Lembaga Pemasyarakatan sebagai suatu sub-sistim dari Peradilan
Pidana, mempunyai tugas dan tanggung-jawab yang sama dengan sub-sistim lainnya,
yaitu : Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Sebagai suatu lembaga Pembinaan,
posisinya sangat strategis dalam merealisasikan tujuan akhir dari sistim
Pemasyarakatan, yaitu: rehabilitasi,
reedukasi, resosialisasi, reintegrasi, terhadap narapidana, bahkan sampai
pada penanggulangan kejahatan. Keberhasilan dan kegagalan pembinaan yang
dilakukan oleh Lemabaga Pemasyarakatan akan memungkinkan memberikan penilaian
yang bersifat positif dan negati. Penilaian positif apabila pembinaan narapidana mencapai hasil maksimal yaitu
narapidana itu menjadi baik kembali dalam masyarakat, sedangkan penilaian itu negatif apabila, bekas narapidana yang
pernah dibina itu melakukan tindak pidana lagi (residivis).
A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan
Pidana
Istilah Criminal Justice System
atau Sistem Peradilan Pidana (SPP) menunjukkan mekanisme kerja dalam
penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar “pendekatan sistem”.
Menurut Remington dan Ohlin mengatakan :
Criminal Justice System dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan
sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana. Sebagai suatu sistem,
peradilan pidana merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan,
praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu
sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara
rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala
keterbatasannya.
Hagan membedakan pengertian Criminal Justice Process dan Criminal Justice System. Criminal Justice
Process adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seseorang
tersangka ke dalam proses yang membawanya pada penentuan pidana. Sedangkan Criminal Justice System adalah
interkoneksi antar keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses
peradilan pidana.
Menurut Mardjono Reksodipoetro, Sistem
Peradilan Pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari
lembaga-lembaga: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan
terpidana.
Sedangkan tujuan Sistem Peradilan Pidana adalah :
a) Mencegah masyarakat menjadi korban
kejahatan.
b) Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi
sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah
dipidana.
c) Mengusahakan agar mereka yang pernah
melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.
Menurut Muladi, tujuan Sistem Peradilan
Pidana dapat dikategorikan sebagai berikut :
a) Tujuan jangka pendek, apabila yang hendak
dicapai resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana.
b) Tujuan jangka menengah, apabila yang
hendak dicapai lebih luas yakni pengendalian dan pencegahan kejahatan dalam
konteks politik kriminal (Criminal Policy).
c) Tujuan jangka panjang, apabila yang hendak
dicapai adalah kesejahteraan masyarakat (social
welfare) dalam konteks politik sosial (Social
Policy).
Selanjutnya menurut Muladi, bahwa Sistem
Peradilan Pidana, sesuai dengan makna dan ruang lingkup sistem dapat bersifat
phisik dalam arti sinkronisasi struktural (Struktural
syncronization), dapat pula bersifat substansial (substancial syncronization) dan dapat pula bersifat kultural (cultural syncronization). Dalam hal
sinkronisasi struktural keserempakan dan keselarasan dituntut dalam mekanisme
administrasi peradilan pidana dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak
hukum. Dalam hal sinkronisasi substansial maka keserempakan ini mengandung
makna baik vertikal maupun horisontal dalam kaitannya dengan hukum positif yang
berlaku. Sedang sinkronisasi kultural mengandung usaha untuk selalu serempak
dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara
menyeluruh mendasari jalannya Sistem Peradilan Pidana.
Bertitik tolak dari tujuan Sistem Peradilan
Pidana, Mardjono mengemukakan empat komponen Sistem Peradilan Pidana
(Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan) diharapkan dapat
bekerjasama dan dapat membentuk suatu Integrated Criminal Justice System. Apabila keterpaduan dalam bekerja sistem
tidak dilakukan, diperkirakan akan terdapat tiga kerugian yaitu :
a) Kesukaran dalam menilai sendiri
keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi sehubungan dengan tugas
mereka bersama.
b) Kesulitan dalam memecahkan sendiri
masalah-masalah pokok di setiap instansi (sebagai subsistem dari Sistem
Peradilan Pidana).
c) Dikarenakan tanggung jawab setiap instansi
sering kurang jelas terbagi maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan
efektivitas menyeluruh dari Sistem Peradilan Pidana.
Menurut Muladi, Sistem Peradilan Pidana
merupakan jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiil,
hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Secara sederhana Sistem
Peradilan Pidana dapat dipahami sebagai suatu usaha untuk menjawab pertanyaan
apa tugas hukum pidana di masyarakat dan bukan sekedar bagaimana hukum pidana
di dalam Undang-Undang dan bagaimana Hakim menerapkannya.
Sistem
Peradilan Pidana Indonesia berlangsung melalui tiga komponen dasar sistem.
1. Susbtansi.
Merupakan
hasil atau produk sistem termasuk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981.
2. Struktur.
Yaitu lembaga-lembaga dalam sistem hukum yang
terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan.
3. Kultur.
Yaitu bagaimana sebetulnya
sistem tersebut akan diberdayakan. Dengan kata lain kultur adalah merupakan
penggerak dari Sistem Peradilan Pidana.
Berbagai pandangan mengenai Sistem Peradilan
Pidana di atas memiliki dimensi yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda
pula. Sistem Peradilan Pidana merupakan konstruksi (sosial) yang menunjukkan
proses interaksi manusia (di dalamnya terdapat aparatur hukum, pengacara dan
terdakwa, serta masyarakat) yang saling berkaitan dalam membangun dunia
(realitas) yang mereka ciptakan.
Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu sistem
pada dasarnya merupakan suatu open system, dalam pengertian Sistem Peradilan
Pidana dalam geraknya akan selalu mengalami interface (interaksi, interkoneksi
dan interdependensi) dengan lingkungannya dalam peringkat-peringkat masyarakat
: ekonomi, politik, pendidikan dan teknologi serta sub sistem sub sistem dari
Sistem Peradilan Pidana itu sendiri (subsystem
of criminal justice system )
B. Manfaat Sistem Peradilan Pidana
Sistem Peradilan Pidana bila diterapkan
secara konsisten, konsekwen dan terpadu antara sub sistem, maka manfaat sistem
peradilan pidana selain dapat mewujudkan tujuan Sistem Peradilan Pidana juga
bermanfaat untuk :
a) Menghasilkan data statistik kriminal
secara terpusat melalui satu pintu yaitu Polisi. Dengan data statistik kriminil
tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sarana dalam menyusun kebijakan kriminil
secara terpadu untuk penanggulangan kejahatan.
b) Mengetahui keberhasilan dan kegagalan sub
sistem secara terpadu dalam penanggulangan kejahatan.
c) Kedua butir 1 dan 2 tersebut dapat
dijadikan bahan masukan bagi pemerintah dalam kebijakan sosial.
d) Memberikan jaminan kepastian hukum baik
kepada individu maupun masyarakat.
Sistem ini mulai bekerja pada saat adanya
laporan adanya tindak pidana dari masyarakat, setelah itu Polisi melakukan
penangkapan, seleksi, penyelidikan, penyidikan dan membuat Berita Acara
Pemeriksaan. Para pelaku yang bersalah diteruskan kepada Kejaksaan, sedangkan
yang tidak bersalah dikembalikan kepada masyarakat. Kemudian Jaksa mengadakan
seleksi lagi terhadap pelaku dan mengadakan penuntutan dan membuat surat
tuduhan. Para pelaku yang tidak bersalah dibebaskan, sedang yang bersalah
diajukan ke Pengadilan. Dalam hal inipun pengadilan juga melakukan hal yang
sama, artinya yang tidak terbukti bersalah dibebaskan, sedang yang terbukti
melakukan tindak pidana diserahkan ke Lembaga Pemasyarakatan sebagai instansi
terakhir yang melakukan pembinaan terhadap narapidana. Namun tidak dapat
dipungkiri bahwa secara jelas dengan indikator banyaknya residivis telah
menunjukkan kegaglan dari LP itu sendiri, segagalan i9ni bukan hanya oleh LP
akan tetapi perlu dicermati ada apa dengan Sistem Peradilan Pidana Itu?
Di dalam Sistem Peradilan Pidana terdapat
adanya suatu input-process-output. Adapun yang dimaksud dengan input adalah
laporan/pengaduan tentang terjadinya tindak pidana. Process adalah sebagai
tindakan yang diambil pihak Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga
Pemasyarakatan. Sedangkan
output adalah hasil-hasil yang diperoleh.
Sebagai suatu sistem maka di dalam
mekanismenya adanya suatu syarat yang harus dipenuhi yaitu adanya kerjasama di
antara sub sistem. Apabila salah satu sub sistem tidak berjalan sebagaimana
mestinya, maka hal itu akan mengganggu sistem secara keseluruhan. Oleh karena
itu, keempat sub sistem itu memiliki hubungan yang erat satu dengan yang
lainnya.
D. Teori Pemidanaan
Menurut
Satochid Kartanegara dan pendapat-pendapat para ahli hukum terkemuka dalam
hukum pidana, mengemukakan teori pemidanaan atau penghukuman dalam hukum pidana
dikenal ada tiga aliran yaitu:
a. Absolute atau vergeldings
theorieen (vergelden/imbalan)
Aliran ini mengajarkan dasar
daripada pemidanaan harus dicari pada kejahatan itu sendiri untuk menunjukkan
kejahatan itu sebagai dasar hubungan yang dianggap sebagai pembalasan, imbalan
(velgelding) terhadap orang yang melakukan perbuatan jahat. Oleh karena
kejahatan itu menimbulkan penderitaan bagi si korban.
b. Relative atau doel theorieen
(doel/maksud, tujuan)
Dalam ajaran ini yang dianggap
sebagai dasar hukum dari pemidanaan adalah bukan velgelding, akan tetapi tujuan
(doel) dari pidana itu. Jadi aliran ini menyandarkan hukuman pada maksud dan
tujuan pemidanaan itu, artinya teori ini mencari mamfaat daripada pemidanaan (nut van de straf)
c. Vereningings theorieen (teori
gabungan)
Teori ini sebagai reaksi dari
teori sebelumnnya yang kurang dapat memuaskan menjawab mengenai hakikat dari
tujuan pemidanaan. Menurut ajaran teori ini dasar hukum dari pemidanaan adalah
terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan, akan tetapi
di samping itu diakuinya pula sebagai dasar pemidanaan itu adalah tujuan
daripada hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar