent Of Sosial Control, Agent Of Change menjadi sangat sulit untuk bersatu dalam keragaman. Apalagi dalam membela kaum tertindas. Padahal kaum tercerahkan mempunyai tanggungjawab intelektual sebagai seorang yang tidak mudah terkooptasi pemerintah dan mewakili semua kalangan.

Maka Ambillah Pena
Mencernati ketidakjelasan gerakan mahasiswa buah dari credo untuk menegakan kebenaran, keadilan dan rasionalitas. Alih-alih bersinergis melawan ketidakadilan, korupsi dan kejahan manusia yang sering dilakukan oleh para penguasa. Nyatanya, aktivitas gerakan mahasiwa malah sibuk membuat strategis berkompetisi di antara mereka sendiri, sehingga arah pergerakan mahasiswa menajdi involitif dan kontradiktif. Lantas, apa yang bisa kita lakukan. Terlebih lagi aksi protes dari pelbagai kelompok mahasiswa yang tergabung dalam organisasi ekstra ataupun intra kampus tak di gubris oleh para penguasa. Tak ada cara lain selain, bangkit dan angkat pena. Pasalnya, media merupakan kekuatan keempat, setelah eksekutif, yudikatif dan legislatif dalam pemerintahan.
Tengok saja, dalam lintasan sejarah. Setiap pergerakan mahasiswa hampir selalu memperoleh dukungan dari media masa. Seperti yang di tulis oleh A Muis di Republika (23/05/1996), Berkat patisipasi aktif pres gerakan mahsiawa dan ide-idenya cepat tersebar di seluruh dunia. Di negara-negara yang sedang berkembang pun kaum tercerahkan hampir selalu menciptakan konflik sosial, khususnya dengan lembaga-lembaga kekuasaan yang berfungsi mempertahankan kemapanan atau tatana politik lama. Kita semau tahu, di Indonesia gerakan mahasisawa sejak munculnya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) atau KAPPI awal 1966, hingga saat ini selau bernunsa radikan dan pada umumnya berhasil menciptakan transporamsi sosial, sekalipun ada kalanya bersekala kecil. Sebut saja, kasus unjuk rasa mahasiswa dan pelajar di Ujungpandang (22-30/04/1996) yang membawa korban jiwa dan cedera bagi sejumlah mahasuswa. Memang mengahasilkan perubahan besar bagi pergerakan mahasiswa.
Ada lagi dampak menarik lainnya. Setiap ada aksi demontrasi mahasiswa, terutama yang bersekal besar seperti ‘Peristiwa Ujungpandang’ itu, pres sempat memperolek kesempatan untuk memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat dengan berita yang lengkap dan terinci tentang insiden yang berangkutan. Dampak dari informasi itu, bermunculan aksi unjuk rasa solidaritas di pelbagai kota-kota besar, mulai dari jakatra, Yogyakarta, bandung, dan Surabaya. Para pemudan dan mahasiswa yang menamakan diri Solidaritas Pemuda dan Mahasiswa Untuk Tragedi Maksar (SPMUTM) melakukan aksi demontrasi sambil mengusung ‘mayat’ ke Gedung DPR/MPR (02/05/1996) dengan diriringi lagu gugur bunga.
Bila tempo dulu, peranan wartawan yang banyak berperan aktif dalam melakukan perubahan. Kini, yang mesti penguasai pelbagai media masa bukan para jurnalis, tapi kita selaku ‘aktor’ pergerakan mahasiswa. Adalah dengan cara menulis di sejumlah kolom, opini, esai, resensi, sastra, atau puisi setiap media. Sebab tanpa itu, semua cita-cita agung tersebut dapat di dengar oleh penguasa, hingga di kenal oleh halayak banyak.
Tradisi menulis itu, telah banyak di lakukan oleh sejumlah tokoh sekaliber; Nurcholis Madjid sejak mahasiswa, melalui bingkai “Pikiran-Pikiran Muda Nurcholis Madjid, Dialog keterbukaan”; Azumadri Azra dalam “Islam Subtansif”; Kunto Wijoyo lewat “Paradigma Islam”; Amin Abdullah dengan “Islam Kultural”; Afif Muhammad dengan “Islam Mazdhab Masa Depan”; atau jauh sebelum para cendekiwan itu, Ahmad Wahib telah mengguncangkan belantika pemikiran melalui “Catatan Harian (Pergolakan Pemikiran Islam)”; Soe Ho Gie, seorang orator ulung melakukan perlawanan dengan mengangkat pena lewat “Catatan Seorang Demonstran”. Lantas, apakah budaya tulis menjadi icon terpenting bagi pergerakan mahasiswa di setiap perguruan tinggi dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih baik dan bermanfaat.
Bila kita runut, tradisi menulis dan meneliti kerap kali menjadi kebiasaan mahasiswa UIN Jakarta. Tentunya, kita bisa menemukan penulis muda itu, di berbagai koran, majalah maupun buku, mulai dari Kompas, Sinar Harapan, Republika, maupun Media Indonesia. Tak hanya itu, laporan hasil penelitian “Pemetaan Gerakan Mahasiswa (Studi Terhadap Organisasi Mahasiswa Ekstra kampus di UIN Jakarta)”.
Bandingkan dengan, kampus UIN SGD Bandung, kebiasaan menulis jarang kita temukan, malah seolah-lah menjadi (?) yang menakutkan. Ambil contoh, dalam perlombaan Karya Tulis Ilmiah (KTI), mulai yang diselenggarakan oleh; BEM IAIN Kabinet Perjuangan (Periode 2003-2004) peserta yang mengikuti kejuaraan Ilmiah itu hanya berjumlah 9 orang; Pusat bahasa KTI I (Periode 2004-2005) sebanyak 12 orang dan KTI II (Periode 2005-2006) terbilang 14 orang; UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Women Studies Center (WSC) dalam rangka Milad I (Periode 2005-2006) tercatat sekira 5 orang. Begitupun dalam media Lembaga Pres Mahasiswa (LPM) Suaka, kebanyakan para kuntributor media kampus itu dari dapur redaksi. Kalau pun ada, penulis luar redaksi bisa di hitung dengan jari dan orangnya itu-itu saja. Sudah tentu, presentasinya lebih banyak tutur lisan dari pada tulisan.
Sederetan contoh itu, merupakan potret buram budaya tulis di kalangan mahasiswa. Lagi-lagi, aksi protes atas pelbagai ketimpangan tak selamanya menempuh jalur demontrasi ke jalan sambil meneriakan yel-yel. Tapi jalur angkat pena pun acapkali mereka lakukan. Pasalnya menulis itu penting, bahkan sanagt erat kaitanya dengan peradaban. Sejumlah orang besar seperti Carlyle, Kant, Mina Bean, dan Henna sangat percaay dan meyakini penemuan tulisan benar-benar telah membentuk awal paeradaban. Menulis pada hakekatnya merupakan upaya mengepresikan apa yag dilihat, didengar, dirasa, dan dipikirkan dalam bahasa tulisan. Seperti yang di ungkapakan oleh JK Rowling, penulis bestseltr Harry Poter “Mulailah dengan menuliskan hal-hal yang kau ketahuai. Tulisalah tentang pengalaman dan perasaanmu sendiri. Itu yang saya lakukan”.
Tentu saja, hampir setiap orang agaknya pernah melakaukan corat-coret entah di atas; pesan, memo dan buku harian. Jadi ada pelbagai ragam cara dalam menuangkan ide-ide atau gagasan. Namun, bila kita masih kesulitan memulai membikin gaya tulisan yang bersifat luas dan mendalam, maka kita bisa memulai latihan dengan cara membuat coretan yang ringan dan sederhana. Misalnya saja dengan membiasakan membikin surat pembaca dan diary. Perbuatan mulia ini, pernah dikaukan oleh Soe Hok Gie lewat Catatan Seorang Demonstran dan Ahmad Wahib melalui Catatan Harian (Pergolakan Pemikiran Islam).
Pendek kata, menulis menjadi satu keharusan bagi kaum terpelajar. Pasalnya tanpa itu semua harkat martabat kita akan dianggap rendah, bahkan lebih buruk daripada binatang.
Untuk itu, sangat wajar apabila dalam dunia Antropolog (Belb, 1926;221-22) dan (Taringan, 1983;11) dikenal satu pameo; “Sebagaimana bahasa membedakan manusia dengan binatang. Begitu pula tulisan membedakan manusia beradab dari manusia biadab” (as languange distinguish hes man from animal, so wraiting dis tinguister civilizen ma from barbarian). Thus, lengkingan pena hanya terdapat dalam peradaban.
Dalam bahasa lain, buku adalah pengusung peradaban, tanpa buku sejarah menajdi sunyi, sastr bisu, ilmu pengetahuan lumpuh serta pikiran dan spekulasi mandek, kata Barbara Tuchmat.
Lagi-lagi upaya merangkai kata dalam bingkai tulis. Terlebih dahulu simpan rasa ketakutan-ketakutan. Namun, “tulislah” ungkap Pramoedya Ananta Toer “Semua harus ditulis. Apa pun jangan takut tidak dibaca atau diterima penarbit. Yang penting tulis, tulis, tulis dan tulis. Suatu saat pasti berguna,”
Dengan demikian, mudah-mudahan dengan adanya model baru dalam gerakan mahsiswa, kita dapat melanjutkan perjuangan kamum lemah. Sampai-sampai RA Kartini menggoreskan pena kepada karibnya “bila perempuan bisa membeli kebebasannya, merak harus membayar mahal sangat mahal. Mereka akan menghadapi kenestapaan.”; “Pergilah., bekerjalah untuk mewujudkan cita-citamu”; Suatu hari perempuan asal Jepara itu, menulis surat buat Ny RM Abendono-Mandiri (12 Oktober 1902) “orang dapat merampas banyak dari kami, ya semuanya, tapi jangan pena saya! Ini tetap milik saya dan saya akan berlatih dengan rajin mengunakan senjat itu. Janganlah kami terlalu di usik, sebab kesabaran yang sesabar-sabarnya. Akhirnya juga akan habis juga. Oleh karena itu, kami akan menggunakan senjata itu. Walaupun kami sendiri akan terluka kerenanya. Aduhai! Tuhan, berilah kami kekuatan, kekuatan dan bantulah kami! Mafkan saya, cintalah anak-anakmu yang berkulit coklat ini.” Sudah siapkah kaum pelajar merdeka?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar