Apa yang anda lakukan manakala aksi turun
ke jalan, tak begitu mendapatkan tanggapan dari pemerintah? Adakah cara lain
dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat itu? Kedua petanyaan itu patut kita
ajukan, karena setiap perbuatan yang sudak kita anggap rutin, biasanay tak
memberikan efek apa-apa. Malah kita terbiasa dengan pola tersebut.
Begitu pula dengan pemerintah. Maraknya
aksi yang dilakukan oleh pelbagai gerakan mahasiswa tak membuat pengausa menjadi
takut lagi dengan kedatangan kaum pelajar itu, terkadang para pejabat memandang
sebelah mata terhadap segala bentuk tuntutan yang di lontarkan oleh generasi
muda. Apalagi acapkali kita sering menemukan prilaku ganjil yang dilakuakan
oleh sebagian gerakan mahasiswa demi nyambung hidup. Mulai dari melakuakn
pengselingkuhan, bulan-madu dengan para penguasa, kepanjang tanganan
kepentingan elit politik tertentu, broker, sampai menjadi makelar demontrasi.
Sudah tentu, dengan tarif yang sangat tinggi bagi Orator, Korlap (Komando
Lapangan), Danlap (Komandan Lapangan), Mobilisasai Massa. Sungguh kekeuatan
sebagai pendobrak kemapanan itu dengan sendirinya agak lembek, bahkan nyaris
hilang entah kemana!. Adakah yang salah dengan aksi protes yang dikomandoi oleh
gerakan mahasiswa itu?
Padahal, dalam pelbagai lintasan sejarah,
dapat disimpulkan bahwa ada dua model umum bagi kaum muda dalam menyampaikan
kritiknya. Pertama, Melalui gerakan aksi turun ke jalan. Bentuk gerakan ini,
mulai dari demonstrasi, mimbar bebas, sampai pada aksi berbaris massal
mendatangi sejumlah intansi yang diperkirakan dapat menyelesaikan persolan yang
dikeluhkan olah kaum pelajar. Meskupun, gerakan aksi turun ke jalan ini sering
dikatakan oleh kalangan birokrat sebagai gerakan ekstra-parlementer. Cap
semacam ini, sesungguhnya mencarmikan carut-marutnya keadaan politik bangsa
Indonesia. Artinya, kritik-kritik dalam bingkai parlementer sudah terasa
mandul, sehingga perlu ada gerakan-gerakan di luar parlementer guna menyuarakan
aspirasi masyarakat.
Kedua, Gerakan Intelektual. Gerakan ini
biasanya dilakukan oleh generasi muda melaui pelbagai kajian, diskusi, talk
sow, seminar sehari, dan pertemuan ilmiah, baik di dalam maupun luar kampus.
Namun, kegiatan itu, dinilai oleh sebagai mahasiswa gerakan lamban dan tak
begitu membuahkan hasil yang memuaskan.
Nyatanya, tradisi turun ke jalan kerapkali
menjadi pemandangan yang sering kita jumpai di berbadai media, baik media
elektronik maupun cetak. Alih-alih heroisme perjuangan tanpa pamrih, kesadaran
kolektifitas, tetesan darah dan air mata pun menajdi melekt di jiwa generasi
bangsa.
Maraknya gelombang kritik mahasiswa
terhadap penguasa zalim, membuat Hariman Siregar, tokoh Malari (1998;215-216)
angkat bicara, Ia menjelaskan sebetulnya aksi protes tersebut tak mengikuti
hukum perubahan sosial. Sebab mereka bukan gerakan revolusioner untuk mengubah
tatan sosial dalam sekejap. Namun, hanya gerakan yang menyuarakan nurani rakyat
dan bersifat normatif. Kalau kita lihat isu-isu yang dilontarkan mahasiswa
sejak dulu selalu bersifat normatif; korupsi, keadilan, hukum, pemerataan,
kesewenag-wenangan dan sebagainya.
Aksi protes mahasiswa sebetulnya tak perlu
ditakuti, sebab tak akan meruntuhkan strutur. Kecuali kalau pemerintah merasa
takut terhadap aksi protes mahasiswa; tegakanlah keadilan, berantas korupsi,
kembaikan hak rakyat, ciptakan pemerataan, hilangkan kebiasaaan kongkalingkong
dengan penguas dan jalankan demokrasi yang benar. Aksi mahasiswa tak bisa
diredam dengan undang-undang, tindakan persuasif maupun refresif. Selama masih
ada ketidak adilan, korupsi, penindasan hak asasi, otoriterian, aksi protes
dari mahasowa maupun rakyat akan selalu bermuncul kendati dalam bentuk yang
berbeda-beda.
Mahasiswa sebagai Gerakan Sosial
Dari waktu ke waktu, gerakan mahasiswa
memang terpatri dalam lintasan sejarah, dengan menjungjung tinggi nilai-nilali
kemanusiaan. Mereka berontak guna melawan rezim yang timpang di belahan bumi
nusantara. Tak peduli, siapa yang melakukan ketidakadilan itu, yang pasti musuh
mahasiswa. Lantas, muncul sederetan pertanyaan; sebenarnya gerakan mahasiswa
itu berperan sebagai apa? Gerakan politik, moral atau sosial? Atau hanya
berkutat di ranah pendobrak semata?
Keberhasilan gerakan mahasisawa, bisa kita
ukur dari seberapa banyak pengarahan ide-ide sosial daripada kepentingan
politik. Pandangan ini diamini oleh Denny JA, (Kompas 10/09/1989) setidaknya
ada tiga pandangan mengenai gerakan ini. Pertama, Gerakan sosial itu,
dilahairakan oleh kondisi yang memberikan kesempatan (politicl opportunity) bagi
gerakan itu sendiri. Pemerintah moderat, misalnya memberikan kesempatan yang
lebih besar bagi timbulnya gerakan sosial ketimbang pemerintah yang otoriter.
Kedua, Gerakan sosial karena meluasnya
ketidakpuasa atas situasi yang ada. Perubahan dari msyarakat tradisional ke
modern pun dapat mengakibatkan kesenjangn ekonomi yang semakian lebar. Selain
itu, dapat menyebabkan kritis identitas dan lunturnya nilai-nilai sosial yang
selama ini diagungkan.
Ketiga, Semata-mata karena masalaha
kepemipinan (leadershif capability) dari tokoh pengerak. Adalah sang tokoh yang
mampu memberikan inspirasi, membuat jaringan, membantu organisasi, yang
menyebabkan sekelompok orang termotivasi terlibat dalam pergerakan tersebut.
Senada dengan Denny, Yudi Latif, Wakil
Rektor Paramadina pun angkat bicara, (Panji, edisi 28 Maret 2001) dengan
mengemukakan pertanyaan kasip semaca apakah gerakan mahasiswa itu, gerakan
moral atau gerakan politik. Menyiratkan kekaburan pandangan kita tentang
moralitas dan politik. Dalam penghadapan kedua istilah itu, terkesan bahwa
gerakan politik tak mengandung muatan moral. Sementara gerakan moral tak
mengandung gerakan politik.
Terlebih lagi bila mengacu pada pelbagai
peristiwa, gerakan mahasisawa memang sangat identik dengan gerakan sosial.
Apalagi mahasiswa merupakan calon para politik, sambil mengacu pada Danatella
Porta dan Mario Diani (1999), akademisi dari pelbagai latar teritorial dan
teoritis berbagai pemahaman yang ada mengenai karakteristik gerakan sosial;
Pertama, Aksi bersamanya merupakan hasil dari jaringan intreraksi informal,
yang melibatkan keragaman individu, golongan dan kelompok. Satu jaringan yang
sanggup mempromosikan kerangka interpretasi (Meaning Sistem Of Meaning) serta
sirkulasi sumber daya esensial bagi aksi bersama.
Kedua, Adanya solidaritas dan keyakinan
yang sama sebagai sumber dari kehendak dan identitas bersama. Ketiga, Gerakan
sosiala meceburkan pada situasi konflik baik sosial, poltitik, budaya, ekonomi,
maupun agama dengan konflik hubungan opsional anatar aktor politik yang berusaha
mengontrol hal (state). Keempat, Mengadopsi pola-pola ekpresi poltitik yang
zalim. Berbeda dengan ekspresi partai tertentu yang struktural, artikulasi,
kolektif dari gerakan sosial akan penuh inprovisasi, mempuni, dan batas
konvensional.
Selain itu, Ia menambahkan, gerakan sosial
harus membumikan kerangka-kerangka—meminjam istilah Eyerman dan Jamison
(1991;56); Pertama, Tumbuhnya harus melalui semacam sirkulasi dari tahap
persiapan, disusul oleh tahap pembentukan, menuju tahap konsolidasi. Artinya jaringan
muncul secar sepontan, tapi memerlukan waktu. Kedua, Tak ada gerakan sisioal
berhasil tanpa tersedianya kesempatan politik. Ketiga, Tak hanya dapat hadir,
hingga adanya individu yang siap andil memperjuangkan kaum lemah di dalamnya.
Bagi Frans Magniz Suseno, menguarai dari
sifat idealisme yang sering melekat pada diri gerakan mahasiswa (Basis No 09-10
Thn Ke-48 Sep-Okt 1999), Ia berkata, idealisme yang tak mau berkompromi dan
membuktikan diri dengan kesediaan nyata untuk berkorban; dan seni berpolitik.
Tak perlu dua-dua pada aktor yang sama. Kaum terpelajar tak perlu pintar
berpolitik, mereka hanya akan lumpuh kalau main politik. Artinya, mereka
hendaknya memahami gerakan sosial, tak seluruhnya dianggap gagal bila tujuan
maksimal. Tapi keberhasil mereka baru bersifat pendobrakan--follow up—pada
tataran politik guna terlakasana nuansa baru dalam ruang tersebut.
Namuan, dalam gerakan politik pun, tak
hanya sebatas berpolitik-pragmatis, yang sama sekali tak ada idealismenya akan
megancam cita-cita mulya pergerakan. Politisi tanpa prinsip akan bersedia
menjual perjuangan demi kepentingan sendiri atau kelompoknya. Maka politisi
harus mempunyai idealisme, cita-cita, keyakinan moral, keterlibatan rasional,
kemanusiaan yang tak bias diatawar-tawar lagi. Hanya atas dasar itu, Ia tak
akan menghianati perjuangan kaum idealisme.
Lain Frans, lain pula Endang Somalia,
menggapi persoalan itu, (Jurnal Ilmu Dakwah Vol 1 No 3 Jan-Jul 2005)Gerakan
mahasiswa bukan murni politik, melainkan hanya sebagai Moral Force dan Agent
Sosial Of Cange, sambil mengutaip George Rude, seorang teoritis sosial-kritis
dalam Ideology And Popular Protest (1995); sebuah gerakan sosial (revolusi)
hanya akan berhasil manakala bisa mengkolaborasikan merger kuat antara Inherent
Ideology Of Cammon People (ideologi masyarakat) dengan Radical Ideology Of
Intelectual (ideologi radikal kaum intelektual) agar sebuah gerakan sosial
berhasil.
Polarisasi Gerakan Mahasiswa
Meski begitu, zaman terus bergulir.
Generasi demi generasi terus berganti. Sepak terjang kaum muda masa lalu kini
tinggal sejarah. Gerakan kaum terpelajar menjadi sepi, terutama setelah
tumbangnya rezim Soeharto. Pasalnya carut marutnya pemerintah korup pasca
reformasi itu, memberikan fungsi bagi mahasiswa hanya sebagai pendobrak,
kontrol sosial yang efektif dan promotor demokrasi telah menemukan lahan subur
bagi lahirnya gerakan mahasiswa.
Kini, konflik vertikal berubah menjadi
horizontal. Artinya, gerakan mahasiswa tak lagi berhadapan dengan penguasa
otoriter, sebab telah lengser. Namun, perseteruan antar gerakan mahsiswa
acapkali mewarnai. Bahkan nyaris terjadi pertumpahan darah. Tentunya perbedaan
arah gerakan tiap masing-masing kelompok kaum pelajar yang menyulut perseteruan
tersebut. Entah yang mengatasnamakan gerakan moral semata, politik saja atau
sosial an sich. Yang jelas konflik-horizontal ini membuat gerakan mahasiswa
lupa pada amanah sucinya.
Berkenaan dengan permasalahan itu, Anas
Urbaningrum urun rembug dalam Ranjau-Ranjau Reformasi; Potret Konflik Politik
Pasca Kejatuhan Soeharto (1999;180) Ada bebrapa faktor yang menyebabkan
terjadinya polarisasi gerakan mahasiswa; Pertama, Ideologi politik yang menjadi
insfirasi tiap-tiap kelmpok mahasiswa. Kedua, Pilihan tema besar dan wacan
strategis gerakan yang menunjukan adanya skala prioritas gerakan. Ketiga,
Pilihan-pilihan aliansi gerakan. Keempat, Faktor peencitraan terhadap gerakan
mahasiswa.
Terkotak-kotakan yang terajdi pada generasi
muda membuat posisi pergerakan menjadi lemah, sehingga perjalanan menuntut
demokratisasi tersendat, bahkan sempat terkoyak-koyak. Kenadati demikian, kata
Abdul Razak, selaku ketua dalam hasil penelitian Pemetaan Gerakan Mahasiswa
(2003;27-29) menjelaskan kemunduran gerakan mahasiswa karena telah terjadi
polarisasi yang akut dan pelik tersebut. Terdapat beberapa hikmah yang dapat
kita ambil di antaranya; Pertama, Lemah dalam ideologi. Dari basisi historis,
gerakan mahasiswa ’98 muncul karena adanya krisis ekonomi. Keadaddan ini secar
langsung berdampak pada mahasiswa, maka tak heran bila kemudian gerakan ini tak
hanya diikuti oleh para aktivis kampus, tapi oleh mereka yang dikategorikan
apatis pun terlibat. Singkat kata, kesadaran ekonomi ini dapat digiring pada
kesadaran politik.
Selain itu, dikerenakan memanggung beban
sejarah sebagai frame gerakan moral. Peran mahasiswa, kata Arif Budiman,
Mahasiswa Sebagai Kaum Intelegensi Muda, (Prisma No 11 Nov 1976) sering di
analogikan bak seorang Resi yang sedang bertapa di gunung (kampus). Ketika
terjadi kekecauan di masyarakat, maka Ia turun turun gunung guna menyelesaikan
persoalan. Lalu pergi ke gunung kembali. Pandangan ini berdampak serius di
tubuh pergerakan mahasiswa. Pasalnya acapkali menggapa dirinya sebagai gerakan
moral. Artinya, mahasiswa hanya sebatas memberi saran tanpa harus terlibat
langsung. Maka tidak heran apabila ada sebagain pihak yang mengatakan kaum
pelajar hanya bisa menumbangkan semata, tanpa sanggup membagun suatu tatanan
pengganti. Walhasil, dapat memberikan peluang besar bagi gerakan
politisi-oportunis untuk bermain setelah mahasiswa.
Kedua, Akibat lemahnya ideologi pun
bermuara patal pada penerapan strategi dan taktik. Gerakan menjadi kaku dalam
menghadapi gerak sejarah. Akibatnya banyak momentum yang terlewatkan. Hingga
menjadi pergerakan bersifat eklusif. Sudah tentu, hanaya berkutat ditingkat
mahasiswa saja, tanpa melibatkann masyarakat luas. Singkatnya, membuat gerakan
semakin asing dimata rakyat.
Ketiga, Sektarianisme gerakan. Perlakuan
ini, dapat kita lihat dari menjamurnya gerakan-gerakan mahsiswa sekarang buah
dari orde reformasi. Mulai dari perhimpunan yang mengatsnamakan primordial,
alumni sekolah (Pondok Pesantren), sampai OTB (Organisasi Tanpa Bentuk)
Keempat, Kelemahan dalam organiasi. Akibat
tidak adanya organisai yang tidak dapat menyatukan semua elemen gerakan,
berdampak pada tidak adanya kesatuan aksi di antara gerakan mahasiswa yang ada.
Masing-masing gerakan berjalan sendiri. Setiap pergerakan menjadi
terfregmentasi, yang berbuntut pada ketidakjelas tujuan suatu organisasi.
Apakah sebuah tuntunan atau bagian dari strategi dan taktik yang mengakibatkan
sekaligus membingungkan masyarakat sendiri.
Kelima, Lemah dalam basis masa. Sebagian
besar keterlibataan aksi mahasiaswa dikarenakan adanya ‘trend’ takut tidak
disebut aktivis. Maka tak heran bila masa yang ada, bukan masa yang
terorganisisr, melainkan masa yang termobilisasi. Ujung-ujungnya mengakibatkan
lemahnya basis dalam kelompok pergerakan. Malah yang ada trend semata.
Dengan demikian, adanya tipologi gerakan
ini, membuat tugas generasi muda sebagai Moral Force, Agent Of Sosial Control,
Agent Of Change menjadi sangat sulit untuk bersatu dalam keragaman. Apalagi
dalam membela kaum tertindas. Padahal kaum tercerahkan mempunyai tanggungjawab
intelektual sebagai seorang yang tidak mudah terkooptasi pemerintah dan
mewakili semua kalangan.
Maka Ambillah Pena
Mencernati ketidakjelasan gerakan mahasiswa
buah dari credo untuk menegakan kebenaran, keadilan dan rasionalitas. Alih-alih
bersinergis melawan ketidakadilan, korupsi dan kejahan manusia yang sering
dilakukan oleh para penguasa. Nyatanya, aktivitas gerakan mahasiwa malah sibuk
membuat strategis berkompetisi di antara mereka sendiri, sehingga arah
pergerakan mahasiswa menajdi involitif dan kontradiktif. Lantas, apa yang bisa
kita lakukan. Terlebih lagi aksi protes dari pelbagai kelompok mahasiswa yang
tergabung dalam organisasi ekstra ataupun intra kampus tak di gubris oleh para
penguasa. Tak ada cara lain selain, bangkit dan angkat pena. Pasalnya, media
merupakan kekuatan keempat, setelah eksekutif, yudikatif dan legislatif dalam
pemerintahan.
Tengok saja, dalam lintasan sejarah. Setiap
pergerakan mahasiswa hampir selalu memperoleh dukungan dari media masa. Seperti
yang di tulis oleh A Muis di Republika (23/05/1996), Berkat patisipasi aktif
pres gerakan mahsiawa dan ide-idenya cepat tersebar di seluruh dunia. Di
negara-negara yang sedang berkembang pun kaum tercerahkan hampir selalu
menciptakan konflik sosial, khususnya dengan lembaga-lembaga kekuasaan yang
berfungsi mempertahankan kemapanan atau tatana politik lama. Kita semau tahu,
di Indonesia gerakan mahasisawa sejak munculnya Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia (KAMI) atau KAPPI awal 1966, hingga saat ini selau bernunsa radikan
dan pada umumnya berhasil menciptakan transporamsi sosial, sekalipun ada
kalanya bersekala kecil. Sebut saja, kasus unjuk rasa mahasiswa dan pelajar di
Ujungpandang (22-30/04/1996) yang membawa korban jiwa dan cedera bagi sejumlah
mahasuswa. Memang mengahasilkan perubahan besar bagi pergerakan mahasiswa.
Ada lagi dampak menarik lainnya. Setiap ada
aksi demontrasi mahasiswa, terutama yang bersekal besar seperti ‘Peristiwa
Ujungpandang’ itu, pres sempat memperolek kesempatan untuk memberikan informasi
yang dibutuhkan masyarakat dengan berita yang lengkap dan terinci tentang
insiden yang berangkutan. Dampak dari informasi itu, bermunculan aksi unjuk
rasa solidaritas di pelbagai kota-kota besar, mulai dari jakatra, Yogyakarta,
bandung, dan Surabaya. Para pemudan dan mahasiswa yang menamakan diri
Solidaritas Pemuda dan Mahasiswa Untuk Tragedi Maksar (SPMUTM) melakukan aksi
demontrasi sambil mengusung ‘mayat’ ke Gedung DPR/MPR (02/05/1996) dengan
diriringi lagu gugur bunga.
Bila tempo dulu, peranan wartawan yang
banyak berperan aktif dalam melakukan perubahan. Kini, yang mesti penguasai
pelbagai media masa bukan para jurnalis, tapi kita selaku ‘aktor’ pergerakan
mahasiswa. Adalah dengan cara menulis di sejumlah kolom, opini, esai, resensi,
sastra, atau puisi setiap media. Sebab tanpa itu, semua cita-cita agung
tersebut dapat di dengar oleh penguasa, hingga di kenal oleh halayak banyak.
Tradisi menulis itu, telah banyak di
lakukan oleh sejumlah tokoh sekaliber; Nurcholis Madjid sejak mahasiswa,
melalui bingkai “Pikiran-Pikiran Muda Nurcholis Madjid, Dialog keterbukaan”;
Azumadri Azra dalam “Islam Subtansif”; Kunto Wijoyo lewat “Paradigma Islam”;
Amin Abdullah dengan “Islam Kultural”; Afif Muhammad dengan “Islam Mazdhab Masa
Depan”; atau jauh sebelum para cendekiwan itu, Ahmad Wahib telah mengguncangkan
belantika pemikiran melalui “Catatan Harian (Pergolakan Pemikiran Islam)”; Soe
Ho Gie, seorang orator ulung melakukan perlawanan dengan mengangkat pena lewat
“Catatan Seorang Demonstran”. Lantas, apakah budaya tulis menjadi icon
terpenting bagi pergerakan mahasiswa di setiap perguruan tinggi dalam melakukan
perubahan ke arah yang lebih baik dan bermanfaat.
Bila kita runut, tradisi menulis dan
meneliti kerap kali menjadi kebiasaan mahasiswa UIN Jakarta. Tentunya, kita
bisa menemukan penulis muda itu, di berbagai koran, majalah maupun buku, mulai
dari Kompas, Sinar Harapan, Republika, maupun Media Indonesia. Tak hanya itu,
laporan hasil penelitian “Pemetaan Gerakan Mahasiswa (Studi Terhadap Organisasi
Mahasiswa Ekstra kampus di UIN Jakarta)”.
Bandingkan dengan, kampus UIN SGD Bandung,
kebiasaan menulis jarang kita temukan, malah seolah-lah menjadi (?) yang
menakutkan. Ambil contoh, dalam perlombaan Karya Tulis Ilmiah (KTI), mulai yang
diselenggarakan oleh; BEM IAIN Kabinet Perjuangan (Periode 2003-2004) peserta
yang mengikuti kejuaraan Ilmiah itu hanya berjumlah 9 orang; Pusat bahasa KTI I
(Periode 2004-2005) sebanyak 12 orang dan KTI II (Periode 2005-2006) terbilang
14 orang; UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Women Studies Center (WSC) dalam rangka
Milad I (Periode 2005-2006) tercatat sekira 5 orang. Begitupun dalam media Lembaga
Pres Mahasiswa (LPM) Suaka, kebanyakan para kuntributor media kampus itu dari
dapur redaksi. Kalau pun ada, penulis luar redaksi bisa di hitung dengan jari
dan orangnya itu-itu saja. Sudah tentu, presentasinya lebih banyak tutur lisan
dari pada tulisan.
Sederetan contoh itu, merupakan potret
buram budaya tulis di kalangan mahasiswa. Lagi-lagi, aksi protes atas pelbagai
ketimpangan tak selamanya menempuh jalur demontrasi ke jalan sambil meneriakan
yel-yel. Tapi jalur angkat pena pun acapkali mereka lakukan. Pasalnya menulis
itu penting, bahkan sanagt erat kaitanya dengan peradaban. Sejumlah orang besar
seperti Carlyle, Kant, Mina Bean, dan Henna sangat percaay dan meyakini
penemuan tulisan benar-benar telah membentuk awal paeradaban. Menulis pada
hakekatnya merupakan upaya mengepresikan apa yag dilihat, didengar, dirasa, dan
dipikirkan dalam bahasa tulisan. Seperti yang di ungkapakan oleh JK Rowling,
penulis bestseltr Harry Poter “Mulailah dengan menuliskan hal-hal yang kau
ketahuai. Tulisalah tentang pengalaman dan perasaanmu sendiri. Itu yang saya
lakukan”.
Tentu saja, hampir setiap orang agaknya
pernah melakaukan corat-coret entah di atas; pesan, memo dan buku harian. Jadi
ada pelbagai ragam cara dalam menuangkan ide-ide atau gagasan. Namun, bila kita
masih kesulitan memulai membikin gaya tulisan yang bersifat luas dan mendalam,
maka kita bisa memulai latihan dengan cara membuat coretan yang ringan dan
sederhana. Misalnya saja dengan membiasakan membikin surat pembaca dan diary.
Perbuatan mulia ini, pernah dikaukan oleh Soe Hok Gie lewat Catatan Seorang
Demonstran dan Ahmad Wahib melalui Catatan Harian (Pergolakan Pemikiran Islam).
Pendek kata, menulis menjadi satu keharusan
bagi kaum terpelajar. Pasalnya tanpa itu semua harkat martabat kita akan
dianggap rendah, bahkan lebih buruk daripada binatang.
Untuk itu, sangat wajar apabila dalam dunia
Antropolog (Belb, 1926;221-22) dan (Taringan, 1983;11) dikenal satu pameo;
“Sebagaimana bahasa membedakan manusia dengan binatang. Begitu pula tulisan
membedakan manusia beradab dari manusia biadab” (as languange distinguish hes
man from animal, so wraiting dis tinguister civilizen ma from barbarian). Thus,
lengkingan pena hanya terdapat dalam peradaban.
Dalam bahasa lain, buku adalah pengusung
peradaban, tanpa buku sejarah menajdi sunyi, sastr bisu, ilmu pengetahuan
lumpuh serta pikiran dan spekulasi mandek, kata Barbara Tuchmat.
Lagi-lagi upaya merangkai kata dalam
bingkai tulis. Terlebih dahulu simpan rasa ketakutan-ketakutan. Namun,
“tulislah” ungkap Pramoedya Ananta Toer “Semua harus ditulis. Apa pun jangan
takut tidak dibaca atau diterima penarbit. Yang penting tulis, tulis, tulis dan
tulis. Suatu saat pasti berguna,”
Dengan demikian, mudah-mudahan dengan adanya
model baru dalam gerakan mahsiswa, kita dapat melanjutkan perjuangan kamum
lemah. Sampai-sampai RA Kartini menggoreskan pena kepada karibnya “bila
perempuan bisa membeli kebebasannya, merak harus membayar mahal sangat mahal.
Mereka akan menghadapi kenestapaan.”; “Pergilah., bekerjalah untuk mewujudkan
cita-citamu”; Suatu hari perempuan asal Jepara itu, menulis surat buat Ny RM
Abendono-Mandiri (12 Oktober 1902) “orang dapat merampas banyak dari kami, ya
semuanya, tapi jangan pena saya! Ini tetap milik saya dan saya akan berlatih
dengan rajin mengunakan senjat itu. Janganlah kami terlalu di usik, sebab
kesabaran yang sesabar-sabarnya. Akhirnya juga akan habis juga. Oleh karena
itu, kami akan menggunakan senjata itu. Walaupun kami sendiri akan terluka
kerenanya. Aduhai! Tuhan, berilah kami kekuatan, kekuatan dan bantulah kami!
Mafkan saya, cintalah anak-anakmu yang berkulit coklat ini.” Sudah siapkah kaum
pelajar merdeka?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar